Selasa, 23 Desember 2014

Ayam Bakar Dilengkapi Sambal Ala Masakan Padang


Gambar 1. Mbak Sarmi, Ibu Suka Bisnis "Ayam Bakar"
Baru tiga bulan, mbak Sarmi berjualan ayam bakar. Sebelumnya mbak Sarmi dan suami berjualan Soto Lamongan. Sayang usaha tersebut umurnya pendek. Sebenarnya lokasinya strategis. Hanya saja kebetulan di sekitar tempat berjualannya sedang ada pembangunan. Pembangunan yang memakan waktu lama. Dengan alasan polusi udara sangat mengganggu, maka usaha ini berhenti. 
Usaha berikutnya adalah berjualan dawet. Usaha ini juga tidak lama, karena tidak laku. Setelah memutar otak, mbak Sarmi dan suaminya mencoba peruntungan dengan berjualan ayam bakar.
Tempat usaha yang dipilih adalah Jl. Raya Solo-Tawangmangu. Tepatnya di depan Makam Pahlawan Kota Karanganyar, sebelah timur jembatan Siwaluh. Mbak sarmi hanya menggunakan gerobak lalu diberi deklit/terpal tipis. Ada meja dan kursi yang disediakan untuk pelanggan yang sedang menunggu pesanannya dimasak.
Gambar 2. Gerobak Tanpa Nama
Beberapa kali anak saya membeli ayam bakar mbak Sarmi. Sayang, gerobak untuk berjualan tersebut dipasang MMT tapi tidak ada namanya. Hanya ada tulisan ayam bakar, nomor hp dan foto ayam satu porsi ayam bakar beserta nasinya.
Gambar 3. Suami Membakar Ayam
Kebetulan anak saya yang baik hati ini juga memikirkan saya. Saya diberi satu porsi. Setelah saya rasakan, ada perbedaan antara ayam bakar yang ini dengan yang lain. Perbedaan itu terletak pada sambalnya.
Menikmati ayam bakar dengan sensasi tersendiri. Sambalnya khas sambal masakan padang, Lombok ijo. Bagi yang belum terbiasa dengan sambal masakan padang mungkin tidak cocok. Akan tetapi lidah saya ternyata tidak menolak.
Tapi kok ayam bakar dengan sambal ala masakan Padang? Ternyata mbak Sarmi dan suaminya adalah lulusan karyawan rumah makan Masakan Padang “Rama”. Mbak Sarmi sebagai tukang masak dan suaminya melayani pembeli. Lebih dari 10 tahun suami mbak Sarmi bekerja di Rumah makan tersebut. Mbak sarmi sendiri kurang dari 10 tahun.
Mereka jadi terbiasa dengan hal-hal yang berbau Masakan Padang. Tidak salah mereka memilih sambal Masakan Padang untuk menu ayam bakarnya. Akan tetapi bila kebetulan lomboknya berwarna merah, maka cirri khas Masakan Padangnya hilang. Yang ada sambal tomat pedas manis seperti sambal pada umumnya.
Satu porsi ayam bakar dan nasi dijual mulai dari enam ribu lima ratus rupiah sampai sebelas ribu rupiah. Pada awalnya mbak Sarmi hanya menyediakan 1 kg daging ayam. Sekarang setelah penjualannya mulai ramai, sehari mbak Sarmi bisa mengabiskan daging ayam sebanyak 7-8 kg.
Mbak Sarmi mulai berjualan jam sepuluh pagi sampai jam sampai malam. Akan tetapi biasanya sebelum jam Sembilan malam dagangan sudah habis. Suatu hari saya datang untuk membeli ayam bakar. Waktu itu sekitar jam lima sore. Ternyata mbak Sarmi dan suami sudah bersiap untuk pulang karena dagangannya sudah habis.
Saya sempat mengobrol dengan mbak Sarmi dan suaminya. Katanya lebih senang mandiri berwirausaha daripada ikut orang lain. Semoga sukses selalu dan pertahankan ciri khas ayam bakarnya yaitu dengan sambal ala Masakan Padang.
Karanganyar, 23 Desember 2014

Senin, 22 Desember 2014

Ingin Selalu Bersama Mama


Aku ingin selalu bersama keluarga. Tidak hanya di akhir pekan saja. Aku ingin setiap hari bisa menikmati waktu bersama ayah, mama dan adikku.
Ayah dan mama bekerja sebagai guru. Ayah sangat sibuk. Setiap hari, sepulang mengajar ayah selalu keluar untuk melakukan kegiatan olah raga. Kalau mama tidak begitu sibuk. Mama selalu menyempatkan untuk berkumpul bersama anak-anak.
Kadang aku berpikir, jaman sekarang orang tua sibuk mencari nafkah itu biasa. Tapi mama berbeda. Sesibuk apapun pekerjaan mama bila waktunya harus bertemu dengan aku dan adikku bisa jadi pekerjaannya ditinggal.
Mama memang luar biasa. Apa saja bisa mama lakukan sendiri. Barulah kalau mama tidak sanggup melakukan suatu pekerjaan, mama akan minta bantuan ayah.
Pagi hari, mama sudah menyiapkan segalanya untuk kami sekeluarga. Aku tinggal menikmati teh hangat tanpa harus memasak airnya. Aku akan menikmati sarapan tanpa harus menanak nasi. Berangkat ke sekolah, aku dan adik diantar ayah. Kebetulan aku sekolah di mana ayah mengajar.
Sebelum pergi untuk mengajar, mama selalu membereskan semuanya terlebih dahulu. Aku pulang sekolah tidak sama waktunya dengan ayah. Aku selalu mampir dulu ke rumah temanku, Mutia. Rumah Mutia dekat dengan sekolah. Tidak hanya aku yang sering menumpang menunggu jemputan orang tua. Teman-temanku yang lain juga menumpang untuk beristirahat. Daripada pulang lalu balik lagi untuk mengikuti les pelajaran tambahan.
Kalau sudah waktunya ayah atau mama pulang dari mengajar, aku mengirim pesan pada beliau untuk menjemput. Yang sering menjemput aku adalah mama. Sepertinya mama tidak mau kehilangan momen ini. Mama selalu bercerita itu. Mama tidak akan membiarkanku bersusah payah untuk sampai di rumah.
Bila saatnya les, mama akan mengantar. Lalu bergantian dengan ayah menjemputku di tempat les. Setelah di rumah, pasti mama mendekatiku sekedar mendengarkan aku bercerita tentang apa saja yang terjadi selama sehari ini.
Mungkin aku terlalu dekat dengan mama. Kalau aku berbagi cerita dengan teman-teman, biasanya mereka bilang aku dekat dengan mama. Dan aku bangga itu!
Bila suatu saat ayah mendapat tugas ke luar kota beberapa hari, aku tak perlu risau. Karena biasanya ayah hanya mengantar aku sekolah. Urusan yang lain tetap mama yang melakukan. Suatu hari mama akan mengikuti pelatihan. Beberapa hari mama harus menginap karena jadwal pelatihan selesai sampai sepuluh malam. Pelatihan diadakan di Tawangmangu. Untuk pulang ke rumah, jelas itu tidak mungkin.
Jelas aku kalang kabut. Aku tidak yakin alias meragukan ayah. Apa-apa aku lakukan sendiri. Cuci baju, seterika, membeli makan, aku kerjakan sendiri. Belum lagi aku harus menyediakan keperluan dan seragam adik kecilku.
Hanya empat hari ditinggal mama, tapi serasa lama sekali. Dan ini yang paling membuatku lebih menyadari : betapa sayang dan perhatiannya mama pada keluarga. Mama mengikuti pelatihan hari Senin-Kamis. Hari Selasa mama mengirim pesan pada ayah, seragam adikku yang dikenakan adalah hijau. Hari Rabu mama tidak mengirim pesan tentang jadwal seragam adikku. Aku sendiri juga tidak hapal (tidak pernah memperhatikan), ayah juga tidak hapal.  Adikku mengenakan seragam biru kotak-kotak.
Ketika ayah menjemput adikku, Bu Lastri (Bu Guru sekaligus yang mengelola tempat penitipan anak) bercerita kalau tadi pagi seragamnya keliru. Seharusnya putih-putih, bukan biru kotak-kotak. Karena adikku menangis, mungkin malu seragamnya salah, maka Bu Lastri memberikan seragam baru lagi yang putih-putih. Padahal memakai biru juga tak apa-apa.
Ayah tidak bercerita pada mama soal seragam yang keliru. Hari Kamis mama mengirim pesan, hari ini adik memakai seragam olah raga. Sukses!

Hari ini mama selesai mengikuti pelatihan dan pulang ke rumah. Mama membawakan kami jeruk baby yang super manis. Sore hari, mama mau menyeterika seragam. Anehnya, kata mama kok seragam olah raga adik ada di almari. Padahal tadi dipakai untuk olah raga. Ternyata ayah salah mengambilkan. Seragam olah raganya memang sama. Tapi tulisan di punggung berbeda. Dan adik bukan mengenakan seragam TK-nya melainkan seragam olah raga dari penitipan anak. Ternyata mama lebih teliti daripada ayah.

Jumat, 05 Desember 2014

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Upacara Peringatan Hari Guru dan HUT PGRI










Ibu/Bapak Guru juga bisa Menjadi Petugas Upacara lo
Karanganyar, 5 Desember 2014

Rabu, 03 Desember 2014

Kurikulum 2013 Jalan Terus!


Bapak Kepala Sekolah mengajak bincang-bincang kecil dengan sebagian guru-guru dengan santai. Pertama kali yang mendapat pertanyaan adalah Painem Mursalin.

“Bu, menurut penjenengan, K13 ini tetap jalan atau bagaimana?”
“Jujur mawon Pak. Saya kembali ke KTSP. K13 itu bagus, bagus untuk siapa? Ada pendidikan karakternya masuk di dalamnya. (RPP-ne sadampyak. Gawe RPP 1 materi saja, anak dan suami sudah disuruh beli makan sendiri, cuci pakaian sendiri dan seterika sendiri. La kalau buat beberapa materi, beberapa RPP pada kukut semua nanti). 

Apa jaman dulu gak ada pendidikan karakter? Malah jaman dulu orang berbudi pekerti bagus. Sekarang ini guru dengan sekuat tenaga memberikan teladan berkarakter yang baik (we kuwi gajine sithik, la wong mulang neng swasta). Lantas kok anak menjadi tidak berkarakter? Jangan hanya menyalahkan guru dan sekolah. 

Orang tuanya sudah berkarakterkah? Lingkungannya adalah lingkungan yang baikkah? Tontonannya adalah yang sesuai dengan yang kita inginkankah?

Ini Pak, kalau baca status orang-orang, tapi ada benarnya : guru digaji sedikit untuk memperbaiki karakter anak. Artis digaji banyak untuk merusak karakter anak. (Miris banget)”

Jaman dulu, dulu sekali po yo pakai K13. Mantan presiden RI yang jenius itu dulu tidak memakai K13. Menteri yang mencanangkan K13 juga tidak pakai K13. Mereka pandai dan berkarakter. Dokter-dokter jaman dulu itu juga pandai, padahal bukunya pakai buku turun temurun.

K13 itu cocok untuk murid-murid pandai yang punya rasa ingin tahunya besar. Kalau untuk murid-murid yang sekolah saja sepertinya enggan (mau sekolah saja, guru BP harus mencari anak-anak didiknya di pasar, di terminal, di tempat hiburan, di Tawangmangu atau di kebun teh, terus piye, jal?) itu belum pas.

Kesimpulannya kalau di sekolah kita bagaimana? Seorang Bapak yang sudah senior berpendapat. Kalau K13 dipaksakan, muridnya pada stress. Gurunya tidak jadi mulang, membuat administrasi sadampyak, belum lagi penilaiannya yang rumit. (sambil menggeh-menggeh). 

Pakai KTSP tapi juga pakai 5M (mengamati, menanya, mengasosiasi, mengkonfirmasi dan mengomunikasikan).

Maaf, judulnya tidak sesuai dengan isinya.


Karanganyar, 3 Desember 2014

Jumat, 21 November 2014

Perempuan-perempuan Perkasa Membuat Selokan

Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, perempuan-perempuan sekarang tidak jauh berbeda dengan yang dulu. 
Bekerja. 
Ya, dengan bekerja kendhil tidak ngguling. Dengan perempuan bekerja, bisa memberikan uang saku pada putra putrinya. 
Dengan bekerja bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bekerja dengan semangat. 
Apapun bisa dilakukan, yang penting halal. Seperti baru saja penulis lihat di depan rumah. 
Perempuan-perempuan itu dengan tangannya yang kekar menjijing ember beresi adonan semen dan pasir untuk menyusun batu pada selokan.
Ada sekitar 6 orang perempuan. sebelum beraktivitas mereka membuka bekal, sarapan dengan lauk seadanya. Penulis berhasil mengambil gambar mereka ketika sarapan.


Gambar 1. Sarapan Pagi Bawa Bekal Sendiri



Gambar 2. Laukku tempe, Laukmu apa?



Gambar 3. Bapak yang di Belakang Bilang, "Ini telo (ubi jalar)."

Setelah selesai sarapan, waktunya bekerja. Penulisnya juga mulai kerja. Kerjanya Nulis.
Setelah nulis nanti terus lanjut buat kandang ayam.
Karanganyar, 21 Nopember 2014

Senin, 15 September 2014

Sensasi Menerima Honor Menulis Lewat Wesel Pos



Bila mengirimkan naskah/tulisan, biasanya kita diminta untuk mencantumkan biodata termasuk nomor rekening dari bank yang kita miliki. Tujuannya adalah bila tulisan kita dimuat, media/penerbit bisa mengirimkan honor kepada kita lewat nomor rekening tadi.
Mungkin bagi kita yang biasa bertransaksi menggunakan jasa perbankan hal itu lebih praktis dan lebih mudah. Kita tidak perlu mengalami kesulitan untuk mencairkan uang tersebut. Akan tetapi ada sebagian orang yang tetap menginginkan honor menulis dikirim lewat wesel.
Bagi saya keduanya sama-sama menguntungkan. Akan tetapi bila honor menulis tadi dikirim lewat wesel, ada sensasi tersendiri. Banyak tahapan yang harus dilewati. Prosesnya tidak sederhana, akan tetapi setiap tahapan mengandung unsur silaturahmi.
Malah penerimaan honor menulis pertama tahun 1988/1989 langsung ke kantor redaksi Majalah Putera Kita, di Patehan dekat SD saya. Saya datang ke kantor redaksi langsung. demikian juga pada penerimaan honor ketiga. Dari Koran Kedaulatan Rakyat. Pulang kuliah naik sepeda ontel, ke kantor redaksi KR. Setelah mengambil honor, meski perjalanan menggunakan sepeda ontel, terasa ringan saja. Lewat Malioboro, aku membayangkan membelikan mie ayam buat ibu dan bapak.
Ketika Pak Pos datang, kebetulan saya menerima langsung weselnya, saya sudah bertegur sapa dengan Pak Pos. Lalu ucapan terima kasih pasti saya sampaikan. Tegur sapa dan senyum, dapat pahala satu poin.
Kalau Pak Pos datang, kebetulan saya tidak ada di tempat, wesel akan diterima guru/karyawan lain. Jadilah mereka tahu kalau saya dapat honor menulis, ujung-ujungnya saya didor untuk bagi-bagi rejeki dengan membeli makanan kecil.
Yang kedua, sebelum mencairkan wesel, saya harus minta wesel diberi stempel sekolah kepada petugas TU sekolah. Ini wajib, sebab alamat yang saya gunakan adalah alamat sekolah.
Ketiga, saya harus ke kantor pos. Di tempat parkir saya akan bertegur sapa dengan Pak Tukang Parkir. Di kantor pos bagian teller, saya akan berkomunikasi dengan mbak-mbak cantik yang akan memberi uang kepada saya.
Setelah urusan pengambilan uang selesai, saya harus meluncur ke warung untuk membeli makanan kecil. Tahap keempat ini saya akan berkomunikasi dengan pedagang. Sampai di sekolah, komunikasi saya dengan teman-teman yang menikmati sedikit dari honor saya. Ucapan terima kasih dan doa pasti mereka sampaikan.
“Selamat ya, Bu Ima. Semoga rejekinya tambah lancar. Menulisnya lebih sukses.”
Bandingkan bila kita menerima honor lewat rekening. Tak ada seninya mau mengambil uang. Tinggal ke bank mengambil uang lewat teller atau lewat ATM. Selesai. Tak ada komunikasi sama sekali.
Sampai sekarang kalau Pak Pos datang ke sekolah, hati saya dag dig dug. Dapat wesel saja seperti dapat surat cinta. Walaupun akhirnya setelah cair, uangnya cukup mengejutkan. Enam puluh lima ribu rupiah.
Karanganyar, 13 September 2014

Minggu, 10 Agustus 2014

Menikmati Hasil Panen dari Halaman Rumah


Gambar 1. Buah sukun, pohon dan buahnya mirip kluweh
Hari ini saya menikmati libur hari Minggu bersama si kecil, Faiz, di depan rumah. Maklum, kebetulan hari ini jalan di depan rumah saya sedang dicor oleh Bapak-bapak. Bapak-bapak yang mengecor adalah warga kampung yang memang digaji untuk bekerja hari ini.

Gambar 2. Faiz mendorong angkung berisi adonan untuk cor

Gambar 3. Tetap Semangat, meski terik

Gambar 4. Dik Faiz membantu mengambil pasir dengan truck dam
Si kecil sangat senang, ikut membantu melakukan pekerjaan itu. Bukan membantu, tepatnya mengganggu. Sementara si kecil bermain peran sebagai tukang, saya menyiapkan minuman dan kudapan ala kadarnya.
Dalam waktu singkat, minuman dan kudapan habis. Hari ini cuaca sangat panas, sehingga rasa haus benar-benar terasa.  Di depan rumah ternyata sukun yang berada di pohon, melambai-lambai minta dipetik. Sepertinya sukun tersebut dengan suka rela mau menjadi santapan para tukang dang anggota keluarga saya.

Gambar 5. Lumayan, buat sukun goreng

Gambar 6. Mangga Purbalingga, pelem MADU

Gambar 7. Pisang Ambon, satu tandan berisi 8 sisir
Akhirnya saya tergiur untuk memetik dan menggoreng sukun. Sukun, oh sukun. Sukun yang sudah tua, baunya harum. Apalagi kalau matang di pohon, baunya harum dan rasanya legit, mantap sekali bila disantap.
Saya mengeluarkan teh manis dan sukun goreng. Ternyata tak ada yang menolak. Alhamdulillah, hari ini saya bisa berbagi, hasil panen dari halaman rumah. selain sukun, di halaman rumah juga ada mangga dan pisang ambon.
Sayang, mangganya belum matang. Tapi bila mau rujakan atau lutisan, sebenarnya temannya mangga ada lo, yaitu jambu air merah. Kalau pisang ambonnya, matangnya belum merata, baru beberapa buah saja. “Pak tukang” tidak mau mengambil, karena kalau dibagi tidak bisa merata.
Sebenarnya saya juga ingin berbagi pisang, apa boleh buat, sementara untuk panenan yang bisa dikonsumsi ramai-ramai adalah sukun.
Wah, ini ada penampakan di dahan pohon mangga, Induk ayam dan anak-anaknya. Walaupun sudah disiapkan kandang, ayam-ayam tersebut lebih suka tidur di atas dahan. Pantas saja kotorannya di atas tanah banyak. Tapi saya bersyukur, tanah menjadi subur. Amin.   
Gambar 8. Induk ayam dan anak-anaknya 
Apa yang sudah saya bagikan semoga barokah dan bermanfaat buat keluarga saya.

Gambar 9. MERDEKA
Tak lupa saya mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia, MERDEKA!
Karanganyar, 10 Agustus 2014 

Kamis, 07 Agustus 2014

Syukuran Dalam Rangka Tembus Media


Gambar 1. Mereka, ikut memotivasi saya
Alhamdulillah, ungkapan syukur yang pertama kali terlontar refleks ketika tulisan saya tembus media. Apalagi tulisan saya dinyatakan layak dipilih, berpeluang menjadi kontributor. Tidak cukup hanya bersyukur di lisan saja. Saya berniat berbagi kebahagiaan bersama murid-murid saya.
Pada bulan puasa, saya mengajak murid-murid saya kelas XII untuk berbuka puasa di rumah saya. Mereka antusias sekali. Berhubung cuaca mendung, dari 15 anak yang mendaftarkan diri, hanya 6 orang yang datang. Tak apalah, yang penting niat saya sudah terlaksana. Menunya sederhana saja, cukup lontong dan sate ayam.
Sebenarnya murid-murid saya krasan tinggal di rumah saya, tapi karena hujan reda mereka lalu pamit. Beberapa menit kemudian hujan turun dengan derasnya. Saya yakin mereka masih dalam perjalanan.

Gambar 2. Makan Bareng
Pada hari Kamis, 7 Agustus 2014, murid-murid saya kelas XI, datang ke rumah untuk ikut menikmati honor dimuatnya tulisan saya. Kali ini saya menyiapkan bakso, yang saya buat sendiri.

Gambar 3. Seperti di Rumah Sendiri
Selain menikmati bakso, mereka juga saya bebaskan menikmati mangga dan jambu air merah yang ada di halaman. Cuaca cerah, mereka berlama-lama di rumah saya. Bagi saya, bahagia itu sederhana! Berbagi kebahagiaan saya menerima honor dengan murid-murid, sangat bahagia!

Gambar 4. Mas Niwan Ngubek-ubek Mencari Tulang Ayam
“Terima kasih, Bu Ima.” Kata murid saya.
“Semoga barokah dan doakan, tulisan Bu Ima tembus media lagi.”jawab saya.
Setelah berpamitan, mereka meninggalkan rumah saya. Sekali lagi, bahagia itu sederhana! Berbagi bakso, membuat mereka bahagia.
Karanganyar, 7 Agustus 2014  

Senin, 04 Agustus 2014

Endhog abang, Khas pada Hari Raya di Kota Yogyakarta


Gambar 1. Mengenang masa kecil, bersama saudara beli endhog abang
Endhog abang adalah nama lain telur yang diberi warna merah. Dahulu endhog abang menggunakan telur bebek. Endhog abang adalah makanan khas di Kota Yogyakarta, dijual pada Hari Raya Idhul Fitri, Idhul Adha dan Sekaten (di Alun-Alun Utara).
Telur bebek direbus lalu kulitnya diberi warna merah dengan cara dicelupkan (bukan pewarna tekstil). Setelah itu ditusuk dengan bambu (seukuran tusuk sate kambing). Bagian atas dan bawah diberi hiasan kertas rumbai-rumbai. Kalau sekarang hiasannya memakai kertas daur ulang atau mungkin plastik mika berwarna.
Endhog abang yang sekarang kebanyakan dijual bukan telur bebek, melainkan telur ayam. Penggunaan telur ayam, dikarenakan telur bebek semakin mahal. Bila menggunakan telur ayam, harganya terjangkau.
Dulu waktu saya masih kecil, biasanya selain endhog abang, pedagang juga menyediakan mainan tradisional yaitu payung dari kertas, mainan dari bambu yang diputar menimbulkan bunyi othok-othok (sayangnya tidak sempat memotret contohnya), wayang dari kertas dan lain-lain.
Biarpun kini ada banyak jenis makanan yang tersedia di rumah, tapi rasanya tidak afdol kalau belum membeli endhog abang. Kalau sudah beli, sampai di rumah anak-anak dan keponakan juga akan saling berebut. Padahal setelah telur dibuka, meraka tahu hanya telur biasa. Hehe.

Gambar 2. Mbak Lichah, kakak saya berhasil mendapatkan endhog abang

Gambar 3. Menunggu waktunya shalat Idh di Lapangan Minggiran, kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta
Sampai sekarang kalau mudik saat lebaran, saya akan tersenyum melihat perjuangan kakak saya untuk mendapatkan endog abang.
Karanganyar, 4 Agustus 2014


Kamis, 31 Juli 2014

Mudik Seru Naik Sepeda Motor

Gambar utama : Sendang Tirto Sinongko, Klaten
Alhamdulillah, acara mudik berjalan dengan sukses. Yang ditinggal di rumah sukses, dan yang mudik jelas lebih sukses. Bertemu dengan sahabat lama, teman SMP yang sudah lebih dari 27 tahun berpisah. Bertemu dengan guru mengaji di kala saya masih kecil. Beliau adalah Ibu Wazilah Wido Suroto. Beliau telah berjasa pada dalam hal berbagi ilmu baca quran. Bertemu dengan tetangga yang baik dan menjadi bagian keluarga Bapak/Ibu.
Mudik, inginnya tetap tinggal di Yogya dan bawaannya malas kembali ke Karanganyar. Akan tetapi pekerjaan di rumah sudah melambai-lambai. Hari Selasa, 29 Juli 2014 kami kembali ke Karanganyar. Perjalanan kami tempuh pada pagi hari agar tidak bertemu dengan “Bang Macet”.
Sampai di Prambanan, kendaraan dari arah Yogyakarta cukup ramai. Jalannya juga masih lancar. Karena kami bertiga dengan adik kecil 4 tahun, maka sampai di Stadion Klaten, kami beristirahat. Saya dan adik kecil jalan santai keliling lapangan satu kali putaran. Setelah itu keluar dari stadion, kami menuju Warung Sop Ayam Pak Min dekat stadion.

Gambar 1. Sop Ayam Pak Min, Dekat Stadion Klaten
Pada hari biasa, nasi sop biasa dihargai lima ribu rupiah. Kalau sop brutu, sop ayam, dan yang istimewa lainnya tarifnya sembilan ribu per porsi. Saya memesan dua porsi sop brutu. Satu porsi harganya cukup Rp. 12.000,00/ harga khusus lebaran. Saya puas sarapan di sini karena rasanya benar-benar maknyus. Kebetulan ayam yang dimasak adalah afkiran ayam petelur. Pas sekali di lidah saya.
Setelah sarapan, perjalanan kami lanjutkan. Memasuki Klaten kota, jalanan sudah ramai, padat tapi lancar.
Ada kesan mendalam pada mudik tahun ini, karena dari Yogyakarta sampai Karanganyar saya harus membawa dan menyelamatkan dua buah balon milik si kecil. Awalnya saya sudah minta pada si kecil balonnya ditinggal di rumah Mbah Yi saja, tapi si kecil tidak mau. Daripada sepanjang jalan menangis dan ngambek, dengan senang hati simboknya menjadi pahlawan tanpa minta jasa pegal tangan.

Gambar 2. Dua buah balon mahal 
Kami beristirahat lagi di sendang yang airnya jernih.

Gambar 3. Sejuk

Gambar 4. Bercanda dengan si kecil

Gambar 5. Sang Penjaga Hati
Selama dalam perjalanan, saya bersyukur bisa menghindari macet karena sang “penjaga hati” saya mengajak lewat pedesaan yang udaranya sejuk. Sampai di rumah selamat dan saya bisa kembali beristirahat di garasi, sambil menikmati udara sejuk di dekat rumah kami. Alhamdulillah, hikmah rumah mewah alias rumah mepet sawah adalah dapat menikmati udara sejuk.
Mudik mengendarai sepeda motor kali ini dan tahun-tahun sebelumnya sangat menyenangkan.  Yang penting membawa bekal cukup untuk si kecil, agar tidak rewel. (Selesai)
Karanganyar, 31 Juli 2014

Selasa, 29 Juli 2014

Ramadhan Hari Terakhir di Makam Raja-Raja Imogiri


Mudik adalah acara tahunan, yang sebenarnya bukan suatu keharusan. Tapi tak apalah, ambil saja hikmahnya. Hari pertama di Yogyakarta, pagi hari, saya menyempatkan diri mencari rumah teman saya SMP. Setelah 27 tahun berpisah, akhirnya saya bisa bersua dengan Siti Subadriyah atau mbak Indri. Ternyata rumahnya sekarang satu kelurahan dengan saya. Dua puluh tujuh tahun, katanya saya tidak jauh beda (masih imut, ckck).
Hari berikutnya, Minggu, saya ingin bersilaturahmi ke rumah teman SMA beda jurusan. Sama sekali saya tidak mengenal (atau lupa, karena belum pernah satu kelas), bertemu saja lewat FB. Saya berusaha untuk mencari rumahnya Di Salakan, sebelah timur Krapyak Wetan, Bantul, DIY. Sayang, Allah belum mengijinkan kami bertemu, karena beliau posisinya berada di Bandara Adi Sucipto.
Pagi itu juga, udara dingin. Saya, suami dan anak saya melanjutkan perjalanan ke Makam Raja-Raja Imogiri. Saya tidak lewat jalur utama, depan masjid, karena suami mengajak saya lewat jalur timur.

Gambar 1. Jalan menuju jalur timur
Sesuai aturan yang ada di depan masjid  (jalur utama), pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera (dan sejenisnya) untuk mengambil gambar atau memotret. Maka saya hanya berpose di luar makam, di depan pintu.

Gambar 2. Di belakang gambar, sebelah kanan Makam Sri Sultan HB IX

Gambar 3. Batas membawa dan menggunakan kamera dan sejenisnya
Selama Bulan Ramadhan, kompleks makam tidak dibuka bagi peziarah. Kompleks makam dibuka bagi peziarah pada tanggal 1 dan 8 syawal.
Ada minuman khas yang biasa dijual di kompleks makam, yaitu wedang uwuh.
Gambar 4. Komposisi Wedang uwuh (dalam plastik) : jahe, daun cengkeh, gula batu dan gula merah
Karena saya khawatir terhadap anak saya yang naik-turun tangga, maka saya meminta suami untuk menyudahi perjalanan ini.

Gambar 5. Si kecil sarapan

Gambar 6. Di tempat yang tinggi ini, raja-raja Mataram dimakamkan

Gambar 7. Di sebelah timur makam ada sumber mata air. Penduduk memanfaatkan sumber mata air tersebut. mata air tersebut terletak di depan saya
Pulang dari makam raja, kami muter-muter di sekitar Imogiri. Semua itu mengingatkanku pada tahun 1990-an. Dalam acara yang diadakan Karang Taruna, muda-mudi berkunjung ke makam raja dengan naik sepeda onthel atau FUN BIKE. Lumayan, sekitar 10 km lebih jarak yang harus kami tempuh hingga mencapai area makam, belum lagi jalannya menanjak.
Hari menjelang siang, ketika kami sudah sampai rumah ibu dan bapak. Hari itu waktu terasa cepat berlalu. Ramadhan hari terakhir, seperti biasa menu utama buka puasa adalah kupat/lontong, opor ayam dan sambel goreng krecek. Mantap. Selamat Idhul Fitri, 1 Syawal 1435 H. Maaf lahir dan batin.
Karanganyar, 29 Juli 2014 

Rabu, 23 Juli 2014

Bisnis Peti Mati Masih Menjanjikan

Oleh : Kahfi Noer
Usaha yang dijalankan oleh alm. Bapak dan ibu mertua sejak tahun 80-an yaitu penyediakan peti mati dan perlengkapannya. Seperti kain mori, kapas, minyak wangi, sabun, sampo, kapur barus, kemenyan, lilin, benang, jarum, paku, keranjang bunga, kertas putih (untuk menghias keranjang), merah (untuk bendera tanda ada orang meninggal), nisan, kipas, kendi-anglo. Selain itu juga menyediakan air mineral 240 ml, permen, rokok dan sapu tangan.

Pertama kali peti mati datang dari pengrajin, tetangga bapak/ibu sempat kaget karena barusan adik ipar waktu itu masih batita masuk rumah sakit. Ternyata datangnya peti mati tidak ada hubungannya dengan sakitnya adik ipar.

Kebetulan di tempat tinggal mertua dan sekitarnya belum ada yang menyediakan perlengkapan semacam itu. Bisa dibilang usaha ini belum ada saingannya.
Akan tetapi, berbisnis peti mati memang harus sabar, siap stand-by 24 jam. Tahu sendiri bukan, orang meninggal tidak bisa diduga waktunya. Bisa pagi, siang, sore, tengah malam atau dini hari. Biasanya orang yang membeli peti mati sebagai orang suruhan personelnya itu-itu saja alias ajeg. Misalnya di dusun A yang biasa ditugasi membeli peti adalah Pak Bejo, di dusun B mungkin Mas Paijo dan seterusnya. Sampai-sampai bapak/ibu mertua hapal, kalau yang membeli peti Pak Bejo berarti yang meninggal orang dusun A.

Bapak/ibu mertua harus siap 24 jam. Saya pun pernah membantu mereka melayani pembeli peti mati dan perlengkapannya tengah malam. Yang lebih membuat bapak/ibu sabar adalah kadang-kadang pembeli tidak membawa uang sepeser pun. Mungkin ada orang yang mengeluh sudah malam-malam membangunkan orang tidur, e... masih ngutang lagi. Tapi ternyata bapak/ibu tidak pernah mengeluh. Syukurlah bisa membantu mereka itung-itung sedekah waktu, hehe.

Biasanya kalau ada yang membeli peti tetapi belum membawa uang, ahli waris dari orang yang meninggal dari golongan tidak mampu. Nanti bayarnya setelah membuka amplop sumbangan dari para pelayat.

Menurut cerita bapak/ibu mertua belum ada sejarahnya pembeli yang ngutang lalu ngemplang (nunda-nunda pembayaran sampai ditagih-tagih) bahkan melarikan diri tidak membayar. Semua membayar, hanya waktunya saja yang mundur.

Setelah bapak/ibu mertua meninggal, usaha ini dilanjutkan adik ipar. Sebelum adik ipar mewarisi usaha ini, dia dan isterinya membeli kotak peti yang belum diberi kain saten. Kemudian peti-peti itu dibungkus kain saten sedemikian rupa. Lalu dijual ke ibu mertua. Setelah ibu meninggal, adik ipar disetori oleh pengrajin siap jual. Ada peti berkain saten putih dan peti ukir-ukiran.

Pernah suatu saat, tahun 2006-an, saya juga ingin berbisnis peti mati dengan menyewa kios. Ternyata yang punya rumah (sudah tua, pernah sakit stroke)  stress lalu jatuh sakit. Uang sewa yang sudah saya serahkan, oleh anaknya dikembalikan dan beliau minta maaf karena kiosnya tidak diijinkan bila untuk menjual peti mati. Haha, sampai sekarang saya sering tersenyum kalau ingat peristiwa tersebut.

Gagal menyewa kios, saya tidak menyerah begitu saja. Saya ingin membuka usaha ini di rumah. Ternyata ibu kandung saya menentang. Kalau saya bersikeras menjalani   usaha ini, artinya ibu sudah tidak mungkin mengunjungi saya dan menjenguk cucunya. Haha, ternyata ibu saya juga takut.

Namanya juga rejeki, sudah ada yang mengatur. Kadang seminggu, tidak ada penjualan peti mati. Tetapi di lain waktu, sehari bisa laku tiga buah peti.  Pagi, siang atau malam bahkan kadang-kadang waktunya bersamaan.

Berbisnis peti mati rupanya masih menjanjikan, dan bisnis ini tidak pernah kena tipu (tidak seperti bisnis sembako). Siapa mau mencoba? Tapi pikirkan dulu masak-masak, soalnya tetangga kiri kanan mungkin ada yang tidak setuju (karena takut juga barangkali, hehe). (SELESAI)
Karanganyar, 16 Agustus 2013
Jangan menyerah untuk berwirausaha, AYO!

Minggu, 20 Juli 2014

HAPE JADUL DAN AL QUR'AN BARU

Oleh : Noer Ima Kaltsum
Aufi dan Lely ingat beberapa hari lagi Ibu ulang tahun. Selain bergembira pada hari jadi, Ibu pasti bergembira karena Aufi, Lely dan Ibu akan khatam Al Quran. Karena di rumah hanya memiliki satu buah Al Qur’an, maka mereka harus bergantian membaca. Sudah beberapa minggu yang lalu, Lely meminjam Al Qur’an dari sekolah.
Al Qur’an milik Ibu juga sudah lama, kelihatan usang. Lely ingin membelikan Ibu  sebuah Al Qur’an sebagai kado ulang tahun. Sebenarnya Lely memiliki tabungan yang jumlahnya tidak seberapa. Akan tetapi bila dipakai untuk membeli Al Qur’an, Lely tidak akan mempunyai uang lagi.
Ibu sebagai penjual makanan kecil dan Bapak bekerja sebagai tenaga serabutan. Penghasilan orang tua hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka memang hidup sederhana.
Kemarin, Lely dan Aufi masuk sebuah toko di depan pasar. Mereka melihat-lihat banyak Al Qur’an. Sepertinya Lely dan Aufi tertarik untuk membeli Syamil Quran. Pas buat kado ulang tahun, pikir mereka.
Pulang dari toko, Lely dan Aufi melewati sebuah konter hape/pulsa. Di sana ada spanduk yang menuliskan bahwa hape bisa dijadikan mesin uang. Lely kelas 7 SMP dan Aufi kelas 4 SD. Keluarga Lely mempunyai satu buah hape jadul. Hape yang bisa untuk menerima/mengirim SMS dan telpon saja.
Kebetulan Lely mengenal pemilik konter. Dia memberanikan diri bertanya pada Mas Ayik.
“Maksud dari mesing uang itu apa to, Mas?”
“Begini, hape bisa digunakan untuk menjual pulsa. Berarti hape-mu bisa menghasilkan uang.”
“Kalau hapenya jelek, bagaimana Mas?”
“Tidak masalah. Memang kamu mau berjualan pulsa? Uangnya mau kamu gunakan untuk apa?”tanya Mas Ayik.
“Begini lo Mas. Sebentar lagi Ibuku mau ulang tahun. Aku pingin memberi kado, tapi tidak punya uang cukup. Terus kalau jualan pulsa modalnya banyak ya?”
“Tidak juga. Caranya juga mudah.”
Mas Ayik rupanya kasihan pada Lely dan Aufi, yang semangat ingin membelikan Qur’an buat Ibu. Dengan senang hati Mas Ayik meminjami modal pulsa pada Lely. Syaratnya, Lely tiap pulang dari sekolah mampir ke konter dan menunggu pembeli pulsa.
Pada saat Lely berada di konter Mas Ayik, setiap ada pembeli pulsa, Lely harus mengisi lewat hape jadulnya. Konter Mas Ayik cukup ramai. Hanya enam hari saja Lely berada di konter Mas Ayik untuk berjualan pulsa. Dengan terbuka Mas Ayik mengatakan keuntungan yang diperoleh Lely.
“Lely, terima kasih kamu mau membantu Mas Ayik. Aku bangga kamu bisa memperoleh uang dari kerjamu sendiri. Semoga keuntungan yang kamu dapatkan, cukup untuk membeli Qur’an yang kamu idamkan.
Jangan lupa, jangan sia-siakan hape jadulmu itu. Hapemu biar jadul adalah mesin uang lo.”    
“Aku juga berterima kasih pada Mas Ayik.”
 Lely dan Aufi ke toko membeli Qur’an, sekaligus membungkusnya dengan kertas kado. Kado buat Ibu, semoga bermanfaat.
Setelah tiba saatnya Ibu ulang tahun, Lely dan Aufi menyerahkan kado buat Ibu disaksikan Bapak. Bapak dan Ibu tak kuasa meneteskan air mata haru.
“Kamu punya uang dari mana?”tanya Bapak.
“Dari hape jadul ini, Pak, Bu.”
Bapak memuji Lely yang cerdas. Memanfaatkan hapenya untuk menghasilkan uang lalu digunakan untuk membeli Quran. “Terima kasih Ya Allah.”doa Bapak. (SELESAI)

Rabu, 16 Juli 2014

Laris Manis, Bakso Tiga Ribu per Mangkuk

LARIS MANIS, BAKSO TIGA RIBU PER MANGKUK
Oleh : Kahfi Noer
Saya dan teman-teman guru sering mencoba kuliner yang ada di sekitar kecamatan.  Makan siang dengan menu sederhana, murah meriah dan sesuai dengan kantong. Biasanya kami makan bareng, bergantian “bendaharanya”.
Mencoba makan di warung soto, warung makan sederhana yang menyediakan berbagai macam sayur dan lauk. Ada sop ayam, sambel tumpang (sambel khas Solo dan sekitarnya), pecel, sayur lodeh, oseng-oseng buncis/kacang panjang, oseng-oseng kikil sapi, rica-rica ayam, sayur daun mbayung (daun kacang panjang), garang asem, gudeg dan sambel goreng, brongkos, ayam bakar, ayam goreng, lele, tahu dan tempe mendoan. Tentunya masih banyak variasinya.
Suatu saat kami menikmati mie ayam bareng-bareng di sekolah setelah memesan mie ayam di warung makan dekat rumah sakit. Biasanya setelah memesan, “Mas Pendek, pedagangnya”  membawakan pesanan ke sekolah.
Atau, kami rela melakukan perjalanan “agak jauh” demi semangkuk “Soto Mbok Giyem” cabang dari Boyolali. Yang penting setiap orang tidak boleh lebih dari sepuluh ribu rupiah. Kalau pas bokek semua, kami sepakat untuk “tongji” alias potong gaji. Nah, untuk yang satu ini bendahara sekolah memang harus tega mengeluarkan guntingnya (untuk memotong gaji secara pukul rata).
Tiba-tiba teman saya mengajak saya makan di warung bakso. Katanya ada warung bakso, baru dibuka, lokasinya tidak jauh dari sekolah kami. Tepatnya di sebelah timur Obyek Wisata Sondokoro (kurang lebih setengah kilometer).
Mula-mula kami berdua mencoba. Memang benar, bakso semangkuk isi 6 butir harganya tiga ribu rupiah. Enak dan halal, tidak menipu. Uang lima belas ribu masih ada kembalian. Bakso 2 porsi, 2 minuman, gorengan dan rambak. Murah!
Hari berikutnya kami datang satu rombongan, delapan orang. Uang lima puluh ribu, masih ada kembalian. Ya, bakso murah, tidak menipu, enak dan halal. Bakso tersebut adalah bakso ayam.
Di rumah, saya iseng-iseng menghitung secara garis besar. Beberapa hari yang lalu saya membuat bakso sendiri. Setengah kg daging ayam dan setengah kg daging sapi. Setelah menjadi adonan plus ongkos pembuatan serta campurannya, biaya yang saya keluarkan sebesar Rp. 72.000,00.
Saya buat butiran ukuran sedang, ternyata saya dapatkan 240 butir. Bila saya jualan bakso per mangkok isi 6 butir, maka jadi 40 porsi. Satu porsi 3000 rp, maka uang yang saya dapatkan 120 ribu rp. Tinggal hitung saja keuntungannya. Itu saja bakso campuran daging sapi dan daging ayam. Coba seandainya baksonya terbuat dari daging ayam semua, biayanya akan lebih sedikit. Maka keuntungan yang diperoleh akan semakin banyak
Pantas saja ada warung bakso yang menjual per mangkuknya dengan harga murah.  Sepertinya di Karanganyar penjualan bakso ayam ini prospeknya masih bagus. Barangkali ada yang mau mencoba bisnis ini. Silakan saja dicoba! (SELESAI)
Karanganyar, 16 Juli 2014