Mendapatkan anak asuh
dari keluarga tidak mampu yang pandai, sehat, dan penurut adalah dambaan orang
tua asuh manapun. Berbeda dengan yang kulakukan sekarang ini. Berawal dari
seorang murid yang akan berhenti sekolah dengan alasan karena orang tuanya
tidak mampu dan tidak sanggup untuk membiayai sekolahnya. Orang tuanya menyuruh
dia untuk bekerja saja, tidak perlu sekolah.
Setelah berunding
dengan suami, dan suami setuju maka muridku (sebut saja Hizbul, kelas X) tetap
dapat melanjutkan sekolah. Aku berjanji akan membiayai sekolah (SPP dan uang
saku) sampai selesai. Hizbul akhirnya bisa sekolah lagi.
Setiap istirahat
pertama Hizbul ke kantor untuk sarapan (aku bawakan nasi dan minuman). Suatu
hari aku bertanya apakah dia tidak malu dengan guru-guru kalau makan di kantor
dan guru-guru tahu. Jawabnya tidak malu. Kalau nasi dan minumannya di makan di
kelas akan menimbulkan kecemburuan teman-temannya.
Hizbul adalah seorang
siswa yang tergolong prestasinya biasa-biasa saja, penurut, semangat belajar
tinggi, taat ibadah, suka menulis dan sakit-sakitan (sakit paru-paru, kalau
sedang kesakitan sering aku tidak tega). Hizbul sangat tergantung obat. Tetapi
dia punya keyakinan akan sembuh tanpa obat-obatan.
Setelah berjalan selama
6 bulan menjadi anak asuhku, tiba-tiba dia memutuskan berhenti sekolah dan mau
merantau ke Jakarta untuk bekerja. Aku kaget, tidak menyangka sama sekali.
Ternyata semua itu karena orang tuanya tetap menginginkan dia untuk bekerja,
bukan untuk sekolah.
Aku tidak dapat
berbuat banyak, orang tuanya lebih berhak untuk memutuskan anaknya menjadi apa
daripada aku, sebagai guru dan hanya orang tua asuh. Aku hanya bisa membekali
Hizbul dengan uang sekedar untuk membeli tiket dan makan beberapa hari saja.
Di Jakarta Hizbul
dekat dengan dua kakaknya. Tapi dia mandiri, tidak tergantung pada kedua
kakaknya. Hizbul bekerja di rumah kos-kosan. Bekerja sebagai karyawan bertugas
menunggu dan membersihkan kos-kosan. Gajinya lumayan, dan waktu luangnya juga
banyak. Waktu luangnya digunakan untuk menulis, kebetulan Hizbul memiliki
netbook. (kelebihan Hizbul yang sesuai dengan keinginanku adalah MAU MENULIS).
Yang membuat aku lega
adalah dia melanjutkan sekolah lagi (diberi kemudahan oleh penghuni kos,
dipinjami uang masuk sekolah kemudian dia mengembalikan dengan cara mengangsur tiap
gajian).
Walaupun sudah tidak
menjadi muridku lagi tetapi kami tetap dekat. Setiap hari kami sms atau sekedar
memberi komentar pada fb. Setiap malam dia miscall atau sms membangunkanku
untuk shalat malam, sms untuk sahur kalau mau puasa sunah Senin-Kamis. Aku
terharu. Aku belum berniat untuk mencari anak asuh pengganti Hizbul. Kehadiran
Hizbul di dalam kehidupanku memberi warna tersendiri dan kini hidupku kembali
lebih religius.
Ketika aku ada rejeki
dari honor penulisan cerpen, aku memberi kejutan pada Hizbul dengan mengirimkan
paket berisi tas laptop yang sudah lama diidam-idamkan (biarpun aku yang
memilih ternyata tas seperti itu yang diidam-idamkan). Sebenarnya dia pernah
bilang ingin hadiah ulang tahun (ulang tahunnya 4 Desember) dariku tas laptop.
Akan tetapi aku tidak mau menunda-nunda.
Aku hanya bisa
berharap Allah mengijinkan aku menjadi orang tua asuhnya sampai Hizbul
benar-benar mandiri. Kusisihkan sebagian rejeki yang kudapat untuk Hizbul. Aku
yakin Allah memberi jalan, rejeki yang kusisihkan untuk Hizbul bisa sampai
padanya. Selamat belajar, selamat bekerja semoga engkau sukses, anakku. (SELESAI)
Karanganyar,
12 Juni 2013