Jumat, 30 September 2016

Memilih Tempat Air Yang Cocok | Kahfi Noer

Noer Ima Kaltsum : Memilih Tempat Air Yang Cocok
Seingat saya tahun 2016 meskipun musim kemarau tapi tiap bulannya ada hari yang dilewati hujan. Berarti hujan turun di musim kemarau. Saya tetap bersyukur. Karena hujan membawa berkah.
Petani dengan suka cita menanam padi dan sayurannya tanpa mengeluh kekurangan air. Air sumur tetap berlimpah. Bagi yang tak memiliki sumur, seperti orang yang menempati perumahan, biasanya menggunakan air dari PDAM.
Saya adalah salah satu konsumen yang menggunakan air dari PDAM. Walaupun saya membayar air tepat waktu tapi belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Pada jam-jam tertentu, air PDAM tidak lancar alias macet.
Oleh karena penggunaan air cukup banyak bila sedang mencuci, maka saya sering kehabisan air yang saya simpan dalam tandon air. Untuk mengatasi air habis saat saya butuhkan, maka saya menyiapkan 2 tandon air ukuran sedang dan ember-ember besar (berfungsi sebagai genthong).
Dengan cara saya ini, saya tak lagi mengalami kendala saat mencuci.  Memang, sebagai Ibu rumah tangga, saya harus bisa memecahkan masalah dengan segera.
Bisa saja kita menyimpan air di kolam yang kita buat (jangan dibayangkan kolam renang). Kolam air di sini adalah kolah (Bahasa Jawa), tempat air di kamar mandi yang dibuat secara permanen.
Akan tetapi bila kita ingin tempat air bisa kita pindah saat kita butuhkan, maka pemakaian tandon air lebih fleksibel. Semua tergantung dari kita. Kondisi kita dan orang lain berbeda, maka carilah tempat air yang cocok untuk keluarga.
Yang penting sebelum membeli atau membuat tempat air, maka perhitungkan dulu kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai kita salah memilih tempat air.
Kali ini tulisannya ala Ibu rumah tangga banget. Semoga bermanfaat. #Edisi hari terakhir bulan September. Peringatan hari berkabung, memasang bendera setengah tiang.
Karanganyar, 30 September 2016
 

Kamis, 29 September 2016

Penulis Pasti Bertemu Jodohnya

Noer Ima Kaltsum : Penulis Pasti Bertemu Jodohnya
dok.pri
Menulislah setiap hari. Sedikit demi sedikit, yang mudah dan yang ringan-ringan saja. Mudah dan ringan tergantung masing-masing orang. Tiap orang tidak sama dalam “menyikapi” mudah dan ringan tersebut.
Kalau sudah menulis, lalu jangan takut untuk mengirimkan tulisan ke media atau menyebarkannya. Tiap penulis pasti bertemu jodohnya. Ada penulis yang jodohnya menerbitkan buku, tembus media, membuat iklan, membuat cerita lucu untuk konsumsi terbatas dan lain-lain.
Jangan pernah merasa iri dengan jodoh penulis lain. Bersabar dan berbesar hati saja. Karena penulis sudah memiliki jodoh sendiri-sendiri dan tidak bisa dipaksakan.
Saya tidak iri dengan penulis lain. Saya belum menemukan jodoh saya, tapi saya yakin usaha keras ini akan membuahkan hasil.
Beberapa hari yang lalu ada tawaran mereview sebuah produk, saya berusaha semaksimal mungkin. Semoga kali ini berjodoh. Kalau berhasil, moga-moga honornya bisa untuk membeli Molen Tawangmaangu. Bahagia saya sederhana saja.  (Jodoh > honor > Molen Tawangmangu)
#Edisi Mencari jodoh buat penulis.
Karanganyar, 29 September 2016

Rabu, 28 September 2016

Malam yang Hujan

Noer Ima Kaltsum : Malam yang Hujan
dok.pri
Malam yang hujan
Pagi yang hujan
Siang yang hujan dan dingin
Sepotong singkong rebus dan secangkir the hangat
Menghilangkan rasa lapar
Kusyukuri
Dua teman Maharani tidak masuk karena sejak pagi hujan deras. Maharani berada di ruang sekretariat. Beberapa orang guru sudah siap dengan aktivitasnya.
Tak ada sesuatu yang istimewa. Semua berjalan seperti biasa dan apa adanya. Maharani berharap hujan segera reda. Kecemasannya bukan karena hujan, melainkan karena Raju yang masih sakit dia titipkan ke TPA. Sedangkan Puja cukup sehat dan kondisinya baik.
Selesai mengawasi, Maharani segera meluncur menjemput Raju. Alhamdulillah, semua baik dan Raju lebih ceria dari hari kemarin. Kekhawatiran Maharani tidak terbukti.
Akhirnya, pada saat malam pun Raju dan Puja dalam keadaan baik-baik saja. Maharani berbisik, Raju… selalu sehat ya. Jangan sakit lagi
Karanganyar, 28 September 2016 

Selasa, 27 September 2016

Inilah yang Dilakukan ketika Anak Sakit

Noer Ima Kaltsum : Inilah yang Dilakukan ketika Anak Sakit
dok.pri
Hari ini Maharani menyerah pasrah, si Thole terpaksa tidak masuk sekolah dan Maharani juga harus merawatnya. Thole masih BAB encer dan muntah. Tidak mungkin Thole sekolah atau Maharani titipkan ke Taman Penitipan Anak. Jelas itu sangat merepotkan pengasuhnya. Apalagi, ada perjanjian di awal bila anak sakit maka jangan dititipkan di TPA. Dan, Maharani tak memiliki asisten rumah tangga alias pembantu.
Pagi-pagi Maharani sudah membuat surat izin, tidak bisa melaksanakan tugas di sekolah karena merawat anak yang sedang sakit. Maharani berharap ada permakluman dari sekolah. Mahendra, suaminya bertugas mengantarkan surat izin ke sekolah.
Setelah mengantar Dhenok di pemberhentian bus, lalu ke sekolah Maharani, akhirnya Mahendra sampai di rumah dengan membawa dua bungkus nasi buat sarapan.
“Ketemu Ketua Guru. Dia malah bilang, anak saya juga sakit.”
Errrrggghhh, Maharani sedikit dongkol. Itu artinya Ketua Guru tidak percaya kalau anaknya tidak bisa ditinggal. Ketiga anak Ketua Guru sudah gerang-gerang (alias gede-gede), dua anak perempuannya sudah kuliah dan yang satu kelas 1 SLTA. Kalau anaknya sakit, wajarlah ditinggal wong sudah bisa mengatasi dirinya sendiri.
La ini, anaknya Maharani baru kelas 1 SD! Nggak mungkin ditinggal di rumah sendiri, bukan? Ternyata di group WA Maharani, ada beberapa komentar dari teman-temannya. Intinya kalau Ketua Guru tidak percaya alias maido anaknya Maharani benar-benar tak bisa ditinggal. Mereka ikutan geram. Sabar-sabar.
Daripada memikirkan ucapan Ketua Guru, Maharani malah lebih focus menulis. Maharani tak ambil pusing dengan apa yang dikatakan Ketua Gurunya. Ya, menulis memang dapat untuk terapi. Mengobati luka di hati dengan menulis.
Sambil menulis, Maharani terus memperhatikan si Thole. Ada yang berbeda untuk hari ini. Sebenarnya, dalam sehari-hari kedua anak Maharani lebih dekat dengan ayahnya. Namun bila sakit, tetap saja yang dicari adalah Ibunya. Maharani yakin, anak manapun bila sakit cenderung lebih dekat dengan Ibunya. Mereka bilang,”Mami adalah segala-galanya bila anaknya sakit.”
Maharani tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa dekat dengan anak-anaknya dan merawatnya ketika mereka sakit. Kesibukan Maharani dan Mahendra membuat pertemuan dengan kedua anaknya waktunya sangat singkat. Maka inilah waktu yang tepat untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Karanganyar, 27 September 2016

Senin, 26 September 2016

Jangan Menunda Menulis

Noer Ima Kaltsum : Jangan Menunda Menulis
dok.pri
Saya menghidupkan hape. Ketika saya klik WA,  WA diserbu pesan masuk banyak sekali dari group WA dan chat pribadi. Ada yang membuat saya ingin bersegera melihat chat. Dari Ustazahnya si Thole sing bagus dewe. Isinya : Bu, ni faiz katanya sakit perut, mau dijemput tidak? #Astaghfirullaah. Glek! Pesan dikirim pukul 10,15, sedangkan saya membuka hape pukul 12.30.
Tanpa pikir panjang saya langsung menelepon suami. Saya meminta suami untuk segera menjemput Thole, tidak pakai nanti. Loh, kok bukan saya yang langsung menjemput. Huh, nggak tanggung jawab!
Saya bilang kepada teman-teman panitia MID kalau anak saya di pondok sakit. Rata-rata mereka menganjurkan saya untuk segera pulang. Saya bilang kalau suami sudah meluncur ke pondok.
Tugas siang ini adalah lembur untuk menyelesaikan menyiapkan soal, lembar jawaban dan lain-lain yang akan digunakan untuk MID. Terpaksa saya tidak lembur sampai selesai semua. Saya harus pulang.
Meskipun saya sudah minta kepada suami untuk menjemput Thole, akhirnya saya juga ke pondok. Saya bertemu wali kelasnya. Menerima penjelasan sang wali kelas, saya menceritakan yang terjadi pada pagi hari. Thole memang bilang perutnya sakit (BAB encer). Makannya tidak bernafsu, tidak seperti biasanya.
Sampai di rumah, si Thole kelihatan lemas. Sedikit kuyu, badannya panas. Sore hari saya periksakan ke dokter. Di rumah makanan dan minuman yang baru saja masuk keluar semua, muntah. Saya paksa untuk makan 2 sendok saja memakai keripik usus. Alhamdulillah tidak muntah.  Sebelum tidur, Thole minta untuk makan nasi lauk keripik usus lagi.
Thole terus bleksek, klipuk, tidur manis. Giliran saya akan menulis. Menyelesaikan tugas membaca buku. Ceritanya mau ikut lomba menulis karya ilmiah yang diselenggarakan Perpustakaan Karanganyar. Sebenarnya saya tahu sudah sejak lama. Biasalah, menunda  dan menunda. Padahal jauh hari bisa dicicil menulis sehari satu halaman. Coba, 30 hari 30 halaman ya kan?
Tapi memang sensasinya kalau menulis itu di depan pintu DL. Ah, mungkin karena saya masih belum bisa diajak bekerja ber-DL. Bekerja ber-DL, kasihan anak-anak dan suami. Mereka bakal protes keras.
Semoga masih ada waktu untuk menulis dan menuntaskan buku bacaan. Sabar-sabar, ini menulisnya juga sambil mengawasi si Thole. Sebentar-sebentar pegang dahi dan lehernya Thole, sudah meredakah suhu badannya?
Sepertinya tidurnya nyaman, tidak gelisah. Anteng ya le, mesakke mami nek dirimu panas. Lekas sembuh cah bagus, terus besok ngopeni ayam yang terlantar seharian ini.

Karanganyar, 26 September 2016

Minggu, 25 September 2016

Saya Pernah Salah Jalan

Noer Ima Kaltsum : Saya Pernah Salah Jalan
dok.pri
Malam ini, rintik hujan terdengar dari genteng rumah. Udara sedikit dingin, dan perut rasanya krucuk-krucuk minta diisi. Kalau makan nasi sepertinya berat. Saya ambil satu buah pisang lalu menyantap dengan penghayatan yang tulus. Sambil makan pisang, di dapur saya melihat ada terigu, tepung kanji, dan bumbu dapur.
Akhirnya saja tertarik untuk membuat cilok seperti buatan kerabat saya beberapa hari yang lalu. Tak perlu banyak-banyak, sebab saya tidak bermaksud untuk membuka bisnis cilok. Hanya ingin mencoba membuat saja.
Selesai membuat cilok dan mencicipi, aktivitas berganti. Acara selanjutnya adalah menulis. Kali ini saya akan bercerita tentang masa silam yang tak pernah saya lupa dan pernah saya sesali. Namun, sekarang saya mengambil hikmah dari semua itu. Apaan sih? Tentang : saya pernah salah jalan.
Saya pernah salah jalan. Saya kehilangan arah. Saya berjalan semau saya, karena kurang dorongan. Jangan berprasangka negative dahulu. Bukan apa-apa, saya pernah salah jalan di sini yang saya maksud adalah saya salah melakukan pekerjaan. Masalah pekerjaan saja. Bukan yang lain.
Sejak kelas 2 SMA, saya sudah menulis. Waktu itu tahun 1988-1989 (wow, berarti saya tak muda lagi dong sekarang? Ya, begitulah kira-kira). Karya saya pernah dimuat di majalah local. Ketika kuliah, tulisan saya juga pernah dimuat di Koran local. Bahagianya saat itu, saya dapat honor. Lumayanlah kalau untuk beli mie ayam bisa dapat 20 mangkok.
Karena punya modal mau menulis, seharusnya saya melanjutkan menulis. Waktu itu saya tidak mengenal komunitas, tidak mengenal orang per orang yang bisa menulis. Tidak ada kompor yang memanas-manasi saya. Kegiatan menulis saya hanya sekadar menulis cerita yang saya simpan. Mengapa demikian? Karena usaha saya mengirimkan naskah ke majalah-majalah remaja tak membuahkan hasil.
Saat itu saya malah berhenti menulis. Saya merasa tidak memiliki bakat menulis yang bisa menggedor pintu redaksi. Akhirnya saya pindah haluan. Saya malas menulis cerita anak/cerpen remaja. Saya hanya menjadi penikmat dengan membaca cerpen. Aktivitas saya untuk mendapatkan uang dengan cara menjadi “pekerja lepas” yang menerima rupiah tak seberapa. Saya ikut-ikutan tetangga menjahit ikat pinggang, dompet, tas dan sandal dari kulit.
Dalam menjahit ini, memerlukan waktu yang lama dan upah yang saya terima tak seberapa. Kalau dipikir-pikir rugi saya. Apa boleh buat, waktu itu saya ingin mengisi waktu luang dengan beraktivitas.
Padahal kalau saya mau meneruskan aktivitas menulis, lama-kelamaan tulisan saya kan bisa jadi berkualitas. Sayangnya, zaman dahulu kala belum banyak komunitas seperti sekarang. Interaksi antar penulis juga tidak seintens sekarang. Penulis pemula tak memiliki “Kompor” yang mampu memanas-manasi.
Mungkin itulah jalan yang harus saya tempuh, yaitu jalan yang salah. Tapi saya sekarang bisa mengambil hikmah. Ternyata saya termasuk orang yang “nrimo” menerima uang recehan.
Belajar dari salah jalan tadi, kini saya berhati-hati agar tidak salah jalan lagi. Beruntung, saya hanya salah jalan tetapi tidak tersesat lebih jauh. Sebab pada akhirnya saya mengajar dan tetap menulis. Yaitu menulis materi pelajaran.
Kalau sekarang dunia literasi sangat dekat dengan saya karena saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Apalagi sekarang bisa belajar bersama dengan penulis-penulis yang namanya tak diragukan lagi. Bergabung dengan komunitas menulis, mendapatkan rupiah dengan menulis.
Bagaimana perasaan saya saat ini? Senang sekali!

Karanganyar, 25 September 2016

Mengobati Luka dengan Menulis

Noer Ima Kaltsum : Mengobati Luka dengan Menulis
dok.pri
Maharani hatinya tercabik-cabik. Setelah menceritakan apa yang dialami kepada suaminya, Mahendra, biasanya Maharani langsung menulis. Dengan menulis, apa yang ada di hati keluar semua. Kejengkelan, dongkol dan sesak di dada seolah keluar. Batu sebagai beban yang membuatnya sesak dan sulit bernafas kini tak lagi ada. Plong! Lantas Maharani bisa tersenyum dan merasa merdeka.
Kadang tulisan Maharani seperti tulisan yang konyol. Tapi mungkin itulah yang bisa diungkapkan. Ketika ada yang mengkritik atau protes, karena orang lain tak pernah tahu apa yang ada di hatinya. Maharani cukup “mendewasakan” diri, mau mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya.
Menulis, itu dilakukan sudah sejak lama. Bukan baru seminggu, sebulan atau setahun terakhir. Buku harian yang entah kini berada di mana ditulisnya kala dia kelas 2 SMP. Buku harian yang berbeda diisi dengan tulisan hingga lulus kuliah. Mengapa menulis buku harian? Ya untuk mengeluarkan uneg-uneg, bercerita, dan terapi.
Mengobati luka hati dengan menulis. Jangan ditanya seberapa ngefek menulis tersebut. Yang jelas dari menulis ini, kadang ada energy yang tiba-tiba dikeluarkan dalam bentuk penyelesaian masalah. Hati yang awalnya panas menjadi lebih dingin. Hati yang perih menjadi tenang.
Kalau tidak menulis, entahlah bagaimana cara untuk mengobati luka-luka di hati. Kala malam rintik hujan menemani sepinya, menulis adalah sebuah aktivitas perenungan yang dahsyat. Merenung yang bermanfaat. Berbicara dengan dirinya sendiri lewat tulisan.
Sebenarnya bukan hanya lewat menulis Maharani mengobati luka di hati. Berkomunikasi dengan Sang Pencipta adalah segala-galanya. Mengambil air wudhu, sujud dan zikir. Berdoa, mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya. Berharap bebannya berkurang, punggungnya tegak dan dia bisa menatap dunia tidak dengan menunduk. Bukan berarti memakai pakaian kesombongan.
Dengan doa dan menulis, bila berbicara dengan seseorang maka tidak akan sembarangan mengatakan sesuatu. Kalimatnya bermutu dan berkualitas, logis, sistematis, dan tidak amburadul. Berbicara tidak dengan emosi dan bisa menahan diri. Menghargai lawan bicara dengan cara menjadi pendengar yang baik.
Itulah cara mengobati luka dengan menulis ala Maharani

Karanganyar, 25 September 2016

Sabtu, 24 September 2016

Kwek-Kwek Plus terdiri dari Govinda, Sanjay, Akhsay dan Maharani

Noer Ima Kaltsum : Kwek-Kwek Plus terdiri dari Govinda, Sanjay, Akhsay dan Maharani
dok.pri
Maharani, Sanjay dan Govinda masuk ruangan ketua guru. Mendengarkan nasehat tanpa membantah. Disaksikan Amitabh mereka bertiga tangannya mulai mengepal-ngepal. Ingin rasanya tangannya memukul meja. Ketiganya bertahan.
Hari ini sungguh merupakan hari yang naas bagi ketiganya. Mereka bertiga bergabung dalam komunitas Kwek-Kwek Plus. Kwek-Kwek Plus terdiri dari Govinda, Sanjay, Akhsay dan Maharani.hari ini secara kebetulan Akhsay bebas merdeka.
Setelah wejangan dan nasehat tak bermutu diberikan oleh ketua guru, mereka pun meninggalkan ruangan. Maharani terkekeh. “Lo, aku ngobrol sama siapa? Aku tadi di depan pintu Cuma sendirian lo. Kalau aku dibilang ngobrol, berarti gila dong, masa sih sendirian kok ngobrol.”
Sanjay menghibur,”gak usyah digagas ketua guru tadi. Biarkan saja dia ngoceh semau udelnya.”
Govinda bilang,”Wah, kita jadi korban salah tangkap dong.”
00000
Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan? Ceritanya ketua guru memanggil Kwek-kwek karena mereka mengobrol ketika mengawasi ujian kenaikan tingkat sabuk. Ketua guru melihat ketiganya dari tempat parkir. Padahal kenyataannya  Maharani berdiri di pintu ruang 16 ujian, Govinda berdiri di ruang 17, Sanjay berdiri di luar ruangan berbincang dengan Raju.
Kenapa jadi Maharani, Sanjay dan Govinda yang dinasehati. Bukankah mereka tidak mengobrol? Mungkin dari jauh kelihatannya Kwek-Kwek ngobrol bertiga. Padahal nggak sama sekali. Kok ketua guru tidak bertanya terlebih dahulu kepada mereka, apa yang mereka lakukan?
Ternyata oh ternyata Kwek-Kwek ini memang dikenal sebagai komunitas yang bikin geram ketua guru. Apa yang dikatakan Kwek-kwek selalu mendapatkan dukungan dari komunitas lain. Nah, biar jatuh martabatnya maka ketua guru menegur dengan cara yang sadis di depan Amitabh
Dasar Kwek-Kwek Plus! Baginya, teguran sadis tadi justeru menambah kekuatan komunitasnya semakin bisa mempengaruhi komunitas lain.
Tapi memang hidup ini jangan melulu melihat sesuatu dari kaca matanya sendiri. Hidup ini jangan penuh dengan prasangka buruk hanya karena sebuah dendam kesumat. Hidup ini harus adil dan obyektif. Agar orang lain tidak menerima sebuah sanksi padahal orang tersebut tidak memiliki kesalahan.
Sebuah mobil di parkir di depan toko swalayan. Sebelah kiri toko adalah apotek dan sebelah kanan toko adalah warung makan. Bila mobil itu diambil gambar dari tempat yang berbeda, tentu hasilnya tidak sama. Bila gambar diambil dari warung makan, hasilnya berbeda dengan bila gambar diambil dari apotek atau toko swalayan itu sendiri.

Hidup di era sekarang ini harus cek dan ricek, konfimasi, agar tak terjadi miskomunikasi dan salah paham (Halah iki apa). Meski sering kena fitnah dan diperlakukan tidak adil, Kwek-Kwek Plus tetap eksis.
Karanganyar, 24 September 2016

Jumat, 23 September 2016

Membaca 15 Menit Selain Buku Pelajaran Sebelum KBM

Membaca 15 Menit Selain Buku Pelajaran Sebelum KBM
dok.pri
Kebiasaan membaca yang diawali dari rumah, bersama keluarga, Ayah, Ibu dan anak-anak merupakan kegiatan yang menyenangkan. Dengan membaca, pengetahuan kita akan bertambah, ilmu kita semakin berkembang. Kita menjadi manusia dinamis, bukan statis. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak membaca.
Demikian juga ketika di sekolah, siswa dan guru sebagai keluarga di kelas, membiasakan diri untuk membaca. Membaca selain buku pelajaran selama lima belas menit. Tujuannya adalah untuk memotivasi agar siswa gemar membaca dan merasa tidak terbebani selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Guru sudah seharusnya memberi teladan, memberi contoh untuk gemar membaca. Dengan membaca (banyak membaca) wawasan dan ilmu pengetahuan akan semakin banyak. Guru lebih menguasai materi.
Siswa-siswa sekarang kritis. Bila bertanya kadang-kadang di luar materi pelajaran. Guru dituntut untuk bisa menjawab pertanyaan siswa. Jawabannya harus logis. Agar jawaban yang disampaikan tidak menimbulkan keragu-raguan, guru harus memiliki beberapa referensi. Paling tidak guru bisa memberikan jawaban yang tepat.
Kadang, siswa bertanya bukan karena tidak tahu. Akan tetapi pertanyaan siswa sifatnya hanya untuk mengetes gurunya. Apakah guru tersebut bisa menjawab/menguasai materi atau bukan.
Di kantor gerakan membaca mungkin sudah berjalan, yaitu membaca Koran. Akan tetapi ternyata hanya beberapa siswa saja yang suka memanfaatkan waktu untuk membaca Koran, buku atau apa saja di perpustakaan (bila waktu istirahat tiba).
Bila guru dan siswa memiliki kebiasaan membaca ketika di rumah, maka di sekolah pun guru dan siswa juga akan menggunakan waktu luangnya untuk membaca. Nah, kalau sudah membaca lalu menulis.
Menulis, bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Sama halnya dengan membaca, menulis juga perlu pembiasaan dimulai dari rumah. Agar tidak merasa jenuh, maka siswa diminta untuk menulis selain materi pelajaran. Membaca selama lima belas menit dan menulis selama lima belas menit, tentang materi di luar materi pelajaran, rasanya menyenangkan. Kalau membaca dan menulis dianggap aktivitas yang menyenangkan, maka bersiap-siaplah untuk menyediakan buku bacaan selain buku pelajaran.
Semoga bermanfaat.
Karanganyar, 23 September 2016 

AH TENANE SOLOPOS Cokelat CFD Oleh Noer Ima Kaltsum

AH TENANE (Versi Naskah Asli)
dok.pri
Cokelat CFD
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Seperti biasanya Jon Koplo membuka lapak minuman cokelat saat CFD. Cokelat yang dijual adalah panas dan dingin. Orang-orang yang berada di sepanjang jalan Lawu antara Alun-alun sampai Taman Pancasila relatif sama.
Koplo dengan sabar menanti pembeli. Dia berharap setelah matahari bersinar agak tinggi dagangannya bakal laris manis. Tapi yang terjadi, setelah orang-orang meninggalkan area CFD, cokelatnya hanya laku 4 (empat) gelas. Koplo agak kecewa, penjualannya hari Minggu itu tak sesuai target.
Ketika pulang, sampai di rumah dia cerita pada isterinya, Cempluk, tentang sepinya pasar cokelat hari itu.
Mami, hari ini cokelatnya tidak laku. Padahal pengunjung CFD hampir sama seperti Minggu sebelumnya. Aku hanya bisa menjual cokelat panas 4 gelas saja.”
“Disyukuri saja, Papi. Beruntung masih laku. Coba kalau tak laku babarblas, semakin menderita.” Cempluk berusaha menghibur suami tercinta.
Piye ta, diajak rembugan malah jawabannya tak memuaskan.”
“Begini lo, Pap. Hari ini Minggu, orang-orang banyak yang puasa sunah, puasa Arofah. Besok kan Iduladha. Biasanya sebelum Iduladha, puasa sehari.”
Blaik, Koplo lagi ingat kalau Minggu itu adalah Puasa Arofah. Maklum, Koplo sendiri tak pernah puasa, baik Ramadhan maupun puasa sunah. “Pantas saja Cokelatku nggak laku.”
Ternyata jualan cokelat juga harus memperhatikan kalender ta. (Selesai)
dok.pri
Karanganyar, 17 September 2016

Kamis, 22 September 2016

Menumbuhkan Budaya Literasi di Rumah

dok.pri
Menumbuhkan Budaya Literasi di Rumah
Dalam satu bulan, ada berapa buku yang kita beli? Atau dengan kata lain, dalam tiap bulan koleksi buku kita apakah bertambah? Mungkin pertanyaannya kita ubah menjadi dalam setiap tiga bulan atau enam bulan atau bahkan satu tahun, koleksi buku kita bertambah berapa?
Tiap bulan satu buku, berarti tiap tahun bertambah 12 buku. Atau tiap tahun 6-8 buah buku, 3-4 buku atau hanya satu buku bahkan tidak bertambah sama sekali? Apakah yang menjadi alasan koleksi buku kita tidak bertambah? Karena harga buku mahalkah? Atau karena tak memiliki kesempatan untuk membaca? Atau karena tak suka membaca?
Kalau harga buku mahal, kita bisa menyiasati membeli buku saat ada bazaar, diskon, atau pameran buku. Bahkan kalau mau kita bisa menemukan buku dengan harga miring, kualitas bagus saat buku diobral. Alasan lain tidak membeli buku adalah malas ke toko buku/pameran.
Kalau kita tak memiliki waktu khusus untuk membaca buku, maka membaca bisa dilakukan dengan mencicil. Tiap membaca buku sediakan waktu 15 menit saja. Kalau kita konsisten membaca, tentunya satu buah buku akhirnya tuntas terbaca juga, bukan?
Seandainya kita tak memiliki minat untuk membaca, setidaknya ditumbuhkan dulu minatnya. Atau lebih keras lagi kita memaksakan diri untuk membaca. Selanjutnya bila kita awalnya memaksakan diri, lambat laun akan terbiasa membaca. Membaca menjadi kebiasaan atau habitus. Barulah pada tingkat yang lebih tinggi, membaca buku adalah karena kebutuhan. Kalau tidak membaca buku rasanya ada yang kurang.
Untuk menambah wawasan, kita membutuhkan bahan bacaan. Membaca bukan hanya sebatas membaca buku atau artikel saja. Membaca di sini artinya lebih luas. Alam sekitar, lingkungan dan semua yang ada di langit dan bumi adalah sumber pengetahuan yang bisa kita baca.
00000
Orang tua dan anak-anak bisa membiasakan diri untuk membaca. Budaya membaca di rumah harus ditumbuhkembangkan. Orang tua memberikan teladan, memberi contoh konkrit. Tidak perlu muluk-muluk, budaya membaca di rumah diawali dengan membaca bacaan yang ringan. Untuk menambah pengetahuan.
Agar anak-anak juga memiliki minat membaca, di saat jadwal membaca bersama maka jauhkan gadget dari tangan atau simpan terlebih dahulu. Memang, membaca bukan hanya dari buku fisik saja, bisa membuka e-book atau internet. Akan tetapi tetap berusaha untuk membaca tulisan manual.
Banyak yang membaca dengan membuka internet atau e-book. Membaca buku fisik dan e-book memiliki kelebihan dan kekurangan. Silakan, semua tergantung dari Anda sebagai pembacanya.
Yang jelas, budaya membaca ini harus dimulai dari rumah. Setelah membaca lalu menulis. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang serasi. Kalau bisa kita gemar membaca dan menulis.  Semoga budaya literasi ini bisa dilakukan tiap-tiap keluarga.
Karanganyar, 22 September 2016

Rabu, 21 September 2016

Badan Langsing Karena Slilit

dok.pri
Badan Langsing Karena Slilit
Bagi sebagian orang mungkin akan bilang tidak ada hubungan antara slilit dengan badan menjadi langsing. Coba saja dihubungkan alurnya. Rasanya tak masuk akal!
Bagi Maharani, semuanya bisa saja terjadi. Ceritanya begini. Pada hari Tasyrik kemarin, Maharani makan daging kambing di sekolah. Tentu saja daging kambing dari belajar kurban anak-anak/guru (guru-gurunya sudah berkurban sendiri di rumah masing-masing). Sebenarnya tidak begitu banyak makannya.
Apes! Ternyata daging kambing dalam gule tidak terlalu empuk. Nah, inilah permasalahannya. Daging tersebut terselip di antara giginya, gigi bagian atas. Tidak disangka tragedy slilit inilah membuat gusinya sakit. Lazimnya orang menyebut sakit gigi.
Sakit gigi yang tidak sebentar kemudian hilang. Linu, senut-senut tersebut tidak hanya terasa di bagian gusi yang kena slilit. Saraf lainnya kena. Jadilah gusi bagian atas dan bawah di rahang kanannya sakit.
Tak disangka slilit tadi berubah menjadi penyakit komplikasi, sakit gigi, sakit kepala, nafsu makan berkurang dan maag. Maharani lantas tak bernafsu untuk makan. Keadaan ini membuat perutnya perih, maagnya kumat.
Mau-tidak mau Maharani harus minum obat. Maharani minum parasetamol. Teman-teman tertawa tahu Maharani sakit gigi minumnya parasetamol. Sebenarnya tak ada yang salah. Hanya tak biasa saja.
Oleh karena sakitnya sampai luar biasa, bibir bagian atas Maharani sampai bengkak. Bahasa kerennya njenor! Dengan minum parasetamol, sakit giginya berkurang. Tapi untuk makan, gusinya masih sakit. Maka Maharani mengurangi porsi makannya.
Gara-gara slilit inilah, tubuh Maharani menjadi sedikit langsing. Nah, itulah hubungan antara slilit dan badan langsing. Masih tidak percaya? Jangan coba-coba ya? Sakit gigi itu sakitnya pakai sekali (sangat). Jangan pernah bilang daripada sakit hati lebih baik sakit gigi! Orang yang mengatakan daripada sakit hati lebih baik sakit gigi, itu omong kosong, bohong besar!
Cukup sekian terima kasih.
Karanganyar, 21 September 2016

Senin, 19 September 2016

AH TENANE : Aksi Hanoman Oleh Noer Ima Kaltsum

Dimuat di SOLOPOS Selasa, 13 September 2016
dok.pri

AH TENANE
Aksi Hanoman
Oleh : Noer Ima Kaltsum, S.Pd.
Belum lama ini, Koplo, Gembus dan kawan-kawan mementaskan sendratari singkat Rama-Sinta. Pentas diadakan di Jl. Lawu, Jaten untuk menyambut datangnya Estafet Tunas Kelapa dari Solo.
Di hadapan tamu undangan yang menunggu ETK, Koplo dan sohib-sohib beraksi, pertunjukan dimulai. Ada tiga kera, Hanoman, kera merah dan kera kuning. Saat itu waktu masih pagi. Karpet digelar di pinggir jalan. Pertunjukan sukses. Penonton dan tamu undangan bertepuk tangan.
Setelah ETK tiba di Jaten, ternyata Bapak Camat setempat meminta Koplo dan kawan-kawan pentas lagi. Koplo dan kawan-kawan beraksi lagi. Kali ini lebih semangat, bahkan permainan 3 kera termasuk Hanoman sangat aktif. 3 kera melompat ke sana-kemari.
Setelah pertunjukan selesai, akhirnya Koplo dan kawan-kawan meninggalkan panggung dadakan. Mereka kemudian maksi di warung makan.
“Kenapa kakinya pincang pak Koplo?”Tanya Cempluk
“Iya nih Bu Cempluk, tiga kera tadi kakinya lecet-lecet.”
“Pertunjukan yang sukses, bukan?”
“Jelas, donggg,”kata Gembus.
“Kita 2 kali main. Pertunjukan kedua lebih atraktif dibanding pertunjukan pertama.”
“Kenapa?”Tanya Cempluk penasaran.
“Pertunjukan pertama masih pagi, aspal belum panas. Nah pertunjukan yang kedua, udara panas, aspal panas, padahal karpetnya sempit. Kami tak memakai alas kaki. Nah, biar nggak kepanasan kakinya, kami lompat-lompat dengan sigap. Itu bukan atraktif/menghayati peran, tapi karena kepanasan. Hasilnya, kaki lecet-lecet.”

Oh, kirain atraktif dan menghayati peran, padahal menahan panas. Kasihan Koplo dan kawan-kawan. *******

Ini naskah aslinya!

Minggu, 18 September 2016

Bau Wangi Malam Jumat

dok.pri
Bau Wangi Malam Jumat
Maharani bukannya takut, tapi aneh saja ketika senja itu tiba-tiba angin berhembus. Bau harum yang kuat tercium. Secara refleks bulu kuduknya merinding. Lama-lama baunya menyengat. Tanpa menunggu lama, Maharani mengajak anaknya masuk rumah.
Ketika dia ceritakan kepada Mahendra suaminya, Mahendra menanggapi,”aku tak mencium bau apapun.”
Berarti benar! Bau harum menyengat tersebut berkaitan dengan Malam Jumat Kliwon. Maharani semakin merinding. Dia berharap di dalam rumah tak dilihatnya lagi bayangan berkelebat seperti beberapa waktu yang lalu.
Pagi harinya, Maharani berada di kebun belakang rumah. Pohon mangga, jambu dan rambutan mulai berbunga. Baunya sangat wangi, harum. Begitu juga ketika dia berada di kebun sekolahnya, di mana pohon tahunan mulai berbunga. Di kebun, bau wangi tercium.
Ah. Ternyata antara bau wangi/harum senja kemarin tak ada hubungannya dengan Malam Jumat Kliwon. Sekarang lagi musim pohon berbunga. Pantas saja wangi! Kalau Mahendra tidak mencium bau wangi, karena penciumannya tidak peka. Dasar penakut!
Karanganyar, 18 September 2016 

Sabtu, 17 September 2016

Aku Ingin Naik Haji Bersamamu

dok.pri
Aku Ingin Naik Haji Bersamamu
Aku ingin naik haji bersamamu. Kata-kata itu aku dengar tahun 1995 beberapa hari setelah kita saling mengenal. Baru beberapa hari. Aku menanggapi dengan santai, Insya Allah. Eit, tapi mana mungkin? Impossible! Aku di Yogyakarta, kamu di Karanganyar. Jawabmu, ada cara kita bisa naik haji bersama. Aku diam. Teman kita yang lain, dari Blora juga bilang,”Mbak, aku ingin kita naik haji bersama.” Oh, berarti kita usahakan tahun pemberangkatannya sama ya. Biarpun kita beda kabupaten, beda provinsi.
00000
Dahulu, saya tak begitu memedulikan kalimat Aku Ingin Naik Haji Bersamamu. Kata seorang mahasiswa yang baru beberapa hari saya kenal karena saya dan dia satu kelompok ketika melaaksanakan Kuliah Kerja Nyata, di Sleman.
Saya tersenyum menanggapinya. Ah, mana mungkin? Dia berasal dari Kabupaten Karanganyar, sedangkan saya dari Yogyakarta. Misalnya bisa berangkat pada tahun yang sama, tapi untuk bertemu di Tanah Suci tentu saja tidak mudah.
Tujuh belas tahun kemudian. Saya mendengarkan laki-laki tersebut mengucapkan kalimat yang sama,” Aku Ingin Naik Haji Bersamamu.” Tahun 2012, uang yang ada di genggaman tangan hanya cukup untuk mendaftar haji satu orang. Saya bilang kepada laki-laki tersebut,”Berangkatlah lebih dahulu. Setelah sampai di Tanah Suci, panggil aku dan anak-anakmu.”
“Aku ingin naik haji bersamamu, kita cari solusinya. Karena denganmu semuanya akan mudah. Kita akan melakukan banyak hal bersama-sama di Tanah Suci.” Air mataku meleleh.
Ternyata laki-laki itu tidak ingkar janji. Laki-laki yang saya kenal 17 tahun yang lalu tetap ingin bersama saya pergi ke Tanah Suci. Siapakah laki-laki yang berani mengucapkan kalimat Aku Ingin Naik Haji Bersamamu?
Laki-laki tersebut sebelum berkenalan dengan saya ternyata 5 tahun sebelumnya telah memperhatikan saya (ah, jadi ge-er saya). Menurut pengakuannya, tahun 1990, saya pergi ke kampus naik sepeda onthel. Ternyata dia juga naik sepeda onthel. Dia hafal dengan rute yang saya tempuh. Tapi saya sama sekali tak pernah tahu laki-laki tersebut. Nah, tahun 1995 saya mengambil mata kuliah KKN. Laki-laki tersebut juga mengambil mata kuliah KKN. Bukan kebetulan, rasanya Allah sudah mengatur semuanya. Saya dan laki-laki tersebut berada pada kelompok kecil yang sama. Bisa ditebak ceritanya.
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, akhirnya kami bisa mendaftar haji bersama dan ketika saya ditanya oleh petugas DEPAG tentang muhrim, laki-laki tersebut menjawab,”Saya, suaminya.”
Terima kasih, sudah kaupercaya melahirkan, merawat, membesarkan anak-anakmu. Tak pernah saya sangka ternyata  Insya Allah, Aku  Akan Berangkat Haji Bersamamu.
Karanganyar, 17 September 2016

Jumat, 16 September 2016

Allah Mahakaya Pemberi Rezeki Siapa Saja

dok.pri
Allah Mahakaya Pemberi Rezeki Siapa Saja
Kalau mau berusaha, siapa saja bisa mendapatkan rezeki. Tengah malam, ada rezeki bagi orang yang bekerja di malam hari. Dini hari, pagi, siang dan sore pun tetap Allah berikan rezeki bagi mereka yang mau menjemputnya.
Tukang parkir di rumah sakit bekerja non stop dari pagi hingga malam hari, tukang parkir di pinggir jalan atau di pasar, juga mendapat bagian. Pedagang yang mengais rezeki di sekitar rumah sakit, ada saja jalannya untuk mendapatkan rupiah. Tukang becak, sopir, pemulung, wiraswasta, penjual nasi bungkus, tenongan, pedagang asongan, semua mendapatkan jatahnya. Padahal mereka memiliki profesi yang sama, di tempat yang sama. Rezeki mereka tidak pernah tertukar.
Penulis buku, penulis lepas, penulis artikel atau contributor di media massa, ngeblog, semua mendapatkan jatah. Masing-masing mendapatkan rezeki dari tulisan yang layak muat. Mereka mendapatkan rezeki dari menulis buku, mengisi blog, mendapatkan royalty yang besar kecilnya sangat relative dan perlu disyukuri.
Sekarang bukan masanya untuk berkeluh kesah dan berdiam diri. Tidak seharusnya kita mengatakan Allah tidak adil. Allah Mahakaya dan Mahaadil.
Kali ini saya akan memberikan sedikit pengalaman mendapatkan rezeki dari menulis. Rasanya tahun ini, saya ketiban rezeki yang selalu harus saya syukuri. Benar-benar tak pernah saya sangka sebelumnya. Tidak terlalu besar, memang.
Tiba-tiba ada seorang sahabat memberi tahu kalau tulisan saya dimuat di SOLOPOS minggu ini. Alhamdulillah, senang rasanya. Tulisan yang idenya datang dari teman guru. Bagaimana saya tidak bersyukur kalau mendengarkan orang lain saja bisa mendapatkan ide menulis.
Saya belum akan menyebutkan tulisannya apa, yang jelas ini kaitannya dengan senyum simpul. Nah waktu suami saya beri tahu ceritanya saja ikut tertawa. Tak seperti biasanya kalau saya cerita dia tertawa. Mungkin dia membatin, isteriku ki ana-ana wae.
Ya, Allah Mahakaya memberi rezeki buat saya melalui tulisan. Allah Mahaadil, teman-teman nulis saya juga mendapatkan rezeki dari menulis. Ada yang nulis artikel, ngeblog, buku, ikut lomba dan lain-lain. Rasanya kemampuan menulis saya harus terus diasah dengan cara “Menulis Setiap Hari dan Rasakan Dahsyatnya”
Semoga tahun ini saya mendapatkan petunjuk/wangsit/jalan tak dinyana. Ah, terlalu berkhayal. Berusaha dan terus berusaha. Maka tidak salah kalau “Menulis dengan niat berbagi dan menulis dengan hati”.
Karanganyar, 16 September 2016

Kamis, 15 September 2016

Cara Aman Membawa HP

Cara Aman Membawa HP
Salah seorang teman guru kemarin ada yang kehilangan HP. Begitu ingat, dia langsung mengambil HP yang satunya. Harapannya, dia bisa mengecek apakah HP yang raib masih berada di sekitar kantor atau tidak. Sayang, baterainya drop jadi HP mati tak bisa dihubungi.
Saya juga menghubungi nomor HP teman saya tadi, tapi tidak ada nada sambung. HP dalam keadaan mati. Ceritanya, teman saya ini selalu memegang HP kalau tak ada kegiatan mengajar. Sebentar-sebentar membuka HP seolah ada berita penting yang masuk.
Berbeda sekali dengan saya. HP saya taruh di tas, laci atau dompet besar. Saya tak pernah membawa HP kalau mengajar. Kebetulan baju-baju yang saya buat tak memakai saku, jaadi terlalu repot kalau harus membawa HP.
Kekurangannya, saya sulit dihubungi suami, anak dan saudara-saudara saya dengan segera. Barulah ketika istirahat, saya membuka HP. Kalaupun ada pesan masuk biasanya berisi promo-promo. Untuk group WA, kadang saya hanya mengikuti saja tanpa ikut berkomentar. Hanya sesekali buka HP.
Saya usul mencari HP teman dengan cara membuka tumpukan-tumpukan buku, kertas atau apa saja. Katanya sudah dilakukan tapi hasilnya nihil. Saya heran, HP teman saya ini tidak pernah lepas dari saku atau tangannya. Bagaimana mungkin bisa raib?
Ya, karena sudah terlanjur raib, sudahlah. Mau menuduh siapa? Hari itu beliaunya menemui beberapa tamu. Dan teman-teman yang lain kan tidak memperhatikan apakah beliau membawa HP atau tidak.
Ada tips agar HP kita aman, yaitu:
1.      Biarkan HP dalam kondisi ON (baterai cukup)
2.      Gunakan HP seperlunya saja
3.      Tinggalkan saja HP di dalam tas
4.      Masukkan HP ke dalam saku, bila berpindah dari tempat satu ke tempat lain, cek lagi apakah HP berada pada posisi yang sama
Semoga kejadian ini hanya sekali ini saja. Kalau masih rezeki teman saya, semoga HP bisa ketemu lagi.
Karanganyar, 15 September 2016 

Rabu, 14 September 2016

Cilok Idul Adha

Cilok Idul Adha
Cilok Bandung
Sumber : http://www.resepmasakanindonesia.me/cara-membuat-cilok/
Setiap Idul Adha, saya dan suami selalu menyempatkan diri ke rumah kerabat jauh di desa. Tujuannya adalah berbagi daging kurban. Biasanya keluarga saya mendapatkan jatah daging kurban dari masjid terdekat dan dari sekolah tempat suami bekerja. Kalau Dhenok mendapatkan jatah dari sekolahnya, dimasak bareng-bareng dengan temannya.
Saya tidak ingin berlebihan mengkonsumsi daging kurban, secukupnya saja. Dan saya juga tidak mau berlama-lama menyimpan daging kurban di dalam freezer. Bagi saya, daging kurban cepat habis itu lebih baik. Satu-satunya jalan untuk mempercepat kosongnya freezer dari daging kurban adalah sesegera mungkin didistribusikan.
Sore hari, saya membawa 2 bungkus jatah saya ke rumah kerabat. Kebetulan, kerabat saya dan anak-anaknya yang sudah menikah, rumahnya hanya berdekatan saja. Satu bungkus besar saya berikan ke Bu lik dan satu bungkus ukuran kecil saya berikan untuk anaknya.
Nah, anak dan menantu Bu lik ini pekerjaannya adalah berjualan cilok dan es secara keliling. Pada jam istirahat sekolah, anak dan menantu Bu lik berjualan di SD terdekat. Cilok yang dijual ukurannya kecil dan bahan bakunya juga sederhana. Tepung kanji, bawang putih, garam dan bumbu penyedap rasa adalah bahan bakunya.
Cilok-cilok yang sudah jadi ukuran kecil sebesar kelereng dijual dalam bentuk rebus atau goreng. Lalu diberi saus, kecap atau rasa lainnya (balado atau pedas). Namanya juga melayani anak-anak dan pasarnya adalah orang-orang beruang terbatas, maka harga cilok sangat terjangkau.
Biasanya ketika pulang saya diberi cilok dalam jumlah banyak. Dulu saya kewalahan kalau diberi cilok banyak. Tapi 3 tahun terakhir, saudara saya memberi saran kalau cilok tersebut digoreng setelah dilumuri telur kocok. Ternyata rasanya mantap. Kalau tidak langsung digoreng semua, maka sisanya bisa disimpan di kulkas.
Bagi saya, cilok tak perlu berlama-lama istirahat di kulkas. Ketika Dhenok mau bakar-bakar satai di rumah temannya, dia minta cilok yang ada di kulkas. Saya bawakan cilok dan telunya. Biar Dhenok dan teman-temannya menggoreng sendiri.
Ketika pulang dari rumah temannya, Dhenok bilang temannya suka cilok yang dibawanya dan ketagihan. Cilok oh cilok. Cilok yang diberikan oleh saudara saya ini saya namakan cilok Iduladha karena saya miliki pas Iduladha. Sepertinya cilok goreng ini cocok kalau dicelupkan ke dalam bumbu pecel daripada saus sambal.
Mau dicelupkan ke dalam sambal pecel atau saus pedas dan kecap semua tergantung selera masing-masing orang. Kalau saya sih sukanya cilok tinggal makan, gratis pula (ah, kalau begitu banyak temannya).

Karanganyar, 14 September 2016