Kamis, 31 Juli 2014

Mudik Seru Naik Sepeda Motor

Gambar utama : Sendang Tirto Sinongko, Klaten
Alhamdulillah, acara mudik berjalan dengan sukses. Yang ditinggal di rumah sukses, dan yang mudik jelas lebih sukses. Bertemu dengan sahabat lama, teman SMP yang sudah lebih dari 27 tahun berpisah. Bertemu dengan guru mengaji di kala saya masih kecil. Beliau adalah Ibu Wazilah Wido Suroto. Beliau telah berjasa pada dalam hal berbagi ilmu baca quran. Bertemu dengan tetangga yang baik dan menjadi bagian keluarga Bapak/Ibu.
Mudik, inginnya tetap tinggal di Yogya dan bawaannya malas kembali ke Karanganyar. Akan tetapi pekerjaan di rumah sudah melambai-lambai. Hari Selasa, 29 Juli 2014 kami kembali ke Karanganyar. Perjalanan kami tempuh pada pagi hari agar tidak bertemu dengan “Bang Macet”.
Sampai di Prambanan, kendaraan dari arah Yogyakarta cukup ramai. Jalannya juga masih lancar. Karena kami bertiga dengan adik kecil 4 tahun, maka sampai di Stadion Klaten, kami beristirahat. Saya dan adik kecil jalan santai keliling lapangan satu kali putaran. Setelah itu keluar dari stadion, kami menuju Warung Sop Ayam Pak Min dekat stadion.

Gambar 1. Sop Ayam Pak Min, Dekat Stadion Klaten
Pada hari biasa, nasi sop biasa dihargai lima ribu rupiah. Kalau sop brutu, sop ayam, dan yang istimewa lainnya tarifnya sembilan ribu per porsi. Saya memesan dua porsi sop brutu. Satu porsi harganya cukup Rp. 12.000,00/ harga khusus lebaran. Saya puas sarapan di sini karena rasanya benar-benar maknyus. Kebetulan ayam yang dimasak adalah afkiran ayam petelur. Pas sekali di lidah saya.
Setelah sarapan, perjalanan kami lanjutkan. Memasuki Klaten kota, jalanan sudah ramai, padat tapi lancar.
Ada kesan mendalam pada mudik tahun ini, karena dari Yogyakarta sampai Karanganyar saya harus membawa dan menyelamatkan dua buah balon milik si kecil. Awalnya saya sudah minta pada si kecil balonnya ditinggal di rumah Mbah Yi saja, tapi si kecil tidak mau. Daripada sepanjang jalan menangis dan ngambek, dengan senang hati simboknya menjadi pahlawan tanpa minta jasa pegal tangan.

Gambar 2. Dua buah balon mahal 
Kami beristirahat lagi di sendang yang airnya jernih.

Gambar 3. Sejuk

Gambar 4. Bercanda dengan si kecil

Gambar 5. Sang Penjaga Hati
Selama dalam perjalanan, saya bersyukur bisa menghindari macet karena sang “penjaga hati” saya mengajak lewat pedesaan yang udaranya sejuk. Sampai di rumah selamat dan saya bisa kembali beristirahat di garasi, sambil menikmati udara sejuk di dekat rumah kami. Alhamdulillah, hikmah rumah mewah alias rumah mepet sawah adalah dapat menikmati udara sejuk.
Mudik mengendarai sepeda motor kali ini dan tahun-tahun sebelumnya sangat menyenangkan.  Yang penting membawa bekal cukup untuk si kecil, agar tidak rewel. (Selesai)
Karanganyar, 31 Juli 2014

Selasa, 29 Juli 2014

Ramadhan Hari Terakhir di Makam Raja-Raja Imogiri


Mudik adalah acara tahunan, yang sebenarnya bukan suatu keharusan. Tapi tak apalah, ambil saja hikmahnya. Hari pertama di Yogyakarta, pagi hari, saya menyempatkan diri mencari rumah teman saya SMP. Setelah 27 tahun berpisah, akhirnya saya bisa bersua dengan Siti Subadriyah atau mbak Indri. Ternyata rumahnya sekarang satu kelurahan dengan saya. Dua puluh tujuh tahun, katanya saya tidak jauh beda (masih imut, ckck).
Hari berikutnya, Minggu, saya ingin bersilaturahmi ke rumah teman SMA beda jurusan. Sama sekali saya tidak mengenal (atau lupa, karena belum pernah satu kelas), bertemu saja lewat FB. Saya berusaha untuk mencari rumahnya Di Salakan, sebelah timur Krapyak Wetan, Bantul, DIY. Sayang, Allah belum mengijinkan kami bertemu, karena beliau posisinya berada di Bandara Adi Sucipto.
Pagi itu juga, udara dingin. Saya, suami dan anak saya melanjutkan perjalanan ke Makam Raja-Raja Imogiri. Saya tidak lewat jalur utama, depan masjid, karena suami mengajak saya lewat jalur timur.

Gambar 1. Jalan menuju jalur timur
Sesuai aturan yang ada di depan masjid  (jalur utama), pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera (dan sejenisnya) untuk mengambil gambar atau memotret. Maka saya hanya berpose di luar makam, di depan pintu.

Gambar 2. Di belakang gambar, sebelah kanan Makam Sri Sultan HB IX

Gambar 3. Batas membawa dan menggunakan kamera dan sejenisnya
Selama Bulan Ramadhan, kompleks makam tidak dibuka bagi peziarah. Kompleks makam dibuka bagi peziarah pada tanggal 1 dan 8 syawal.
Ada minuman khas yang biasa dijual di kompleks makam, yaitu wedang uwuh.
Gambar 4. Komposisi Wedang uwuh (dalam plastik) : jahe, daun cengkeh, gula batu dan gula merah
Karena saya khawatir terhadap anak saya yang naik-turun tangga, maka saya meminta suami untuk menyudahi perjalanan ini.

Gambar 5. Si kecil sarapan

Gambar 6. Di tempat yang tinggi ini, raja-raja Mataram dimakamkan

Gambar 7. Di sebelah timur makam ada sumber mata air. Penduduk memanfaatkan sumber mata air tersebut. mata air tersebut terletak di depan saya
Pulang dari makam raja, kami muter-muter di sekitar Imogiri. Semua itu mengingatkanku pada tahun 1990-an. Dalam acara yang diadakan Karang Taruna, muda-mudi berkunjung ke makam raja dengan naik sepeda onthel atau FUN BIKE. Lumayan, sekitar 10 km lebih jarak yang harus kami tempuh hingga mencapai area makam, belum lagi jalannya menanjak.
Hari menjelang siang, ketika kami sudah sampai rumah ibu dan bapak. Hari itu waktu terasa cepat berlalu. Ramadhan hari terakhir, seperti biasa menu utama buka puasa adalah kupat/lontong, opor ayam dan sambel goreng krecek. Mantap. Selamat Idhul Fitri, 1 Syawal 1435 H. Maaf lahir dan batin.
Karanganyar, 29 Juli 2014 

Rabu, 23 Juli 2014

Bisnis Peti Mati Masih Menjanjikan

Oleh : Kahfi Noer
Usaha yang dijalankan oleh alm. Bapak dan ibu mertua sejak tahun 80-an yaitu penyediakan peti mati dan perlengkapannya. Seperti kain mori, kapas, minyak wangi, sabun, sampo, kapur barus, kemenyan, lilin, benang, jarum, paku, keranjang bunga, kertas putih (untuk menghias keranjang), merah (untuk bendera tanda ada orang meninggal), nisan, kipas, kendi-anglo. Selain itu juga menyediakan air mineral 240 ml, permen, rokok dan sapu tangan.

Pertama kali peti mati datang dari pengrajin, tetangga bapak/ibu sempat kaget karena barusan adik ipar waktu itu masih batita masuk rumah sakit. Ternyata datangnya peti mati tidak ada hubungannya dengan sakitnya adik ipar.

Kebetulan di tempat tinggal mertua dan sekitarnya belum ada yang menyediakan perlengkapan semacam itu. Bisa dibilang usaha ini belum ada saingannya.
Akan tetapi, berbisnis peti mati memang harus sabar, siap stand-by 24 jam. Tahu sendiri bukan, orang meninggal tidak bisa diduga waktunya. Bisa pagi, siang, sore, tengah malam atau dini hari. Biasanya orang yang membeli peti mati sebagai orang suruhan personelnya itu-itu saja alias ajeg. Misalnya di dusun A yang biasa ditugasi membeli peti adalah Pak Bejo, di dusun B mungkin Mas Paijo dan seterusnya. Sampai-sampai bapak/ibu mertua hapal, kalau yang membeli peti Pak Bejo berarti yang meninggal orang dusun A.

Bapak/ibu mertua harus siap 24 jam. Saya pun pernah membantu mereka melayani pembeli peti mati dan perlengkapannya tengah malam. Yang lebih membuat bapak/ibu sabar adalah kadang-kadang pembeli tidak membawa uang sepeser pun. Mungkin ada orang yang mengeluh sudah malam-malam membangunkan orang tidur, e... masih ngutang lagi. Tapi ternyata bapak/ibu tidak pernah mengeluh. Syukurlah bisa membantu mereka itung-itung sedekah waktu, hehe.

Biasanya kalau ada yang membeli peti tetapi belum membawa uang, ahli waris dari orang yang meninggal dari golongan tidak mampu. Nanti bayarnya setelah membuka amplop sumbangan dari para pelayat.

Menurut cerita bapak/ibu mertua belum ada sejarahnya pembeli yang ngutang lalu ngemplang (nunda-nunda pembayaran sampai ditagih-tagih) bahkan melarikan diri tidak membayar. Semua membayar, hanya waktunya saja yang mundur.

Setelah bapak/ibu mertua meninggal, usaha ini dilanjutkan adik ipar. Sebelum adik ipar mewarisi usaha ini, dia dan isterinya membeli kotak peti yang belum diberi kain saten. Kemudian peti-peti itu dibungkus kain saten sedemikian rupa. Lalu dijual ke ibu mertua. Setelah ibu meninggal, adik ipar disetori oleh pengrajin siap jual. Ada peti berkain saten putih dan peti ukir-ukiran.

Pernah suatu saat, tahun 2006-an, saya juga ingin berbisnis peti mati dengan menyewa kios. Ternyata yang punya rumah (sudah tua, pernah sakit stroke)  stress lalu jatuh sakit. Uang sewa yang sudah saya serahkan, oleh anaknya dikembalikan dan beliau minta maaf karena kiosnya tidak diijinkan bila untuk menjual peti mati. Haha, sampai sekarang saya sering tersenyum kalau ingat peristiwa tersebut.

Gagal menyewa kios, saya tidak menyerah begitu saja. Saya ingin membuka usaha ini di rumah. Ternyata ibu kandung saya menentang. Kalau saya bersikeras menjalani   usaha ini, artinya ibu sudah tidak mungkin mengunjungi saya dan menjenguk cucunya. Haha, ternyata ibu saya juga takut.

Namanya juga rejeki, sudah ada yang mengatur. Kadang seminggu, tidak ada penjualan peti mati. Tetapi di lain waktu, sehari bisa laku tiga buah peti.  Pagi, siang atau malam bahkan kadang-kadang waktunya bersamaan.

Berbisnis peti mati rupanya masih menjanjikan, dan bisnis ini tidak pernah kena tipu (tidak seperti bisnis sembako). Siapa mau mencoba? Tapi pikirkan dulu masak-masak, soalnya tetangga kiri kanan mungkin ada yang tidak setuju (karena takut juga barangkali, hehe). (SELESAI)
Karanganyar, 16 Agustus 2013
Jangan menyerah untuk berwirausaha, AYO!

Minggu, 20 Juli 2014

HAPE JADUL DAN AL QUR'AN BARU

Oleh : Noer Ima Kaltsum
Aufi dan Lely ingat beberapa hari lagi Ibu ulang tahun. Selain bergembira pada hari jadi, Ibu pasti bergembira karena Aufi, Lely dan Ibu akan khatam Al Quran. Karena di rumah hanya memiliki satu buah Al Qur’an, maka mereka harus bergantian membaca. Sudah beberapa minggu yang lalu, Lely meminjam Al Qur’an dari sekolah.
Al Qur’an milik Ibu juga sudah lama, kelihatan usang. Lely ingin membelikan Ibu  sebuah Al Qur’an sebagai kado ulang tahun. Sebenarnya Lely memiliki tabungan yang jumlahnya tidak seberapa. Akan tetapi bila dipakai untuk membeli Al Qur’an, Lely tidak akan mempunyai uang lagi.
Ibu sebagai penjual makanan kecil dan Bapak bekerja sebagai tenaga serabutan. Penghasilan orang tua hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka memang hidup sederhana.
Kemarin, Lely dan Aufi masuk sebuah toko di depan pasar. Mereka melihat-lihat banyak Al Qur’an. Sepertinya Lely dan Aufi tertarik untuk membeli Syamil Quran. Pas buat kado ulang tahun, pikir mereka.
Pulang dari toko, Lely dan Aufi melewati sebuah konter hape/pulsa. Di sana ada spanduk yang menuliskan bahwa hape bisa dijadikan mesin uang. Lely kelas 7 SMP dan Aufi kelas 4 SD. Keluarga Lely mempunyai satu buah hape jadul. Hape yang bisa untuk menerima/mengirim SMS dan telpon saja.
Kebetulan Lely mengenal pemilik konter. Dia memberanikan diri bertanya pada Mas Ayik.
“Maksud dari mesing uang itu apa to, Mas?”
“Begini, hape bisa digunakan untuk menjual pulsa. Berarti hape-mu bisa menghasilkan uang.”
“Kalau hapenya jelek, bagaimana Mas?”
“Tidak masalah. Memang kamu mau berjualan pulsa? Uangnya mau kamu gunakan untuk apa?”tanya Mas Ayik.
“Begini lo Mas. Sebentar lagi Ibuku mau ulang tahun. Aku pingin memberi kado, tapi tidak punya uang cukup. Terus kalau jualan pulsa modalnya banyak ya?”
“Tidak juga. Caranya juga mudah.”
Mas Ayik rupanya kasihan pada Lely dan Aufi, yang semangat ingin membelikan Qur’an buat Ibu. Dengan senang hati Mas Ayik meminjami modal pulsa pada Lely. Syaratnya, Lely tiap pulang dari sekolah mampir ke konter dan menunggu pembeli pulsa.
Pada saat Lely berada di konter Mas Ayik, setiap ada pembeli pulsa, Lely harus mengisi lewat hape jadulnya. Konter Mas Ayik cukup ramai. Hanya enam hari saja Lely berada di konter Mas Ayik untuk berjualan pulsa. Dengan terbuka Mas Ayik mengatakan keuntungan yang diperoleh Lely.
“Lely, terima kasih kamu mau membantu Mas Ayik. Aku bangga kamu bisa memperoleh uang dari kerjamu sendiri. Semoga keuntungan yang kamu dapatkan, cukup untuk membeli Qur’an yang kamu idamkan.
Jangan lupa, jangan sia-siakan hape jadulmu itu. Hapemu biar jadul adalah mesin uang lo.”    
“Aku juga berterima kasih pada Mas Ayik.”
 Lely dan Aufi ke toko membeli Qur’an, sekaligus membungkusnya dengan kertas kado. Kado buat Ibu, semoga bermanfaat.
Setelah tiba saatnya Ibu ulang tahun, Lely dan Aufi menyerahkan kado buat Ibu disaksikan Bapak. Bapak dan Ibu tak kuasa meneteskan air mata haru.
“Kamu punya uang dari mana?”tanya Bapak.
“Dari hape jadul ini, Pak, Bu.”
Bapak memuji Lely yang cerdas. Memanfaatkan hapenya untuk menghasilkan uang lalu digunakan untuk membeli Quran. “Terima kasih Ya Allah.”doa Bapak. (SELESAI)

Rabu, 16 Juli 2014

Laris Manis, Bakso Tiga Ribu per Mangkuk

LARIS MANIS, BAKSO TIGA RIBU PER MANGKUK
Oleh : Kahfi Noer
Saya dan teman-teman guru sering mencoba kuliner yang ada di sekitar kecamatan.  Makan siang dengan menu sederhana, murah meriah dan sesuai dengan kantong. Biasanya kami makan bareng, bergantian “bendaharanya”.
Mencoba makan di warung soto, warung makan sederhana yang menyediakan berbagai macam sayur dan lauk. Ada sop ayam, sambel tumpang (sambel khas Solo dan sekitarnya), pecel, sayur lodeh, oseng-oseng buncis/kacang panjang, oseng-oseng kikil sapi, rica-rica ayam, sayur daun mbayung (daun kacang panjang), garang asem, gudeg dan sambel goreng, brongkos, ayam bakar, ayam goreng, lele, tahu dan tempe mendoan. Tentunya masih banyak variasinya.
Suatu saat kami menikmati mie ayam bareng-bareng di sekolah setelah memesan mie ayam di warung makan dekat rumah sakit. Biasanya setelah memesan, “Mas Pendek, pedagangnya”  membawakan pesanan ke sekolah.
Atau, kami rela melakukan perjalanan “agak jauh” demi semangkuk “Soto Mbok Giyem” cabang dari Boyolali. Yang penting setiap orang tidak boleh lebih dari sepuluh ribu rupiah. Kalau pas bokek semua, kami sepakat untuk “tongji” alias potong gaji. Nah, untuk yang satu ini bendahara sekolah memang harus tega mengeluarkan guntingnya (untuk memotong gaji secara pukul rata).
Tiba-tiba teman saya mengajak saya makan di warung bakso. Katanya ada warung bakso, baru dibuka, lokasinya tidak jauh dari sekolah kami. Tepatnya di sebelah timur Obyek Wisata Sondokoro (kurang lebih setengah kilometer).
Mula-mula kami berdua mencoba. Memang benar, bakso semangkuk isi 6 butir harganya tiga ribu rupiah. Enak dan halal, tidak menipu. Uang lima belas ribu masih ada kembalian. Bakso 2 porsi, 2 minuman, gorengan dan rambak. Murah!
Hari berikutnya kami datang satu rombongan, delapan orang. Uang lima puluh ribu, masih ada kembalian. Ya, bakso murah, tidak menipu, enak dan halal. Bakso tersebut adalah bakso ayam.
Di rumah, saya iseng-iseng menghitung secara garis besar. Beberapa hari yang lalu saya membuat bakso sendiri. Setengah kg daging ayam dan setengah kg daging sapi. Setelah menjadi adonan plus ongkos pembuatan serta campurannya, biaya yang saya keluarkan sebesar Rp. 72.000,00.
Saya buat butiran ukuran sedang, ternyata saya dapatkan 240 butir. Bila saya jualan bakso per mangkok isi 6 butir, maka jadi 40 porsi. Satu porsi 3000 rp, maka uang yang saya dapatkan 120 ribu rp. Tinggal hitung saja keuntungannya. Itu saja bakso campuran daging sapi dan daging ayam. Coba seandainya baksonya terbuat dari daging ayam semua, biayanya akan lebih sedikit. Maka keuntungan yang diperoleh akan semakin banyak
Pantas saja ada warung bakso yang menjual per mangkuknya dengan harga murah.  Sepertinya di Karanganyar penjualan bakso ayam ini prospeknya masih bagus. Barangkali ada yang mau mencoba bisnis ini. Silakan saja dicoba! (SELESAI)
Karanganyar, 16 Juli 2014 

Seniman Angklung, Ngamen Santun

SENIMAN ANGKLUNG, NGAMEN SANTUN
Oleh : Kahfi Noer
Tanggal 1 Mei 2014 yang lalu saya mudik ke Yogyakarta, karena Ibu sakit. Kebetulan saya mengikuti rombongan teman-teman kantor yang akan menjenguk Ibu saya. Dari Kab. Karanganyar, kendaraan yang kami tumpangi penuh sesak. Tapi saya bersyukur, karena jagoan saya Faiz 4 tahun tidak rewel dengan udara yang panas.
Setelah menjenguk Ibu, teman-teman saya melanjutkan perjalanan ke Pantai Depok, Kab. Bantul, DIY. Saya sendiri tetap tinggal di rumah sakit berkumpul dengan kakak, adik dan keponakan-keponakan saya.
Saya berkencan dengan teman-teman, bertemu di Malioboro pada jam tertentu. Sebelum ke Malioboro, saya bermaksud ke rumah Bapak dan Ibu dulu. Lalu saya dari rumah sakit putar-putar dulu menuju tempat-teman yang dulu pernah kami lewati bersama suami dan Faiz.
Sampai di perempatan Ngampilan, ada kelompok seniman Angklung di pinggir jalan dekat lampu Bangjo. Begitu lampu merah menyala, para seniman memainkan alat musiknya. Saya sangat terpesona. Suami saya menyuruh saya turun dari sepeda motor dan mengambil gambar. Salah satu dari seniman tersebut mengulurkan kartu nama.

Gambar 1. Memainkan musik Angklung (dokumen pribadi)


Gambar 2. Bermusik sambil mengahalau polusi (dokumen pribadi)

Setelah memasukkan uang ke wadah yang disediakan seniman angklung, kami melanjutkan perjalanan lagi. Ternyata di sebelah selatan, tepatnya di simpang empat Tamansari, di pinggir jalan dekat lampu bangjo ada kelompok seniman angklung yang lain. Kali ini seragamnya lebih menyala, MERAH. Tapi sayang, suami tidak memberi waktu pada saya untuk jepret gambar.
Belum sampai rumah orang tua saya, saya dikirimi pesan singkat oleh teman saya, saya sudah ditunggu di Malioboro. Akhirnya saya diantar suami ke Malioboro.
Bertemu teman-teman saya, setelah makan di lesehan yang harganya “ngepruk” kantong, saya berkesempatan membeli lumpia khas Semarang.


Gambar 3. Lumpia Khas Semarang (dokumen pribadi)

Habis muter-muter Malioboro, rombongan meninggalkan Yogyakarta tepat pukul 18.00 WIB. Alhamdulillah, sampai di rumah badan pegal-pegal semua. (SELESAI)

Selasa, 15 Juli 2014

Renta : Tetap Semangat Bekerja di Usia Senja

Tak Ada Keluh Kesah Untuk Mencukupi Kebutuhan
Oleh : Kahfi Noer
Berwisata tidak harus mengeluarkan biaya mahal dan jauh dari kota. Mengadakan perjalanan di daerah Karanganyar memberikan kepuasan sendiri. Kebetulan saat itu lagi marak-maraknya berita BBM naik dan isu BALSEM. Untuk menghemat biaya, saya dan suami bersepeda motor ke Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Konsumsi juga membawa bekal dari rumah.

Suami saya yang orang asli Karanganyar mengajak lewat Dawung, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Ada pemandangan yang menarik kami, yaitu penduduk yang mengambil batu Kars dari Gunung Batu Kars.


                                   Gambar : Gunung Batu Kars, Matesih, Kab. Karanganyar, Jateng

Puas mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan ke Jatoyoso. Di Desa Beruk, Kecamatan Jatiyoso, tempat yang tinggi dan berkabut. Kami bertemu dengan seorang nenek berusia di atas 60-an tahun menggendong rumput gajah yang akan digunakan sebagai pakan ternak. Di raut wajahnya terlihat suka cita, tak peduli dengan BBM naik mengakibatkan harga barang-barang ikut naik pula.



                                          Gambar : Pantang Menyerah di Lanjut Usia


Bahkan kami bertemu dengan seorang kakek yang memikul rumput untuk ternaknya dengan senyum ramah. Menurut kakek dan nenek ini, mengapa harus mengeluh, yang penting kerja dan usaha.


Gambar : Cari rumput buat Embek Tersayang

Apapun kondisi kita, jangan sekali-kali berkeluh-kesah. Tirulah penambang batu kars, kakek dan nenek yang berhenti mengeluh. Mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Dengan mengeluh mungkinkah ternak-ternak mereka kenyang dan dapur tetap mengepul?

Perjalanan yang mengesankan, naik turun, tanjakannya luar biasa. Bikin hati deg-degan. Suatu saat kami akan melakukan perjalanan yang asyik, hemat dan tidak jauh-jauh amat dari kota Karanganyar.

Karanganyar, 17 Agustus 2013
MERDEKA!

Tawangmangu, Pesona Indahmu

TAWANGMANGU, PESONA INDAHMU
Oleh : Kahfi Noer
Hari ini saya bersama tiga orang teman saya harus melaksanakan kunjungan ke rumah siswa. Kebetulan kami harus ke Jumantono dan Tawangmangu. Di Jumantono, kami sukses mencari rumah siswa. Perjalanan dilanjutkan ke Tawangmangu.
Dari Jumantono ke Tawangmangu kami melewati Kecamatan Matesih. Kebetulan Matesih merupakan daerah yang tinggi. Dari Matesih menuju Karangpandan, jalannya mulai menanjak naik. Saya berdoa, Ya Allah, jangan titipkan padaku pusing alias mabuk perjalanan. Saya memang mabuk pada ketinggian tertentu, pusing yang berkepanjangan apalagi terlambat makan.
Alhamdulillah, saya melewati perjalanan dengan penuh suka cita, tidak pusing (walaupun berpuasa). Sepanjang perjalanan, yang saya lihat adalah kebun sayuran. Semuanya hijau! Saya dan teman saya puteri begitu takjub, dengan buatan Allah Yang Maha Pandai. Tanah dengan kemiringan curam, semua ditanami sayuran.
Halaman rumah, teritisan, dan tanah sempit pun, semua ditanami sayuran. Paling tidak daun loncang, sawi hijau dan wortel. Pingin rasanya saya keluar dari mobil dan mencabut sayuran-sayuran itu.
“Wow, ini kita dapat tugas. Bukan piknik.”kata teman saya “sopir” mobil.
“Gemes rasanya.”
“Rumahnya pindah sini saja?”
“Tidak perlu pindah, tapi di sini juga punya lahan. Hehe.”saya menimpali.
Saya lupa, biasanya ke mana-mana saya membawa kamera. Justeru kali ini tidak. Apalagi tiga teman saya juga tidak mau memotret saya nampang di kebun sayuran di Tawangmangu, menggunakan hape mereka. Nasib, nasib.... rutukku.
Mungkin bagi teman saya semua yang ada di Tawangmangu biasa saja. Akan tetapi bagi saya berbeda. Tawangmangu adalah tempat yang indah. Tempat di mana saya mendapatkan inspirasi untuk menulis.
Kalau tidak karena acara kunjungan ke rumah siswa, mungkin saya akan berlama-lama tinggal di sini. Mencari bahan tulisan, bincang-bincang dengan petani yang memanen daun loncang atau buruh-buruh yang mencuci wortel di selokan. Selokan yang airnya benar-benar jernih. Air keluar dari mata air pegunungan. Subhanallah.
Sebentar kemudian kami sampai di rumah siswa. Setelah kepeluan cukup kami pulang. Perjalanan pulang, kami lebih santai. Kami benar-benar menikmati perjalanan. Salah satu teman saya berkata,”Andaikan hari ini tidak puasa, pasti saya ajak mampir makan-makan.”
“Makan? Lain kali saja Pak, kita ke sini lagi....”seru saya.
Kami berempat tertawa. Perjalanan pulang, saya kok jadi berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Orang Tawangmangu, hidupnya mapan. Bertani walaupun hasilnya kecil tapi tetap bisa makan. Mereka hidup tidak menghambur-hamburkan uang.
Laki dan perempuan yang usianya tidak muda lagi tetap giat bekerja. Memanggul hasil panenan dengan berjalan kaki padahal jalannya menanjak. Mereka tidak berkeluh kesah. Canda tawa mengiringi perjalanan mereka. Bincang-bincang ringan dengan sesama petani menunjukkan seolah tak menanggung beban hidup.
Tawangmangu, Pesona Indahmu. Tunggu, aku akan kembali lagi, suatu saat nanti. (SELESAI)
Karanganyar, 15 Juli 2014 

Minggu, 13 Juli 2014

Menjelang Lebaran : Dapat Hadiah dari Smart Mom Ways

MENJELANG LEBARAN : BONGKAR TABUNGAN
Oleh : Kahfi Noer
Menulislah setiap hari dan buktikan apa yang akan terjadi! Tulisan Om Jay (Wijaya Kusumah) menginspirasi saya untuk menulis setiap hari. Kadang-kadang saya harus melawan kantuk demi mendapatkan tulisan yang mungkin bagi orang tidak begitu penting.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Saya tidak pernah bosan untuk memencet tuts. Merangkai kata menjadi kalimat. Kadang kalimatnya masih kaku, tapi saya memaksakan diri untuk konsisten menulis.
Tulisan yang paling saya suka adalah bentuk cerpen. Entah itu cerpen anak, cerpen dewasa atau sekedar cerita rumpi hasil rekaman dari pulang sekolah.
Saya sering mengirimkan cerpen ke media. Tak pernah bosan, walaupun sering tidak dimuat di media yang saya tuju. Saya tidak patah arang. Kalau redakturnya tidak memilih tulisan saya untuk hadir di media massa, saya akan memposting tulisan ke blog yang saya miliki atau di blog keroyokan di www.kompasiana.com.
Saya memang sabar, itu menurut saya. Saya simpan semua tulisan yang pernah saya kirim ke media tetapi tidak dimuat. (kalau dimuat pasti dapat honor, saya tidak menerima honor baik lewat wesel maupun ditransfer ke rekening. Berarti tulisan saya tidak dimuat).
Suatu hari saya membuka fb. Iseng-iseng lihat dinding teman atau temannya teman. Wow, ternyata dari teman fb yang suka nulis, mereka punya teman suka nulis lebih banyak. Di antara mereka ternyata  yang mempunyai kabar berita tentang lomba penulisan kumpulan cerpen anak. Kumcer ini dibuat tokohnya sama, sehingga bisa dibuat novel.
Bagi saya ini menarik, karena saya mempunyai banyak tabungan cerpen anak. Tapi sayang nama tokoh utamanya tidak sama. Namanya juga “penulis” meski pemula, maka tokoh-tokoh beda ini saya ganti dengan tokoh yang sama. Maka cerpen pun sedikit berubah ceritanya. Tak masalah, yang penting jadi.
Syarat dan ketentuan lomba ini tidak sulit, maka dengan penuh percaya diri dan minta doa restu suami tercinta, saya mengirim naskah lewat email. Beberapa hari kemudian saya mendapatkan balasan dan diminta untuk merevisi (hanya sedikit). Sayangnya, saya sedang repot dengan pekerjaan di sekolah. Belum sempat merevisi.
Saya sudah melupakan tulisan yang saya kirim tadi. Beberapa hari kemudian, tanggal 4 Juli 2014 saya dikirimi surat lewat email. Isinya saya merupakan satu di antara tujuh orang pemenang lomba (tapi saya harus menyerahkan revisi, kemudian menandatangani akad/perjanjian). Alhamdulillah, tidak saya sangka tabungan saya bermanfaat. Bongkar tabungan tulisan yang menghasilkan rupiah.
Kemarin, hari Sabtu, 12 Juli 2014 saya menuju bank untuk mendapatkan print out. Maklum dua artikel yang dimuat bulan sebelumnya di Harian SOLOPOS, belum saya cek honornya. Betapa terkejutnya saya, ternyata dari pihak Smart Mom Ways penyelenggara lomba sudah mentransfer sejumlah uang pada tanggal 26 Juni 2014. Bahagianya saya, menjelang lebaran dapat rejeki dari bongkar tabungan tulisan.

Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan dunia tulis-menulis. Rasanya sayang sekali kalau sehari tidak menulis. Maka menulislah setiap hari dan buktikan apa yang akan terjadi!
Karanganyar, 13 Juli 2014 

Hutanku di Sekolahku

HUTANKU DI SEKOLAHKU

Ada yang menarik dari berita di media cetak bahwa Badan Lingkungan Hidup mendorong semua sekolah menjadi sekolah Adiwiyata. Selanjutnya sekolah beramai-ramai dan berbondong-bondong  untuk melaksanakan program Adiwiyata. Harapannya adalah agar sekolah mendapatkan penghargaan Adiwiyata.
Menurut hemat penulis program Adiwiyata bagus. Selain berprestasi di bidang akademik dan berkarakter diharapkan siswa memiliki wawasan lingkungan.  Halaman sekolah, kebun dan di sudut-sudut sekolah bernuansa hijau dan nyaman.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk membuat sekolah kita hijau, sejuk dan nyaman. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk mewujudkan semua itu. Hijau, sejuk dan nyaman identik dengan tanaman dan tumbuhan. Kita tidak memerlukan tanaman yang harus dibeli dengan merogoh uang banyak.
Semua anggota keluarga sekolah, dari Kepala Sekolah, guru, karyawan dan siswa, bersama-sama mewujudkan program penghijauan. Tumbuhan yang sudah ada kita rawat, tumbuhan yang perlu kita adakan kita usahakan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi. Misalnya, bagi sekolah yang sudah ada tumbuhan menahun (pohon buah-buahan), rawat dan pelihara dengan baik. Pohon yang sudah kita miliki sudah memberikan sumbangan udara bersih atau oksigen.
Sebagian besar halaman sekolah sudah diperkeras lantainya. Untuk menambah koleksi tanaman, agar sekolah benar-benar kelihatan hijau, sejuk dan berseri, kita bisa menggunakan pot dari drum (tabulampot) sebagai tempat menanam tumbuhan. Satu contoh tumbuhan yang bernilai ekonomi adalah pohon pepaya (bisa pohon yang lain dan jumlahnya banyak). Disamping buahnya, kita dapat memanfaatkan daunnya untuk sayuran. 
Apabila penataan dan perawatan tanaman buah dalam pot ini rapi, serasi, memadai dan mempertimbangkan nilai estetika, bukan hanya lingkungan hijau yang kita dapatkan tapi bernilai ekonomi. Biasanya di teritisan (depan kelas) ada tempat kosong. Dengan menggunakan barang-barang bekas (contoh gelas plastik dari air mineral yang sama) dapat ditanami sayuran berumur pendek. Contoh: sawi hijau, bayam cabut, daun seledri, daun bawang/loncang dan kangkung darat. Memang ini bukan hal yang baru, tetapi bisa kita laksanakan program penghijauan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi.
Selain halaman sekolah dan teritisan, kita bisa melaksanakan program penghijauan di kebun (kalau ada). Yaitu menanam sayuran umur pendek (lagi-lagi sayuran bernilai ekonomi). Misalnya kacang panjang, mentimun atau pare (masing-masing tanaman memerlukan turus/lanjaran). Tanaman-tanaman ini bisa ditanam di pot, plastik polybag, plastik kresek. Selain sayuran berumur pendek, kita juga bisa menanam tanaman obat (kunyit, kencur, jahe) sebagai apotik hidup.
Penulis menyampaikan hal ini (penghijauan yang bernilai ekonomi) karena tahu ada sebagian sekolah yang mengusahakan penghijauan dengan biaya yang banyak untuk membeli tanaman. Sebenarnya kita bisa menekan biaya untuk mewujudkan sekolah berwawasan lingkungan, asal kita pandai-pandai mengelolanya.
Akan lebih baik program penghijauan bukan hanya untuk meraih penghargaan Adiwiyata. Sekolah berwawasan lingkungan harus berkelanjutan, sekarang dan seterusnya. Agar biaya dapat ditekan maka kita menggunakan prinsip memanfaatkan yang ada, dan mengusahakan yang belum ada dengan mempertimbangkan nilai ekonomi. Dengan demikian sekolah kita benar-benar hijau, sejuk, dan berseri. Seperti kita menghadirkan hutan di sekolah kita. (SELESAI)
Karanganyar, 8 Maret 2014 

Jumat, 11 Juli 2014

Perempuan Perkasa Pencari Damen

PEREMPUAN PERKASA PENCARI DAMEN
Oleh : Kahfi Noer
Libur kenaikan kelas kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan. Saya bisa istirahat cukup berada di rumah sambil mengawasi anak yang senang bermain di luar. Sekarang sedang musim panen padi. Namanya juga anak-anak, suka meniru pekerjaan orang dewasa.
Anak laki-laki saya yang berumur 4 tahun, membawa damen (batang padi), ditaruh di atas kepalanya. Hehe, lebay! Setelah itu ditumpuk di garasi (memang menjadi kotor, tapi biarlah. Anak saya memang terobsesi mempunyai sapi sebagai ternaknya. Ceritanya dia lagi mencari pakan ternak).
Seperti waktu-waktu sebelumnya, tiap sawah tetangga kiri kanan (maklum, rumah saya rumah mewah alias mepet sawah) sedang panen, halaman rumah penuh sepeda motor milik buruh panen padi.
Selain buruh panen, ada beberapa perempuan yang mencari rejeki dari rontokan/sisa-sisa gabah yang terbuang. Kebetulan ada dua perempuan masing-masing mengendarai sepeda motor. Saya pikir, dua perempuan tadi mau mencari sisa-sisa padi yang rontok.
Perempuan tadi mengeluarkan pisau cluritnya. Setelah minta ijin yang punya sawah, mereka membabat batang padi yang sudah diambil padinya. Lo, mereka bukan mencari sisa padi yang rontok melainkan mencari damen untuk pakan ternak.
Biasanya yang mencari batang padi/damen untuk pakan ternak adalah para lelaki. Berbaur dengan pencari damen yang lain, dua perempuan perkasa mulai mengumpulkan damen sedikit demi sedikit, lalu diikatnya.
Untuk membawa tumpukan damen dipindah ke atas sepeda motor, bukan pekerjaan yang mudah. Tidak kurang akal, dua perempuan tadi minta bantuan laki-laki yang baru dikenal, yang sama-sama mencari damen untuk menaikkan damen ke atas sepeda motornya.
Pikiran saya, perempuan...., apapun pekerjaan bila masih sanggup untuk melakukan, pasti anggota badannya tidak mau diam. Perempuan-perempuan perkasa di arena sawah ini bukan pemandangan luar biasa.
Di sini biasa saya lihat perempuan-perempuan menanam padi, berangkat dari rumah tengah malam membawa obor. Sebelum subuh kaki-kaki mereka sudah asyik bercumbu dengan genangan air di sawah. Dingin, memang. Demi beberapa lembar ribuan untuk dibawa pulang.
Mereka menanam padi sambil berbincang-bincang memecah sunyi. Saya dengar suara-suara mereka, karena seperti pagi sebelumnya saya sudah beraktivitas di dapur.
Ada perempuan yang membersihkan rumput, bahasa mereka nyosrok. Sekarang sulit mencari buruh tanam, nyosrok, penjemur gabah. Kebanyakan buruh-buruh tani ini usianya tak muda lagi meski belum bisa dibilang renta.
Buruh tani biasanya tenaga lepas. Saya selalu salut melihat mereka, perjuangan perempuan-perempuan perkasa. Mereka tak banyak mengeluh melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan kaum adam. Terutama Perempuan Pencari Damen (sisa batang padi).
Karanganyar, 11 Juli 2014 

Kamis, 10 Juli 2014

Percaya Diri Menjadi Wirausahawan



PERCAYA DIRI MENJADI WIRAUSAHAWAN
Beberapa orang yang pernah saya jumpai merasa lebih nyaman menjadi wirausahawan. Dari segi banyak hal mereka mengatakan nyaman dan fleksibel. Dari segi penghasilan mereka juga aman. Akan tetapi saya heran, dari mereka tidak banyak yang membanggakan usahanya. Bukan karena “merendah” tapi karena tidak percaya diri.
Sebut saja Pak Sar, beliau sukses menjadi petani padi dan polowijo. Tapi kalau berbincang-bincang dengan orang beliau sering mengatakan sebagai pengangguran. Atau Mbak Wati yang sukses dengan usahanya, tapi tidak pernah terus terang dengan pekerjaannya. Dia juga menyebut dirinya sebagai pengangguran.
Dari dua contoh kawan saya, saya menilai mereka kurang percaya diri menyebut dirinya sebagai wirausahawan. Padahal bila mereka menyebutkan usahanya berwirausaha, saya yakin banyak orang akan mencontoh langkahnya berwirausaha dan berhasil. Percaya diri mereka akan membuat orang lain juga percaya diri dengan usaha yang dilakukan meskipun hanya berada di rumah.
Lain halnya Mas Heru, orang yang berjualan nasi “warung hiks”. Dia bangga mengatakan berjualan wedang dan nasi kucing. Omzetnya semalam lumayan, buat menghidupi anak isteri, menyekolahkan anak dan menabung. Dengan pengakuan Mas Heru, ada beberapa orang yang ingin mengikuti “langkahnya” berjualan nasi teri/nasi bandeng/nasi oseng yang harganya per bungkus Rp. 1.500,00.
Ada juga seorang kawan yang bangga dengan kerja sampingannya sebagai penulis. Kata beliau, dengan menulis beliau mendapatkan rupiah. Tanpa keluar rumah meninggalkan keluarga, beliau menghasilkan uang. Dari cerita ini, saya juga jadi ingin menjadi wirausahawan tanpa meninggalkan keluarga. Bekerja di rumah, menghasilkan rupiah dan bisa eksis.
Meskipun belum seberapa usaha saya, saya selalu membanggakan apa yang sudah saya dapatkan. Motivasi saya selain agar saya lebih percaya diri, saya mendapatkan teman yang mungkin sehati. Dan bisa mengajak orang lain percaya diri dengan usahanya, menjadi wirausahawan.
Penting sekali berbangga hati dan percaya diri menjadi wirausahawan, yang memiliki kantor di rumah sendiri. Bangga menjadi wirausahawan yang bisa menggaji dirinya sendiri bahkan mungkin menggaji karyawan atau orang lain. (Selesai)
Karanganyar, 10 Juli 2014