Sepotong Kaki Diamputasi
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Setelah mendapatkan musibah, kakinya tertimpa robohan
bangunan kolam, kakinya harus diamputasi. Permintaannya untuk mempertahankan
kakinya agar tak diamputasi ternyata keliru. Ya, siapa yang mau kehilangan
kaki? Tentu saja tidak ada yang mau.
Dokter telah memberikan banyak masukan tentang
kakinya. Kakinya bukan hanya patah, melainkan remuk. Kalau untuk dioperasi itu
tidak mungkin. Dokter hanya menyarankan untuk pasrah dan segera diambil
tindakan.
Laki-laki itu tetap pada pendiriannya, tidak mau
diamputasi. Jadilah selama beberapa hari dokter membatalkan sarannya. Mereka menurut
kepada pasiennya. Entahlah, apa yang dipikirkan laki-laki itu? Beberapa hari
untuk menstabilkan kondisi membuat luka pada kakinya mengeluarkan cairan dan
berbau busuk.
Sekali lagi dokter mengatakan tidak ada tindakan lain
selain amputasi. Laki-laki itu sejak lama mengidap diabetes. Luka pada kaki
setelah tertimba robohan bangunan berakibat fatal. Akhirnya laki-laki itu dan
keluarganya menyetujui tindakan amputasi. Berat rasanya kehilangan satu kaki.
Kehilangan satu kaki akan lebih baik daripada
mempertahankan satu kaki yang sudah remuk dan tak bisa kembali. Menimbulkan bau
busuk, cairan, dan akhirnya kakinya tak berfungsi.
Laki-laki itu kini berada di atas kursi roda. Sesekali
menggunakan bantuan kruk untuk membantunya berjalan. Laki-laki itu dapat
beraktifitas lagi meski dengan satu kaki.
Suatu hari dia pergi ke makam di dekat rumahnya. Bukan
untuk berziarah kubur, bukan untuk mengingat kematian. Di depan gundukan tanah
dia menatap kosong.
“Bukan Fulan atau Fulanah yang berada di dalam liang
ini, melainkan sepotong kakiku.”
Laki-laki itu meneteskan air mata. Kedua anaknya yang
berada di sampingnya memegang tangan kiri dan kanannya. (Selesai)
Karanganyar, 12 Agustus 2015
Kisah nyata seorang
tetangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar