Duo Faiq-Faiz dok.Faiqah Nur Fajri |
Dua yang tak akur ini
memiliki selisih usia 10 tahun. Dhenok tak mau mengalah dan Thole maunya menang
sendiri. Saya tak bisa menengahi mereka. Kalau saya menengahi, si Dhenok
bilang,”Faiz yang dibela padahal salah.”
Namanya juga anaknya semua,
saya tahu banyak hal tentang mereka hingga yang remeh sekalipun. Ketika Dhenok masih kecil, kehidupan kami masih kurang dan
prihatin. Pernah suatu hari, tak ada uang untuk membeli susu (beras tinggal
mengambil hasil panenan, makan dengan lauk seadanya, memasak sayur tinggal
memetik di sawah), Dhenok merengek minta minum susu. Saya menenangkan Dhenok
dan memberinya teh hangat sambil memberi pengertian. Dan saya berjanji esok
harinya pulang sekolah membawa susu. Dan saya membawa susu bendera 1 kg, hutang
koperasi (potong gaji bulan berikutnya). Saya ingin membahagiakan putri saya
yang ketika itu masih berusia 3-4 tahun. Akan tetapi saya pantang mengeluh pada mertua
(kalau saya mau, pasti juga diberi).
Lain halnya dengan Thole,
kehidupan kami Alhamdulillah lebih mapan. Masalah rezeki, pokoknya ada saja
sumbernya. Akan tetapi Thole memiliki kisah yang sedikit mengharu biru. Sejak kecil,
belum ada 1 tahun usianya, Thole masuk rumah sakit karena kejang. Sebenarnya kejang
yang dialami Thole termasuk ringan, penyebabnya adalah demam biasa. Demam yang
menyertai batuk pilek. Thole dirawat di rumah sakit selama seminggu. Baru seminggu
keluar dari rumah sakit, Thole mengalami kejang lagi (masuk rumah sakit lagi).
Sampai umur 3,5 tahun, Thole
sudah 4 kali masuk rumah sakit. Tiga kali karena kejang dan satu kali karena
muntaber. Dengan demikian, saya tak tega kalau pas tidak akur Thole dimarahi
Dhenok. Satu lagi, bulan Nopember 2015, Thole menjalani operasi pemasangan pen
karena lengan kirinya patah. Menurut saya sebagai ibunya, lengkap sudah
kesusahan Thole. Kalau Dhenok sering marah-marah pada Thole, saya selalu
menengahi. Memang Thole itu juga sering usil, memancing kakaknya biar marah.
Dua yang tak akur, kata
teman saya, perlu ada yang ketiga. Saya hanya tersenyum. Sepulang dari
Tawangmangu kemarin, sore harinya badan saya terasa lungkrah. Buntil tahu dan
molen pisang yang saya makan akhirnya keluar pada malam hari. Perasaan saya,
kok sama seperti ketika Thole tiduran di dalam perut saya ya. Malam hari,
kondisi saya juga tak semakin baik. Tapi tidak muntah, hanya mual saja.
Pagi harinya, perasaan saya
kok jadi tidak enak. Di sekolah suasananya jadi terbawa ngantuk pol. Lah, ini
kan sama dengan kondisinya ketika Thole diam-diam tidur di dalam perut. Semangat,
dua yang tak akur akan ditengahi satu anak yang adil.
Saya bilang pada suami,”Sudah
siapkah Ayah dengan satu lagi?”
“Insya Allah, siap.”
“Kalau begitu, atur jadwal,
kurangi badminton dan tenis!”
“Wah, itu tidak bisa.”
Nah, betul kan. Dulu ketika
Thole lahir, dia bilang siap momong. Tapi sekarang,mau tenis dan badminton sering main petak umpet
dulu. Lalu meninggalkan tangis Thole yang kejer-kejer.
“Sebelum pergi, beli onemed
dulu. Kalau positif, ya mulai besok kurangi acara pergi-pergi.”
Ketika saya melahirkan
Thole, usia saya 39 tahun. Kini Thole berusia 6 tahun. Semangat! Mata saya
berbinar ketika saya lihat ada satu garis merah. Alhamdulillah, ternyata hanya
kurang tidur saja dan kondisi badan tidak seimbang.
Dua yang tak akur, akan Mami
jaga dengan sepenuh hati karena kalian memang punya cerita sendiri dengan latar
belakang yang tak sama.
Karanganyar, 25 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar