MENANAM
KACANG HIJAU
Sewaktu
aku masih mengajar dan tinggal di Blora, suami mengatakan menanam kacang hijau
di sawah. Biaya untuk tenaga, benih, pupuk dan lain-lain jumlahnya luar biasa
banyak. Karena aku tidak tahu-menahu tentang pertanian, aku sempat protes dan
keberatan. Aku tidak mau apa yang aku lakukan tidak punya dasar. Kalau dasarnya
hanya ikut-ikutan pada orang yang berhasil, tanpa memiliki ilmu sedikit pun
berarti siap untuk gagal total.
Honor-honor
yang aku terima selama mengajar di Blora setelah menikah, masuk dalam
biaya-biaya pertanian. Aku pasrah. Sebenarnya ide terjun ke dunia pertanian
sudah sejak lama suami utarakan. Bahkan katanya kelak biaya sekolah untuk
“anak-anak” berasal dari bercocok tanam. Aku manut saja. Toh percuma saja kalau
aku tidak setuju atau membantah.
Setelah
tinggal di Karanganyar, waktu itu usia kandunganku sudah cukup kuat untuk
diajak “bekerja keras”, kacang hijau mulai panen. Jarak antara rumah dan sawah
cukup jauh. Belum lagi dalam kondisi hamil aku tidak mungkin berpanas-panas
untuk memanen kacang hijau. Kami berinisiatif memanen kacang hijau pada sore
hari setelah matahari tidak terik lagi. Karena mulai memanen kacang hijau sudah
sore, maka sebantar saja sudah maghrib. Kami tak membawa hasil panen dalam
jumlah banyak.
Sabar,
itulah kuncinya. Setiap pulang mengajar mengupas polong-polong kacang hijau,
lalu menjemurnya. Namum suami ternyata bukan orang yang sabar lagi telaten.
Kacang hijau dipanen harus tepat waktu. Kalau waktunya panen tidak segera
dipetik, maka esok harinya polong kacang hijau akan pecah dan isinya tumpah
jatuh di atas tanah dengan sendirinya. Malah suami bosan memanennya.
Setelah
hasil panen dikumpulkan semua dan dijual, hasilnya jauh dari harapan. Jangankan
untung, balik modal saja tidak. Suami bilang,” maaf ya dik kita kali ini belum
berhasil.” Kecewa, itulah kata-kata yang ada dalam hatiku. Bagaimana tidak?
Seandainya uang yang digunakan untuk membiayai “kebun” itu aku gunakan untuk
kepentingan keluarga maka aku tak perlu berhutang koperasi untuk menyiapkan
perlengkapan bayi.
MENANAM
PADI
Setelah
anakku lahir, suami disuruh mertua untuk menanam padi. Bayanganku kali ini
masih negatif. Bagaimana tidak? Menanam
padi seluas 3500 meter persegi. Kalau gagal lagi atau maksimal impas, aku
katakan merugi. Usaha yang dibangun kok merugi alias tidak mendapatkan untung,
maka perlu belajar dulu tentang usaha yang akan dijalani.
Usaha
yang luar biasa, dan suami kadang begadang demi “mendapatkan air jatah” untuk
sawah. Sebab bila air jatah tidak ditunggui maka akan dialirkan ke sawah lain
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak heran sering terjadi bentrok
antara petani satu dengan yang lain
karena berebut air. Sepulang dari mengajar suami juga langsung ke sawah
untuk melihat tanamannya.
Perjuangan
dan pengorbanan suami tidak sia-sia. Alhamdulillah, hasilnya memuaskan. Dari
hasil panen ini kami bisa menabung kayu, besi dan material lain yang akan
digunakan untuk membangun rumah.
MENANAM
JAGUNG
Setelah
merasa berhasil menanam padi, mertua menyuruh kami untuk mencoba komoditas
lain. Pada musim kemarau di nama air tidak begitu melimpah, menanam jagung
pilihan yang tepat.
Kunci
utama dari bercocok tanam adalah rajin merawat dan “menyambangi” sawah. Dengan
sering menengok sawah, kami jadi tahu perkembangan tanaman. Atau kalau ada
sesuatu yang tidak beres dengan tanaman bisa segera diatasi.
Saat
panen jagung, sungguh aku tidak menyangka sama sekali. Panen hanya mengandalkan
keluarga, yaitu suami, adik ipar dan pembantu (aku ganti yang momong anakku, karena
pembantu memilih ikut panen). Dari hasil penjualan jagung kering, kami bisa
mencukupi konsumsi untuk tukang-tukang kami yang bekerja membangun rumah.
MENANAM
KACANG TANAH
Sukses
menanam padi dan jagung, suami mencoba menanam kacang tanah. Akan tetapi
sayang, ketika tanaman kelihatan bagus hasilnya, mertua meminta pada suami supaya
tanaman kacang tanah diteruskan mertua. Ikhlas, itu yang harus aku lakukan.
Bagaimanapun sawah itu juga milik mertua. Kami hanya diberi ijin untuk
mengelolanya.
Setelah
kacang tanah dipanen, dan kami menempati rumah kami sendiri (masih di
lingkungan sawah tempat kami bercocok tanam), kami mulai memikirkan usaha
sendiri. Walaupun sawah letaknya hanya di belakang rumah kami, bukan berarti
kami bisa seenaknya menanam sayuran atau apa saja. Semua harus minta ijin pada
mertua lebih dahulu.
MENANAM LOMBOK
Setelah
Bapak mertua meninggal, sawah yang biasanya digarap Bapak sendiri kini tidak
diolah sendiri melainkan dengan sistem bagi hasil dengan petani penggarap. Ibu
mertua tidak repot mengurus ini-itu untuk sawah yang akan ditanami padi. Ibu
cukup menyumbang separo pupuk, bila telah panen Ibu mendapatkan separo bagian
(untuk biaya panen ditanggung Ibu dan petani penggarap sawah).
Khusus
untuk belakang rumah (yang berimpit dengan rumah), suami diperbolehkan menanam
sayuran. Setelah belajar pada orang yang sudah berpengalaman, suami akhirnya
mencoba menanam lombok merah. Dari menanam lombok ini, aku jadi tahu
istilah-istilah pertanaian serta hama penyakit yang menyerang tanaman. Ada
lalat buah, layu fusarium, cambuk, dan lain-lain.
Dengan
harga stabil relatif tinggi, sungguh aku tak pernah menduga sama sekali kalau
untungnya “luar biasa”. Karena perawatannya optimal, jumlah panennya maksimal.
Teman suami yang memberikan “pelajaran lombok” mengatakan kami termasuk pemain baru
yang berhasil.
Pada
saat menanam lombok, ini merupakan tamanan pertama yang kami usahakan setelah
menempati rumah di dekat sawah. Ada perbedaan yang kami lakukan saat panen kali
ini, tidak seperti panen sebelumnya. Yaitu kami menyedekahkan sebagian panen
kami untuk orang lain (teman guru, tetangga dan saudara), sebelum kami
menjualnya. Artinya sedekah pada saat panen pertama. Uniknya, teman-teman atau
tetangga datang dan memanen sendiri.
MENANAM
KACANG PANJANG
Akhirnya
tanaman lombok mulai tua dan buahnya mulai kecil-kecil. Setelah menimba ilmu
pertanian dari “orang pintar” bertani,
kami disarankan menanam kacang panjang. Untuk kacang panjang, umurnya relatif
pendek. Buah mulai dipanen pada umur 45 hari setelah tanam.
Ternyata
memperlakukan tanaman kacang panjang tidak sama dengan lombok. Kalau yang ini
lebih ekstra. Mulai menanam bibit, memasang turus, mengikat antara turus satu
dengan yang lain, merempel daun bagian bawah dan mengkondisikan tanaman untuk
membelilit pada turus.
Sayang,
tanamannya terlalu subur, terlalu banyak pupuk. Saking suburnya, tanaman rimbun
sekali. Begitu terserang hama; ulat dan cambuk, kami kewalahan untuk mengusir
secara alami. Kami mulai melirik berorganik.
Sewaktu
panen perdana, kami mengundang tetangga dan teman-teman guru untuk memetik
polong kacang panjang. Semua bisa mengambil sepuasnya. Bagi kami kacang panjang
yang dipetik akan memberikan polong berikutnya lebih banyak.
Karena
polongnya banyak, kadang-kadang kami tidak dapat menyelesaikan panen dalam satu
kali panen. Apalagi waktu hujan turun dengan deras. Jelas, kami tidak dapat
berbuat banyak. Lebih baik menghentikan kegiatan memanen dari pada kena resiko.
Padahal kacang panjang yang tidak segera dipanen, keesokan harinya ukurannya
terlalu besar dan tidak laku dijual.
Hari
berikutnya kami menyiasati dengan memanen sebagian di pagi hari dan sebagian
dipanen sepulang mengajar. Dengan cara seperti ini kami bisa menyelesaikan
panen dalam satu waktu panen.
Kacang
panjang jenis hijau yang kami usahakan ini termasuk komoditas yang laku di
segala cuaca. Tidak heran, sejelek-jelek harga kacang panjang kami tetap
untung. Akhirnya aku menyadari bahwa Allah memberikan jalan pada kami. Usaha
kami di bidang pertanian ini termasuk bisa diperhitungkan. Dengan seperti ini
semoga harapan suami dahulu yakni ingin menyekolahkan anak-anak dari hasil
pertanian bisa terwujud.
MENANAM
MENTIMUN
Setelah
panen kacang panjang berakhir, kami menanam mentimun. Untuk tanaman mentimun
karena diusahan tegak, tidak dibiarkan menjalar di atas tanah, maka kami harus
mengikat batang mentimun pada turus. Mengikat batang mentimun pada turus sangat
menyita waktu.
Mentimun
mulai dipanen saat usia 40 hari setelah tanam. Mentimun termasuk sayuran umur
pendek. Memanen mentimun memerlukan tenaga besar. Ya, karena buahnya yang
berat, kandungan airnya tinggi. Kami harus memindahkan mentimun tersebut dari
sawah ke halaman rumah. Sedikit demi sedikit memindahkan hasil panen. Ya, kami
harus sabar.
Waktu
itu harga jual mentimun dari aku seribu rupiah per kilogram. Pedagang pasar
menjual kembali dua ribu rupiah per kilogram. Total hasil panen lebih dari dua
ton. Lebih dari dua juta uang yang kuterima. Kebetulan pedagang yang aku setori
hasil panen masih saudara sendiri.
Dengan
modal satu jutaan, kami mendapatkan untung lebih dari satu juta. Uang dapat
balik kurang dari dua bulan. Dengan keberhasilan ini semakin mengukuhkan niat
kami untuk terus mengolah sawah/kebun untuk sayuran.
Dari
beberapa tanaman yang telah kami usahakan, kami jadi lebih paham tentang
pertanian. Dari penyediaan bibit, mengolah tanah, memupuk, merawat, membasmi
hama, memanen dan analisis keuangannya. Walaupun tidak terlalu detail yang aku
tulis, tapi cukup memberikan informasi tentang setiap tanaman. Mulai menanam
sampai memanen dan memasarkan.
Dengan menuliskan
setiap kali menanam sayuran, sedikit
banyak menambah pengetahuan. Bila diperlukan setiap saat, aku memiliki catatan.
Sayangnya catatan kecil itu sering hilang karena buku yang dipakai juga buku
campur sari.
Nah, ini pengalaman saya menanam sayuran. Sebenarnya sekarang ingin memulai menanam sayuran lagi, tapi waktunya perlu diatur sedemikian rupa agar kegiatan harian bisa tertata rapi. bagi yang ingin mencoba menanam sayuran, silakan mulai dari skala kecil. Tapi kalau sudah niat terjun bisnis sayuran, mangga mawon kalau langsung dalam jumlah yang besar.