Sabtu, 28 Juni 2014

MEMBUKA WARUNG MAKAN

WIRAUSAHA
KELUAR DARI PABRIK : MEMBUKA WARUNG MAKAN
Oleh : Kahfi Noer
Sudah dua hari (sebelum berpuasa) yang lalu saya makan di warung lama, pemilik baru. Biasanya saya hanya makan nasi sayur dan minum teh panas. Bayarnya hanya 3-4 ribuan. Bukan berarti saya suka jajan, lebih karena ingin langrisi (biar warungnya laris saja).
Beberapa bulan yang lalu warung makan ini milik mbah Mul. Masakan mbah Mul memang enak. Karena saya termasuk pembeli yang manut, tidak banyak nawar atau banyak komentar, kadang-kadang saya diberi murah.
Setelah mbah Mul meninggal, usahanya diteruskan anaknya yang pertama (mbak Sri). Selain masakannya jauh di bawah standar rasanya, juga menunya tidak mengundang selera. Tapi untuk makan siang saya juga makan di warung itu juga. Warung makan yang diteruskan anaknya tidak bertahan lama.
Tempat tinggal mbak Sri jauh dari warung mbah Mul. Lagian, mbak Sri setiap malam juga berjualan nasi sayur di rumahnya sendiri. Dengan demikian repot sekali. Belum lagi ongkos becak jasa antar jemputnya yang tinggi. Praktis warung mbah Mul tutup lagi.
Lama warung makan mbah Mul tutup, lalu usaha ini diteruskan anak yang ragil. Saya biasa memanggil Mas Devi. Mas Devi (pendidikan terakhir SMK/STM) awalnya bekerja di pabrik. Setelah menikah, pasangan suami isteri yang pernikahannya baru 3 bulan ini memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Isterinya Mas Devi (pendidikan terakhir SMP) juga bekerja di pabrik. Lalu meneruskan usaha simboknya mengelola warung makan.
Selain membuka kembali warung makan, Mas Devi juga membuka jasa cuci sepeda motor. Ternyata Mas Devi ini juga tukang masak yang tidak diragukan. Sebagian sayur yang dimasak bumbunya dari Mas Devi, sedang isterinya tinggal mengolah atau sreng-sreng.
Menurut hemat saya, pasangan muda ini sangat kompak. Suatu hari sang isteri sempat saya ajak bincang-bincang. Katanya dengan membuka warung sendiri ternyata bekerja lebih nyaman. Tidak ada yang memerintah. Waktunya juga fleksibel.
Sayur dan lauk yang ada, rasanya hampir sama dengan sayur yang memasak mbah Mul. Kalau saya lihat, berjualan dengan membuka warung makan sampai saat ini masih prospek. Memang berjualan ada pasang surutnya. Bila tekun atau tidak mudah putus asa pasti berhasil juga.
Saya salut dengan pasangan muda ini! Berani memutuskan keluar dari pabrik untuk membuka warung makan dan jasa cuci sepeda motor, usaha sendiri. Inilah contoh wirausahawan. (SELESAI)
Karanganyar, 28 Juni 2014

Sangat Rugi: Bisnis Tahu Kupat Laris Manis Malah Ditinggalkan

Kenalan saya, sepasang suami isteri. Sang isteri asli dari Karanganyar dan suaminya berasal dari Purbalingga. Pernikahan mereka belum dikaruniai anak. Awal saya dan suami mengenal mereka, karena mereka tinggal di rumah tetangga (saudaranya).
Suami isteri tersebut, sebut saja Ali dan Tinah, berjualan tahu kupat. Untuk kupat dan mie basah mereka membeli yang sudah matang atau siap saji. Sedangkan untuk yang lain, tahu, kacang, tempe, bakwan dan lain-lain, mereka masak sendiri.
Awalnya Mas Ali berjualan keliling. Setiap berangkat dan pulang berjualan selalu melewati depan rumah saya. Beberapa kali saya membeli produk tahu kupat buatan Mas Ali. Menurut saya, kuah/kinca yang digunakan rasanya sudah pas di lidah.
Belakangan saya tahu, mereka akhirnya mendirikan tenda di sebuah tempat di sekitar kompleks sekolah. Kebetulan tempatnya strategis. Ada beberapa SMK, SMA/MAN, dan SD. Baru beberapa minggu berjualan di tempat tersebut, suami isteri tadi kewalahan melayani pembeli alias laris.
Sayang beberapa hari kemudian saya tidak mendapati warungnya. Tidak berjualan! Suatu saat saya bertemu dengan Mas Ali dan mbak Tinah. Saya bertanya kok warungnya tutup? Jawabannya adalah kebetulan mereka barusan pulkam alias pulang kampung atau mudik. Ada kepentingan dengan orang tuanya.
Setelah pulkam itu mereka tidak bersegera berjualan tahu kupat lagi. Mereka ganti haluan, berjualan bantal dan guling (berisi dakron) berkeliling. Saya tidak habis mengerti mengapa bisnis tahu kupat yang laris manis dan pelanggannya sudah banyak, ditinggalkan begitu saja. Lantas menggeluti bisnis bantal guling yang belum jelas pasarnya.
Kalau dinalar, jualan tahu kupat sudah jelas laku dan keuntungan tinggal mengalikan dengan berapa porsi yang terjual. Sedangkan untuk berjualan bantal guling, dengan menarik gerobak, tidak tiap hari laku, bagaimana mendapat untung?
Suatu hari saya bertanya pada Mas Ali, mengapa tidak berjualan tahu kupat lagi? Mas Ali menjawab bahwa isterinya tidak mau lagi terlalu repot.
Akhirnya mbak Tinah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Mas Ali sendiri juga tidak melanjutkan usahanya berkeliling menjajakan bantal gulingnya. Yang saya lihat Mas Ali malah tidak bekerja.
Kemudian saya mendengar Mas Ali bekerja pada warung sate ayam. Itu saja tidak genap satu minggu. Karena sakit diare, Mas Ali ijin tidak masuk bekerja. Tapi setelah sembuh juga tidak bekerja lagi.
Terakhir saya tahu dari suami saya kalau Mas Ali sekarang menerima pijat panggilan. Sedangkan isterinya tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Isterinya tinggal di Purbalingga di rumah mertua. Mas Ali sendiri berada di Karanganyar dengan mengontrak rumah.
Sampai saat ini saya sempat bertanya-tanya: mengapa pasangan Mas Ali dan mbak Tinah meninggalkan bisnis tahu kupat yang sudah jelas pasarnya, sudah jelas keuntungannya. Lalu memilih hidup dengan pekerjaan yang tidak pasti? Kalau Mas Ali memiliki kelebihan memijat orang, seharusnya bisa digunakan sebagai pekerjaan sampingan setelah berjualan.
Akan tetapi semua tergantung pada pihak-pihak yang mau melaksanakan. Mungkin bagi mereka hidup itu suka-suka mereka. Ya sudah, buat saya pribadi sesuatu yang bisa diraih (rejeki) sudah di depan mata jangan diabaikan/ditinggalkan!(SELESAI)
Karanganyar, 28 Juni 2014 

Kamis, 26 Juni 2014

Potong Bebek Angsa

Hari ini saya mengikuti pengenalan kurikulum 13 yang akan dilaksanakan di SMK Tunas Muda Karanganyar mulai tahun ajaran 2014/2015. Persiapannya cukup memadai, cukup membuat kepala berdenyut-denyut. Apalagi saya dari rumah belum sarapan. Biarpun sudah menyantap 2 buah arem-arem dan kudapan istimewa, tetap saja rada-rada pusing. (permakluman orang ndeso, kalau belum makan wujudnya nasi meskipun menghabiskan satu porsi sate ayam dan lontong atau tahu kupat, tetap saja pusing).
Kebetulan pelajaran Kimia yang saya ampu ada pengurangan jatah. Biasanya pelajaran kimia diberikan pada kelas X, XI, dan XII. Pada K13 ini Kimia diberikan pada kelas X dan XI. Dan yang lebih membuat waktu mengajar banyak luangnya adalah jurusan multimedia tidak ada pelajaran kimia. (ditrima-trimake saja).
Setelah selesai urusan dinas, waktunya untuk refreshing. Siang ini rencananya akan menjenguk putra teman guru yang baru saja dikhitan. Saya dipaksa untuk memberi tahu teman saya dulu, biar disiapkan segala sesuatunya.(walah, ngarep-arep disuguh makan siang!).
Sampai di rumah teman saya, ternyata teman saya sedang repot meladeni buruh-buruh panen. Hari ini teman saya panen padi. (apes deh, teman-teman yang lain membayangkan makan siang gratis, ternyata di luar dugaan).
Bertemu dengan putra teman saya yang baru disunat, saya jadi ingat keponakan saya yang baru saja melakukan ritual “POTONG BEBEK ANGSA”. Kebetulan 3 hari setelah dikhitan, putra teman saya sudah sembuh. Beda dengan keponakan saya. Awalnya keponakan saya hepi banget mau dikhitan. Katanya, pakai metode laser tidak sakit.
Ketika saya masuk kamar keponakan saya, anaknya diam. Saya tanya sakit nggak. Dia hanya mengangguk. Pertanyaan saya berikutnya tidak dijawab. (ternyata sakit katanya). Sampai hampir satu minggu keponakan saya masih susah jalannya. Malah untuk menghindari “angsanya” agar tidak kena gesekan, ayahnya membuat “koteka” dari barang daur ulang.
Ritual “POTONG BEBEK ANGSA” membuat orang-orang melakukan cukup sekali saja. Sewaktu menjenguk putra teman saya, kebetulan hanya saya yang lain jenis. Dalam hati saya bilang, wahai kaum lelaki, dirimu jangan kemaki. Ternyata sakit hanya sekali lalu kapok. Ya, itu dilakukan demi kesehatan dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim.
Bagi putranya yang akan dikhitan, dampingi, dan berikan dorongan psikologis, biar cepat sembuh. Jangan lupa makannya yang bergizi! Kalau kebetulan putranya dapat amplop, ikhlaskan saja buat ananda (nanti si anak tidak merasa sakit, atau mendadak hilang sakitnya begitu pegang amplop).
Pulang dari silaturahmi, di perjalanan pulang saya kehujanan. Lengkap sudah penderitaan saya (nggak-lah dibuat hepi), sudah kelaparan, kehujanan pula. Sampai di rumah kliyeng-kliyeng. Pet. Langsung tidur! (SELESAI)
Karanganyar, 26 Juni 2014 

Konsisten Menanam dan Menulis

Saya ingin waktu yang saya miliki tiap detik memiliki nilai manfaat bagi kehidupan saya, keluarga dan orang lain. Saya tak ingin menyia-nyiakan waktu saya, maka setelah mengajar saya turun ke sawah untuk bercocok tanam. Sebenarnya saya dan suami tidak memiliki ilmu bercocok tanam. Akan tetapi kami memiliki keyakinan, semua bisa dipelajari.
Awal menikah kami mencoba peruntungan menanam kacang hijau. Hasil panen tidak dapat mengembalikan modal awal. Gagal total, alias merugi. Setelah itu berturut-turut kami menanam padi, jagung, dan kacang tanah. Dari sini baru saya tahu semua membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Saya dan suami dapat menikmati hasil jerih payah. Yang kami dapat bisa saya tabung untuk membangun rumah.
Setelah saya menempati rumah sendiri (menempati sawah milik mertua), saya mulai belajar bercocok tanam komoditas lainnya. Ada lombok, kacang panjang, mentimun, kangkung darat, sawi hijau, bayam cabut dan pare. Semua saya tanam secara bergantian, akan tetapi ada yang multikultur. Keuntungan multikultur adalah hasil panen lebih optimal. Bila yang satu gagal, maka panen sayuran yang lain dapat menutupi biaya yang kami keluarkan.
Dari beberapa sayuran yang saya sebutkan, sepertinya saya lebih sreg atau pas kalau menanam kacang panjang dan mentimun. Keduanya termasuk sayuran berumur pendek, cepat dipanen, dan harga jualnya juga tinggi. Meski harga jatuh, setelah dihitung-hitung hasilnya dua kali dari pengeluaran (syarat : pengairan cukup). Artinya keuntungan minimal 100%.
Biasanya panen perdana sengaja kami sedekahkan kepada tetangga, teman-teman guru, atau saudara. Suami saya lebih puas bila mereka memanen sendiri di kebun kami.
Ada kepuasan tersendiri bila melihat kebun yang sarat dengan buah. Rasa lelah tidak pernah membuat saya cepat istirahat, justeru lebih puas lagi kalau habis dari kebun malamnya dilanjutkan menulis. Menulis apa saja yang saya alami sejak pagi sampai malam hari. Dari mengajar, berkebun dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Sejak SMA kegiatan menulis sudah saya lakukan. Malah Cerpen yang saya ketik (manual) ada yang dimuat di Majalah lokal. Sampai sekarang kegiatan menulis tidak saya tinggalkan. Meskipun baru beberapa Cerpen dan Sajak sempat dimuat di media massa, tapi saya puas. Sekarang ingin membuat buku.
Ternyata bercocok tanam dan menulis adalah kegiatan yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan saya. Rasanya hidup saya lebih berarti dengan mengerjakan rutinitas saya. Saat ini saya menanam kacang panjang, mentimun, gambas (oyong), dan kangkung darat. Paling tidak untuk mentimun satu bulan lagi bisa dipanen. Alhamdulillah, Allah menunjukkan rejeki saya dengan bercocok tanam dan menulis. (SELESAI)
Karanganyar, 1 Maret 2014

Kamis, 12 Juni 2014

Sembunyi di Balik Nama

Setelah menulis dan ingin mempublikasikan tulisan kita, kadang kita ragu-ragu mau memakai nama asli atau nama samaran. Tergantung kepentingan kita. Suatu saat kita ingin tampil sebagai diri kita sendiri. Maka kita akan percaya diri memakai nama asli kita.
Akan tetapi boleh-boleh saja kita memakai nama samaran, bukan nama asli kita. Bersembunyi di balik nama (memakai nama samaran) tidak ada yang melarang. Bagi yang menggunakan nama samaran pasti memiliki tujuan tertentu. Mungkin penulis tidak ingin identitasnya diketahui orang lain.
Nama kadang juga membawa hoki. Suatu hari ada orang yang bercerita bahwa selama ini mengirimkan naskah/tulisan tidak pernah dimuat di media. Orang ini berinisiatif menggunakan nama samaran. Ternyata setelah nama aslinya bersembunyi dan yang digunakan adalah nama samaran, tulisan-tulisannya bisa dimuat. Jadi, nama juga membawa hoki atau membawa rejeki.
Usut punya usut sewaktu menggunakan nama asli di setiap tulisan, orang ini kurang “berani”  menuliskan hal-hal yang bersifat bisa menyinggung atau menyindir orang lain. Setelah menggunakan nama samaran, keberanian muncul untuk menuliskan sesuatu yang yang memiliki nilai jual. Menulis tanpa beban, menulis tanpa memiliki rasa takut.
Biasanya untuk kepentingan akademis, orang akan mencantumkan nama asli di setiap tulisannya. Kadang kita akan memakai nama asli kita pada setiap tulisan kita. Suatu saat kita boleh menggunakan nama samaran. Kata orang, bersembunyi di balik nama samaran akan lebih aman, lebih percaya diri.
Semua kembali pada masing-masing penulis. Mau menggunakan nama asli atau nama samaran, tidak ada yang melarang.

Karanganyar, 9 Juni 2014

Senin, 09 Juni 2014

Kejutan, Ketika Buku Rekening Tiba-Tiba Menggelembung

Waktu pertama karya saya dimuat, dengan semangat saya mendatangi kantor redaksi. Alhamdulillah, honor yang saya dapat bisa untuk membeli 20 mangkok mie ayam saat itu. Ketika kuliah tahun-tahun terakhir, tulisan saya juga pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta). Honornya juga bisa untuk membeli 20 mangkok mie ayam.
Waktu itu penerimaan honor dikirim lewat wesel. Kalau sekarang langsung ditransfer ke rekening bank. Tetapi masih ada yang dikirim lewat wesel. Dua kali saya mendapatkan honor yang dikirim lewat wesel.
Akhirnya teman-teman tahu, kalau saya dapat honor. Ujung-ujungnya mereka minta ditraktir. Bagi saya tak masalah. Justeru dari sini mereka selalu mendoakan saya. Harapan saya tulisan saya banyak yang tembus media.
Suatu saat saya kaget, mendapatkan buku rekening yang saya cetak tertera pemasukan sejumlah sekian rupiah. Setelah saya cari-cari koran di sekolah, ternyata ada karya saya yang dimuat. Saya sendiri tidak tahu. Biasanya kalau naskah saya dimuat tidak serta merta saya diberi tahu pihak media.
Kebetulan buku rekening yang saya pakai untuk menerima honor saya rencanakan buat anak saya nomer dua. Saya tidak mempunyai niat untuk mengambil uang di buku rekening tersebut. Semoga rupiah-demi rupiah yang saya dapatkan merupakan rejeki yang barokah.
 Saya sering merenung, mengapa dulu saya sempat berhenti menulis. Padahal bila saya aktif menulis, tentu karya saya banyak dan rekening saya gendut. Hehe.

Karanganyar, 10 Mei 2014

Sabtu, 07 Juni 2014

Jembatan Timbang

Malam ini udara terasa panas, sumuk alias gerah. Pulang dari kerja aku menyempatkan diri makan mie Jowo di dekat kompleks SMK (kesenian), di Bugisan. Beberapa hari terakhir memang udara panas, tak ada hujan. Saat ini memasuki musim kemarau, sekarang masanya pancaroba.
Udara yang panas, mengeringkan segala-galanya, termasuk hatiku. Tak ada hujan, berarti kering, tidak basah. Sekering seperti lahan pekerjaanku. Semenjak pak Gubernur sidak di jembatan timbang di Batang, aku dan kawan-kawan terkena imbasnya.
Semua menjadi kacau! Keuanganku biasanya aman-aman saja meskipun gaji kuserahkan seluruhnya pada mBok Wedok (sebutan untuk isteriku). Sekarang aku kalang kabut. Terlanjur uang aku berikan pada mBok Wedok untuk keperluan sehari-hari dan angsuran bank.
Dompetku semakin tipis dan aku hanya terus berpikir bagaimana dengan waktu-waktu yang akan datang? Rencana pak Gubernur akan menutup sembilan titik jembatan timbang yang tidak efektif membuat aku dan kawan-kawan nglokro, tidak semangat.
Terus terang, aku tidak siap! Selama ini aku merasa kecukupan bahkan berlebihan. Semuanya beres dan lancar. Anak isteri tahunya semua ada, dan bisa didapat (sengaja aku tak memakai kata-kata mudah didapat).
 Lahan basah, jenes dan banyak ser-seran adalah dambaan semua orang termasuk aku. Aku dan kawan-kawan banyak berharap, rencana penutupan beberapa jembatan timbang ini hanya sementara. Konon katanya penutupan beberapa jembatan timbang dikarenakan jembatan timbang merupakan celah suburnya pungli.
Ooooo
Dulu aku sempat diremehkan banyak orang. Tapi setelah aku menjadi pegawai di dinas perhubungan kehadiranku diperhitungkan termasuk oleh mertuaku. Kupikir mertuaku matre juga. Itu hak mertuaku! Awalnya mereka juga kuatir, aku bisa menghidupi anak dan cucunya atau tidak.
Setelah pekerjaanku mapan banyak orang menjadi lebih dekat denganku. Saudara-saudaraku juga merasa tidak terganggu lagi. Tertutama kakakku yang menjadi guru. Sebagai guru tidak tetap dengan honor tak seberapa, kakakku hidup teramat sederhana, nrimo.
Aku tak bisa seperti itu. Walaupun aku sudah berkeluarga, aku sering mengganggu perekonomian kakakku. Padahal kakakku hanyalah seorang guru tidak tetap dengan penghasilan pas-pasan.
Ketika aku menjadi pegawai, kakakku bersyukur karena aku bisa mandiri. Banyak orang termasuk kakakku tahu kalau lahanku termasuk lahan basah. Suatu hari kakakku pernah mengingatkan.
“Semua ada masa dan waktunya. Jangan merasa engkau akan baik-baik saja. Sebaiknya pikirkan mencari penghasilan tambahan yang lain saja.”
“Mas Jati, tidak usah sok tahu. Kalau mas Jati sudah merasa cukup dengan honor dan bertani, mas Jati tak perlu menasehatiku!”
“Luhur, aku tidak memaksa supaya kamu menuruti kata-kataku. Kamu juga yang akan menjalani hidup. Terserah kamu saja.”
Siang ini aku merenungkan kembali kata-kata mas Jati. Benar juga kata mas Jati. Seandainya aku mencari penghasilan tambahan yang lain seperti yang disarankan mas Jati, mungkin aku tidak akan kacau seperti ini.
Beberapa waktu yang lalu aku mencairkan pinjaman bank untuk renovasi rumah, untuk melanjutkan kuliah dan membelikan motor buat anakku. Saat itu aku pikir gaji tiap bulan cukup untuk membayar angsuran bank, untuk biaya sekolah ketiga anakku dan untuk kebutuhan sehari-hari.
Untuk urusanku sendiri, aku mengandalkan rupiah demi rupiah dari tip-tip sopir. Jumlahnya lumayan, bisa untuk bayar kuliah, ongkos transportasi, makan siang dan bersenang-senang dengan wanita lain selain mBok Wedok. (tempat tinggalku lain kota dengan tempat kerjaku).
Wanita lain yang diam-diam kunikahi secara siri. Namanya laki-laki, kalau ada kelebihan uang wajarlah untuk memiliki lebih dari satu. Yang penting keuangan mBok Wedok tidak terganggu.
Kali ini aku dihadapkan masalah yang sulit. Semoga Bunda (sebutan isteri keduaku) bisa memahami keadaanku. Toh dulu dia juga tidak banyak menuntut. Sebenarnya aku kasihan sama Bunda, dari segi materi Bunda benar-benar nrimo menyerah pasrah. Tapi sebagai isteri tugasnya melayaniku sama dengan mBok Wedok.
Siang ini sebelum pulang, aku ke rumah kontrakan Bunda. Istirahat barang sebentar untuk memulihkan tenaga. Bunda menyambutku dengan senyum tulus.
Di pembaringan kupejamkan mata. Bunda sudah berada di dekatku. Sebenarnya aku benar-benar ingin istirahat tidur, tidak ingin diganggu (biasanya aku yang mengganggu isteriku).
“Pak, aku terlambat datang bulan.”
Aku benar-benar kaget dengan ucapannya. Kubuka mataku, kutatap matanya. Benarkah kamu hamil, isteriku?
“Benarkah? Selamat, isteriku.”aku malah bingung mau mengucapkan apa.
Kupeluk dia. Seharusnya aku bahagia. Tiga anak dari mBok Wedok, satu anak dari Bunda. Aku berpikir keras lagi, bagaimana aku bisa menghidupi dua orang isteri dan empat orang anak?
Ooooo
Mbok Wedok menyambutku dengan wajah ceria, tidak seperti biasanya. Anak perempuanku yang paling besar sudah asyik dengan buku-buku pelajarannya. Sedang dua adiknya tertidur pulas di depan TV.
Setelah mengemasi pakaian kotor dan menaruh di mesin cuci, mBok Wedok mendekatiku. Ada sesuatu yang akan dibicarakan.
“Pak, kasihan Mas Jati dan isterinya. Pernikahannya sudah berjalan lama, tapi belum                               dikaruniai anak. Mereka hidup sederhana, gajinya buat apa ya Pak?”
“Tanya saja pada mereka. Kok tiba-tiba kamu tanya seperti itu?”
“Maksudku, kita ini lo. Sebentar saja anak kita sudah tiga, belum lagi sepertinya aku terlambat menstruasi.”
“Maksudmu, kamu hamil lagi?” aku kaget tak percaya, berusaha untuk kelihatan bahagia.
Memang aku harus bahagia, karena sebentar lagi bakal memiliki 2 anak dengan jarak lahir yang berdekatan. Tapi kenapa Tuhan mengujiku dengan menambah anak sementara penghasilanku berkurang. Sedangkan Mas Jati, diuji belum juga diberi anak.  
Malam ini aku justeru tidak bisa memejamkan mata. Bayangan himpitan ekonomi di masa yang akan datang ada di pelupuk mata. Aku sendiri bingung. Aku membatin, semoga penutupan beberapa jembatan timbang dibatalkan.
Kuambil koran sekenanya. Aku baca berita, masih tentang jembatan timbang. Aku sementara bisa menghela nafas lega. Beberapa yang sempat aku baca isinya adalah : penutupan sembilan jembatan timbang mendapatkan protes dari pimpinan DPRD Jateng. Ide penutupan itu justeru dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.
Menurut Plt Ketua DPRD Jawa Tengah adalah dengan tidak beroperasinya sembilan jembatan timbang yang ada saat ini, masalah yang akan timbul antara lain kekacauan di jalan raya karena tidak ada pengawasan terstruktur dari petugas. Tak ada lagi yang mencegah terjadinya kelebihan tonase angkutan barang.
Keberadaan jembatan timbang masih diperlukan untuk mencegah angkutan barang melebihi tonase yang dapat merusak jalan. Jadi akan lebih baik jika penutupan jembatan timbang tersebut bersifat sementara. Yang perlu dilakukan Pemprov melalui Dinas Perhubungan melakukan perbaikan sarana prasarana dan SDM petugasnya.
Dengan hanya mengoperasikan tujuh jembatan timbang, apakah bisa menjamin mencegah dan menangani kelebihan muatan barang?
Yang ada di pikiranku adalah dua isteriku hamil, dua anak yang akan lahir beberapa bulan mendatang, jembatan timbang dan sopir-sopir yang mengulurkan rupiah. Rupiah-rupiah yang masuk kantong, saku celana sendiri. (SELESAI)
Karanganyar, 18 Mei 2014
@Dimuat di SOLOPOS

Mengikuti Pasar

Kebetulan saya suka menulis cerita, biasanya cerita anak dan cerita pendek. Maksud hati menuliskan sesuatu yang ideal menurut hati kita. Akan tetapi idealisme ini terbentur tembok dan akhirnya tidak dapat menembus media. Saya mencoba mengikuti pasar, mengikuti tren dan perkembangan informasi terkini.
Bumbu-bumbu sedap dalam cerita memang tidak mesti rasanya mak nyus, tetapi justeru kadang-kadang berasa terlalu manis, terlalu asin bahkan pahit sekalipun. Mengapa demikian? Karena pasar atau konsumen menginginkan hal itu.
Benar kata orang, namanya juga cerita, ya harus dibuat sedemikian rupa. Supaya ceritanya hidup, membuat penasaran pembaca, membuat pembaca geram, atau terpingkal-pingkal.
Saya bertemu kawan lama dan dia mengeluhkan soal sikap Gubernur Jateng yang marah masalah jembatan timbang. Keluhan kawan lama saya yang bekerja di dinas perhubungan, memberikan inspirasi pada saya membuat cerpen Jembatan Timbang.
Tak lama kemudian cerpen ini dimuat di koran SOLOPOS. Wah, ternyata secuil cerita dari kawan saya ini menghasilkan uang, hehe. (Terima kasih kawan). Saya memang harus paham betul dengan keadaan sekarang sehingga dapat mengikuti pasar.
Sama halnya mengirim naskah pada media massa, untuk mengirimkan naskah ke penerbit kita juga harus tahu buku yang sedang ngetren saat ini. Selain isi dalam buku harus sesuai dengan selera konsumen dan sesuai dengan visi dan misi penerbit. Yang tidak kalah penting adalah judul buku “harus yang menjual”. Judul buku menarik! Karena pasar menginginkan seperti itu!
Karanganyar, 3 Juni 2014