|
Sebelum Resepsi Pernikahan Kakak kedua |
Beberapa
bulan sebelum kakak sulung menikah, ada acara lamaran. Keluarga kami sudah
menyiapkan barang-barang yang dibawa untuk lamaran. Semua barang dibungkus
dengan rapi. Kami dari Yogyakarta, calon ipar tinggal di Kabupaten Blora. Kakak
saya dan calon istri saling mengenal waktu mengajar di sekolah yang sama (di
Blora).
Ketika
lamaran, hanya Bapak, Ibu dan anak-anak saja yang datang ke Blora. Kakak saya
minta bantuan teman guru yang mengajar di Blora, sebagai sesepuh atau orang
yang dituakan untuk mewakili keluarga Bapak. Bapak tidak mengajak tetangga atau
saudara ikut ke Blora. Alasan Bapak tidak mengajak tetangga atau saudara adalah
tidak mau merepotkan waktu dan tenaga mereka.
Kami
dari Yogyakarta menuju Blora naik kendaraan umum (bus). Dari rumah sampai
Blora, kami harus 4 kali ganti bus. Alhamdulillah, semua berjalan dengan
lancar.
Beberapa
bulan kemudian, kakak sulung menikah. Kebetulan akad nikah tidak jatuh pada
hari Minggu. Oleh karena pas hari kerja, hanya Bapak, Ibu dan seorang kakak
perempuan yang bisa menyaksikan akad nikah. Kerabat dari pihak Ibu yang datang hanya Pakde Sumiharjo dan istri (dari
Surabaya). Mengingat kondisi yang tidak memungkinkan untuk semua bisa hadir
pada acara resepsi pernikahan, kakak saya bisa menerima keadaan itu.
Beberapa
hari setelah akad nikah, keluarga ipar mengantarkan kakak saya dan istri ke
rumah Bapak dan Ibu. Di rumah Bapak dan Ibu tidak ada acara besar-besaran
layaknya ngundhuh mantu. Bapak hanya mengundang beberapa orang tetangga dan
kerabat dekat.
Keadaan
keluarga kami memang sederhana dan biasa. Bapak dan Ibu tidak memaksakan diri
untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak bisa dijangkau, semampunya saja. Bagi
keluarga kami, menikah itu yang penting sah. Bila tidak sama seperti pada
umumnya, tidak lantas merasa nanti dibicarakan orang. Namanya hidup
bermasyarakat, selalu menjadi bahan pembicaraan, entah itu baik atau tidak
baik.
00000
Ketika
saya akan menikah, saya mengajar di Blora (tinggal di rumah keluarga kakak
saya). Calon suami saya (sekarang suami saya) berdomisili di Kabupaten
Karanganyar. Saya sebagai guru honorer, sedangkan calon suami sebagai CPNS.
Oleh
karena kesederhanaan saya, keluarga juga tidak membuatkan syukuran secara
besar-besaran. Saya hanya mengundang seorang teman seperjuangan yang mengajar
di MA Ali Maksum, Krapyak Kulon, Yogyakarta. Bapak hanya mengundang tetangga
khusus Bapak-bapak (tidak dengan Ibu-ibu) dan kerabat dekat. (Pakde Sumiharjo
di Surabaya diberi tahu via telepon pada hari H, sehingga tidak bisa hadir
ketika saya menikah). Sekali lagi, Bapak tidak mau merepotkan banyak orang.
Akad
nikah berjalan dengan baik dan lancar. Dua minggu kemudian, di rumah suami
diadakan acara ngundhuh mantu. Saya dan suami diantar ke rumah mertua. (Yang
sebenarnya, hari Minggu saya menikah, hari Senin saya dan suami sudah berpisah
di Solo. Saya ke Blora, suami ke Karanganyar. Seminggu kemudian kami bertemu di
Yogyakarta di rumah Bapak. Setelah itu, saya dan suami menuju Karanganyar. Selanjutnya, dua minggu kemudian, dari Blora
saya langsung ke Karanganyar. Jadi, pada saat ngundhuh mantu, saya dan suami
sudah berada di Karanganyar. Keluarga saya menuju rumah saudara suami dan kami
bertemu di sana.)
Dari
Yogyakarta, tetangga-tetangga Bapak dan kerabat banyak yang ikut mengantar kami
ke rumah mertua (besanan, bagi Bapak dan Ibu). Apa boleh buat, kami tidak bisa
menolak.
Bapak
menyadari, betapa akan merepotkan tetangga dan kerabat bila mengundang/mengajak
mereka. Dari segi waktu, tenaga dan biaya, tentulah sangat banyak. Bagi Bapak,
cukuplah kami minta doa dan restu saja.
Seorang
tetangga yang dianggap sesepuh di RT kami, mewakili keluarga untuk
menyerahkan/pasrah saya dan suami kepada keluarga suami. Bagi keluarga kami
merupakan suatu kehormatan dengan ikut sertanya tetangga. Alhamdulillah, acara
ngundhuh mantu di keluarga suami berjalan dengan lancar.
00000
Ketika
adik saya nomor lima menikah, akad nikah diadakan di rumah dan resepsi
pernikahan diadakan di gedung. Sore harinya, keluarga dan kerabat dekat
mengantarkan adik saya dan suaminya ke rumah orang tua. Ada sesepuh dari RT
yang mewakili keluarga untuk menyerahkan adik saya dan suaminya kepada
keluarganya.
Dalam
satu hari, acara resepsi dan mengantarkan pengantin ke rumah orang tua pihak
laki-laki selesai. Betapa simpel dan tidak repot meskipun tetap merepotkan
sebagian tetangga dan kerabat dekat. Di rumah mertua adik saya tidak ada acara
ngundhuh mantu. Rumah keluarga mertua adik saya di Sleman. Jadi, masih dekat
dengan wilayah kota Yogyakarta.
00000
Adik
saya nomor enam, saat akad nikah dan resepsi diadakan di rumah. Kali ini tamu
undangan di rumah cukup banyak. Selain saudara, kerabat dan tetangga, juga tamu
undangan adik saya.
Dua minggu
kemudian, acara ngundhuh mantu di rumah mertua adik saya. Pada saat itu, adik
saya sudah tinggal di rumah keluarga suaminya. Ada tetangga yang mewakili Bapak
untuk menyerahkan/pasrah adik saya dan suami kepada keluarga besan. Hanya beberapa
orang tetangga saja yang ikut serta ke rumah besannya Bapak.
00000
Pada
saat kakak kedua saya menikah, tamu undangan saat resepsi pernikahan dan yang
ikut mengantarkan ke rumah besan Bapak cukup banyak. Bukan berarti Bapak
mengajak banyak orang. Sebagian dari mereka yang ikut karena keinginan mereka
untuk ikut.
Kalau
sudah seperti itu, keluarga kami tidak bisa menolak. Sebab hal itu sangat sensitif.
Diambil sisi positifnya saja.
Sesederhana
dan sesimpel apa yang telah dirancang, ternyata akhirnya juga akan merepotkan
orang lain (tetangga dan kerabat). Akan tetapi keluarga kami sudah berusaha
untuk menerapkan “MENIKAH ITU YANG PENTING SAH”.
00000
Setiap
orang, setiap keluarga memiliki prinsip sendiri-sendiri. Bagi saya, semua tergantung
masing-masing orang yang menjalani. Menikah, mau dibuat mewah resepsinya ya
silakan. Resepsi pernikahan dibuat sederhana, tidak ada salahnya. Setelah akad
nikah tidak mengadakan resepsi, juga tidak masalah. Akan tetapi untuk yang
terakhir tetap diumumkan/diberitahukan di wilayah RT. Minimal kedua mempelai
memperkenalkan pasangannya ke tetangga. Menikah itu yang penting sah. Jangan sampai
menikah menjadi berat karena “harus” mengada-adakan sesuatu di luar kemampuan.
Apabila
calon pasangan tempat tinggalnya berbeda kota maka perlu dipikirkan untuk
membawa keluarga ke luar kota. Bila ternyata untuk membawa seluruh anggota
keluarganya atau bersama kerabat memerlukan biaya yang cukup besar maka
dipikirkan masak-masak lagi. Apakah harus membawa seluruh anggota keluarga atau
cukup orang tua dan satu/dua orang wakil dari keluarga yang datang.
Sebaiknya
jangan memaksakan diri untuk memboyong seluruh keluarga agar bisa menyaksikan
akad nikah atau bisa menghadiri resepsi pernikahan. Bila kita memiliki
kelebihan rezeki, tentu tidak masalah. Akan tetapi bila kita sempit rezekinya,
jangan sampai setelah anggota keluarga menikah kita memiliki hutang yang banyak
hanya karena gengsi.
Tulisan
ini hanya sebagai pengingat diri saja. Bila tidak sependapat dengan tulisan
ini, silakan saja. Saya tidak memaksa Anda untuk sepakat dengan saya.
00000