HUKUMAN MEMBENTUK KARAKTER SISWA
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Saya membuka pintu gerbang sekolah hendak pulang.
Ketika sepeda motor saya keluarkan ke luar gerbang, berhentilah sebuah sepeda
motor di depanku. Astaghfirulloh, saya kaget. Si pengendara tidak turun dari
sepeda motornya. Helm masih menutupi kepalanya. Si pengendara hanya membuka
kaca helm. Laki-laki tersebut menyapaku,
“Bu Ima masih ingat saya?”
Kening saya berkerut. Jelas saya tidak hafal laki-laki
tersebut, bahkan mungkin malah tidak mengenalnya sama sekali.
“Siapa ya? Coba helmnya dilepas. Kalau masih tertutup
seperti itu saya tidak ingat,” pinta saya.
“Saya Agus Triyono, Bu. Muridnya Ibu yang dulu dihukum
lari bolak-balik dari ujung utara sampai lapangan basket,” kata laki-laki
tersebut sambil melepaskan helm dari kepalanya.
Setelah helm dilepas, barulah saya mengenali wajah dan
profilnya.
“Oh, ya. Panjenengan (Anda) Agus, yang kepalanya
sedikit petak itu. Bu Ima ingat. Dulu panjenengan Ibu hukum karena tidak
lengkap memakai atribut sekolah. Ayo Mas Agus, mumpung sudah sampai di sekolah,
mampir dulu. Bapak dan Ibu guru yang lain masih berada di kantor lo.”
“Terima kasih, Bu Ima. Saya buru-buru, ada keperluan.
Lain kali saja saya silaturahmi ke sekolah. Salam untuk Bapak dan Ibu guru
saja.”
“Baiklah nanti saya sampaikan. Hati-hati ya Mas Agus.
Bekerjanya yang semangat.”
Setelah sebentar basa-basi, Agus pamit dan pergi
meninggalkan saya. Saya cukup menggelengkan kepala. Ingat sekitar tahun
2002-2004. Ketika itu kesepakatan antara saya dan murid-murid, bila melanggar
tata-tertib sekolah pada saat saya mengajar hukumannya push up atau lari.
Murid-murid konsekuen, bila melanggar tata-tertib mereka sudah menjalankan
hukuman sendiri.
Suatu saat saya bertemu lulusan SMK tempat saya
mengajar. Saya mengingat-ingat anak tersebut. Lalu anak tersebut mengatakan
kalau dulu ketika terlambat/membolos sekolah disuruh push up. Kalau terlambat
masuk pagi hari Cuma push up lima kali. Kalau membolos tidak mengikuti
pelajaran tanpa keterangan, hukumannya push up dua puluh lima kali.
Lain dulu lain sekarang. Dulu murid-murid taat dan
patuh pada guru. Hukuman yang harus dijalani murid karena melanggar aturan
sekolah, benar-benar bisa diterapkan dan membuat murid jera.
Bahkan apabila pelanggaran yang dilakukan murid sudah
pada taraf yang mengkhawatirkan, biasanya wali murid dipanggil untuk datang ke
sekolah. Komunikasi dan kerja sama antara sekolah dan wali murid untuk
kepentingan murid sangat diperlukan.
Sekarang jamannya telah berubah. Guru tidak
diperkenankan memberi hukuman fisik kepada siswa. Apabila pihak sekolah atau
guru memberi hukuman fisik biasanya dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia.
Beberapa bulan yang lalu sekolah kami kedatangan
Pengawas dari Disdikpora. Waktu itu Bapak Pengawas berkata/berpesan kepada
Bapak/Ibu guru agar tangan kami jangan sekali-kali menyentuh siswa. Guru tidak
boleh memberi hukuman fisik.
00000
Kemajuan teknologi dimanfaatkan oleh guru untuk memajukan
pendidikan anak didiknya. Metode pembelajaran lebih bervariasi, guru dituntut untuk
lebih kreatif. Segala usaha dikerahkan untuk murid-muridnya, terutama agar
lulus UN.
Saya mengajar sejak tahun 1997. Kala itu murid-murid
menghormati guru-gurunya seperti menghormati orang tua mereka sendiri.
Murid-murid taat dan patuh terhadap peraturan yang dibuat sekolah.
Sekarang sudah mulai ada pergeseran. Jujur saja, tidak
hanya murid-murid tempat saya mengajar melainkan sebagian murid-murid pada
umumnya sulit untuk dinasehati. Kadang ada salah paham antara guru dengan
siswa, guru dengan wali murid, guru dengan masyarakat. Guru dan pihak sekolah kadang-kadang bingung
menentukan sikap.
Pada tahun 1997-2005, hukuman yang saya berikan untuk
murid-murid (hukuman fisik yang tidak memberatkan) bertujuan untuk memberi
pelajaran kepada mereka. Kenyataannya mereka merasakan manfaatnya setelah lulus
dari SMK dan telah bekerja.
Saya masih berhubungan dengan murid-murid yang sudah
lulus. Kalau tidak secara langsung, biasanya lewat dunia maya. Lewat facebook
mereka sering bercerita tentang pengalamannya selama sekolah di SMK. Banyak
dari mereka yang mengaku bahwa keberhasilan mereka sekarang ini adalah hasil
pendidikan yang keras dari sekolah. Keras dalam arti yang luas.
Mereka berterima kasih kepada Bapak/Ibu guru yang
telah mendidik dengan baik. Bahkan pernah suatu hari, masih dalam suasana
lebaran, beberapa siswa datang ke rumah saya. Mereka mengatakan pendidikan
karakter (disiplin, tanggung jawab, kerja sama dan lain-lain) bermanfaat
setelah terjun di dunia kerja.