Rabu, 30 September 2015

Dalam Bahagia Ada Cinta

Orang yang merasa bahagia pasti kebutuhan hidupnya terpenuhi. Terpenuhinya sandang, pangan dan papan. Tidak hanya itu sekarang alat komunikasi, wisata, dan hiburan tak lagi dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Yang disebut sebelumnya itu adalah kebutuhan primer. Akan tetapi standar terpenuhi kebutuhan hidup antara satu dengan yang lain tentulah berbeda.
Seseorang mungkin cukup dengan makan nasi dan lauknya 3 kali sehari dan air the. Akan tetapi bagi orang lain mungkin nasi bisa diganti dengan roti, umbi-umbian atau sayuran.
Sesederhana apapun seandainya rumah milik sendiri, orang akan merasa nyaman dan bahagia bila menempatinya. Tapi jangan mencibir terhadap orang yang selalu merasa nyaman dengan rumah mewah dengan segala isinya meskipun tinggal di rumah kontrakan. Mungkin ada yang merasa nyaman tinggal di rumah kontrakan yang mewah daripada gubuk reyot milik sendiri.
Tentu saja masing-masing orang memiliki alasan sendiri, memiliki standar hidup bahagia sendiri. Maka hargailah setiap pendapat orang lain. Jangan memaksakan ukuran/standar suatu kebahagiaan kita kepada orang lain.
Ada orang yang sudah merasa bahagia dan nyaman dengan naik sepeda. Akan tetapi ada orang yang hanya merasa nyaman bila dia naik mobil. Ya, suka-suka mereka saja. Hidup-hidup juga miliknya. Mengapa kita harus usil dengan bahagianya orang lain?
Sebagai orang yang sudah punya nama dan dikenal masyarakat luas, tentu saja ingin berpenampilan semenarik mungkin. Jangan salahkan orang lain kalau mereka ingin tampil nomor satu.
Yang menempel di badannya adalah baju-baju dia, mau yang bermerek atau bukan, yang murah atau yang mahal itu bukan urusan kita. Turunkan ego kita, hargai pendapat orang lain. Kalau kita sudah cukup nyaman dengan baju ringgo (garing dinggo atau kering dipakai), biarkan orang lain gonta-ganti pakaian. Kita tak usah sakit hati kalau orang lain mengenakan pakaian yang selalu modelnya terbaru.
00000
Bahagia itu kalau kantong atau dompetnya terisi. Entah itu uang pribadi atau utangan, yang penting uang ada di dompet. Bahkan sekarang banyak yang merasa nyaman, bahagia dan sejahtera kalau ATM yang dibawa saldonya cukup. Cukup untuk jajan, cukup untuk membeli bensin, busi, mengganti ban, menambal ban bocor. Jadi cukup di sini amatlah relative. Standarnya orang naik sepeda dengan naik mobil, nilai minimal uang yang harus dibawa tidaklah sama.
Akan tetapi bahagia itu sebenarnya bila ada cinta. Orang yang bahagia pasti punya cinta (cinta sembarang cinta), tapi orang yang punya cinta belum tentu bahagia. Contoh nih contoh (walaupun tidak mutlak alias relative loh): orang yang bahagia di rumahnya pasti di rumahnya ada cinta. Tapi ada cinta tidak selalu bahagia. Orang yang tidak bahagia di rumahnya, tidak menemukan cinta,  sebagian besar mencari kebahagiaan di mana ada cinta di dalamnya yaitu di luar rumah.
Jangan meremehkan orang yang mengatakan bahagia itu kalau ada uang. Dengan adanya uang bisa memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Jangan bilang yang penting ada cinta, sebab cinta saja tidak cukup. Apakah kita hanya mau makan cinta? Oh, tentu saja tidak. Uang memang bukan segala-galanya. Uang tidak bisa untuk membeli kebahagiaan. Tapi uang bisa membuat kita bahagia.
Menurut saya bahagia itu ada cinta dan kasih sayang (sok romantis), ada uang, ada pasangan dan anak-anak yang sholeh dan sholehah, terpenuhinya kebutuhan yang ada dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Orang yang tidak bahagia, hidupnya tak ada cinta, tak ada semangat untuk mewujudkan cinta, tak ada materi yang memenuhi kebutuhannya.
Satu lagi, bahagianya seorang penulis adalah kalau tulisannya bisa bermanfaat untuk orang lain, artikelnya dimuat di media cetak/media massa, bukunya diterbitkan dan royaltinya datang bertubi-tubi. Kalau sudah seperti itu semangat menulis pun membuatnya bahagia.
Karanganyar, 29 September 2015
Sumber :
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/dalam-bahagia-ada-cinta_560aab48317a61030a165029

Sabtu, 26 September 2015

Mulut Bisu

Hari ini aku mendapatkan pesan singkat mengejutkan dari adikku. Tentang tanah warisan dari orang tua. Sebelumnya tak ada yang mengutak-atik tentang peninggalan almarhum dan almarhumah, Bapak dan Ibu. Tiba-tiba aku ingin tahu, ada apa dengan pesan singkat itu.
“Hanafi, Mas. Dia menanyakan tanah warisan bagian dia yang mana?”kata Drajat.
“Drajat, memang Bapak dan Ibu meninggalkan banyak warisan tanah. Tapi selama ini kita belum pernah membicarakan tentang pembagian untuk kita berempat. Kok Hanafi tiba-tiba minta bagian. Memang ada apa dengan Hanafi?”tanyaku pada Drajat.
“Entahlah, sekarang Hanafi suka sms ke aku tentang tanah dan sertifikat. Mungkin dia lagi butuh uang atau kena masalah.”jawab adikku nomer dua.
“Ya sudah nanti kucoba menghubungi dia.”
00000
Komunikasi antara aku dan Hanafi hanya melalui pesan singkat. Hanafi tidak bicara langsung padaku. Aku sendiri juga tidak mempunyai keinginan untuk bicara langsung. Tapi sepertinya memang Hanafi lagi butuh uang. Hanya saja pertanyaanku buat apa?
Bukankah dia dan isterinya sudah mapan dan penghasilannya besar. Anaknya juga masih satu, masih kecil. Kurasa kebutuhannya belum banyak. Pasti ada yang tidak beres dengan adikku ini.
Hari ini Hanafi mengirim pesan singkat lagi. Intinya, dia kena tipu temannya. Dia dan temannya bekerja sama, berbisnis benda-benda pusaka yang konon keuntungannya menggiurkan. Dan bisa ditebak akhirnya! Teman bisnisnya pergi setelah membawa lari uangnya. Padahal uang itu juga hanya pinjaman dari teman sekantornya.
Teman sekantornya menagih uang yang dijanjikan Hanafi. Seandainya Hanafi menunda-nunda dan ingkar janji, maka Hanafi akan dilaporkan kepada atasannya. Besar kemungkinan Hanafi dipecat dari pekerjaannya. (Semudah itu?)
Ketika kusampaikan hal ini pada isteriku, isteriku setengah tidak percaya.
“Alah, itu mungkin cerita rekayasa. Aku tidak keberatan untuk membantu adikmu. Tapi jumlahnya berapa? Kapan dia akan mengembalikan? Yang penting, adikmu datang ke sini. Kalau perlu dengan isterinya.”
Hanafi mau meminjam uang sejumlah lima juta rupiah. Dia akan datang sendiri sore ini. Aku dan isteriku menunggu, sambil menyiapkan materi wejangan yang akan kusampaikan pada Hanafi.
Ketika datang, Hanafi kelihatan sekali salah tingkah. Sebenarnya hidupku sederhana dan biasa-biasa saja. Isteriku selama ini membantu mencari nafkah dengan mengajar. Tabungan kami juga tidak banyak. Tapi aku dan isteriku sepakat akan membantu kesulitan Hanafi. Semoga masalah Hanafi ada jalan keluarnya.
“Ada masalah apa to, Om. Kok sampai hutangnya menumpuk?”
“Kena tipu, mbak. Bisnis benda pusaka, kerja sama dengan teman. Tapi temanku terus pergi entah ke mana setelah menerima uang dariku.”
“Memang benda pusakanya belinya berapa, kalau dijual keuntungannya berapa?”
Hanafi tidak terus menjawab. Kelihatannya Hanafi tiak siap dengan pertanyaan isteriku.
“Om, aku dan kakakmu hidup ya begini-begini saja. Sebelas tahun menempati rumah, sejak dulu rumah tidak ada peningkatan yang berarti. Tidak ngoyo dan selalu bersyukur. Sebenarnya menjadi kaya sih kepingin juga. Cuma ya harus bekerja keras. Tidak mungkin bisa kaya tanpa kerja keras.”
“Terus terang, Mas. Aku pingin bisa kaya seperti orang-orang. Hidupnya serba enak, tidak susah.’
“Tapi kaya jangan dengan cara instan. Yang realistis saja. Coba, kamu kena tipu, kena masalah, dan datang ke sini, isterimu tahu tidak?”
“Tidak, Mas. Dan kumohon jangan ceritakan pada isteriku!”
Walah, tenan. Isterinya tidak tahu. Ada yang tidak beres dengan adikku. Aku tidak panjang lebar. Dan uang lima juta diserahkan kepada Hanafi oleh isteriku.
00000
Kali ini Hanafi meminta bantuan lagi. Mau meneruskan pendidikan, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku diminta untuk menyiapkan sejumlah uang. Uang tersebut digunakan untuk biaya hidup selama pendidikan.
Isteriku benar! Dulu dia bilang, sekali diberi kemudahan, nanti akan pinjam lagi. Ternyata kekhawatiran isteriku tidak salah.
“Jangan dikirimkan sejumlah yang dia sebutkan. Kirimkan saja satu juta. Bilang pada adikmu, ini tanggal tua. Untuk biaya hidup kami juga kurang. Uang yang dikirim untuk dia juga hasil ngutang teman.”
Beberapa hari kemudian Hanafi mengirim sms. Intinya minta dikirimi uang lagi. Untuk biaya hidup selama pendidikan, masih kurang.
“Bilang sama Hanafi. Berembuk dulu sama isterinya. Gantian isterinya disuruh mencarikan uang. Atau suruh isterinya telpon panjenengan, Yah. Kalau benar isterinya telpon, berarti isterinya tahu kalau dia mau pinjam uang kakaknya. Kalau isterinya tidak telpon, tidak usah digubris lagi sms-nya!” kelihatan isteriku emosi.
“Aku tidak tega sama adikku, Ma.”
“Panjenengan tidak tega sama kesulitan adik, tapi tega melihat isteri dan anaknya sendiri mau makan saja ikutan ngutang.”
Omongan isteriku pedas, tapi ada benarnya.
“Aku tidak mengijinkan panjenengan meminjami uang lagi. Coba renungkan beberapa hari lagi. Kebenaran ucapanku akan terbukti.”
00000
Setiap Hanafi mengirim pesan singkat, aku tak membalasnya. Tapi aku menyimpan semua pesan itu. Katanya, dia minta dicarikan pinjaman untuk melunasi hutang-hutangnya. Setelah pendidikan selesai dan hutang-hutangnya lunas, maka dia akan segera pindah tugas. Setelah itu dia mau mencairkan pinjaman ke bank, untuk melunasi hutang-hutangnya pada saudara-saudara.
“Bilang sama dia, isterinya disuruh telpon panjenengan. Aku pingin tahu saja! Kalau dia tidak membual, seharusnya sejak dahulu isterinya menelpon panjenengan untuk meminjam uang. Berarti benar, dia tidak cerita ke isterinya!”
“Kalau mau pinjam bank, yang mau tanggung jawab dan membayar angsurannya siapa? Enak saja bilang tolong carikan pinjaman bank.”
Andai saja dulu aku mendengarkan dan melaksanakan pendapat isteriku, mungkin aku tak serepot ini. Kata isteriku, tidak perlu menunggu 1000 hari meninggalnya ibu, semua warisan dibagi. Tiap anak memegang sertifikatnya sendiri-sendiri. Setelah itu terserah, mau dijual tanahnya, atau digadaikan sertifikatnya, atau untuk investasi.
 Aku dan Drajat sepakat, tidak akan menggubris pesan dari Hanafi. Kami punya keluarga dan tanggungan anak isteri sendiri. Drajat sendiri, dia justeru hidupnya lebih susah. Drajat dan isterinya tidak memiliki penghasilan tetap. Toko kelontongnya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
00000
Hampir satu bulan, Hanafi tidak mengirim pesan singkat. Tidak ngrepoti pinjam uang lagi. Aku dan Drajat bisa bernafas lega.
Tiba-tiba aku diberi tahu Drajat bahwa Hanafi bersama anak isteri datang ke rumahnya. Pagi itu aku mendatangi rumah yang ditempati Drajat. Tidak lain rumah Bapak dan Ibu.
Di rumah Bapak dan Ibu aku bertemu isterinya Hanafi dan anaknya. Di ruang tamu ada anak dan isterinya Drajat. Drajat sendiri tidak ada. Sedangkan Hanafi entah di mana.
“Liburan ya nduk?” aku menyapa keponakanku, anaknya Hanafi.
“Iya, Pakde. Libur panjang.” Jawab isteri Hanafi.
Dua anakku dan sepupu-sepupu bermain dengan asyiknya. Isteri Drajat dan isteri Hanafi ngobrol.
“Om Drajat, di mana Bulik?”tanyaku.
“Di dalam kamar, Pakde.”
“Kalau Om Hanafi, kok tidak kelihatan?”
“Di kamar belakang, Pakde. Dari datang tadi, terus masuk kamar. Sampai sekarang tidak keluar.”
Aku ingin ngobrol dengan adik-adikku. Mumpung bertiga kami bertemu. Paling tidak membicarakan masalah Hanafi, apakah sudah selesai atau belum. Juga mumpung ada isterinya Hanafi. Biar dia tahu juga.
Aku mengetuk pintu kamar belakang. Pintu terbuka. Alangkah terkejutnya aku. Hanafi mengunci mulutnya dengan cara mengelem bibirnya. Hingga mulutnya tertutup rapat. Bagaimana mau diajak bicara, kalau begini? Atau ini memang modus, cara Hanafi agar isterinya tidak tahu tentangnya. Tentang masalahnya?
Aku kembali ke ruang tamu. Kuberitahukan keadaan Hanafi pada isterinya. Anehnya, isterinya tidak kaget!
“Itu biasa, Pakde. Di rumah juga sering begitu. Tiba-tiba mulutnya tertutup rapat. Dia tidak ngomong dengan saya. Kalau mengatakan sesuatu hanya lewat sms.”
“Lalu, cara membuka mulutnya bagaimana?”
“Nanti kalau mau pulang, juga terbuka sendiri. Caranya, Mas Hanafi nanti membelah pakai pisau. Setelah itu akik yang dikenakan digosok-gosokkan pada bibirnya yang berdarah. Nanti darah langsung kering dan bibirnya kembali seperti semula.”
Sontoloyo, jadi Hanafi sengaja mengelem bibirnya. Agar dia tidak diajak bicara tentang pinjaman uang. Tentang bisnis pusaka yang kena tipu. Tentang pembagian warisan. Pantas saja dia enteng kalau nulis pesan singkat. Mungkin waktu menulis dengan cekikikan. Dengan makan-makan bersama teman-temannya yang tidak waras. 
Kalau disuruh nelpon tidak mau. Atau pas ketemu di rumah waktu mau pinjam uang, ditanya-tanya jawabannya muter-muter. Kata isteriku, mimiknya itu lo yang tidak bisa menipu.
Tiba saatnya pulang, Hanafi gagal membuka mulutnya. Biarpun pisau telah disayatkan ke kedua bibirnya yang tertutup lem. Bibirnya sudah berdarah-darah, tapi mulutnya tidak juga terbuka. (SELESAI)
Karanganyar, 23 Juli 2014 
Sumber:
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/mulut-bisu_5606ac5f0023bd1715904233

Jumat, 25 September 2015

Laki-laki Yang Diam

Enam bulan yang lalu kehadiranku di rumah saudara ini mungkin  menimbulkan banyak tanya para tetangga. Akan tetapi saudaraku, Mas Budi dan isterinya, secepatnya melapor pada pengurus RT. Kata Mas Budi waktu itu, aku adalah saudaranya yang akan menetap di rumahnya.
Rumah Mas Budi tadinya sepi, setiap pagi sampai sore tak berpenghuni. Setelah aku hadir di tengah keluarga Mas Budi rumah menjadi kelihatan lebih hidup. Rumah dengan halaman luas aku sulap menjadi hutan. Semua itu atas ijin Mas Budi. Sedikit demi sedikit aku isi halaman rumah dengan tanaman sayutan dalam pot. Ada juga tanaman dalam polibag.
Mas Budi mengatakan pada tetangga kalau aku pendiam. Tidak banyak bicara. Bukan berarti aku sombong. Sebenarnya aku ramah. Lama kelamaan aku hafal dengan tetangga. Bertegur sapa tidak harus dengan ngobrol. Aku cukup tersenyum bila sekali tempo bertemu langsung dengan tetangga.
Aku memang pelit untuk bicara. Dengan Mas Budi, isteri dan anak-anaknya aku juga jarang bicara. Aku batasi bicaraku, aku harus menutup diri. Aku takut kalau banyak bicara aku akan mengobral cerita. Ceritaku tersebar ke mana-mana. Cukup keluargaku saja yang tahu tentang aku.
 OOOOO
Seperti pagi sebelumnya aku mulai untuk bekerja di halaman rumah yang semakin asri. Beberapa sayuran sudah siap panen. Aku sudah bilang pada isteri Mas Budi untuk mengundang tetangga. Aku ingin melihat orang lain senang memanen sayuran sendiri di kebun.
Karena belum ada tetangga yang datang ke rumah ini, aku memanen sendiri hasil kebun. Hasil panen aku kumpulkan dalam tas. Aku berharap isteri Mas Budi mau membagi-bagikan hasil panen pada tetangga.
Di bawah pohon mangga aku beristirahat sambil membersihkan rumput. Tiba-tiba mataku tertuju pada becak yang melintas di jalan depan rumah. Iseng-iseng pandanganku mengikuti jalannya becak.  Becak itu berhenti di depan rumah tingkat bercat hijau. Dua orang penumpang turun dari becak.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Setelah semuanya selesai perasaanku lega. Satu pekerjaan berhasil kuselesaikan dengan sukses. Aku mengerjakan pekerjaan yang lain. Sebagai penulis lepas, aku bebas kapan memulai dan mengakhiri pekerjaanku.
Untuk menulis artikel, aku tidak mematok target. Prinsipku aku harus konsisten menulis setiap hari. Waktunya tidak mengikat, kapan pun aku lakukan. Aku memang orang merdeka.
Sejak aku melihat becak menurunkan penumpang beberapa hari yang lalu, aku jadi mempunyai bahan untuk tulisanku. Setiap pagi aku melihat seorang laki-laki bersama tetangga berjalan di depan rumah Mas Budi.
Walaupun pagi hari, tapi lelaki itu selalu memakai topi. Sepertinya, dia tidak mau diketahui oleh orang lain. Kalau aku tak banyak bicara dan menjadi pendiam untuk menutup diri. Akan tetapi laki-laki itu diam, entah karena apa?
Suatu hari Mas Budi bercerita tentang lelaki yang diam bertopi saudara tetangga. Laki-laki yang diam karena mengalami depresi. Laki-laki yang diam itu bukan caleg yang gagal. Laki-laki yang diam itu bukan caleg yang telah menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta. Tapi laki-laki itu masih erat dengan pileg tahun ini.
Laki-laki itu adalah tim sukses dari seorang caleg. Kebetulan caleg yang dipromosikan tersebut juga berhasil meraih suara. Artinya sang caleg kemungkinan besar bisa masuk gedung DPRD.
Mendengar kata-kata tim sukses aku jadi ingat laki-laki yang kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Aku meninggalkan kampung halaman, meninggalkan semuanya. Aku meninggalkan orang yang aku sayangi.
Aku tidak suka politik. Sebelumnya aku tidak tahu kalau calon suami suka di dunia politik. Tidak dengan cekcok yang hebat. Cukup aku dan calon suami yang tahu. Kuselesaikan masalahku dengan cara cerdas dan dewasa.
Waktu itu aku hanya bilang,”Ternyata kita beda. Dunia kita beda. Aku tidak suka dunia politik. Aku tidak mau membangun keluarga di atas prinsip yang berbeda. Aku tidak buta politik. Tapi aku tak mau berspekulasi masuk di dalamnya.”
Calon suami bukan caleg yang maju di pileg. Calon suami hanya tim sukses. Bagiku sama saja. Aku tidak mau berlarut-larut. Mumpung belum terlanjur. Walaupun hubungan sudah terjalin serius, tapi aku harus mengambil sikap. Perpisahan ini jalan terbaik.
Untuk melupakan semuanya, aku harus meninggalkan kampung halaman. Akhirnya kuputuskan untuk tinggal di tempat yang jauh dari keramaian. Di sebuah desa yang terletak di sebelah timur kota Solo.
Aku lebih senang lagi karena keluarga Mas Budi memiliki rumah yang lain. Terletak di bawah lereng Gunung Lawu. Desa Kemuning, tempat yang sejuk. Sejauh mata memandang yang kulihat adalah hijau, sawah, kebun teh, dan kebun sayuran.
Sekali tempo aku diajak ke desa Kemuning. Benar-benar suasana yang dapat menyegarkan pikiran. Di sinilah kemampuanku menulis diuji. Dengan bekal kamera manual dan digital yang kumiliki aku bisa mencari kemudian menuliskan berita.
OOOOO
Hari Minggu pagi ini aku lihat keluarga Mas Budi berada di depan rumah. Mereka melakukan kegiatan dengan rasa suka cita. Tiba-tiba laki-laki yang diam bersama tetangga memasuki halaman rumah. Mereka berbincang-bincang akrab. Laki-laki yang diam itu bahkan melihat-lihat sayuran dalam pot dan polibag. Sesekali laki-laki yang diam itu memegang sayuran.
Dari balik kaca jendela aku perhatikan laki-laki yang diam itu. Laki-laki yang diam itu membuka topinya. Aku membalikkan badan meninggalkan jendela.
Aku menyiapkan sarapan dan teh panas buat keluarga ini. Semua sudah siap. Menunggu keluarga ini masuk rumah, aku membuka catatan kecilku. Aku goreskan pena lagi membentuk beberapa kalimat untuk melengkapi tulisanku.
“Masakan Tante Ima enak.” Andri, anak kelas 2 SD itu memuji.
“Iya. “ sahut Rafi, kakaknya.
Aku menghentikan pekerjaan lalu bergabung dengan mereka. Pagi ini suasana akrab di ruang makan. Kata isteri Mas Budi hari ini akan ke Kemuning lagi. Tapi bersama tetangga dan laki-laki yang diam itu. Oh. Berarti aku tidak usah ikut.
Rafi dan Andri selesai makan langsung melihat TV. Mereka memilih acara yang menarik, film kartun.
“Kasihan laki-laki itu.” Mas Budi membuka pembicaraan.
“Memang ada apa?” tanyaku.
“Dia, Mas Hanung namanya, korban caleg. Sebagai tim sukses yang berhasil memengaruhi orang-orang untuk memilih caleg. Begitu caleg berhasil mengumpulkan suara banyak, caleg ingkar janji. Caleg berjanji bila berhasil lolos dalam pileg, akan membagi-bagi uang. Tetapi nyatanya tidak. Mas Hanung setiap hari ditagih sama orang-orang. Sementara sang caleg hanya melambaikan tangan alias bye-bye. Mas Hanung akhirnya depresi. Sempat masuk rumah sakit. Tapi minta pulang. Dia ingin menenangkan diri di Tawangmangu. Padahal beberapa bulan sebelumnya dia telah mengorbankan banyak hal. Di antaranya adalah perempuan yang sebentar lagi mau dinikahinya.”
“O, begitu.”kataku
“Aku menawarkan untuk tinggal di rumah Kemuning sementara waktu.”
Aku diam. Begitu baiknya keluarga Mas Budi. Sampai-sampai menawarkan rumah asrinya untuk pengobatan orang sakit.
OOOOO
Siang ini keluarga Mas Budi mengantarkan Mas Hanung, laki-laki yang diam ke rumah di Kemuning. Mengantarkan laki-laki yang diam yang telah memilih melepaskan aku demi caleg yang dipromosikannya. Laki-laki yang diam justeru menjadi korban caleg berhasil yang ingkar janji. Beruntung dulu aku tidak mau terlibat sedikitpun.
Biarlah Mas Hanung tak lagi berhasil mengenalku selama beberapa hari ini. Biarlah semua aku simpan sendiri. Keluarga Mas Budi tidak tahu lebih jauh tentang aku dan laki-laki yang diam. (SELESAI) 
Karanganyar, 28 April 2014

Rabu, 23 September 2015

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Karena Mitos Ge-ing

Masa remaja penuh dengan bunga-bunga cinta, itu tidak berlaku padaku. Bapak memang berlaku sangat keras dan tegas terhadap anak-anaknya. Semua itu dapat dipetik hikmahnya. Aku sangat bersyukur karena Bapak sejak awal melarang aku berpacaran. Bagi Bapak berteman atau bersahabat boleh-boleh saja. Akan tetapi bila seorang teman laki-laki sudah sering datang ke rumah, Bapak akan menaruh curiga yang sangat besar. Bisa jadi Bapak mengusir temanku . Beruntung, Bapak belum pernah melakukan itu sebab aku sendiri tidak mau teramat dekat dengan lawan jenis.
Bapak inginnya aku focus sekolah dan menjadi muslimah manis dengan mengikuti kegiatan masjid terdekat. Bapak lebih suka bila aku banyak mengikuti kegiatan di masjid. Misalnya kegiatan Ramadhan, Hari Besar Agama Islam, Pengajian Rutin Jumat Malam untuk orang tua (padahal aku masih gadis, bukan ibu-ibu loh. Ada-ada saja Bapakku ini), dan Pengajian anak-anak/TPA.
Ternyata ketika aku remaja memang asyik juga. Karena aku sering terlibat pada kegiatan masjid, aku lebih dikenal daripada saudara-saudaraku yang lain. Tapi konsekuensinya aku tidak bisa sembarangan bergaul dengan lawan jenis. Soal pacaran, Bapak melarang keras.
Namanya juga aktif di setiap kegiatan kampung/masjid, lama-lama kok ya ada tetangga naksir aku. Padahal aku merasa wajahku biasa-biasa saja. Batinku, halah laki-laki ganteng, mbok kamunya pilih yang lain saja. Bukan apa-apa, Bapakku galak banget. Kamu menyesal dekat denganku. Aku pakai kerudung loh! (Memang sejak tahun 1991 resmi aku pakai kerudung ke mana saja aku pergi. Sebelumnya, ketika SMA memakai kerudung hanya pas mengaji atau bepergian jauh saja). Dan aku tidak mau pacaran. Kamu nanti menyesal, lalu bercerita di luar kalau aku orang yang sok (memberikan penilaian negative hanya karena cintamu tak kutanggapi).
Alhamdulillah, ada jalan untuk menolak laki-laki ganteng itu. Tapi ini sebenarnya ceritanya tragis dan sempat melelehkan air mataku. Ceritanya tahun 1989 (lebih dari 25 tahun yang lalu ya mak!), sepulang sekolah aku dimarahi Bapak habis-habisan. Kebetulan Bapak membuat barang dari kayu seperti almari dan kursi di rumah. Padahal sungguh aku tak tahu penyebabnya. Sampai sekarang aku ingat betul kata-kata Bapak.
“Tidak usah sekolah saja. Memalukan orang tua!”
Kata-kata Bapak selebihnya amarah. Tapi sungguh aku tak tahu penyebabnya. Aku menangis karena tak tahu harus berbuat apa. Perih banget, Bapak yang keras dan tegas tidak mau mengatakan alasannya.   
Setelah shalat, aku tidur. Sore harinya, kakakku yang bekerja di lab biologi mengajakku mencari tanaman untuk praktek mahasiswa. Di sepanjang perjalanan kakakku bercerita tentang peristiwa siang itu dan mengapa Bapak menjadi marah.
Siang itu Bapak kedatangan tamu tak diundang. Beliau seorang perempuan yang sudah setengah baya memakai kain kebaya dan jarik. Perempuan setengah baya tadi bilang pada Bapak agar aku tidak mendekati anak laki-lakinya dengan alasan bla-bla. Wusss, Bapak yang mudah emosi mengiyakan kata-kata perempuan tadi dan bersiap-siap memarahiku. Bapak tidak bertanya baik-baik alias kroscek ke aku dulu. Bapak memang begitu, kalau sudah bilang pokoknya maka tak ada yang berani membantah.
“Oalah, jadi itu to yang membuat Bapak marah.”
Perempuan itu adalah penjual jamu keliling di kampung. Beliau adalah ibu dari laki-laki ganteng yang naksir aku. Untung aku memiliki kesabaran yang tinggi. Kuambil nafas dalam-dalam. Aku beristighfar, astaghfirulloh.
Benar, hari berikutnya laki-laki itu menemuiku ketika aku pulang sekolah.
“Mulai sekarang jauhi aku. Sudah sejak awal aku bilang jangan dekati aku!”
Aku tak perlu menjelaskan panjang lebar. Cukup sampai di sini saja! Aku lebih memilih keluargaku daripada berteman dengan orang membuat hidupku penuh dengan penderitaan. Huhhh.
00000
Tak lama kemudian tetangga satu gang ada yang naksir aku. Wuih, benci banget aku. Kok aku harus mengalami ini lagi. Sebut saja Boy. Boy orangnya tidak terlalu tinggi, bicaranya gagap, kaki dan tangan sebelah tidak normal. Aku menghargai Boy, karena dia tetangga dekat. Setiap kegiatan selalu bersama-sama. Tentu saja dia salah alamat banget kalau suka padaku.
Oit, jangan punya prasangka buruk dulu padaku. Boy ini masih percaya klenik. Keluarganya juga kental banget dengan klenik. Suatu hari dia mengatakan suka denganku. Saat itu aku tak menjawab. Aku harus menyusun kata-kata agar tidak menyinggung dirinya. Bagaimana caranya agar penolakanku tak membuat hatinya perih dan terluka. Aku terus berpikir keras, memutar otak.
Keluargaku juga tahu kalau Boy suka padaku. Keluargaku juga bingung mau memberi solusi. Takut menyinggung Boy dan keluarganya. Kalau langsung menolak, nanti dikira tidak mau menerima Boy karena keadaan fisiknya. Ya Allah, berilah makhluk cantik ini (namaku  Kaltsum memiliki arti cantik) jalan keluar.
Aku belum juga diberi jalan keluar. Bapak hanya mengingatkanku untuk tidur di lantai hanya beralaskan tikar. Kenapa begitu? Agar aku aman dari bentuk santet dan kiriman mara bahaya. (Konon katanya santet mudah dikirim dan mengenai sasaran yang berada pada tempat yang panas/hangat. Logikanya : syetan > jin > api > panas). Masuk akal juga. Ya udah demi kebaikan, moga-moga saran Bapakku yang sholeh ini manjur.
Suatu hari orang tua Boy mengirimi oleh-oleh pada keluargaku. Keluargaku tidak hepi dan bahagia. Bapak dan ibu serta bulik tahu isyarat oleh-oleh itu. Ada lemper, beras ketan putih, wajik. Pokoknya makanan yang berbahan dasar ketan. Ketan itu lengket. Artinya biar aku lengket atau kelet atau terkanthil-kanthil. Ya Allah, beri aku jalan keluar!
Aku sudah menyiapkan jawaban. Dan aku sudah siap dengan pernyataanku. Semoga Allah memudahkan urusanku. Bismillah. Aku diminta datang oleh keluarga Boy. Setelah ngobrol dengan keluarganya cukup, mereka meninggalkan aku dan Boy.
“Boy, apa hari pasaranmu?”tanyaku.
“Wage.”jawabnya.
Yes! Itu yang aku nanti-nanti wage atau pahing. Kalau dia bilang wage, maka aku akan berbohong kalau aku pahing. Sebaliknya kalau dia pahing, aku akan bilang wage. Menurut kepercayaan orang Jawa dan yang masih percaya klenik, tidak boleh ada pernikahan kalau pasangan itu hari lahirnya berpasaran wage dan pahing yang biasa disebut Ge-ing. Karena pasangan Ge-ing rumah tangganya tidak akan bahagia.
“Aku pahing.”
“Pahing?”
00000
Boy bilang tidak akan melanjutkan hubungan denganku (padahal aku tak merasa punya hubungan special secuil pun). Sebab orang tua dan keluarganya tidak mau nekat dengan melawan mitos Ge-ing.
Yes, Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Aku telah berbohong demi kebaikan. Semoga Allah mengampuniku. Beberapa bulan kemudian Boy menikah dengan tetanggaku juga. Dan isteri Boy adalah perempuan yang rumahnya di depan rumah Bapakku. Blaik!
Sampai sekarang aku geli sendiri dengan mitos Ge-ing tadi. Sebab aku lahir bukan di pasaran pahing, melainkan Pon.
Karanganyar, 23 September 2015
Cerita ini diikutsertakan pada GA yang diselenggarakan oleh www.listeninda.com

Senin, 21 September 2015

Berani Jujur? Beritahu akun, email, dan password pada pasangan

Saya memiliki beberapa email, akun facebook, twitter, dan blog. Tidak ada yang saya rahasiakan. Pada suami dan anak saya, saya katakan email dan akun-akun saya beserta password-nya. Tapi rupanya suami dan anak saya tidak ambil pusing dan tidak tertarik. Sebab mereka tak membuka akun-akun saya. Mereka sangat percaya pada saya.
Dua hape saya juga tidak saya rahasiakan. Bahkan hp yang satu malah dibawa anak saya karena hp anak saya sedang sakit. Anak saya yang kelas 1 SMA juga tidak usil membuka-buka akun-akun saya. Hp yang lainnya kalau saya sudah pulang dari mengajar hanya saya taruh di rak.
Suami dan anak saya juga membuka-buka hp saya. Kalau suami biasanya menghidupkan TV dari hp saya. Maklum kami di rumah tak mempunyai TV. Sedangkan Faiq, anak saya, biasanya membuka-buka pesan yang masuk untuk mengecek pulsa (deposit) saya cukup untuk dikirim ke pelanggan atau tidak.
Mengapa saya begitu saja membiarkan hp dan akun-akun saya boleh dibuka suami dan anak saya? Tentu saja saya mempunyai niat baik. Selain itu agar keluarga kecil saya tahu aktifitas saya. Dengan siapa saya sering berkomunikasi. Isi beritanya apa?
Bila suatu saat terjadi apa-apa dengan saya, keluarga bisa mengecek lewat hp dan akun-akun saya. Apa yang terjadi sebelumnya? Pengalaman saya yang tidak mengenakkan antara lain :
1.      Suatu hari, ada pesan masuk dari seorang teman, tapi isinya tidak sama dengan kejadian pada hari itu. Teman saya mengucapkan terima kasih karena saya sudah mau mentraktir makan siang. Padahal saya sama sekali tidak pergi ke mana-mana sepulang mengajar. Saya ceritakan kejadian ini pada suami, dan suami percaya terhadap saya.
2.      Beberapa hari yang lalu ada sms mesra yang masuk di hp saya. Sms itu dari teman sekantor. Awalnya teman saya bilang pada saya kalau dia salah mengirim sms. Seharusnya bukan untuk saya. Bisa dibayangkan, sms teman saya memang belum masuk. Sampai di rumah sms itu masuk. Karena suami biasa membuka hp saya, apa yang terjadi bisa ditebak. Saya jelaskan pada suami bla-blabla. Karena suami saya tahu si pengirim itu memang “gatelan”, maka suami percaya kalau sms itu sebenarnya bukan untuk saya atau isterinya melainkan untuk wanita lain. Dengan selalu jujur, suami tidak pernah curiga sama sekali.
Demikian juga dengan suami saya. Hape dibiarkan begitu saja. Bahkan bila ada pesan masuk, pertama yang membuka hp-nya adalah saya. Biasanya tentang kegiatan olah raga, tentang musyawarah guru, dari murid-muridnya yang sedang mengikuti atau bertanya tentang kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Kadang dari wali murid. Suami sering tidak membawa hp bila di luar jam kantor. Saya sering harus menjawab telepon atau sms yang masuk.
Kami jujur dan tak ada yang kami sembunyikan. Sudahkah Anda terbuka soal akun-akun dan passwordnya pada pasangan Anda? Insya Allah Anda terbuka dan jujur terhadap pasangan Anda. Kalau Anda tidak terbuka dan ada yang ditutupi terhadap pasangan Anda, tentu punya alasan. Apalagi kalau pasangan Anda tidak boleh menyentuh hp Anda dan membukanya. Bila ketahuan salah satu membuka hp pasangan lalu marahnya dengan sangat, berarti ada yang dirahasiakan? Itu yang tahu hanya Anda dan Yang Maha Mengawasi. Jujur, mulailah dari kita terbuka tentang email dan akun-akun kita. Semoga bermanfaat.
Karanganyar, 21 September 2015

Sumber:

Sabtu, 19 September 2015

SMS Nyasar, Selingkuh

Aku paling kemropok kalau dibilang bengese kurang abang. Aku bukan artis. Aku hanya guru biasa, statusku juga hanya GTY. Gajiku tak cukup untuk membeli benges mahal yang warnanya merah menyala dan awet di bibir. Paling-paling kalau sudah makan, bibir dilap, benges ikut di tisu. Tapi tidak lantas wajahku jadi pucat! Karena dengan tersenyum saja wajahku sudah ceria, tak perlu polesan kosmetik tebal.
Aku paling benci kalau ada orang yang membandingkan antara aku dengan perempuan lain. Apalagi itu yang bilang laki-laki, bukan suamiku pula. Kalau ada laki-laki yang terlalu reseh dengan penampilanku, itu artinya laki-laki kurang kerjaan dan pasti tak bahagia dengan isterinya.
Apa ada laki-laki semacam itu? Tentu saja ada. Sebut saja Hari. Hari temanku di kantor. Sepertinya dia tak bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Itu kata teman-teman. Aku sendiri tak tahu.
Secara ekonomi Hari dan isterinya sudah mapan. Tapi di usia perkawinannya yang sudah matang, keduanya belum dikaruniai momongan. Isteri Hari adalah seorang pegawai bank. Dahulu isteri Hari pernah menjalani operasi untuk mengambil kista di rahimnya.
Beberapa tahun yang lalu Hari mengadopsi seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Kebetulan ibu dari si bayi adalah tetangga orang tuanya. Setelah bayi tersebut dibawa pulang, Hari dengan sengaja memutus kontak antara ibu dan anak.
Bayi Hari ternyata mengalami downsyndrom. Di usia 8 tahun anak itu baru bisa berjalan. Tak banyak kata-kata yang keluar dari gadis kecil itu. Sekedar bapak, mbak, maem, mah. Kadang ungkapan isyarat keinginan anak tak bisa Hari respon. Anaknya frustasi. Marah lalu mengamuk.
Berkali-kali Hari memakai jasa asisten rumah tangga, gonta-ganti. Tidak ada yang kerasan. Maklum anak Hari hiperaktif. Sang asisten rumah tangga kewalahan menghadapi anak Hari. Biarpun diberi bayaran tinggi, mereka tak sanggup untuk melayani anak Hari. Kalau dikerasi, kok ya kebangetan. Kalau tidak dikerasi, si asisten remuk sendiri. Gerakan anak Hari tak bisa dikendalikan.  
Akhirnya Hari dan isterinya menyekolahkan anaknya ke SLB sekaligus anaknya tinggal di YPAC. Setiap hari Jumat sore-Minggu anak Hari tinggal di rumah. Senin-Jumat siang anak Hari tinggal di YPAC.
00000
Teman-teman sudah mencium kedekatan Hari dengan beberapa perempuan beristeri. Aku tak mau mengikuti perkembangan kisah asmara Hari. Bagiku cukup tahu saja. Beberapa kali desas-desus berhembus, Hari tetap mengelak. Bahkan teman sekantor juga ada yang dekat dengan Hari. Mungkin keduanya sama-sama gila. Sudah pernah kepergok saja masih mengelak. Gila benar tuh.
Aku paling benci kalau Hari membandingkan aku dengan perempuan yang mau diaturnya. Perempuan itu tak lain teman sekantor. Perempuan itu (mungkin) cantik. Dulu sebelum dekat dengan Hari perempuan itu lugu. Tapi sekarang beda banget. Kayaknya gak masuk akal. Gaji perempuan itu berapa? Sama dengan aku, tak lebih dari lima ratus ribu rupiah. Tiap bulan facial, creambath, pakai bedak tebal dan lipstick tebal.
Aku tersenyum, hem. Beruntung aku bisa mengendalikan diri. Kalau Hari mengatakan mukaku pucat karena tidak pakai lipstick aku tak pernah menanggapinya. Bahkan aku tidak mengatakan,”lihat perempuan itu. Kayak badut! Apa yang membuatmu tertarik?”
Memang suatu ketika aku pernah memakai benges warna merah.  Lipstick yang kumiliki, jarang sekali aku pakai karena suami tidak mau aku berdandan norak. Apalagi seperti ondel-ondel. Busyet, suamiku memang ingin aku tampil apa adanya. Jangan mengada-ada hanya karena omongan orang yang kurang bahagia.
Benar dugaanku, Hari memujiku. Sebaliknya di ruangan kelas murid-murid bersorak. Siswa yang duduk di depan meja guru berkata setengah berbisik,”Bu, nggak pantas pakai lipstick merah.” Belum lagi teman-teman kantor yang setengah memprotes, berbisik,
“Pakai lipstick merah, norak Bu.”
Plong! Lega rasanya, aku diperhatikan murid dan teman-temanku. Sedangkan suara Hari tak ada yang mendukungnya.  
Tak ada artinya aku mengatakan semua itu di depan Hari. Aku cukup menulis status di BBM. Intinya aku guru dan penulis. Aku beda dengan artis. Perbedaannya terletak pada bedak dan lipstick.
Tanpa permisi Hari mengomentari statusku. Beberapa hari statusku sama. Dan Hari mengomentari dengan kata-kata yang sama. Terakhir aku nulis status,”orang yang bahagia tak akan mengomentari yang bukan ladangnya.”
Pet! Hari tak memberikan komentar sedikitpun. Mungkin dia tersinggung. Tapi ini dinding-dindingku sendiri. Aku tak bermaksud menyinggung siapapun. Daripada aku teriak-teriak membela diri, lebih baik aku diam, tapi tulisanku bisa dibaca.
00000
Aku paling benci dengan orang munafik. Kadang aku berpikir, kok ada orang seperti itu? Diuji dengan bermacam hal, tetap saja tak mau introspeksi.
Beberapa bulan yang lalu Hari menjalankan ibadah umroh. Pikirku, Hari pasti sudah berubah. Ternyata tidak. Malah semakin menjadi. Padahal selama pelaksanaan ibadah di tanah suci, ada beberapa teguran.
Aku memang lugu apa adanya. Tapi sungguh, aku ingin berbuat yang terbaik buat keluargaku terutama suamiku. Aku tak mau menyakiti suami. Aku bahagia dengan kehidupan ini. Kehidupan tanpa kemunafikan.
Siang tadi, seperti biasa setelah tidak mengajar, aku membuka internet di kantor. Tiba-tiba Hari mendekatiku. Huh, apalagi?
“Bu, maaf. Tadi saya mengirim sms ke nomer jenengan. Tadi salah kirim, seharusnya bukan di nomer jenengan.”
Spontan aku membuka hape. Tak ada pesan masuk.
“Tak ada pesan masuk, kok Pak. Mungkin tidak terkirim.”
Waktu terus berlalu. Hari sudah pergi meninggalkan sekolah. Aku masih membuka berita lewat internet. Tiba-tiba hapeku bergetar. Aku membuka pesan yang masuk. Wow, dari Hari. Berarti ini yang dibilang Hari salah kirim. Stt, sms nyasar!
Isinya bikin merinding. Aku buru-buru memberi tahu temanku.
“Pak, Pak Hari tadi bilang salah mengirim pesan. Seharusnya pesan tidak dikirim padaku. Tapi tadi memang belum ada pesan yang masuk, pesannya baru saja sampai.”
“Coba isinya apa?”
“mama sudah di lab belum? Jagong sama siapa Ma? Kok kemarin gak cerita.”
“Pak, mestinya itu bukan untuk isterinya. Lalu buat siapa?”
“Oh, itu. Buat orang PDAM kalee.”
Aku ndak mudeng maksudnya. Kutanyakan maksud sms itu pada temanku yang lain.
“Oh, itu. Buat orang PDAM. Bahkan ada orang yang bilang kalau isterinya Hari bekerja di PDAM.”
“Badalah. Jadi Pak Hari itu ada sesuatu dengan orang lain to?”
“Kok dirimu baru tahu. Itu sudah lama.”
“Pantas saja dia nanya seperti itu. Takut kalau aku tahu cerita tentang perempuan itu.”
Bagaimanapun juga aku harus bercerita pada suamiku tercinta tentang sms nyasar ini. Agar kelak kalau ada sms nyasar, kebetulan suami yang membuka, suami tidak main curiga dan asal tuduh aku berselingkuh.
Ketika aku ceritakan pada suami tentang sms nyasar tadi, mungkin dia akan bilang Hari lagi Hari lagi. Anehnya suami malah bilang,”sepertinya aku mengenal perempuan yang dimaksud. Dia bernama Rosa, pegawai PDAM yang nyambi bekerja di laboratorium. Belum lama ini suami Rosa meninggal. Bla-bla-bla. “
Plong, lega sudah. Rasa penasaranku hilang. Kalau dulu aku selalu ingin teriak-teriak memaki Hari, sekarang aku terenyum dalam hati dan mencibir.
“kau tak lebih baik dari penilaianku. Terima kasih atas sms-mu yang nyasar.”
(SELESAI)
Karanganyar, 19 September 2015

http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/sms-nyasar-selingkuh_55fd7a0c4223bd2f1eec389a

Kamis, 17 September 2015

Telur Aroma Kembang

AH TENANE
TELUR AROMA KEMBANG
Ini kisah seorang kawan guru yang tinggal di Karanganyar. Ceritanya, tetangganya punya hajat mantu. Kebetulan kawan saya ini diberi tugas untuk meletakkan sesaji di tiap perempatan dan jembatan yang ada di desanya. Ada 14 titik yang harus diberi sesaji. Inilah kisahnya:
Hari ini Jon Koplo diberi tugas oleh Tom Gembus. Tom Gembus akan mengadakan hajatan, mantu. Seperti adat Jawa umumnya, di tiap perempatan dan jembatan di sekitar kampung diberi sesaji. Menurut kepercayaan orang Jawa, sesaji itu dipersembahkan untuk penunggu alias “sing mbau rekso”.
Dengan semangat ’45, Koplo melaksanakan perintah dengan suka cita. Dalam waktu singkat, pekerjaan Koplo sudah selesai. Koplo pun memberi laporan kepada Gembus.
“Lapor, tugas sudah saya selesaikan dengan baik.”
“terima kasih. Kamu memang tetangga yang “enthengan” dan cekatan.”Gembus memuji.
Akhirnya Koplo pulang. Sampai di rumah dia merawat ternak-ternaknya. Ayam dan lele piaraan Koplo juga dapat menghasilkan rupiah. Itulah pekerjaan sampingan Koplo.
Pagi harinya, Koplo ke pasar untuk menjual telur ayam kampung. Sampai di pasar, seorang nenek bernama mbah Cempluk, pembeli telur (telur-telur itu kemudian dijual lagi) nyeletuk,”Mas, kok telurnya bau kembang?”
“Mboten napa-napa mbah Cempluk, tadi memang bawanya campur sama kembang.”jawab Koplo sekenanya sambil cengar-cengir.
Si nenek tidak banyak komen. Setelah transaksi selesai Koplo meninggalkan pasar. Koplo menuju kantornya di Karanganyar kota. Sampai di kantor, Koplo senyum-senyum sendiri. Sebenarnya telur yang dijual tadi bukan hasil dari ternaknya. Telur itu diambil dari sesaji yang isinya jajan pasar kembang dan telur. Dalam hati Koplo mengumpat,”Busyet, telur aroma kembang. Bisa jadi seperti itu karena sesajinya sudah dijapani atau diberi mantra.”
Koplo tahu, kalau telur dalam sesaji itu hanya mubazir bila diletakkan di perempatan dan jembatan. Daripada mubazir, Koplo memanfaatkan telur-telur itu. Lumayan, 14 butir dikalikan seribu lima ratus rupiah.    Ada-ada saja, jangan-jangan kalau disuruh meletakkan ingkung ayam di atas genteng rumah bisa jadi malah dibawa pulang. Haha (SELESAI)
Karanganyar, 28 Nopember 2014

Tulisan ini pernah dimuat di Koran SOLOPOS.

Senin, 14 September 2015

Tentang Bibir Merah

 Laki-laki setengah abad itu dekat dengan teman sekantor (karyawan). Entah itu hanya TTM atau ada hubungan spesial, aku juga tak tahu. Yang jelas, teman sekantor ini penampilannya menarik. Memakai bedak tebal dan berbibir merah menyala. Wuih, luar biasa.
Suatu hari, beberapa orang murid yang datang ke rumahku sempat bilang,”Bu, Bu Rina itu kalau pakai lipstik kok sampai pipi juga. Dan itu yang dipakai bedak atau labur?”
“Wah, gak tahu ya. Tanya Bu Rina sendiri saja,”kataku.
Bayangkan, perempuan yang disangka Hari cantik ternyata dinilai murid seperti itu. Biarlah, Hari merasa Rina cantik di matanya.
Sudah berapa kali saja Hari bilang padaku kalau mukaku pucat karena bibirku kurang merah. Lipstik yang yang menempel di bibirku kurang menyala. Aku sudah menjawab berulang-ulang kalau aku guru, dan suamiku tak suka bila aku berdandan menor. Suamiku tahu karakterku yang sederhana. Laki-laki itu melarang aku berdandan ala badut.
“Pucat, gak pake lipstik.”
“Biarin. Suami saya menerima saya apa adanya.”
“Tapi masukan orang juga perlu dipertimbangkan.”
“Oh, tidak perlu. Saya lebih menurut suami saya daripada orang lain.”
Aku benar-benar jengkel. Aku tak mau debat kusir dan menanggapi omongan Hari yang kian ngelantur. Bagiku menulis status di BBM cukup membuatku lebih tenang. Ini status yang kutulis ulang karena Hari mengatakan hal sama, katanya mukaku pucat karena tak pake lipstik. “Aku guru dan aku penulis. Aku bukan artis. Penulis tidak memerlukan benges tebal, yang penting karyanya.” Hari kok ya usil ngomentari statusku.
Aku menulis status lagi dengan nama samaran.
“Jon Koplo itu lagi kumat. Karena Cempluk masuk kerja lagi setelah izin selama sebulan karena sakit. Koplo bilang Nikole pucat karena gak pake lipstik. Kasihan, mungkin Koplo kurang bahagia di rumah.” Luar biasa, tak ada komen dan tanggapan.
Pagi harinya, Hari tidak masuk ke kantor karena sakit. Rina bilang kalau kemarin Hari diteror oleh seorang perempuan lewat BBM. Status itu yang membuat Hari kondisinya drop. Sekarang Hari berada di rumah sakit daerah.
(Maka dari itu, tak usah mengatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain. Hati-hati dalam berlisan. Ketika kamu menyakiti hatiku, aku tetap kuat. Begitu baca statusku, kamu terus limbung dan ambruk).
(SELESI)
Karanganyar, 14 September 2015