Kamis, 13 Juni 2013

Anak Asuh

Mendapatkan anak asuh dari keluarga tidak mampu yang pandai, sehat, dan penurut adalah dambaan orang tua asuh manapun. Berbeda dengan yang kulakukan sekarang ini. Berawal dari seorang murid yang akan berhenti sekolah dengan alasan karena orang tuanya tidak mampu dan tidak sanggup untuk membiayai sekolahnya. Orang tuanya menyuruh dia untuk bekerja saja, tidak perlu sekolah.
Setelah berunding dengan suami, dan suami setuju maka muridku (sebut saja Hizbul, kelas X) tetap dapat melanjutkan sekolah. Aku berjanji akan membiayai sekolah (SPP dan uang saku) sampai selesai. Hizbul akhirnya bisa sekolah lagi.
Setiap istirahat pertama Hizbul ke kantor untuk sarapan (aku bawakan nasi dan minuman). Suatu hari aku bertanya apakah dia tidak malu dengan guru-guru kalau makan di kantor dan guru-guru tahu. Jawabnya tidak malu. Kalau nasi dan minumannya di makan di kelas akan menimbulkan kecemburuan teman-temannya.
Hizbul adalah seorang siswa yang tergolong prestasinya biasa-biasa saja, penurut, semangat belajar tinggi, taat ibadah, suka menulis dan sakit-sakitan (sakit paru-paru, kalau sedang kesakitan sering aku tidak tega). Hizbul sangat tergantung obat. Tetapi dia punya keyakinan akan sembuh tanpa obat-obatan.
Setelah berjalan selama 6 bulan menjadi anak asuhku, tiba-tiba dia memutuskan berhenti sekolah dan mau merantau ke Jakarta untuk bekerja. Aku kaget, tidak menyangka sama sekali. Ternyata semua itu karena orang tuanya tetap menginginkan dia untuk bekerja, bukan untuk sekolah.
Aku tidak dapat berbuat banyak, orang tuanya lebih berhak untuk memutuskan anaknya menjadi apa daripada aku, sebagai guru dan hanya orang tua asuh. Aku hanya bisa membekali Hizbul dengan uang sekedar untuk membeli tiket dan makan beberapa hari saja.
Di Jakarta Hizbul dekat dengan dua kakaknya. Tapi dia mandiri, tidak tergantung pada kedua kakaknya. Hizbul bekerja di rumah kos-kosan. Bekerja sebagai karyawan bertugas menunggu dan membersihkan kos-kosan. Gajinya lumayan, dan waktu luangnya juga banyak. Waktu luangnya digunakan untuk menulis, kebetulan Hizbul memiliki netbook. (kelebihan Hizbul yang sesuai dengan keinginanku adalah MAU MENULIS).
Yang membuat aku lega adalah dia melanjutkan sekolah lagi (diberi kemudahan oleh penghuni kos, dipinjami uang masuk sekolah kemudian dia mengembalikan dengan cara mengangsur tiap gajian).
Walaupun sudah tidak menjadi muridku lagi tetapi kami tetap dekat. Setiap hari kami sms atau sekedar memberi komentar pada fb. Setiap malam dia miscall atau sms membangunkanku untuk shalat malam, sms untuk sahur kalau mau puasa sunah Senin-Kamis. Aku terharu. Aku belum berniat untuk mencari anak asuh pengganti Hizbul. Kehadiran Hizbul di dalam kehidupanku memberi warna tersendiri dan kini hidupku kembali lebih religius.
Ketika aku ada rejeki dari honor penulisan cerpen, aku memberi kejutan pada Hizbul dengan mengirimkan paket berisi tas laptop yang sudah lama diidam-idamkan (biarpun aku yang memilih ternyata tas seperti itu yang diidam-idamkan). Sebenarnya dia pernah bilang ingin hadiah ulang tahun (ulang tahunnya 4 Desember) dariku tas laptop. Akan tetapi aku tidak mau menunda-nunda.
Aku hanya bisa berharap Allah mengijinkan aku menjadi orang tua asuhnya sampai Hizbul benar-benar mandiri. Kusisihkan sebagian rejeki yang kudapat untuk Hizbul. Aku yakin Allah memberi jalan, rejeki yang kusisihkan untuk Hizbul bisa sampai padanya. Selamat belajar, selamat bekerja semoga engkau sukses, anakku. (SELESAI)
Karanganyar, 12 Juni 2013