Membaca Alam |
Wahai
Bapak Ibu Guru Kelas I, Ajarilah Anak-anak kelas I membaca dan menulis! Karena membaca
dan menulis baru boleh diajarkan pada kelas I SD, bukan di TK. Bahkan di TK,
anak-anak tidak boleh diajari calistung (baca, tulis, hitung). Jadi, kewajiban
Bapak Ibu guru kelas I di sekolah adalah mengajar baca tulis. Itu saja yang kata,
kalimat dan angka sederhana, belum yang rumit atau kompleks.
Tulisan
sederhana ini sengaja saya buat, karena saya membaca banyak status teman-teman
FB yang menyayangkan “tragedy anak kelas I dikeluarkan karena belum bisa
membaca”. Rasa penasaran itu akhirnya terobati dengan membuka sebuah link. Akhirnya,
saya jadi pingin nulis tentang tulisan ini.
Anak
saya yang kedua, sekarang duduk di kelas I SD. Alhamdulillah, dia sudah bisa
membaca dan menulis. Apakah ketika di TK sudah diajari membaca dan menulis? O,
tidak. Semua berjalan alami, seperti air mengalir. Wah, hebat ya? Enggak juga. Lo,
mengapa nggak mau dikatakan hebat? Karena ada alasan yang harus saya tuliskan.
Tahun
lalu, anak saya sudah SD di sekolah swasta. Karena saya memiliki keyakinan di
sekolah tersebut mengutamakan pendidikan agama, maka saya tidak khawatir. Waktu
itu saya berpikir, yang penting bisa hafalan surat pendek, bisa membaca
doa-doa, bisa menghafal hadits, perilakunya baik, bisa berwudhu, shalat dan
lain-lain. Di rumah, saya ajari membaca dan menulis. Memang si kecil bisa membaca
dengan terbata-bata, menulis juga belum begitu bisa. Jangan dibayangkan menulis
satu kalimat. Menulis kata-kata saja kebalik-balik. Hasilnya, rapor nilainya
sebagian besar merah.
Pada
semester I karena nilai rapor yang tidak menggembirakan, saya usul pada wali
kelasnya supaya anak saya diberi pelajaran tambahan (sekadar 15 menit saat akan
istirahat tidur siang). Oleh karena sekolah fullday 5 hari sekolah, anak saya
kalau sudah sampai rumah kelihatan capek, maka tidak mau belajar. Saya juga
tidak mungkin membebani les membaca dan menulis sepulang sekolah. Sayangnya,
wali kelas belum sependapat dengan saya. (Sebenarnya, ceritanya sangat panjang,
tapi saya pangkas saja).
Kalau
di rumah, anak saya mau membaca dan mengerjakan soal dengan bimbingan saya. Menjawab
pertanyaan juga bisa, kalau saya tuntun. Anak saya memang sukar untuk focus,
tapi dengan kesabaran saya ternyata dia bisa konsentrasi juga.
Hanya
saja, saya heran, mengapa buku tulis anak saya tidak banyak tulisan? (saya
sempat bertanya pada wali kelasnya, dan jawabannya tidak memuaskan saya). Akhirnya,
sebelum penerimaan rapor, saya sudah diberi tahu terlebih dahulu dari sekolah. Sungguh,
saya tidak menduga sama sekali kalau anak saya harus tinggal kelas. Karena keadaan tidak bisa diubah (misalnya
naik bersyarat), kalau sama-sama masih di kelas satu, maka pilihan saya, saya mendaftarkan
anak saya kelas satu di sekolah lainnya.
Awalnya
saya khawatir, anak saya tidak bisa konsentrasi. Ternyata saya salah! Setiap pulang
sekolah, anak saya bilang ada PR. Saya pikir PR yang berat. Ternyata tidak. PR
yang dimaksud hanya mengulang menulis. Contoh: nama lengkap : ……., nama
panggilan: …… Hari berikutnya, saya lihat bukunya. Anak saya menulis tentang peralatan
mandi. PR : keramas memakai …., mandi
memakai…., gosok gigi memakai …. Menulis angka dan membuat gambar benda
sebanyak angka yang ditentukan. Karena merasa bisa, anak saya kelihatan menikmati
proses pembelajaran. Anak saya juga bercerita kalau diajari menulis dan
membaca. Dan seterusnya, materi pelajaran dan PR gampang. .
Ternyata,
di sekolah sebelumnya, anak dianggap bisa membaca dan menulis. Jadi tidak ada
pelajaran membaca dan menulis. Tapi setelah “hal terjadi pada anak saya”,
sekolah lama sekarang ada pelajaran baca tulis.
Kembali
ke tugas Bapak Ibu guru kelas I SD. Pelajaran dasar (Sepertinya) di kelas satu
adalah pengenalan huruf dan angka. Pengenalan huruf dan angka yang
diulang-ulang, rasanya memudahkan anak untuk menangkapnya dan menuliskannya. Bukankah
zaman dulu, pelajaran Bahasa Indonesia “ini budi” yang fenomenal, kata-kata dan
hurufnya hanya diulang-ulang? Dan, anak-anak yang dulu belajar “ini budi” juga
pandai-pandai. Ada yang berprofesi sebagai dokter, psikolog, insinyur dan
lain-lain.
Setiap
hari, saya menyempatkan diri/meluangkan waktu untuk mendampingi di kecil
belajar menulis, membaca dan berhitung. Saya membuka-buka buku pelajarannya. Kebetulan
sekarang memakai kurikulum 13. Untuk saat ini materi pelajarannya adalah Tema
I. Tema I (Diriku) pada beberapa halaman depan berisi perkenalan. Tokohnya Siti,
Lani, Dayu, Edo, Udin, Beni dan lain-lain. Si kecil sampai hafal
tokoh-tokohnya. Menurut saya, materinya juga tidak berat. Kalimat-kalimat yang
ada, beberapa kata ditulis berulang-ulang sehingga anak hafal tulisan tersebut.
Lama-kelamaan anak bisa membaca kata baru dan menuliskannya. Kalau materi pelajaran
itu ringan, tentu saja anak akan senang karena merasa bisa mengikuti pelajaran.
00000
Beberapa
orang tua yang memiliki anak kelas I SD, memiliki pendapat simple (saya setuju
banget). Anak kelas I dan II, yang tidak terlalu lancar membaca dan menulis,
bukan berarti bodoh. Kemampuan anak berbeda-beda. Mungkin pada hal tertentu, si
anak mempunyai kemampuan yang luar biasa. Bisa jadi, anak lemah pada pelajaran
saat kelas I dan II tetapi di tingkat yang lebih tinggi ternyata si anak lebih
berprestasi dibanding anak-anak yang sejak awal masuk kelas I, baca tulisnya sudah
lancar.
Bapak
Ibu guru di kelas I, mengajar siswa di sekolah. Selebihnya, kalau di rumah,
tentu kewajiban orang tua untuk mendampingi putra-putrinya dalam belajar. Kalau
ini semua bisa berjalan dengan selaras, pasti semua bisa dikomunikasikan dengan
baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan.
Harapan
saya, jangan sampai ada sekolah yang menolak calon siswa baru kelas I SD yang
belum bisa membaca dan menulis. Karena perlu digarisbawahi “Di TK tidak boleh
ada CALISTUNG”, jadi memang calistung belajarnya di SD.
Wahai
Bapak Ibu Guru Kelas I, Ajarilah Anak-anak kelas I membaca dan menulis!
Karanganyar
yang dingin, 29 Juli 2017