Menabung Uang Receh dok.pri |
Berat rasanya berpisah
dengan koperasi. Bagaimanapun saya banyak mendapatkan manfaat dari koperasi. Akan
tetapi beberapa bulan yang lalu, saya telah memantapkan hati untuk meninggalkan
koperasi. Saya akan memilih jalan saya sendiri.
Teman-teman saya kaget
ketika saya mengutarakan hal itu. Bahkan, sebenarnya untuk tahun ini saya akan
dipilih kembali untuk menjabat bendahara koperasi. Keputusan saya keluar
menjadi anggota koperasi sangat disayangkan teman-teman.
Saya jadi ingat kisah awal
saya ikut koperasi (menjadi anggota koperasi). Tahun 1999, awal tahun ajaran
baru, saya masuk di SMK Tunas Muda sebagai guru baru. Waktu itu saya baru saja
pindah dari SMA N di Blora, Jateng. Kebetulan saya mengikuti suami yang tinggal
di Karanganyar. Waktu itu, kami baru beberapa bulan melangsungkan pernikahan. Alhamdulillah,
Allah mempercayakan kepada saya untuk segera momong anak alias saya mengandung.
Waktu itu suami masih
berstatus CPNS dengan gaji hanya pas untuk kebutuhan sehari-hari. Semakin
mendekati hari kelahiran, saya belum memiliki perlengkapan bayi sama sekali. Saya
dan suami tak ingin merepotkan orang tua. Jalan satu-satunya yang saya tempuh
adalah meminjam uang dari koperasi untuk membeli perlengkapan bayi. Uang Rp.
300.000,00 cukup untuk membeli pakaian bayi, popok, gurita, bedong, kaos
tangan/kaos kaki, selimut, selendang, kain jarik, handuk dan lain-lain.
Dengan cicilan ringan, saya
bisa menyelesaikan pinjaman dengan sukses. Setelah itu saya tidak mudah tergiur
untuk meminjam uang di koperasi. Saya memiliki prinsip kalau tidak kepepet,
saya tidak akan berhutang. Demikian juga suami saya, orangnya juga tidak mudah
tergiur meminjam uang ke koperasi. Bila kami menginginkan sesuatu, tapi belum
ada dana, kami cukup sabar dan sabar.
Selama saya mengikuti
koperasi, saya akui, saya sangat terbantu. Kami bisa membuat rumah, memperbaiki
rumah, biaya berobat di rumah sakit, juga karena kemurahan koperasi. Ya,
mungkin ada unsur ribanya. Saya mengakui itu! Saya tidak memungkirinya. Saya merasa
itu jalan satu-satunya yang bisa saya tempuh, sebab ketika saya datang ke
saudara untuk meminjam uang, mereka juga tidak memiliki. Misalnya mereka punya
uang, tapi mereka juga punya kebutuhan sendiri. Saya tidak mau mengganggu
mereka. Dengan meminjam koperasi, saya dan suami tidak ada rasa pekewuh karena
meminjam uang adalah salah satu hak kami.
Kalau sekarang mungkin saya
dan suami akan lebih berhati-hati dalam mengelola uang. Saya lebih
memprioritaskan menabung. Menabung untuk anak-anak, menabung untuk saya dan
suami terutama tabungan akhirat. Semoga Allah menitipkan kemudahan buat kami,
amin.
Kembali ke masalah koperasi,
saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari keanggotaan. Ketika saya ditanya
alasan saya keluar dari koperasi, saya tidak perlu menjawab. Saya tidak mau
menyakiti orang-orang yang telah terlanjur dekat dengan saya. Kalau saya
akhirnya dianggap sok-sokan, ya biarlah mereka berbicara apa saja. Itu hak
mereka dan saya tak perlu tersinggung. Dibuat gampang saja. Hidup ini indah
kalau kita tidak mudah merasa sakit hati. Sedikit-sedikit sakit hati, bisa
makan hati, yang rugi pasti saya sendiri.
Saya selalu terbuka dengan
pendapat orang lain. Sekalipun mereka tak sepaham dengan saya, saya akan
menghargai pendapat mereka. Walaupun masih ada perbedaan pendapat dengan suami,
Insya Allah dia akan memahami dengan berjalannya waktu.
Sahabat, maafkan saya yang
mendadak meninggalkan koperasi (ah, sudah beberapa bulan kok wacananya). Maafkan
kesalahan saya ketika dulu saya menjadi pengurus koperasi. Mungkin kalau
koperasi yang akan datang mekanismenya berbeda, saya bisa bergabung lagi.
Karanganyar, 31 Mei
2016