Ketika anak pertama berusia 5 tahun, aku hamil
lagi (tahun 2005). Aku sangat berhati-hati menjaga kandunganku karena aku memiliki riwayat
flek/pendarahan saat hamil anak pertama. Aku dan suami menanti terlalu lama
untuk kehamilan kedua ini.
Ternyata
aku mengalami pendarahan pada usia kandungan 9 minggu. Meskipun sudah periksa
ke dokter dan diberi obat, akhirnya bayiku dalam kandungan tidak dapat
dipertahankan. Aku tidak pernah merasa kecewa dan frustasi ketika urung
mendapat momongan lagi. Yang kecewa berat adalah anakku, Faiq.
Genap
usia kandungan memasuki usia 10 minggu, atau 7 hari saya mengalami fleks tanpa
henti, pagi hari saya merasakan sakit yang luar biasa. Dan bukan hanya fleks,
melainkan pendarahan. Saya dan suami segera ke rumah sakit.
Saya
inginnya ditangani dokter kandungan perempuan, tapi apa boleh buat hari itu
dokter yang saya maksud sedang melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota. Bagi
saya tak masalah ditangani dokter laki-laki. Yang penting segera ada tindakan.
Saat
itu saya merasa lemas (mungkin pucat juga). Dokter menyarankan untuk USG.
Ketika saya berbaring dan dokter mulai menenpelkan alat, beliau berkata, “maaf
mbak, rahimnya kosong.” Saya langsung mengucap Innalillahi. Saya berusaha
tabah, tegar dan merasa sudah siap dengan apa yang akan saya alami. Ya, semua
karena saya sudah merasakan ada tanda-tanda.
Kala
itu suami saya menggenggam tangan saya dan membisikkan kalimat,” Mama,
ikhlaskan anak kita ya.” Saya mengangguk sebagai jawaban, tanpa tetesan air
mata. Saya sadar semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Kemudian
dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan kuretase. Tujuannya untuk
membersihkan rahim dari sisa-sisa darah. Saya dan suami setuju. Segera suami
menandatangani perjanjian persetujuan tindakan kuretase.
Saya
berbaring di tempat persalinan. Dalam posisi terlentang seperti orang mau melahirkan, dalam hitungan
detik janin ini keluar secara alami. Dokter menunjukkan gumpalan darah, gumpalan
darah anak saya. Baru saat itu saya teramat sangat merasa kehilangan, tak
terasa air mata saya menetes dan hati saya perih. Dokter menaruh gumpalan darah
tersebut dalam wadah. Suami saya beri
tahu tentang gumpalan darah itu di bawah tempat saya berbaring. Akan tetapi
suami saya tidak tega untuk melihat.
Ya
Allah, anak ini kutunggu-tunggu sudah lama, akhirnya kembali mendahului kami.
Saya harus berpuasa 3 jam. Setelah siap untuk menjalani kuretase, saya mulai
istighfar dan mengucapkan lafadz Laa ilaha illallah. Dokter memimpin doa, saya
kemudian dibius. Terakhir yang saya ingat dokter mengajak bicara dan
bilang,”ngantuk ya mbak..” Semua menjadi gelap.
Kalimat
thoyibah Laa ilaha illallah terus saya lantunkan. Serasa bangun dari tidur,
saya terus mengucapkan Laa ilaha illallah. Saya merasa seperti mengigau. Tapi
kata suami saya, sebelum saya membuka mata saya sudah mengucapkan Laa ilaha
illallah dengan jelas, hingga saya benar-benar sadar.
Saya
bersyukur, dalam hati saya mengucap alhamdulillah. Saya hidup kembali setelah
mati (tidur adalah kematian sementara). Oleh karena pengaruh obat bius, saya
mulai mual-mual. Beberapa kerabat yang menjenguk saya terus menghibur.
Allah
memberikan ujian padaku dan suami. Alhamdulillah, kami berhasil melewati masa
sulit itu. Kami tetap bersabar. Waktu itu aku berpikiran positif pada Allah.
Allah mengambil miliknya pasti ada hikmahnya (mungkin kalau bisa dipertahankan,
bayi akan lahir cacat/tidak normal).
Saya
harus bermalam di rumah sakit. Setelah tidak merasa mual dan pusing, saya
dipindahkan ke bangsal. Pagi esok harinya, putri saya yang pertama diajak ke
rumah sakit oleh ibu mertua saya. Setelah diberitahu kalau dia tidak jadi punya
adik karena adik sudah meninggal, putri saya menangis. Aku tidak pernah merasa
kecewa dan frustasi ketika urung mendapat momongan lagi. Yang kecewa berat
adalah anakku, Faiq. Saya tidak pernah menduga perkataannya (ketika itu masih
TK). “Mah, adik enak ya. masuk surga lebih dahulu (mewek lagi).” Hati saya
semakin perih. Dia tidak bisa dihibur. Ingat adiknya terus. Namanya juga anak
kecil, dia sudah terlanjur bilang ke orang-orang kalau dia akan punya adik.
Setiap
malam sebelum tidur, selama dua minggu putri saya terus menanyakan kenapa adik
bisa meninggal. Saya berusaha untuk
menenangkan. Akhirnya putri saya bisa menerima.
Saya
tidak pernah menyesali diri. Yang lalu biarlah berlalu. Kehilangan janin bukan
akhir dari segala-galanya. Saya mengambil hikmah dari peristiwa ini. Setelah
membuka dan membaca literatur, disebutkan sekuat apapun, sesehat apapun,
seperkasa apapun pihak baik laki-laki maupun perempuan, kalau pertemuan sel
telur dan sperma tidak sempurna dan zigot tidak menempel pada rahim dengan
kuat, maka kemungkinan janin akan gugur (5% kehamilan beresiko, saya termasuk
yang 5%).
Masih
banyak yang bisa saya kerjakan, bisa bersosial masyarakat dan melakukan hal-hal
yang bermanfaat bagi kepentingan agama, termasuk mengamalkan ilmu pengetahuan.
Karanganyar, 31 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar