Sabtu, 31 Januari 2015

Tetap Berdzikir Ketika Aku Kehilangan Bayiku

 Ketika anak pertama berusia 5 tahun, aku hamil lagi (tahun 2005). Aku sangat berhati-hati menjaga kandunganku karena aku memiliki riwayat flek/pendarahan saat hamil anak pertama. Aku dan suami menanti terlalu lama untuk kehamilan kedua ini.
Ternyata aku mengalami pendarahan pada usia kandungan 9 minggu. Meskipun sudah periksa ke dokter dan diberi obat, akhirnya bayiku dalam kandungan tidak dapat dipertahankan. Aku tidak pernah merasa kecewa dan frustasi ketika urung mendapat momongan lagi. Yang kecewa berat adalah anakku, Faiq.
Genap usia kandungan memasuki usia 10 minggu, atau 7 hari saya mengalami fleks tanpa henti, pagi hari saya merasakan sakit yang luar biasa. Dan bukan hanya fleks, melainkan pendarahan. Saya dan suami segera ke rumah sakit.
Saya inginnya ditangani dokter kandungan perempuan, tapi apa boleh buat hari itu dokter yang saya maksud sedang melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota. Bagi saya tak masalah ditangani dokter laki-laki. Yang penting segera ada tindakan.
Saat itu saya merasa lemas (mungkin pucat juga). Dokter menyarankan untuk USG. Ketika saya berbaring dan dokter mulai menenpelkan alat, beliau berkata, “maaf mbak, rahimnya kosong.” Saya langsung mengucap Innalillahi. Saya berusaha tabah, tegar dan merasa sudah siap dengan apa yang akan saya alami. Ya, semua karena saya sudah merasakan ada tanda-tanda.
Kala itu suami saya menggenggam tangan saya dan membisikkan kalimat,” Mama, ikhlaskan anak kita ya.” Saya mengangguk sebagai jawaban, tanpa tetesan air mata. Saya sadar semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Kemudian dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan kuretase. Tujuannya untuk membersihkan rahim dari sisa-sisa darah. Saya dan suami setuju. Segera suami menandatangani perjanjian persetujuan tindakan kuretase.
Saya berbaring di tempat persalinan. Dalam posisi terlentang  seperti orang mau melahirkan, dalam hitungan detik janin ini keluar secara alami. Dokter menunjukkan gumpalan darah, gumpalan darah anak saya. Baru saat itu saya teramat sangat merasa kehilangan, tak terasa air mata saya menetes dan hati saya perih. Dokter menaruh gumpalan darah tersebut dalam wadah. Suami  saya beri tahu tentang gumpalan darah itu di bawah tempat saya berbaring. Akan tetapi suami saya tidak tega untuk melihat.
Ya Allah, anak ini kutunggu-tunggu sudah lama, akhirnya kembali mendahului kami. Saya harus berpuasa 3 jam. Setelah siap untuk menjalani kuretase, saya mulai istighfar dan mengucapkan lafadz Laa ilaha illallah. Dokter memimpin doa, saya kemudian dibius. Terakhir yang saya ingat dokter mengajak bicara dan bilang,”ngantuk ya mbak..” Semua menjadi gelap.
Kalimat thoyibah Laa ilaha illallah terus saya lantunkan. Serasa bangun dari tidur, saya terus mengucapkan Laa ilaha illallah. Saya merasa seperti mengigau. Tapi kata suami saya, sebelum saya membuka mata saya sudah mengucapkan Laa ilaha illallah dengan jelas, hingga saya benar-benar sadar.
Saya bersyukur, dalam hati saya mengucap alhamdulillah. Saya hidup kembali setelah mati (tidur adalah kematian sementara). Oleh karena pengaruh obat bius, saya mulai mual-mual. Beberapa kerabat yang menjenguk saya terus menghibur.
Allah memberikan ujian padaku dan suami. Alhamdulillah, kami berhasil melewati masa sulit itu. Kami tetap bersabar. Waktu itu aku berpikiran positif pada Allah. Allah mengambil miliknya pasti ada hikmahnya (mungkin kalau bisa dipertahankan, bayi akan lahir cacat/tidak normal).
Saya harus bermalam di rumah sakit. Setelah tidak merasa mual dan pusing, saya dipindahkan ke bangsal. Pagi esok harinya, putri saya yang pertama diajak ke rumah sakit oleh ibu mertua saya. Setelah diberitahu kalau dia tidak jadi punya adik karena adik sudah meninggal, putri saya menangis. Aku tidak pernah merasa kecewa dan frustasi ketika urung mendapat momongan lagi. Yang kecewa berat adalah anakku, Faiq. Saya tidak pernah menduga perkataannya (ketika itu masih TK). “Mah, adik enak ya. masuk surga lebih dahulu (mewek lagi).” Hati saya semakin perih. Dia tidak bisa dihibur. Ingat adiknya terus. Namanya juga anak kecil, dia sudah terlanjur bilang ke orang-orang kalau dia akan punya adik.
Setiap malam sebelum tidur, selama dua minggu putri saya terus menanyakan kenapa adik bisa meninggal.  Saya berusaha untuk menenangkan. Akhirnya putri saya bisa menerima.
Saya tidak pernah menyesali diri. Yang lalu biarlah berlalu. Kehilangan janin bukan akhir dari segala-galanya. Saya mengambil hikmah dari peristiwa ini. Setelah membuka dan membaca literatur, disebutkan sekuat apapun, sesehat apapun, seperkasa apapun pihak baik laki-laki maupun perempuan, kalau pertemuan sel telur dan sperma tidak sempurna dan zigot tidak menempel pada rahim dengan kuat, maka kemungkinan janin akan gugur (5% kehamilan beresiko, saya termasuk yang 5%).

Masih banyak yang bisa saya kerjakan, bisa bersosial masyarakat dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan agama, termasuk mengamalkan ilmu pengetahuan.
Karanganyar, 31 Januari 2015

Selasa, 27 Januari 2015

Lupakan Komitmen, Hormatilah Tamu




Gambar. Menghormati dan memuliakan tamu

Cerita ini berdasarkan kisah nyata. Kisah dari seorang kenalan yang dimaki-maki tuan rumah kala bertamu. Ironisnya kenalan saya ini masih berada di luar rumah dan yang memaki-maki adalah isteri dari orang yang akan ditemui.
Kenalan saya sedang ada urusan penting dengan seseorang yang bisa memberikan solusi masalah pekerjaannya. Bukan hanya menyangkut nasibnya melainkan juga menyangkut nasib kawan-kawannya. Kenalan saya harus menemui seseorang sebut saja Pak X. Singkat cerita kenalan saya berdua bertamu ke rumah Pak X dan ditemui Pak X. Isteri Pak X juga membuatkan minuman.
Pak X bertanya pada kenalan saya, dari mana dia tahu rumahnya. Kenalan saya mengatakan dari Pak Y. Akhirnya urusan kenalan saya selesai. Akan tetapi setelah diterapkan, masih ada kendala. Di hari kedua kenalan saya datang lagi ke rumah Pak X. Oleh Pak X disarankan untuk menemui di kantor saja.
Hari ketiga kenalan saya menemui Pak X di kantor. Pak X member tahu semua petunjuk pengisian administrasi. Karena bersifat online, maka memerlukan kesabaran. Sampai di kantornya sendiri kenalan saya membuka computer dan online. Sesuai petunjuk dari Pak X tahap-tahap pengisian dilakukan. Tapi gagal! Karena hari sudah sore, kenalan saya yakin Pak X sudah pulang.
Ditemani sang pimpinan, kenalan saya mendatangi rumah Pak X. Ternyata Pak X belum pulang. Mereka berdua ditemui isteri Pak X. Ditemuinya di luar rumah, tidak dipersilahkan masuk ke dalam.
Versi teman saya, kata-kata dari isteri Pak X setelah diedit seperlunya, intinya adalah sebagai berikut:
“Pak, panjenengan itu ada urusan apa dengan suami saya. Bolak-balik datang ke rumah saya. Saya malu dengan tetangga, dikira ada apa-apa dengan suami saya.”
“Saya datang ada urusan penting yang menyangkut anak buah saya, Bu,”jawab pimpinan kenalan saya. “Kalau sampai hari ini urusan kami tidak selesai, maka nasib kami akan terombang-ambing. Dan yang bisa memberikan solusi adalah Pak X.”
“Pak, perlu Bapak ketahui. Kami, saya dan suami sudah sepakat tidak akan membawa pekerjaan ke rumah. Semua yang ada kaitannya dengan urusan pekerjaan akan diselesaikan di kantor. Saya tidak ingin terganggu dengan urusan pekerjaan suami.”
DORRRRR. Mendengar cerita kenalan saya, saya kok jadi ingin tahu isteri Pak X itu pejabat mana to? Sampai-sampai suami didatangi orang yang benar-benar membutuhkan saja kok dimaki-maki, di luar rumah lagi.
“Isterinya Pak X itu adalah Ibu Rumah Tangga.”
Saya jadi ngelus dada. Mengapa ada orang yang tidak lunak, setelah tamunya menghiba. Dan Isteri Pak X tidak sungkan memaki-maki kenalan saya dan pimpinannya. Apakah itu karena komitmen atau kesepakatan yang telah dibuat antara Pak X dan isterinya?
Apakah kesepakatan itu tidak ada pengecualiannya? Kecuali kalau keadaan darurat, mendesak atau kepepet.
Kalau saya menjadi isteri model isterinya Pak X, wah bisa gawat darurat. Kebetulan suami saya guru olah raga. Aktivitas di luar pekerjaan juga ada. Mau tidak mau suami juga berhubungan dengan banyak orang. Bila ada urusan di luar kedinasan, itu tidak mungkin dapat diselesaikan pada jam kantor. Pasti pertemuan non formal diselesaikan di luar jam kantor.
Saya tak pernah merasa terganggu dengan tamu-tamu, baik teman, saudara, karib, murid-murid atau tetangga. Saya terbuka saja. Prinsip saya kalau saya memudahkan urusan orang, pasti suatu saat saya juga akan dimudahkan di segala urusan.
Lalu, apa maksud dari komitmen/kesepakatan sampai memaki-maki tamu? Cobalah, lupakan komitmen dan hargailah tamu. Suatu saat kita berada dalam posisi membutuhkan orang dan status butuhnya adalah mendesak dan penting.
SEMOGA BERMANFAAT!
Karanganyar, 27 Januari 2015

Sabtu, 10 Januari 2015

Benda Bernilai Historis

BENDA KENANGAN

Sebagian orang tetap akan mempertahankan benda-benda yang dianggap bersejarah dalam hidupnya. Tak peduli betapa usang dan tak berharga di mata orang lain. Si empunya akan tetap setia berdampingan dengannya. Tak ada rasa malu dan risih. Enjoy dan nyaman. Mungkin itulah mengapa orang akan merasa kehilangan sesuatu yang teramat berharga, bila tiba-tiba benda itu raib. Bukan nilai jualnya tapi nilai historisnya.

Ada yang bersikeras untuk mempertahankan kendaraannya yang sudah tidak “layak” pakai. Alasannya karena usianya sudah tua, usang, nilai historisnya tinggi. Tak bisa diganti dengan benda apapun yang nilainya/harganya cukup mahal.


Dulu jaman susah kendaraan itu dipakai. Kendaraan yang sudah puluhan tahun telah berjasa. Kini setelah jaman berubah, terlalu sayang untuk disingkirkan. Walaupun sekarang kondisinya teramat jauh dari dua puluh tahun yang lalu. Kini suara knalpotnya memekakkan telinga. Namun itu justeru menjadi ciri khas.

Sepeda onthel yang biasa untuk pergi kuliah, dan memiliki nilai sejarah yang tinggi, tidak mungkin direlakan untuk berpindah tangan. Jangan pernah mengabaikan benda bersejarah milik orang lain. 

Barangkali kita malu melihat benda-benda itu. Tapi, apa urusan kita bila si empunya nyaman sekali memakai benda kenangan itu?

Meskipun untuk membeli yang lebih baik dari benda yang bersejarah itu bisa, orang tidak lantas mengabaikan benda penuh kenangan itu.

Banyak orang yang mengolok-olok, mencibir dan meremehkan. Dengan nyaman si empunya tetap percaya diri saja. Ketika ada orang yang bilang dia kurang syukur, dia akan menjawab bahwa cara seseorang mengungkap syukur itu berbeda alias tidak sama.

Memiliki harta benda, rezeki yang melimpah bukan untuk dihambur-hamburkan. Manusia harus mempertanggungjawabkan materi yang dimilikinya.
ZUHUD, itulah yang cocok untuk siapa saja. Terutama bagi orang yang mampu dan memiliki harta yang berlimpah.   Akan tetapi dia mampu menahan diri untuk tidak berlebihan.


Kalau kita menjadi OKB (orang kaya baru), jangan sok menjadi orang yang hebat. Lantas mencibir orang. Belum tentu kita lebih baik dari orang yang kita olok/kita cibir. Hargailah pendapat orang lain. Jangan sekali-kali kita mengatakan sesuatu bila kita tak tahu yang sebenarnya. 

Karanganyar, 10 Januari 2015

Kamis, 08 Januari 2015

Kakakku, Pahlawanku

KAKAKKU, PAHLAWANKU

Aku terlahir sebagai anak nomor empat dari enam bersaudara. Ada cerita yang tak akan pernah aku lupakan, tentang aku dan kakakku yang monor dua. Dia adalah Mbak Ana.
Setelah Mbak Ana bekerja, dia membantu orang tua untuk membiayai sekolah adik-adiknya, termasuk aku (mulai kelas 1 SMA). Waktu itu aku duduk di kelas satu dan kakakku yang nomor tiga (Mbak Lichah)  kelas dua. Aku dan Mbak Lichah satu sekolah.
Kami berasal dari keluarga kurang mampu. Aku dan Mbak Lichah berusaha untuk mendapatkan keringanan biaya sekolah. Kalau perlu dapat bebas SPP alias gratis.  Untuk mendapatkan bebas SPP, kondisi kami tidak memenuhi syarat. Oleh pihak sekolah aku dan Mbak Lichah diberi keringanan 50% dari uang SPP yang seharusnya kami bayarkan.
Aku dan Mbak Lichah tidak bilang pada Mbak Ana kalau kami mendapat keringanan membayar SPP. Mbak Ana setiap bulan memberikan uang SPP penuh. Aku dan Mbak Lichah berbeda dalam menggunakan uang keringanan tersebut.
Aku membayarkan semua uang SPP dari Mbak Ana untuk dua bulan. Setelah enam bulan lunas untuk satu tahun, maka bulan berikutnya uangnya aku tabung atau aku belikan benda-benda yang bermanfaat. Mbak Lichah membayar SPP satu bulan, sisa uangnya digunakan untuk keperluan sekolah termasuk untuk membeli buku.
Selama aku SMA sampai kuliah, aku tak pernah bercerita pada Mbak Ana soal keringanan 50% biaya sekolah. Setelah lulus kuliah, aku dan Mbak Lichah baru bercerita pada Mbak Ana. Mbak Ana memang baik hati, tidak marah atau tidak merasa dibohongi adik-adiknya. Tanggapan Mbak Ana biasa saja. Dengan nada bercanda dia bilang,”Adikku memang licik semua.”
Aku dan Mbak Lichah memang berbeda. Sejak dahulu sampai sekarang aku dikenal paling hemat di antara saudara-saudaraku. Kalau Mbak Lichah termasuk boros. Mbak Lichah tidak sungkan meminta uang pada Mbak Ana. Kalau aku memang cukup tahu diri. Aku tahu bagaimana beratnya Mbak Ana mencari uang. Aku jarang meminta uang pada Mbak Ana. Karena aku tak pernah minta uang, malah sering ditawari atau ditanya,”Uangmu masih atau tidak?”
Saudaraku yang lain akan bilang,”Yang butuh uang tidak ditawari, yang tidak butuh ditanya-tanya.” Ya, begitulah. Lain aku, lain Mbak Lichah.
(Tulisanku kali ini tidak menceritakan orang tua sebagai pahlawan. Karena orang tuaku adalah segala-galanya. Tak cukup ruang dan waktu untuk menceritakan kehebatan mereka, bukan karena aku mengabaikan peran beliau berdua.)
Mbak Ana bekerja sebagai PNS, ditempatkan di Laboratorium di FMIPA UGM. Yang aku tahu waktu itu dia menyiapkan segala sesuatu untuk praktikum mahasiswa. Akan tetapi Mbak Ana juga membuat preparat untuk memenuhi pesanan dan kepentingan mahasiswa.
Kadangkala aku membantu Mbak Ana untuk mencari tumbuhan yang akan digunakan untuk membuat preparat. Pernah suatu hari aku ikut ke Kaliurang untuk mendapatkan lumut. Aku harus ke Kulon Progo mencari bunga cengkeh yang masih segar atau mencari perdu teh dari akar, batang sampai daun hingga Kabupaten Karanganyar. Hanya itu yang bisa aku berikan pada Mbak Ana.
Pertama kali aku menulis cerita anak lalu mengirimkan ke media dan dimuat, Mbak Ana tidak tinggal diam. Dia mendukung kegiatanku. Kadang-kadang dia akan meminjam mesin ketik dan membawakannya untukku. Itu dilakukan agar aku bisa menulis.
Ketika aku sudah mengenal komputer, dia juga tidak merasa terganggu bila aku ke kantornya setelah jam kantor usai (Mbak Ana suka lembur sampai sore).  Malah dia merasa hubungan kami bagai simbiosis mutualisme. Aku beruntung bisa mengetik di kantornya dan dia merasa ditemani untuk mengerjakan pekerjaannya.
Suatu hari aku ke kantor Mbak Ana. Aku meminta uang untuk membayar SPP. Betapa terkejutnya aku, Mbak Ana saat itu marah-marah. Aku dikatakan mendadak minta uang. Seharusnya jauh-jauh hari sebelumnya bilang supaya dia bisa mencarikan pinjaman dulu. Aku diam merasa bersalah. Dalam hati aku menyesal. Rasanya aku telah mengecewakannya. Aku bilang kalau belum ada uang juga tidak apa-apa. Tapi Mbak Ana tetap mencari pinjaman uang.
Sore harinya, pulang dari kantor Mbak Ana minta maaf padaku sambil meneteskan air mata. Aku bingung, ada apa? Dia bilang kalau marahnya tadi waktu di kantor bukan tanpa alasan, ternyata saat itu dia pas datang bulan. Mendadak emosinya meledak. Dalam hati aku membatin, pantas saja, biasanya tidak pernah marah-marah padaku. Aku jadi maklum sesama perempuan pasti pernah mengalami juga.
Kakakku, pahlawanku. Itulah yang aku rasakan dari dulu sampai sekarang. Setelah lulus kuliah dan aku bekerja, aku ingin membantu keluarga yang sedang memperbaiki rumah. Waktu itu gajiku belum seberapa. Tapi aku ingin memberikan beberapa rupiah untuk bisa ikut berkontribusi. Waktu itu, tahun 1998, aku mau memberikan uang Rp. 150.000,00. Tapi Mbak Ana berpikiran kalau aku masih membutuhkan uang dan gajiku belum seberapa. Dia menyarankan uangku aku gunakan untuk keperluan lain dulu.
Ketika aku menikah pada tahun 1999, lagi-lagi Mbak Ana tidak tinggal diam. Saudara-saudaraku semua ambil peran, tapi aku akui peran Mbak Ana tidak bisa dibilang enteng.
Setelah anakku lahir, aku tetap mengingat-ingat kalau aku dulu pernah mau menitipkan uang pada Mbak Ana untuk membantu biaya renovasi rumah. Mbak Ana menerima uangku. Akan tetapi saat itu anakku genap berusia satu tahun. Ulang tahun anakku dirayakan. Mbak Ana membuat pesta kecil-kecilan, dan biayanya melebihi dari uang yang aku berikan untuknya di hari sebelumnya. Subhanallah, Mbak Ana tidak pernah ingin melihatku kekurangan.
Setelah menikah aku dan suami tinggal di rumah mertua. Pada saat usia anakku dua tahun, kami menempati rumah sendiri. Aku dan suami mengajar. Di rumah tidak ada pembantu rumah tangga. Sehari-hari anakku berada di penitipan anak bila kami tinggal bekerja.
Untuk meringankan pekerjaanku lagi-lagi Mbak Ana memberikan sesuatu yang amat berharga buatku. Sebuah mesin cuci dengan harga tidak murah karena mereknya juga tidak asal-asalan. Belum lagi ketika aku memperbaiki rumah, Mbak Ana juga memberikan uang untuk membeli bahan bangunan. Bagaimana aku bisa membalas kebaikan kakakku ini?
Kalau aku tak bisa membalas kebaikannya, minimal aku bisa memberikan sesuatu untuk orang tuaku. Sekarang kehidupanku jauh lebih mapan. Aku ingin memberikan sesuatu buat Mbak Ana. Aku tahu, dia pasti menolak. Dia merasa aku lebih membutuhkan materi yang aku miliki. Tapi aku akan memaksa padanya untuk menerima.
Ketika aku mendapatkan rezeki dan aku berikan padanya, dia masih bertanya,”Uang ini untuk bapak dan ibukah?”
“Bukan, itu buat kamu. Terserah mau digunakan untuk apa. Aku akan memberikan sendiri untuk bapak dan ibu.” 
Rasanya tidak percaya kalau aku bisa mengulurkan beberapa lembar rupiah untuk kakakku. Mbak Ana mungkin masih ragu. Aku bilang misalnya buat membeli genteng yang bocor atau kran untuk rumah bapak juga tak apa. Lalu dia bilang kalau untuk membeli salep kaki yang gatal (kena kutu air), bagaimana? Ya sudah aku jawab, tak apa biar kakinya tidak mlethek-mlethek (pecah-pecah).
Karanganyar, 8 Januari 2015