Senin, 29 Juni 2015

Penculikan di Toko Modern : Kaum Ibu Bila Belanja Jangan Bawa Balita

Penculikan di Toko Modern : Kaum Ibu Bila Belanja Jangan Bawa Balita

Beberapa hari yang lalu saya membaca pesan di WA. Isinya kurang lebih terjadi penculikan anak berusia 4 tahun di Carrefour, ketika ibunya sedang memilih belanjaan di Carrefour. Sang ibu baru sadar bila anaknya sudah tidak ada di sampingnya. Seseorang yang baik hati ikut membantu si ibu dengan minta bantuan pegawai Carrefour untuk segera menutup  pintu dan jalur keluar manapun.

Akhirnya semua pintu berhasil ditutup/dikunci. Ketika dicari anak yang dimaksud ditemukan di kamar mandi dalam keadaan terbius, hanya memakai celana dalam, kepala/rambut sudah tercukur setengah. Di samping anak tadi ada tas pakaian, sebuah pencukur/razor dan sebuah wig di lantai. Si penculik hanya butuh waktu 13 menit, dari mengambil anak hingga mencukur rambut. Dari pesan WA tersebut tidak disebutkan penculik tertangkap/tidak. Misalnya bila aksi penculikan tersebut tidak dihentikan, mungkin penculik akan sukses menculik anak. Karena kondisi anak saat diambil dengan kondisi dibawa kabur sudah sangat berbeda!

Kejahatan bisa terjadi di mana-mana. Tentu saja modus operandinya juga beraneka macam. Sebagai orang tua dan orang dewasa kita perlu hati-hati terhadap keselamatan anak-anak kita. Bahkan sekarang sudah saatnya kita sebagai orang dewasa tidak hanya cukup melindungi anak-anak kita sendiri. Kita juga diharapkan bisa melindungi anak-anak yang ada di sekitar kita. Di lingkungan keluarga, lingkungan rumah dan di manapun. Kita wajib “peduli anak-anak”.

Saya sangat setuju dengan pendapat bahwa anak bukanlah orang dewasa mini. Anak tetaplah anak. Anak daya nalarnya belum tinggi. Anak belum bisa membedakan orang baik (sungguhan) dan orang baik (bohong-bohongan). Oleh sebab itu anak memerlukan kondisi/lingkungan yang nyaman dan aman.

Orang tua terutama ibu harus mampu menghadirkan lingkungan yang nyaman dan aman untuk buah hatinya. Pada kasus di atas, balita menjadi korban penculikan karena ibu sibuk dengan urusannya (belanja). Sebaiknya ibu bisa mengukur tingkat kerepotan bila berada di swalayan. Tentu saja bila tak ada yang ikut mengawasi anak yang kita ajak, bahaya mengancam pada anak kita.

Masih bagus ada orang yang ikut membantu menghentikan pekerjaan penculik dengan menutup pintu. Bayangkan bila terlambat beberapa menit saja. Bisa kita tebak apa yang akan terjadi. Awas, bahaya mengintai pada anak-anak kita khususnya balita yang mudah tergiur menerima sesuatu yang menarik dari orang yang belum dikenalnya.

Bila ibu-ibu mau belanja di swalayan, pasar atau di mana saja, pastikan anak-anak kita ada yang ikut mengawasinya. Bila tidak ada teman yang ikut mengawasi anak kita saat kita belanja, sebaiknya jangan mengajak anak di tempat umum yang rawan. Anak bisa ditinggal di rumah atau dititipkan dulu pada saudara, orang tua, tetangga atau di Taman Penitipan Anak.

Sayangi buah hati kita. Bulan Ramadhan ini, sekarang sudah terlihat aktifitas orang-orang. Sibuk di pasar, toko, swalayan, mall dan tempat belanja lainnya. Ibu-ibu sudah mulai menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut lebaran. Belanja makanan, minuman, sembako, pakaian dan lain-lain. Boleh-boleh saja melakukan hal itu. Tapi jangan sampai kita mengabaikan anak kita. Konon katanya anak adalah harta yang tak ternilai. Kalau orang Jawa mengatakan ojo kemeruk anak digawa mrono mrene (jangan berlebihan, anak dibawa ke sana kemari).

Untuk kaum bapak, mohon kerja samanya ikut mengawasi anak-anak di kala ibu sedang repot belanja. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Karanganyar, 29 Juni 2015
Sumber :
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/penculikan-di-toko-modern-kaum-ibu-jangan-bawa-balita-saat-belanja_55914429317a61f2098b4567 

Sabtu, 27 Juni 2015

Sarjana Kedokteran, Tetap Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Sarjana Kedokteran, Tetap Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Gambar 1. Bersama Sahabat Penulis Berbagi Ilmu

Tulisan ini terangkai, terinspirasi dari cerita teman-teman, tetangga, dan sahabat-sahabat saya baik di dunia maya maupun nyata. Judul dalam tulisan ini saya ambil karena saya menilai betapa mulianya hati seorang perempuan. Dia dilahirkan, dibesarkan, diberikan pendidikan yang tinggi oleh orang tuanya. Akan tetapi setelah menempuh pendidikan tinggi, mereka tidak berkesempatan bekerja dengan menghasilkan uang. Mereka memilih membesarkan putra-putrinya di rumah dengan berbagai pertimbangan.

Saya dan Keluarga
Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan sekolah dan lulus sarjana. Saya sangat berterima kasih kepada kedua orang tua saya, kakak-kakak dan adik saya yang telah membiayai saya menempuh pendidikan. Sungguh, jasa mereka tak bisa saya balas dengan materi yang saya miliki sekarang. Semoga yang yang telah mereka usahakan untuk saya mendapatkan pahala dan merupakan amal jariyah. Amin.

Gambar 2. Bersama Saudara Kandung (Motivator)

Saya juga sangat berterima kasih kepada keluarga besar saya, orang tua dan saudara-saudara kandung saya yang terus memotivasi kepada saya untuk mengamalkan ilmu yang saya peroleh dengan jalan mengajar. Tak lupa saya sangat berterima kasih kepada suami yang saya cintai, yang telah memberikan kesempatan dan mengizinkan saya untuk mengamalkan ilmu dengan bekerja di luar rumah. Kebetulan saya dan suami berprofesi sebagai guru.

Senang rasanya menjadi perempuan yang bisa bekerja dan berpenghasilan tetapi tetap tidak mengabaikan kewajiban sebagai isteri dan ibu bagi kedua putri-putra saya. Kebetulan kami tak memiliki asisten rumah tangga, jadi semua pekerjaan praktis kami kerjakan sendiri.

Saya bangga menjadi seorang ibu yang memiliki pengetahuan yang cukup. Bila anak saya memerlukan bantuan untuk mengerjakan PR atau sekedar menerangkan pelajaran matematika, fisika dan kimia, saya berusaha untuk membantunya. Tentu saja saya harus kembali membuka-buka buku. Dan mencari strategi supaya keterangan saya dengan mudah dipahami anak saya. Alhamdulillah, meski saya sarjana jurusan kimia sampai sekarang saya juga masih bisa menerangkan pelajaran matematika/fisika.

Saya teramat bangga karena kedua anak saya yang momong dan mendampingi dia bermain adalah sarjana pendidikan yaitu saya dan suami saya.

Tetangga dan Kenalan
Cerita yang kedua ini adalah tetangga saya. Beliau lulus dari Fakultas Kedokteran dan memperoleh gelar dokter waktu itu. Akan tetapi tetangga saya tidak bekerja sebagaimana mestinya sarjana kedokteran. Beliau bersyukur menjadi ibu rumah tangga. Beilau mendampingi suaminya yang berprofesi sebagai dokter umum.

Dengan menjadi ibu rumah tangga beliau tetap bisa mengamalkan ilmunya. Sebab beliau aktif pada tiap kegiatan sosial. Pasangan dokter ini memiliki seorang anak laki-laki. Seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh tangan-tangan dokter. Anak laki-laki satu-satunya ini berhasil menamatkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Ya, meskipun sarjana kedokteran, tetangga saya tetap bangga menjadi ibu rumah tangga.

Cerita yang ketiga ini adalah teman saya yang aktif menulis buku. Beliau lulus dari IAIN Su-Ka Yogyakarta. Akan tetapi teman saya memilih menjadi ibu rumah tangga dengan berbagai pertimbangan. Menjadi ibu rumah tangga dan mengurus 3 putra-putrinya. Beliau tetap bisa mengamalkan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan, yaitu dengan cara menulis buku. Selain menulis buku, beliau juga menulis artikel yang ditayangkan oleh majalah online. Dengan demikian, ilmu yang diperoleh tetap disampaikan kepada orang lain dan tentu saja ilmu yang bermanfaat ini merupakan amal jariyah.

Cerita yang keempat adalah tetangga saya waktu saya masih tinggal dengan orang tua. Sebut saja Dikta. Mbak Dikta pernah satu kelas dengan saya. Setelah lulus SMA, mbak Dikta melanjutkan ke FK Hewan di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Seingat saya, terakhir saya bertemu mbak Dikta ketika dia menikah. Waktu itu saya njagong mewakili Karang Taruna. Setelah itu saya tidak bertemu lagi sampai sekarang. Akan tetapi Allah mempertemukan kami di dunia maya, facebook. Kebetulan kami seangkatan, jadi kami bertemu di Group Alumni.

Dari pertemuan di facebook ini saya jadi tahu mbak Dikta tinggal dan memiliki 3 putra-putri. Tahun lalu ketika saya mudik lebaran, saya juga berusaha menemui mbak Dikta yang mudik. Sayang saya tidak bisa bertemu dengannya karena dia sedang bepergian dengan anak-anaknya.

Ternyata mbak Dikta tidak bekerja di luar, dia menjadi ibu rumah tangga. Suatu saat dia menulis status kurang lebih maksudnya : meskipun dia sarjana kedokteran, dia menganggur, karena suami tidak mengizinkan dia bekerja. Dari status itu ada beberapa komen. Di antaranya ada yang pro dan ada yang kontra.

Kalau saya menyarankan meskipun tidak bekerja, kita juga bisa mengamalkan ilmu. Lakukan saja menulis. Menulis bisa dilakukan di rumah, tanpa meninggalkan keluarga.  Kita bisa menulis sesuatu yang kita kuasai. Saya yakin mbak Dikta bisa. Pengetahuan dan wawasannya luas, bagi mbak Dikta menulis tentang hal yang berhubungan dengan hewan juga bisa. Apalagi kalau saya sering membaca statusnya tentang ketiga anaknya, luar biasa. Ketiga anaknya memberi ide cerita yang dahsyat. Sebenarnya tulisan yang kita buat memberi manfaat untuk orang banyak. Mbak Dikta juga bisa aktif di komunitas atau perkumpulan sesuai agama yang dipeluknya.

Mungkin, suatu saat bila saya bertemu langsung dengan mbak Dikta, dia akan saya bisiki, mbak bangganya kita, anak-anak diasuh dan dirawat oleh seorang dokter. Meskipun tidak bekerja di luar rumah, kita tetap bisa memberi manfaat untuk orang lain. Kita tetap bisa bangga menjadi ibu rumah tangga. Karena menjadi ibu rumah tangga tugasnya di rumah juga tidak bisa dianggap enteng. Membesarkan dan mendidik anak-anak menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berkarakter ini tugas yang amat berat.

Kalau dulu saya pernah membaca status mbak Dikta yang mengeluh karena tak memiliki penghasilan, tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Saya ingin mbak Dikta mencontoh kehidupan orang-orang di sekelilingnya. Sarjana kedokteran, sarjana psikologi, sarjana agama yang tidak bekerja di luar rumah tetapi tetap berpenghasilan dengan menulis. Mereka bisa mengawasi putra-putrinya bermain. Mereka bisa mendampingi putra-putrinya belajar. Mereka dekat dan ada ketika putra-putrinya membutuhkannya.

Saya salut kepada dua orang perempuan kuat yang saya kenal di daerah saya tinggal yaitu sarjana kedokteran yang tidak bekerja, mendampingi suaminya yang dokter umum dan sarjana kedokteran gigi yang tidak bekerja mendampingi suaminya yang dokter kandungan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Karanganyar, 27 Juni 2015


Terima kasih untuk keluarga besarku, suamiku dan kedua anakku, yang mengizinkanku tetap bekerja.

Jumat, 26 Juni 2015

Suamiku Amnesia dan Tunanetra

Gambar 1. Suami Sahabat Karib Berbaju Putih ketika Sehat

Cerita ini adalah kisah nyata. Kisah dari sahabat karibku ketika mengajar satu sekolah. Aku mengikuti perkembangan cerita tentang suaminya, karena kami sama-sama sering bertukat cerita. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan kesabaran pada sahabat karibku. Semoga apa yang dilakukan kelak bisa membuka pintu surganya. Amin.

Gambar 2. Suami Sahabat Karib Kaos Oranye setelah Sakit 

Allah menguji kesabaran sahabat karibku dengan kondisi sekarang suaminya yang amnesia dan tunanetra. Sahabat karibku sangat sabar. Menurutnya semua harus dihadapi, dijalani dan dicari jalan keluarnya. Mengeluh bukan merupakan solusi.  

Kisah selengkapnya bisa Anda baca di :

Kamis, 25 Juni 2015

Telur Asin Laku Berkat Sedekah

PENJUAL TELUR ASIN

Di rumah ibu Nur, terdapat bebarapa ekor ayam yang sengaja dipelihara untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Selain dimanfaatkan telurnya, juga diambil dagingnya. Dengan memberikan sisa-sisa makanan dan bekatul sebagai pakannya, ayam kampung yang diternakkan cepat beranak pinak.
Suatu hari, rombongan bebek milik tetangga RT ikut nimbrung makan di halaman rumahnya. Sebetulnya mengganggu, tetapi bagaimana lagi. Dibiarkan bebek-bebek itu ikut menyantap pakan untuk ternaknya.

Suatu malam terdengar suara bebek di belakang rumahnya. Ibu Nur tidak memedulikannya. Beberapa malam, satu bebek itu berada di kebun belakang rumah. Keesokan harinya, anak Ibu Nur memdapatkan tempat bertelurnya bebek beserta 11 butir telur bebek di kebun belakang rumah.

Ibu Nur berusaha mencari tahu siapa pemilik bebek tersebut. Akhirnya Ibu Nur mendapatkan titik terang, bahwa yang mempunyai bebek itu adalah Pak RW. Ibu Nur membawa telur bebek ke rumah Pak RW dan menyerahkan telur-telur bebek itu. Pak RW memberikan telur bebek itu kepada Ibu Nur, tetapi Ibu Nur menolak saat telur bebek itu diberikan padanya. Lalu Pak RW menerima telur-telur bebeknya.

Beberapa hari kemudian untuk mengisi waktu luangnya, Ibu Nur yang berprofesi sebagai guru membuat telur asin dan menjualnya. Bisa dibilang usahanya laku keras. Sukses. Alhamdulillah, bebek-bebek milik Pak RW memberi petunjuk, jalan sukses Ibu Nur sebagai pedagang telur asin.

Karanganyar, 25 Juni 2015

Catatan ini berdasarkan kisah nyata. meskipun sekarang Ibu Nur sudah tidak berjualan telur asin karena kesibukannya, tapi banyak orang masih sering menanyakan telur asinnya.
Baca juga perjalanan yang lain di :
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/terhindar-dari-ular-berbisa-karena-sedekah_558b67738f7e6177048b45fb

Selasa, 23 Juni 2015

Sedekah Pisang Dibalas Pisang

SEDEKAH PISANG DIBALAS PISANG
Apa jadinya bila ingin bersedekah tetapi tidak mempunyai uang. Sedekahkan saja apa yang kita punya. Seperti Mia. Ibu muda ini senangnya memberikan hasil kebun kepada tetangga, saudara, teman-teman guru, dan teman-teman pengajian.

Suatu hari Mia menyisihkan buah pisang yang sudah masak. Delapan belas buah pisang itu disiapkan untuk dibawa ke pengajian di rumah tetangganya. Mia merasa pisangnya terlalu sedikit, bagaimana nanti kalau yang datang banyak? Kalau tidak cukup?

Temannya yang sekaligus guru mengaji mengatakan, kalau tidak cukup kita-kita tak usah. Alhamdulillah, pisang ambon yang dibawa Mia cukup untuk ibu-ibu yang mengaji.

Beberapa hari kemudian, kurang dari tujuh hari, tetangganya datang memberikan pisang kepok hasil panen kebun di belakang rumah. Subhanallah. Pisang kepok itu lebih banyak, lebih besar, dan lebih berkualitas dari pisang ambon yang Mia sedekahkan dulu.
Ternyata benar, Allah akan mengganti yang kita sedekahkan. Gantinya lebih baik. Tanpa ragu-ragu, Mia kembali menyedekahkan pisang kepok ini dengan cara dibuat pisang goreng lalu dibagikan kepada tetangga lagi. Sebagian direbus lalu dibawa dan dibagi ke sekolah.

Karanganyar, 23 Juni 2015
Ada yang perlu dibaca yang lain, masih tentang sedekah.

Sabtu, 20 Juni 2015

Perjalanan Hidup Sang Difabel

MANDIRI DI TENGAH KETERBATASAN
Kontributor : Noer Ima Kaltsum
Bila Abu Warih minta ijin tidak bisa mengajar, biasanya dengan alasan karena isterinya sakit. Sakit dalam artian penyakitnya kambuh. Ummu Warih, isteri Abu Warih, sejak lama sakit. Kadang-kadang disertai gejala, akan tetapi sering tanpa gejala apapun, tahu-tahu kejang-kejang lalu pingsan. Ummu Warih sejak sebelum menikah memang sudah sakit-sakitan. Abu Warih juga sudah tahu penyakit calon isterinya.
Saat itu, Ummu Warih sering kumat-kumatan. Kadang tatapannya kosong, diam, lalu mendadak badannya kaku semua hingga kejang-kejang. Abu Warih kala itu tetap ingin menikahinya. Abu Warih berharap dengan menikah akan mengubah keadaan.
Setelah menikah dan mempunyai anak (namanya Warih), Ummu Warih masih sering kejang-kejang lalu pingsan. Akan tetapi kambuhnya tidak sesering dahulu.
Suatu hari setelah Ummu Warih mengalami kejang dan pingsan, Abu Warih membawa isterinya ke Rumah Sakit Umum Daerah. Dari hasil pemeriksaa dan CT-Scan, diketahui bahwa di otak terdapat gumpalan darah. Selain itu Ummu Warih juga mengalami gangguan syaraf.
Pengobatan rutin dilakukan. Abu Warih memang sangat sabar. Rasa sayang dan cintanya pada Ummu Warih bisa saya acungi jempol. Setahu saya Abu Warih tidak pernah mengeluh soal isterinya. Bila suatu saat berbagi cerita kepada saya dan teman-teman di kantor, itu hanya sekedar berbagi pengalaman. Siapa tahu di antara kami ada yang bisa memberi solusi atau jalan keluar.
00000
Suatu hari Abu Warih tidak masuk ke sekolah untuk mengajar. Teman-teman kantor bersilaturahmi ke rumah Abu Warih. Saya dan suami bersilaturahmi belakangan. Setelah sampai di rumah mereka, saya jadi tahu cerita yang sebenarnya.
Ummu Warih mengalami musibah. Pada saat itu dia berada di rumah sendiri. Anaknya ikut neneknya (guru TK) sekolah di TK. Kebetulan Ummu Warih akan memasak. Panci berisi air dipanaskan hingga airnya mendidih. Setelah itu Ummu Warih tidak sadarkan diri alias pingsan.
Ummu Warih sadar (tidak ada yang menolong) karena merasa kakinya kepanasan. Ternyata saat air dalam panci mendidih, Ummu Warih tiba-tiba mengalami kejang dan tak sadarkan diri. Air dalam panci yang dipegang tumpah. Tumpahannya mengenai pinggang sampai pahanya.
Setelah sampai di rumah sakit dan diberi pertolongan, Ummu Warih baru tahu kalau dari pinggang sampai paha kulitnya melepuh. Berhari-hari Ummu Warih merasakan sakit, panas, dan gatal yang luar biasa. Untuk berjalan saja Ummu Warih kesulitan.
Walaupun keadaannya sering sakit, Ummu Warih termasuk pekerja keras. Di rumah, dia tidak hanya tinggal diam. Ada yang bisa dikerjakan di rumah. Ada ternak ayam dan ikan lele yang bisa dipelihara. Agar tidak jenuh di rumah, Abu Warih membuka warung kelontong. Warung kelontongnya menyediakan sembako, rokok, bensin, solar, pulsa listrik, pulsa telepon seluler. Dengan kegiatan itu, ternyata mengurangi frekuensi kambuhnya penyakit Ummu Warih.
Selain pengobatan medis, Abu Warih juga mengusahakan kesembuhan isterinya dengan pengobatan alternatif (herbal).
Bila Abu Warih berada di rumah, lalu mendapati isterinya tiba-tiba diam, maka dengan sigap Abu Warih memberikan pertolongan pertama. Dengan penuh kasih sayang Abu Warih akan memijit dengan halus punggung dan tangan isterinya. Dengan sentuhan halus tersebut, peredaran darah menjadi lancar, otot tidak kaku dan isterinya terhindar dari kejang.
00000
Abu Warih tahu kalau saya suka menulis. Saya pernah usul pada Abu Warih, agar isterinya diminta untuk menulis buku harian. Siapa tahu menulis merupakan terapi yang bisa mengurangi, lebih-lebih dapat menyembuhkan penyakit isterinya.
“Akan saya coba, saya tawarkan pada isteri saya. Siapa tahu dengan menulis, hatinya menjadi lega dan plong. Bebannya bisa berkurang.”
Sampai di sini saya bisa menarik garis besar dari kisah Ummu Warih:
1.      Mungkin dahulu (waktu masih kecil) Ummu Warih pernah jatuh dan kena benturan benda keras, sehingga menyebabkan adanya gumpalan darah di otaknya, dan ada kelainan pada syarafnya,
2.      Kondisi Ummu Warih bila sedang drop yakni saat dan setelah menstruasi, lelah, dan banyak pikiran memicu sakitnya kambuh,
3.      Dengan adanya warung kelontong, Ummu Warih tetap bisa menjalankan aktivitas bekerja dan menghasilkan uang,
4.      Meskipun fisiknya lemah, tetapi Ummu Warih tetap berusaha bisa mandiri,
5.      (Mungkin) dengan mau beraktivitas menulis, penyakit Ummu Warih tidak akan sering kambuh.
00000
Karanganyar, 3 September 2014
BIODATA KONTRIBUTOR
Noer Ima Kaltsum, Guru Kimia di SMK Tunas Muda Karanganyar. Ibu dari dua anak yang cantik dan ganteng. Suka bercocok tanam dan menulis. Tinggal di Manggeh RT 04 RW 013 Lalung di Kabupaten Karanganyar. Pertama kali tulisan dimuat di Majalah Putera Kita (Kelas 2 SMA tahun 1988/1989), honornya bisa untuk membeli 20 mangkok mie ayam. Aktivitas menulis bisa dikunjungi di FB:  Noer Ima Kaltsum (Kahfi Noer), Blog : kahfinoer.blogspot.com  alamat surat : noerimakaltsum@gmail.com
Tulisan ini juga ditayangkan di www.kompasiana.com/noerimakaltsum 

Selasa, 16 Juni 2015

Kejutan di Malam Hari dari Suami

Beberapa waktu yang lalu, saya dibawakan oleh-oleh suami. Tidak terlalu mewah dan muluk-muluk. Maklumlah, suami tidak dari bepergian dalam acara piknik. Suami biasa latih tanding/persahabatan badminton. Kebetulan saya biasa jaga pintu alias pembuka pintu pada malam hari.
“Mi, wedang jeruk.”
“Ayah ki piye, to? Di rumah bisa buat wedang jeruk sendiri kok beli. Mbok jangan boros-boros.”
“Ditraktir kanca badminton. Ini beda lo, tidak wedang jeruk biasa. Wedang jeruk nipis-kencur.”

“Sami mawon.”

Selasa, 09 Juni 2015

Bedah Mulut Bukan Bedah Pipi

BEDAH MULUT
Baru-baru ini isteri teman  saya (Namanya mbak Endah) sering mengalami migrain, pilek, hidung mampet, dan pusing. Setelah periksa ke dokter spesialis dinyatakan bahwa penyebab sakitnya itu adalah gigi dan sinusitis. Saran dokter adalah mencabut gigi-gigi yang keropos tinggal sedikit-sedikit itu dan mengambil cairan yang ada di dalam hidung berupa nanah bercampur darah.
Begitu dokter mengatakan gigi yang akan dicabut enam, isteri teman saya ketakutan. Padahal enam gigi itu hanya tinggal sisa-sisa (puing-puing kecil serta akarnya). Teman saya menenangkan,”santai saja, Ma. Paling Cuma bedah kecil alias cabut gigi.”
Lain lagi tanggapan saudara teman saya, orang awam. Dia membayangkan yang tidak-tidak. Operasi gigi? Berarti nanti mulutnya disobek lalu dijahit lagi. Duh bagaimana nanti mukanya.
Setelah selesai operasi, dokter memberitahukan bahwa gigi yang dicabut sebenarnya sebelas. Ow, isteri teman saya lebih kaget banget.
“begini mbak, gigi geraham itu kalau keropos sampai habis, maka satu gigi jadi dua bagian. Jadi sebelas gigi yang saya maksud tadi terdiri dari enam gigi yang yang terbagi-bagi tadi.”
“oh, begitu.”
Saudara teman saya yang heboh menjenguk dan spontan berkata,”lo mukamu gakpapa. Kupikir pipimu dibuka lalu dijahit. Syukurlah kalau begitu, kamu masih tetep cantik.”
Saya dan teman-teman guru/karyawan juga menjenguk isteri teman saya. Kebetulan isteri teman saya di rumah. Salah satu teman saya yang menjenguk namanya Bu Larmi dengan tersenyum berbisik pada saya. “Kupikir yang dibedah pipinya. Soalnya gigi yang dicabut kan banyak.”
Waduh ternyata ada yang salah sangka. Saya tersenyum, teman-teman yang lain ternyata juga punya pikiran yang sama. Halah, ini bedah mulut bukan bedah pipi, bro. (SELESAI)
Karanganyar, 26 Maret 2014

Senin, 08 Juni 2015

Suami dan Sate

Suami dan Sate
Gambar : Malioboro kala senja
Aku paling benci pada orang yang munafik. Dibilang selingkuh tidak mau, tapi buktinya memang selingkuh. Meskipun tak mengakui hubungan itu, toh dunia telah tahu kalau kamu selingkuh. Mungkin benar kata orang, selingkuh itu memang enak. Bagi laki-laki seperti lagu Wedus, celemotan penyanyi yang menggoyang-goyangkan bokongnya, dengan bibir sensual dan pakaian seksi. Daripada beli wedus lebih baik beli satenya. Menusuk sekali lagu itu! Merendahkan kaum wanita. Bagi perempuan, yang penting terpenuhi materinya setelah itu kelar. Bah!
Aku cuma membatin, kok bisa-bisanya dua teman sekantor laki (Pak Jun) dan perempuan (Rin), menjalin hubungan terlarang alias berselingkuh. Menurut seorang teman yang menjadi ahli percintaan (dibilang ahli, titelnya apa?), fenomena semacam ini kerap terjadi karena ada peluang. Dua orang manusia berlainan jenis, di mana masing-masing sudah memiliki pasangan, tetapi merasa tidak bahagia, akan mencari kebahagiaan di luar.
Kalau sudah klik, maka hubungan tersebut tidak bisa disebut hanya teman biasa. Kata temanku, tak mungkin mereka yang berselingkuh menghabiskan waktu berdua hanya dengan makan siang, ngobrol atau jalan-jalan. Mereka sudah dewasa (oh, dewasa artinya 17 tahun ke atas) pasti akan melakukan hal yang lebih dari sekedar itu.
“Maksudnya?”tanyaku dengan mimik kubuat kaget. Padahal ya sudah tahu.
“Hubungan itu terjalin dan menghasilkan simbiosis mutualisme.”
“Oh,”mataku membulat.
“Halah,  pura-pura tak tahu.”
“Sumpah, aku tak tahu.”
“Yang laki butuh dikeloni, yang perempuan putuh materi. Klop kan.”
“Begitu ya. Sungguh menjijikkan. Kalau dengan pelacur, status perempuannya sama tidak?”
“Pelacur itu kata-kata tidak terhormat. Yang sedikit terhormat gitu, misalnya..... Wanita Idaman Lain.”
“Halah Pak, Gundik atau Gendakan po gak sama?”
“Ya, begitulah kira-kira.”
00000
Pada suatu hari, kami dikejutkan sebuah berita. Rin, teman perempuanku  jatuh dan kakinya patah. Kami sekantor membezuk di rumahnya. Keadaan temanku sungguh memprihatinkan. Setelah dipasang platina pada kakinya yang patah, dia tak bisa beraktifitas. Praktis dia harus libur. Berjalan saja tidak bisa!
Selang dua minggu kemudian aku mendapat pesan singkat dari Rin.
“Nyah, Pak Jun (Pria Idaman Lainnya) pa sudah mati atau masih hidup?”
Keningku berkerut. Berarti setelah menengok bersama-sama teman sekantor, Pak Jun belum menampakkan batang hidungnya lagi ke rumah Rin. Memang kenapa Rin? Bukankah kamu mengelak, dan kamu katakan bahwa kalian memang tak ada hubungan apa-apa. Lantas kalau Pak Jun tidak ke rumahmu, mestinya tidak masalah. Kamu di rumah ada suamimu. Suami yang kau anggap tak bisa memberikan kebahagiaan. Suami yang setia mendampingimu. Meskipun dia juga tahu perselingkuhan itu. Dia hanya diam tak berdaya, karena mulutmu seperti harimau.
Setelah kau tak berdaya, bisakah kamu memberikan kebahagiaan semu untuk Pak Jun? Bisakah kau dipeluk-peluk, dikeloni seperti guling? Padahal kamu berharap Pak Jun ada di dekatmu. Jangan berangan-angan kosong, Rin. Camkan itu! Kamu ibarat sate kambing yang dibeli. Dibayar, habis, ditinggalkan begitu saja.  Sakit? Tak usah sakit hati. Karena sejak awal kamu tahu. Kamu sudah membuat kesepakatan. Senang bersama-sama, susah sama pasangannya sendiri. Selesai, beres kan?
Ingat, Pak Jun bukan suamimu. Pak Jun punya isteri yang sah. Dia akan kembali pada isterinya. Atau mencari sate di warung yang lain. Sekali lagi Pak Jun tidak akan membeli wedus. Kalau membeli wedus, jelas repot mencari rumputnya. Itu kata penyanyi seberang, seberang sungai barangkali.
Rin, memang susah dan tak mungkin kamu menuntut macam-macam pada Pak Jun. Karena dia laki-laki dan punya uang. (Selesai)
Karanganyar, 7 Juni 2015
Cerita ini hanya fiktif belaka, kalau ada persamaan nama, itu hanya kebetulan saja. Cerita ini juga tayang di kompasiana.com: http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/rin-selingkuhannya-dan-suami_5575b1252f9773d754e599ee

Minggu, 07 Juni 2015

Kelangan Becak

KELANGAN BECAK
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Bila ingat kejadian ini, suami saya akan tertawa terpingkal-pingkal. Ceritanya, rumah saya yang mewah alias mepet sawah (benar-benar di tengah sawah), sering dititipi parkir sepeda motor dan becak.
Pedagang ember plastik, para buruh panen padi menitipkan sepeda motornya di depan rumah saya. Pengamen memarkir motor metik/skuter di teras rumah saya, lalu pergi mengamen di perumahan dekat rumah saya. Ada tukang becak (sudah tua, biasanya mangkal di sekitar rumah sakit umum daerah) yang memarkir becaknya di bawah pohon mangga. Tukang becak tadi lantas pergi ke perumahan, pekerjaan sampingannya adalah mengemis.
Tetangga saya yang tinggal di perumahan sering bercerita. Tukang becak tersebut ajek mengemis seminggu dua kali. Becaknya di parkir di depan rumah saya. Sebenarnya anak-anak Pak Tukang Becak melarang dan malu kalau bapaknya mengemis.
Suatu hari tukang becak tadi setelah mengemis hanya berjalan kaki menuju jalan raya. Suami saya mengejar tukang becak tersebut.
“Pak, pak, kok Cuma jalan kaki. Becaknya dimana?”tanya suami.
“ Becak saya ilang. Saya kelangan becak.”jawab tukang becak tanpa ekspresi.
“Memang becaknya tadi ditaruh di mana?”
“Di bawah pohon mangga, rumah tengah sawah itu.”
“Udah dicari belum, Pak?”
“Males Mas.”
Hari menjelang maghrib, agak gelap. Suami menunjukkan becak milik Pak Tukang Becak. Ternyata becaknya tidak hilang. Sengaja sama suami saya ditaruh di samping rumah, tapi tertutup semak-semak.
“Makanya jangan menaruh becak di depan rumah itu. Kalau hilang beneran gimana?”
Pak Tukang becak menuntun becak, setelah sampai di jalan depan rumah, lalu becak dinaiki. Pak Tukang Becak tadi tidak mengucapkan terima kasih babar blas. Oalah, jadi tadi memang disembunyikan, ta?  Ternyata ide menyembunyikan becak berasal dari orang-orang perumahan. Suami saya hanya pelaksana saja.
Karanganyar, 5 September 2014

Kamis, 04 Juni 2015

Rumah Tanpa TV, Kok Bisa?


Gambar: Tak ada TV, Yang Ada Printer dan Seterika
Kotak Ajaib
Hampir setiap berkunjung ke rumah teman, saudara, atau tetangga, rata-rata televisi alias kotak ajaib di rumah mereka menyala. Acara atau stasiun TV yang mereka pilih sangat bervariasi. Semua tergantung pada kesukaan masing-masing. Ada beberapa rumah yang tidak menyalakan TV, alasannya adalah ada kegiatan yang tidak bisa diselingi dengan menonton TV atau karena tidur.
Kotak ajaib yang menyajikan beragam acara memang sangat memikat. Mulai dari berita, reality show, hiburan, olahraga dan lain-lain. Dari beberapa tayangan tersebut membuat para penikmat TV akan ketagihan. Apalagi acara TV dimulai pagi hari dan akan berakhir pada dini hari. Bisa dikatakan hampir 24 jam kita disuguhi acara TV bila kita mau terus mengikuti.
Suatu hari teman-teman atau tetangga membicarakan acara TV yang menarik. Mereka seolah-olah minta pendapat saya tentang acara itu. Saya akan menjawab,”Maaf, saya tidak mempunyai TV.”
Biasanya mereka tidak percaya dengan apa yang saya sampaikan.
“Kok bisa di rumah tak ada TV?”
“Ya, bisa saja. Sudah terbiasa hampir 3 tahun di rumah kami tak ada TV.”
“Rasanya gimana, di rumah tak ada TV? Apakah anak-anak tidak protes?”
“Biasa saja. Rasanya nggak gimana-mana. Dulu awalnya anak-anak protes. Sekarang tidak lagi. Mereka terbiasa tidak melihat TV. Si kecil melihat TV bila berada di tempat penitipan anak. Kalau yang besar melihat TV kalau berada di rumah teman, saudara atau kakeknya.”
Rata-rata mereka menanyakan hiburan di keluarga saya. Ada radio, ada komputer, laptop plus modem, internet, musik, buku bacaan. Ada ayam, kelinci, burung/unggas, tanaman dan lain-lain.
Saya, suami dan anak-anak merasa nyaman berada di rumah meski tanpa televisi. Memang awalnya anak saya protes, mengapa kami tak memiliki TV. Dengan penjelasan sederhana dan masuk akal, anak saya bisa menerima dan memahami.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak ibu yang mengeluh. Tayangan televisi sekarang banyak yang tidak mendidik. Kekerasan, pergaulan bebas, gosip-gosip, lunturnya budi pekerti dan lain-lain. Akan tetapi tayangan yang positif pun sebenarnya juga banyak. Permasalahannya adalah orang tua tidak dapat mendampingi putra-putrinya  metika melihat TV.
Saya merasa aman karena tak memiliki TV. Namun demikian, saya tetap mengawasi anak-anak ketika mereka sedang membuka internet.  Semoga bermanfaat.
Karanganyar, 4 Juni 2015
Mungkin saya berbeda dengan orang lain. Sungguh perbedaan ini membuat dunia lebih indah. 

Selasa, 02 Juni 2015

Tips Untuk Ibu-ibu Bekerja Yang Tidak Memiliki Asisten Rumah Tangga


Gambar : Makanan Halal dari Suami

Pagi ini saya berbelanja sayuran pada tukang sayur yang biasa membuka lapak di depan rumah tetangga. Saya bertemu dengan orang-orang hebat, ibu-ibu yang bekerja dan di rumah tidak memiliki asisten rumah tangga. Obrolan/bincang-bincang kecil dimulai.
Dari beberapa kalimat-kalimat yang keluar dari ibu-ibu, sempat saya catat dalam hati. Karena saya biasa menulis dengan hati, maka catatan dalam hati mulai saya buka. Bincang-bincang pagi ini tentang pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Kalau mau jujur dan mau mengerjakan, sebenarnya pekerjaan rumah tangga tidak ada selesainya. Sehari diberi waktu yang sama, yakni 24 jam terasa kurang.
Tinggal ibu-ibu pandai membagi waktu. Kebetulan ibu-ibu yang berbelanja adalah ibu-ibu bekerja. Dengan demikian libur nasional benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Libur nasional, hanya libur bekerja di kantor. Pekerjaan di rumah tetap menunggu untuk dikerjakan.
Agar pekerjaan rumah dapat diselesaikan dengan sukses, ada beberapa tips dari ibu-ibu kreatif yang ngobrol tadi. Beberapa tips tersebut adalah:
1.      Bekerja ikhlas tak perlu menggerutu
2.      Segera mulai bekerja tak perlu menunda
3.      Dikerjakan sekarang atau nanti, akhirnya juga dilakukan sendiri maka perlu dicicil pekerjaannya
4.      Kalau lelah luangkan waktu istirahat
5.      Mengkonsunsi minuman yang cukup untuk memulihkan tenaga
6.      Jangan ngoyo
7.      Jangan memaksakan diri
8.      Kerjakan semampunya
9.      Bila suami sering protes ini itu katakan dengan sopan jangan membentak membuka perang
10.  Kalau suami tak membantu pekerjaan rumah tangga, biarkan saja
11.  Kalau anak-anak tak membantu pekerjaan rumah tangga, tak usah pasang aksi
Semoga yang kita lakukan mendapat balasan dari Allah. Sejatinya pekerjaan rumah tangga itu kewajiban suami bukan isteri. Mengapa begitu? Karena suami memiliki kewajiban untuk memenuhi sandang, pangan, papan buat keluarganya.
Mulai dari pakaian, suami wajib menyediakan pakaian yang layak untuk keluarganya. Termasuk bila kotor mencuci lalu menyeterikakan. Untuk makanan, mestinya makanan yang siap untuk disantap. Kalau makanan itu masih mentah, berarti suami mengusahakan untuk mematangkannya/memasak. Dan yang terakhir adalah rumah, tempat untuk berlindung. Yang penting suami menyediakan tumah yang layak untuk dihuni. Entah itu rumah sendiri atau mengontrak, yang penting layak huni dan bersih.
Maka yang merasa menjadi suami sekarang introspeksi. Sudahkah memberikan sandang, pangan dan papan untuk keluarganya secara layak? Untuk itu suami yang baik jangan sok alias mentang-mentang.
Kalau ibu-ibu mau melakukan pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas, semoga usaha ibu-ibu mendapatkan balasan dari Allah. Ibu-ibu yang baik dan kreatif, kalau sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah lalu menulislah minimal satu paragraf.

Karanganyar, 2 Juni 2015