Ibu
dan Bapak selalu berpesan kepada kami untuk gemar menabung. Dengan memiliki
celengan dari tanah liat, kami harus menabung setiap hari. Uang jajan/uang saku
tidak boleh dihabiskan semua. Uang jajan kami harus disisihkan untuk ditabung.
Aku
memang gemar menabung. Dibandingkan mbak Lichah, aku termasuk anak yang hemat.
Biasanya tabunganku lebih banyak dibanding saudara-saudaraku. Ada yang menarik,
yang membuat aku kecewa. Aku merasa jumlah tabunganku pasti banyak. Akan tetapi
setelah aku angkat ternyata celenganku ringan sekali. Ah, mana mungkin uang
receh bisa raib begitu saja. Kalau thuyul, pasti juga bukan. Kata orang-orang
thuyul kalau mengambil uang kertas.
Aku
mengamati celenganku. Ya ampun, ternyata bagian bawah celengan sudah terbuka.
Bagian yang terbuka ditutup kertas tebal lalu dilem. Wah, pekerjaan siapa ini?
Mbak
Lichah mengaku kalau yang mengambil uangku adalah dia. Aku sangat kecewa. Mbak
Lichah ini lo, sudah tidak pernah menabung, masih mengambil uangku pula. Dia
memang boros, suka jajan. Aku sebel sama mbak Lichah.
Aku
tidak perlu marah-marah, yang penting uangku kembali. Akhirnya mbak Lichah
minta uang pada Ibu untuk mengembalikan uangku. Rencananya tabunganku ini akan
kugunakan untuk membeli alat-alat tulis, pakaian, atau mukena.