Rabu, 21 Juni 2023

Makanan yang Perlu Dibawa Saat Naik Haji Reguler



Alhamdulillah, tahun 2023 ini jemaah haji Indonesia mendapatkan makan tiga kali dalam sehari. Menunya juga enak-enak, tapi sayangnya padu padannya kurang greget. Misal pagi hari nasi kuning lauknya kering kacang dan teri. Siangnya sudah cocok, malqm hari menunya sedikit aneh. Hari berikutnya, pagi hari menu sarapan nasi uduk lauknya oseng tempe bumbu kecap. 

Meskipun sudah ada daftar menu untuk seminggu, tetap saja kalau buka kotak aluminium foil rada kaget juga. Maka salah satu cara agar makannya tetap lahap adalah makanan/lauk kering yang dibawa dari tanah air dieksekusi. Biasanya sambal pecel tak pernah ketinggalan. Ada juga abon, kering tempe, serundeng, sambal terasi/tomat, kecap dan mi instan atau mi gelas. 

Bagi Anda yang akan naik haji pada tahun yang akan datang, mangga bisa dibaca. Siapa tahu bermanfaat.

Lauk kering:
Kering tempe mix kacang atau teri, abon ayam/sapi, serundeng ori/pedas, sambal pecel, tempe keripik, rempeyek, dan makanan kering kesukaan ya.

Makanan/camilan:
Biskuit, enting-enting, keripik jagung  onde-onde mini, slondok.

Minuman instan:
Jahe, susu jahe, energen, kopi, teh, gula pasir, gula jawa, dan lain-lain. 

Permen:
Kopiko, relaksa, kiss, permen jahe, atau permen kesukaan. 

Makanan/camilan dan permen selain dikonsumsi sendiri juga bisa disedekahkan saat berada di Masjidil Haram atau masjid terdekat.

Saya selalu bawa tas ransel kecil berisi bikuit dan permen. Makanan tersebut saya bagikan pada orang yang saya temui.

Suatu hari saya berjemaah di masjid dekat hotel. Ketika pulang, saya berbagi permen pada perempuan berkulit hitam. Tiba-tiba ada laki-laki berkulit bersih menunjuk permen yang saya beriksn pada perempuan tadi. Buru-buru saya ulurkan 2 buah permen. Laki-laki itu memberi kode kurang. Maka saya berikan 2 buah lagi. Dia tersenyum memberi isyarat terima kasih.

Dari pengalaman itu, saya sarankan untuk membawa camilan atau permen dalam jumlah banyak untuk berbagi. Berbagi tidak membuat kita miskin. Berbagi membuat kita lebih kaya. 

00000

Selasa, 20 Juni 2023

Berhaji Bawa 6 Stel Baju, Begini Cara Gonta Ganti Pakaian


Barang bawaan jemaah haji sangat dibatasi, beratnya sehingga harus pandai memadupadankan pakaian yang dikenakan. Saya hanya membawa 6 stel pakaian, dan 5 buah kerudung. Gamis putih 1 potong, 1 stel atasan dan bawahan putih, 1 potong kaos putih, 3 gamis, 1 daster, 2 kerudung hitam, 2 kerudung putih, dan 1 kerudung cokelat ukuran jumbo. 

Karena jumlah pakaian terbatas, maka harus pandai mengatur agar pakaian cepat dicuci, dikeringkan lalu dipakai lagi, alias ringgo (garing dinggo). 😂😂😂

Di hotel Namma Mawaddah disediakan mesin cuci. Mesin cuci yang tak pernah berhenti beroperasi karena jemaahnya banyak. Tempat cuci pakaian di lantai Restorasi paling ujung.

Saya mengakali, agar nggak lama antrenya. Cuci dan bilas pakaian di kamar mandi lalu mengeringkan pakaian di tempat pencucian. Setelah dikeringkan, pakaian yang besar dihanger lalu digantung di dalam kamar mandi. Cucian yang kecil, dijemur di dalam kamar ditempelkan pada gordin jendela disemat pakai peniti. Dengan cara demikian, maka tak perlu menunggu lama kering dan hemat barang bawaan. Hahaha.

Ini ternyata dilakukan jemaah secara turun temurun. Semoga cara ini bermanfaat bagi Anda yang kelak akan menunaikan ibadah haji. Namun, ini hanya berlaku di Mekah. Sebab hotel di Madinah, menurut info tidak ada fasilitas mesin cuci. Yo wis rapapa. 



Sabtu, 17 Juni 2023

Setiap Jemaah Haji Memiliki Ujian Sendiri-sendiri

 


Setiap jemaah haji pasti diuji. Ujiannya satu orang dengan yang lain berbeda. Ada yang diuji dengan kesehatannya, pasangannya, dengan orang tuanya, dengan temannya, dan lain-lain.

Saya diuji dengan kesehatan atau badan saya. Selama di tanah suci, tensi tinggi padahal ketika di tanah air selalu normal dan baik-baik saja. Evaluasi: mungkin beberapa terakhir sebelum berangkat saya kecapaian, kurang tidur, banyak tamu yang datang, capai membersihkan rumah, dan lain-lain.

Solusi: tidak memaksakan fisik untuk mengeluarkan tenaga lebih besar. Saya membatasi salat di Masjidil Haram. Sebab, aktivitas menuju Masjidil Haram berjalan dengan cepat. Tidak ada orang yang berjalan santai seperti melakukan rockpot. Berjalan cepat dengan tetap memperhatikan orang-orang tinggi besar di sekitar. 

Saya diuji dengan terpisah dari suami di Masjidil Haram. Solusi: tetap bergandengan tangan kecuali sedang salat.

Saya diuji dengan "ketidaknyamanan dengan seseorang". Solusi: tidak jidal. Tetap rendah hati dan tidak sombong, tidak merasa punya power, mengalah saja. Apapun bentuk gesekan, cukup mengalah dan beristigfar. 

Saya berada di kamar yang isinya 4 orang. Tiga orang selain saya adalah  Ibu S (68 tahun) dan anaknya (46 tahun) serta kakak (73 tahun). Di kamar lain ada anak laki-laki dari ibu (68 tahun) dan suami dari anak (46 tahun). Jadi, teman sekamar saya ini berlima dalam satu keluarga besar. Teman sekamar tersebut, yakni Ibu S, pinginnya ke Masjidil Haram terus. 

Suatu pagi, anak perempuan dan suaminya berangkat ke Masjidil Haram. Anak laki-laki dan ibunya juga ke Masjidil Haram, sedang kakak yang usianya 73 tahun tinggal di hotel. Saya ke Masjidil Haram, suami tidak karena piket untuk mengambil konsumsi dan ikut senam kloter 59.

Singkat cerita setelah tiba di terminal, saya turun lalu ikut menggandeng tangan kanan  Ibu S. Tangan kiri Ibu S digandeng anak laki-lakinya. Ternyata kami thawaf di lantai dasar. Alhamdulillah, kami bisa dekat dengan Hijr Ismail tapi kemudian menjauh agar saat azan subuh bisa salat di belakang. Thawaf, salat Subuh dan Shuruq telah kami tunaikan dengan lancar.

Sampai di hotel, ternyata pasangan suami istri anak dari Ibu S juga tiba. Setelah sarapan, teman saya bercerita bagaimana dia dan suami bisa berdoa di Hijr Ismail, memegang Multazam, dan berdoa sesuai hajatnya. Saya mendengarkan. Saya hanya bilang, "alhamdulillah saya, ibu S dan adik njenengan bisa dekat dengan Hijr Ismail tapi terus menjauh."

"Buk, pokoknya besok suatu saat aku ajak sampai di depan Ka'bah."

Saya merasa menyesal lalu beristigfar, karena  membocorkan telah sampat di putaran dekat dengan Ka'bah. Seharusnya saya diam. Namun, Ibu S bilang, "terima kasih ya, Bu. Sudah menggandeng saya selama thawaf, menemani ketika salat Subuh."

"Sama-sama."

Teman saya bertanya, "tadi tongkatnya nggak dibawa?"

Saya balik bertanya, "ketika  thawaf di lantai dasar, njenengan lihat orang thawaf pakai tongkat atau tidak?"

"Lihat seorang bapak-bapak memakai thawaf."

"Hanya seorang atau banyak orang?"

"Seorang."

"Saya tadi lihat seorang perempuan memakai kruk. Kruk mengenai kaki saya, juga seorang. Menurut njenengan, kalau Ibu S pakai tongkat kira-kira repot atau tidak dengan kondisi penuh berdesakan?"

"Kayaknya tidak bisa."

Saya tak perlu berdebat. Begitulah, nggak mungkin kita bawa tongkat. Toh tanpa tongkat, Ibu S juga bisa menyelesaikan thawaf. 

Setelah selesai membicarakan pengalaman thawaf tadi, saya menyingkir. Beristigfar. Tak terasa air mata saya menetes. Siapa saya? Apa hubungan saya dengan Ibu S? Tentang tongkat, bukan kewajiban saya untuk membawakannya. Saya beristigfar dan, "Ya Allah, mudahkan urusan saya."



Pagi tadi, saya ke Masjidil Haram bersama suami. Ibu S dan anak laki-lakinya juga ke Masjidil Haram. Saya dan suami bergandengan menuju lantai 4, beratapkan langit. Saya dan suami tidak melakukan thawaf. Menunggu Subuh dengan salat tahajud, berdoa, dan berzikir. Selesai salat Subuh kami langsung pulang, tidak menunggu Shuruq.

Singkat cerita kami tiba di hotel. Ibu S juga sudah berada di hotel. Saya bertanya pada ibu S, "Ibu tadi juga thawaf di lantai 1?"

"Tidak. Penuh banget. Sampai masjid langsung cari tempat salat seperti kita kemarin, Bu."

"O, njih."

Sudahlah, simpulkan sendiri. 

Jadi, ujian pasti akan datang pada kita dan bentuknya macam-macam. Kuncinya istigfar.

00000


Jumat, 16 Juni 2023

Sandal Yang Berputar

 


Dari tanah air, saya dan suami membawa cukup alas kaki. Jadi, kalau ada yang ngecek koper kami pasti akan memberi komentar  "arep dodolan sandal pa?" Tiap orang punya pemikiran berbeda. Dan, saya juga termasuk orang aneh dan nyleneh.

Pada hari pertama berada di Masjidil Haram, seperti yang saya bagikan sebelumnya saya diberi sandal oleh petugas PPIH. Sorenya ketika di hotel suami bilang pada saya, "Mi, sandalku kuberikan pada jemaah haji di lantai bawah. Aku minta sandal lainnya."

Saya heran campur gemas. Hahaha. Di koper suami juga banyak sandal lo. Kok ya kudu njaluk punya saya.

Saya ambilkan sandal yang ada. "Wis rapapa. Artinya sandal dari petugas haji tadi bisa diberikan ke orang lain."

Kemarin sore, pas makan bareng tiba-tiba sandal suami tidak ada dan yang tersisa adalah sandal milik seseorang dengan inisial S. Karena berada di hotel yang penduduknya juga tetangga sendiri di Karanganyar dan sekitarnya maka saya wara-wara di grup rombongan tentang sandal. Hanya sekadar sandal. Di tanah suci sangat berarti lo teman-teman. Kalau di tanah air, apalagi di desa; nyeker itu hal yang biasa. Namun, jangan sekali-sekali nyeker di siang hari di jalan di tanah suci. Bisa-bisa masuk rumah sakit, apalagi yang mengidap diabetes.

Alhamdulillah, di mushala sandal suami ketemu. Akhirnya sandal dengan inisial S dibawa suami ke mushala. Semoga bertemu dengan pemiliknya. Amin.

Begitulah, siapa mempermudah urusan orang, maka Allah akan memudahkan urusannya. 

Sudah 2 hari, di tas punggung saya isi sandal jepit. Siapa tahu nanti ada yang memanfaatkan. Berbagi itu indah.

00000

Hari Pertama di Masjidil Haram Terpisah dari Suami



Skenario Allah membuat saya semakin bersyukur. Sebab, hari pertama saya menginjakkan Masjidil Haram, saya terpisah dari suami. Namun saya yakin, Allah akan memberi pertolongan dan mempertemukan saya dengan suami.

Ceritanya begini, teman-teman. Saya tidak melakukan umrah bersama teman-teman sebab saya ragu-ragu dengan keluarnya sedikit lendir keruh (bukan fleks). Saya memutuskan untuk bersih dan mandi besar terlebih dahulu. Yang penting saya harus menjaga niat berihram dan menjauhi larangannya.

Tanggal 13 Juni jam 3 Waktu Arab Saudi, saya diantar suami naik ke lantai atas untuk melakukan thawaf. Suami tidak bisa mengantarkan/mendampingi di lantai 1. Sebab suami tidak memakai kain ihram. 

Saya melakukan thawaf sendiri, sedangkan suami menunggu salat Subuh dan Shuruq. Setelah putaran ketujuh, saya tak lagi menemukan suami. Saya melanjutkan perjalanan, melakukan sai sendiri. Setelah bertanya pada jemaah haji Indonesia, saya melaksanakan Sa'i dari bukit Shafa ke Marwa dan sebaliknya sebanyak 7 perjalanan. 

Selesai sa'i, saya membuka hp. Suami mengirim foto. Captionnya: saya di sini. (Tidak ada keterangan itu shafa atau marwa). Di shafa dan marwa semua ada askar. Jadi, ini shafa atau marwa? Sebab, foto yang diambil tentu akan sama gambar dan posisi askar. Saya menelepon suami. Dia bilang dari Marwa ambil jalan ke kanan ke pintu keluar. Saya menurut. Keluar dan terus berjalan tanpa menggunakan sandal. Saya terus beristigfar dan membaca shalawat. Ya Allah, mudahkan urusan saya.

Saya tetap tidak menemukan suami. Kembali suami mengirim foto. Dia akan mengibarksn jaketnya. Saya bilang, saya tidak paham. Saya minta suami untuk kembali ke Marwa. Sambil menunggu, seorang petugas PPIH mendekati saya.

"Saya dari Kabupaten Karanganyar. Tadi umrah sendiri. Saya terpisah dari suami. Insya Allah nanti bertemu di Marwa."
"Sandal ibu?"
"Dibawa suami. Saya tidak membawa tas."
Petugas PPIH memberi sepasang sandal swallow hijau.
"Terima kasih."
"Ibu sudah sarapan?"
"Belum."
Saya diberi roti berisi cokelat.
"Ibu di sini saja jangan berpindah tempat."

Akhirnya petugas yang ramah tersebut meninggalkan saya. Tak lama kemudian, suami memberi kode. Saya menuju pintu keluar bukit Marwa. Saya lihat suami berbincang dengan seseorang. Setelah orang tersebut pergi, saya memeluk suami. Alhamdulillah. 

Tidak ada debat. Kami saling mengevaluasi perjalanan dan drama di hari pertama saya menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Kata suami, "Aku nggak panik. Aku yakin pasti akan ada pertolongan." Istigfar dan istigfar.

Ada rasa bahagia setelah menyelesaikan thawaf dan sa'i. Potong rambut bisa saya lakukan di hotel.

Saya maklum. Suami tipe orang yang suka membantu orang lain. Suami tipe percaya bahwa istrinya bisa mengatasi masalah. Jadi, dia merasa tidak harus mendampingi dan memastikan saya thawaf dan sa'i, sehingga saya dibiarkan mandiri. 

Saya juga tidak menyalahkannya. Karena sejak awal sudah tahu dan percaya bahwasanya suami adalah orang pilihan yang mendampingi saya dan keluarga sampai di surga. Bersama sesurga.

Saya jadi tahu. Thawaf di lantai 2 jaraknya lebih jauh dan memakan waktu yang banyak. Kuncinya adalah terus lantunkan doa dan zikir. Toh, 7 putaran akhirnya bisa diselesaikan. 

00000

Episode selanjutnya adalah tentang sepasang sandal jepit. Sandal jepit yang berputar.

Kamis, 15 Juni 2023

Sensasi Melaksanakan Umrah Sendiri



Tanggal 12 Juni 2023 sekitar pukul 3 waktu Arab Saudi, jemaah haji kloter 59 telah sampai di Bandara King Abdul Aziz. Syukur alhamdulillah, saya dan suami menangis ketika pesawat mulai berjalan di atas landasan. Terima kasih suamiku, kau telah memenuhi janjimu untuk menunaikan ibadah haji bersamaku. 

Ada sedikit kesulitan ketika cek visa secara online. Sebab, seperti pada perekaman biometrik pembuatan bio visa saudi, sidik jari sulit terdeteksi. Tetap tenang, Im! Suami yang sudah lolos menunggu di depan. 

Selanjutnya kami bebersih dan wudu untuk berniat umrah. Labaika umrata.

Dari bandara menuju hotel naik bus 48. Kami salat subuh sendiri-sendiri di dalam bus. Lalu menikmati sarapan pagi. Transit di suatu tempat. Beberapa orang penduduk setempat naik bus untuk membagikan paket sedekah/hadiah.

Beberapa saat setelah tiba di hotel, jemaah kloter 59 bersiap ke Masjidil Haram untuk melaksanakan umrah. Saya tidak ikut karena keluar lendir/fleks yang meragukan. Sabar, menunggu bersih.

Alhamdulillah  dari magrib, isya', dan sebelum subuh bersih. Saya ikut suami yang akan salat tahajud dan subuh di Masjidil Haram. 

Oleh karena suami tidak memakai pakaian ihram, maka hanya bisa salat/thawaf dilantai 2 dan 3. Bagi laki-laki yang akan thawal di lantai 1 harus memakai kain ihram. Jadi, saya dibawa suami ke lantai 2. Saya thawaf sendiri. Sedangkan suami menunggu subuh sambil berdoa. Setiap berputar, saya sempatkan melirik tempat suami duduk. Lega rasanya melihat keberadaan suami. Pada putaran ketujuh mendekati lampu hijau, saya tak memperhatikan keberadaan suami. Akhirnya thawaf 7 putaran selesai. 

Saya salat 2 rakaat, lalu menepi. Minum air zam-zam. 

"Yah, posisiku di dekat lampu hijau dekat pintu besar. Ke mana aku harus berjalan menuju tempat sai?"

"Keluar pintu lalu ke kanan."

Setelah bertanya pada jemaah haji kota lain, saya mulai sai pelan-pelan. Sepi. Doa saya panjatkan. Saya nikmati prosesi umrah ini dengan hati tenang. Setelah melangkah 7 putaran untuk thawaf dengan jarak yang lumayan lebih jauh, saya menggunakan sisa energi dengan baik untuk 7 perjalanan Shafa-Marwa dan sebaliknya. 



Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan umrah (belum tahalul) sendiri secara mandiri. Ternyata mengikuti bimbingan manasik haji memang perlu  Tidak ada yang menemani, bahkan saya terpisah dari suami. Karena miskomunikasi, cukup lama saya mencari suami. 

Bukannya saya bingung tapi karena saya belum tahu medannya saja. Beruntung saya tidak berjalan jauh dari Marwa. Saya bertemu Petugas PPIH Indonesia. Beliau memberi saya sandal jepit dan roti untuk sarapan. Akhirnya saya bertemu suami setelah terjadi drama yang cukup panjang. Hanya satu kuncinya, yaitu sabar dan banyak istigfar. 

Umrah wajib yang sangat mengesankan.

Drama panjang dilanjutkan pada tulisan berikutnya.

00000

Senin, 12 Juni 2023

Berpacu Dengan Waktu di Asrama Haji Donohudan



Hari Sabtu, 10 Juni 2023 pagi saya dan suami ke makam bapak dan ibu mertua untuk mendoakannya. Di atas makam cukup kami taruh bunga kertas dan daun tanaman hias. Saya dan suami memang melakukan sesuatu yang tak lazim bagi kebanyakan orang.

Oleh karena saudara-saudara saya datang sehari sebelumnya, saya menyiapkan menu favorit keluarga yaitu tongseng kambing. Setelah sarapan, saya rebahan. Sebab beberapa hari kurang tidur.



Alhamdulillah, saya dan suami diantar anak-anak dan saudara-saudara di Masjid Madaniyah. Seperti pada umumnya, isak tangis para calon jemaah haji dan kerabat mewarnai pelepasan kami. Kami menuju Asrama Haji Donohudan. 



Karena datang sampai asrama "kemruputen" dan petugas belum ada, jadi bus mencari tempat parkir untuk menunggu jam 16.00 WIB. Jadi, nunggu 1 jam ya.

Setelah petugas siap, mulailah para jemaah kloter 59 yang terdiri dari jemaah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri antre untuk cek kesehatan dikelompokkan dalam 8 rombongan.



Saat cek kesehatan, saya harus tes urine untuk tahu hamil atau tidak. Sebab saya masih subur tapi sudah 3 bulan tidak haid. Hasilnya, tara..... negatif. Syukur alhamdulillah.

Semua jemaah haji mendapatkan sepaket dalam tas berisi botol air minum, oralit  masker, multivitamin, handsanitizer, dan lain-lain. Tentu saja tambahan barang ini menambah muatan koper hahaha. Alhamdulillah, tidak kurang-kurang sangu mulai dari kemenag, kabupaten, RS PKU, Asrama Haji. Masihkah nggak bersyukur?

Di asrama haji berpacu dengan waktu. Sebelum magrib makan malam dengan menu lebih dari cukup. Selain itu ada kudapan yang bisa dibawa ke kamar untuk ngemil. 

Karena musafir, jadi kami tidak mandi sore/malam. Biarpun berkeringat, anggap saja latihan di Armina. Anehnya tidur bareng 10 orang, semua biasa saja. Yang ada yang merasa bau. 

Maunya setelah Isya bisa bobok manis, ternyata baru saja mata terpejam ada panggilan berkumpul di ruang makan untuk menerima gelang haji dan pernyataan tarwiyah. Saya ditinggal teman-teman sekamar. Kata mereka, saya pulas banget tidurnya. Jadi, mereka tidak membangunkan saya. Mesakke. Hahaha. 

Dengan kriyip-kriyip saya menuju ruang makan. Suami sudah menunggu.

Ketika memasangkan gelang, kami digoda-teman-teman. Cie cie. "Dibelikan gelang termahal". Saya dan suami terkekeh.

Selesai mengenakan gelang, saya kembali ke kamar. Semua rebahan. Jam sebelas malam lebih, ada panggilan melalui pengeras suara. Kali ini kami harus datang membawa tas paspor. Selain menerima paspor, kami juga mendapat living cost sebesar 3.030.000 rupiah. Alhamdulillah. Uang tersebut untuk membayar dam dan keperluan lainnya untuk rombongan.

Jam 12.00 malam saya benar-benar tidur dan bisa bangun untuk salat tahajud. 

Pagi hari mandi besar untuk berihram. Setelah makan siang, kami salat berjemaah zuhur dan asar dijamak qashar. Kami meninggalkan kamar. Waktu cepat berlalu. Kami menuju ruang muzdalifah untuk cek in dan bordingpass. Jadi, di asrama haji datang petugas dari bandara.

Setelah selesai urusan dengan dokumen perjalanan penerbangan, kami menuju bandara. Alhamdulillah, saya bersyukur akhirnya terbang menuju baitullah. 

"Suamiku, terima kasih. Kau telah mewujudkan cita-cita naik haji bersamaku seperti yang kau ucapkan awal bertemu di Dusun Kandangan, Margodadi, Sayegan, Sleman."



Sabtu, 10 Juni 2023

Akhirnya Berangkat


Akhirnya, selesai sudah packingnya. Pakaian ihram, gamis, mukena dan perlengkapan haji yang tersimpan tiga tahun di box tertata rapi dalam dua buah koper dan tas paspor. 

Tanggal 9 Juni 2023 koper besar sudah dikirim ke Masjid Madaniyah. Koper kecil dan tas paspor pagi tadi telah saya bawa menuju asrama haji Donohudan, Boyolali. Alhamdulillah.