Dimuat di Solopos, 20 Februari 2019
AH
TENANE
NASI
KENDURI
Oleh:
Noer Ima Kaltsum
Jon Koplo tinggal di Yogyakarta. Saat bekerja
di Surabaya beberapa bulan, dia tinggal di di rumah Tom Gembus, kakak iparnya. Koplo mudah berbaur dengan tetangga Gembus. Setiap ada kegiatan di masjid, Koplo tidak pernah ketinggalan.
Suatu
hari, tetangga Gembus mengadakan kenduri
pengetan orang meninggal. Biasanya
pada saat kenduri dibacakan doa-doa, pembacaan Surat Yassin, dan ada sedikit
tausiah. Setelah acara selesai, tuan rumah akan membagikan nasi kenduri yang
dimasukkan dalam wadah.
Semua
orang yang ikut kenduri mendapatkan nasi kenduri, termasuk Koplo.
Koplo mengikuti orang-orang di rumah itu. Wadah nasi kenduri dibuka,
lalu dimakan. Koplo melakukan hal yang
sama. Koplo makan dengan antusias.
Namun, dia heran.
“Kok,
orang-orang makannya tidak dihabiskan? Sementara aku kebacut makan dengan
lahap?” batin Koplo.
Ibarat
kehujanan, sudah terlanjur basah. Akhirnya Koplo menghentikan makannya. Para
tetangga memperhatikan Koplo sambil
tersenyum. Dengan tersipu malu, ditutupnya wadah nasi kenduri yang masih
tersisa sedikit.
Koplo dan orang-orang yang ikut kenduri
pulang. Sampai di rumah, Koplo bilang
pada Gembus.
“Mas
Gembus, orang-orang tadi kok makannya tidak dihabiskan. Apa mungkin lauknya tidak
cocok?”
“Bukan
begitu, Mas Koplo. Memang kalau di sini, bila kenduri, nasi kendurinya cuma
diambil sedikit lalu dimakan. Yang lainnya alias sisanya dibawa pulang.”
“Oalah,
adatnya memang begitu, ya. Tiwas tadi punyaku kumakan sampai mau habis. Pantas
saja orang-orang tadi heran melihatku makan. Sampeyan kok tidak memberi tahu
ta, Mas Gembus.”
“Buat
pengalaman, Mas Koplo. Kalau di Yogya, nasi kenduri dibawa pulang dalam keadaan
utuh, ya.”
“Iya,”
kata Koplo sambil nyengir. (SELESAI)
*Catatan: Tulisan di atas naskah asli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar