Setelah Dhenok diantar Ayah ke Yogyakarta untuk menempuh studi
lebih tinggi, kini tinggallah saya, suami dan Thole yang ada di rumah. Ketika
Dhenok masih kecil dan belum memiliki adik, saya mengawasi Dhenok sedemikian
rupa. Oleh karena rumah kami berada di tengah sawah maka pengawasan kami pada
Dhenok sangat ketat. Bila orang lain mengatakan biarlah anak-anak bermain
sendiri di halaman rumah. Bagi saya tidak seperti itu. Sekitar rumah masih
banyak binatang berbahaya seperti ular (baik yang tidak berbisa maupun yang
berbisa), serangga atau mamalia. Kini saya memperlakukan Thole sama dengan perlakuan
saya pada kakaknya.
Sepulang dari taman penitipan anak, saya memaksa Thole untuk
tidur siang. Setelah bangun, biasanya Thole bermain bersama anak-anak tetangga
seusianya. Mereka sering bersepeda keliling sawah dekat rumah. Bahagianya anak-anak
adalah bisa bermain menjelang senja.
Bila saya libur alias tidak mengajar, sebisa mungkin saya dampingi
Thole beraktifitas. Kini saya lebih leluasa menemani Thole bermain di luar
rumah. Kebetulan, setelah pulang sekolah, teman saya dan anaknya (namanya Zu) datang ke rumah. Kami sangat
akrab. Thole juga bisa dekat dengan Zu.
Thole dan Zu bermain air. Setelah itu Thole dan Zu memanjat
pohon mangga dan duduk di atas cabangnya. Pohon mangga di halaman rumah cukup
besar dan rindang. Di bawah pohon mangga terasa teduh.
Nemu pemandangan kayak gini kok bahagia. Ternyata bahagia itu
sederhana. Hanya bincang-bincang ringan dengan anak-anak di atas pohon mangga.
Hari ini agenda Thole adalah membuat rumah pohon. Simbok itu
memang kudu memahami ide-ide Thole yang thes thes.
Beruntung simbok itu hatinya seluas samudra yang tidak akan
marah walaupun lelah ngawasi Thole. Yang penting Thole tidak cuma pegang hape.
Yang di atas pohon mangga itu bukan #kahfinoer. Beliau adalah
teman yang sengaja datang ke rumah. Bersama putrinya, mereka nyaman dan ngantuk
di atas pohon.
Mungkin tidak perlu rumah pohon. Cukup disediakan tempat duduk
panjang dan lebar di bawah pohon. Dijamin liyer liyer ngantuk.
Setelah teman saya dan Zu pulang, Thole kembali beraksi. Ambil kayu,
paku dan palu. Tempel kayu di sana sini lalu dipasangi genteng. Katanya,”Rumah
pohon, Ma.”
Anak itu cukup nalar juga. Yang diduduki tetap batang besar
bukan kayu yang dipaku. Sambil bersandar di batang, Thole mulai bercerita. Simbok
hanya bisa menatap wajahnya dengan rasa haru.