Sabtu, 12 November 2022

Fokus Pada Kelebihan Anak, Jangan Ungkit Kekurangannya


Beberapa orang yang bertemu saya kadang heran karena sesantai ini saya menghadapi anak. Ada yang heran karena saya memenuhi keinginan anak untuk beternak hewan yang biayanya nggak sedikit. Modal ratusan ribu hingga jutaan rupiah itu bukan sedikit. Saya dan suami tetap mengeluarkan uang untuk memenuhi keinginan anak. Namun, saya dan suami sudah memperhitungkan untung ruginya.

Kedua anak saya secara akademik tidak menonjol. Namun, saya tidak mempermasalahkan itu. Saya justru fokus pada kelebihannya. Saya melihat potensi anak-anak lalu memberi dukungan, baik secara finansial maupun dukungan moril. Hasilnya mereka percaya diri dengan kelebihannya. Yang penting saya juga berusaha agar pendidikannya tidak jauh tertinggal. 

Agar bisa mengejar ketinggalan, saya memasukkan F1 dan F2 di bimbingan belajar. Sebenarnya saya sendiri bisa mengajar mereka, tapi biarlah mereka berguru pada seorang guru di luar rumah agar ada rasa membutuhkan. Kalau ada tugas atau PR banyak dan tidak mungkin minta bantuan guru bimbingan, saya tetap turun tangan.

Jangan sampai anak-anak "bodoh yang teramat" dalam artian tidak ada usaha. Saya yakin, orang tua yang mengarahkan anak-anaknya agar lebih baik "nasib"nya tentu karena bentuk perhatian dan tresnanya orang tua pada anak. Saya tidak tega membiarkan anak-anak berjalan sendiri karena merasa dari sononya memang nggak pandai. Setidaknya perhatian orang tua dapat memberikan perubahan.

Seorang kenalan curhat, anak laki-lakinya kelas 12 SMA. Nggak pernah belajar. Bukunya masih halus mulus. Hobinya olah raga. Kalau dolan sampai larut malam. Suatu hari sang anak minta izin untuk les di bimbingan belajar.

"Nggak usah les. Paling setelah daftar kamu nggak masuk bimbingan malah kluyuran. Daripada keluar uang banyak tapi nggak ada hasilnya mending nggak usah les."

Si anak tidak memaksa atau merengek bahkan sekadar meyakinkan kalau dia sungguh-sungguh masuk les.

Saya bilang, "Mbok ya anak dikasih kepercayaan. Kalau ibunya saja nggak percaya, bagaimana dia akan berubah?"

"Halah, paling cuma alasan saja lesnya."

Saya tidak mau berdebat karena beda pemikiran. Menurut saya siapa tahu dengan ikut les si anak bertanggung jawab untuk belajar. Kalau tidak belajar di rumah, bisa belajar di bimbingan. Parahnya lagi kenalan saya tidak yakin dengan hobinya berolah raga.

"Biarkan saja hobinya, siapa tahu nanti mau kuliah di prodi Pendidikan Olah raga."

"Mosok jurusan IPA kuliah olah raga."

Saya tidak perlu menasihati panjang lebar. Kenapa kenalan saya nggak fokus saja pada kelebihan anaknya? Kenalan saya selalu bilang, "enak sampeyan, anaknya jadi juragan kambing."

Namun, kenalan saya lupa. Dia tidak melihat usaha saya agar anak-anak berhasil di bidangnya. Selain fokus pada kelebihan anak, saya juga berusaha untuk melembutkan hati anak, menajamkan perasaan, dan melatih kesabaran dengan mengajaknya melukis atau menggambar. Dengan melukis atau menggambar, ada sisi perasaannya tersentuh.

00000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar