Sabtu, 25 April 2015

Tiga Cara Mengambil Hati Mertua (Bag 2)

Ada 3 cara ampuh mengambil hati mertua, yaitu:
1.      Menjadi pendengar yang baik ketika mertua sedang berbicara/bercerita
Kita bisa menjadi pembicara yang baik, tapi jarang di antara kita yang bisa menjadi pendengar yang baik. Kadang-kadang kita tidak sabar mendengarkan cerita orang lain. Kita ingin segera memotong pembicaraan orang lain. Sering orang lain kecewa dengan sikap kita ini.
Sejak awal pernikahan, saya berusaha menjadi pendengar yang baik untuk mertua saya. Apa yang ibu mertua ceritakan selalu saya dengarkan. Saya tahu ibu mertua menceritakan sesuatu yang sama, yang pernah diceritakan beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi saya menghargai beliau. Saya tidak pernah mengatakan, “lo bu itu kan kemarin sudah pernah diceritakan.” Bayangkan saja kalau saya mengatakan seperti itu. Apakah beliau tidak akan malu?
Ibu mertua membuka toko kelontong, menjual peti mati beserta uba-rampenya, dan bensin eceran. Sambil menunggu pembeli biasanya saya dan ibu mertua sering mengobrol. Sebenarnya hal semacam ini tidak menjadi kebiasaan di keluarga suami. Suami dan adik-adiknya jarang berkomunikasi dengan orang tuanya. Saya tahu itu setelah beberapa bulan tinggal di pondok mertua indah.
Mengapa saya menjadi pendengar yang baik? Karena saya tahu, dahulu ibu mertua menjadi pendengar yang baik bagi anaknya (suami saya) waktu masih kecil. Saya yakin suami menceritakan pengalaman atau sesuatu yang sama diulang-ulang.
Setelah anak saya lahir dan mulai bisa berbicara, ibu mertua akan menjadi pendengar yang baik bagi anak saya. Bosankah beliau? Tentu saja tidak. Orang tua akan senang melihat anak dan cucunya banyak bicara, meskipun mereka dalam keadaan lelah dan mengantuk. Menjadi pendengar yang baik tidak ada ruginya.

2.      Mampu menangkap keinginan mertua
Kadang-kadang antara saya dan mertua keinginannya tidak sama. Mertua menginginkan saya untuk mengikuti kemauannya. Saya tidak habis pikir. Ibu dan bapak saya saja tidak pernah memaksakan sesuatu/kehendak kepada saya. Apa yang baik menurut orang tua belum tentu baik untuk saya.
Kalau keinginan mertua masih wajar dan tidak bertentangan dengan prinsip saya, saya cenderung memenuhi. Akan tetapi kalau keinginannya tidak sesuai dengan prinsip saya, cukup saya dengarkan saja. Saya tidak akan membantah, takut menyakitinya.
Ketika saya dan suami akan membeli perumahan tipe 21, mertua saya tidak setuju. Kalau kami tetap membeli perumahan yang mungil, mereka mengancam tidak akan pernah mengunjungi kami. Saya ikuti saja kemauan mertua. Tapi mereka baik hati lo. Saya dan suami diminta untuk membangun rumah di atas tanah milik mertua di desa. Alhamdulillah, sekarang saya petik hikmahnya.
Masih ada keinginan-keinginan mertua yang disampaikan pada saya dan suami. Saya memang harus berdamai dengan mertua agar tidak ada konflik gara-gara hal yang sepele.

3.      Memberi tanpa diminta mertua
Sebelum menikah saya sudah terbiasa memberi uang untuk ibu saya. Kebiasaan ini saya komunikasikan pada suami setelah kami menikah. Kami sepakat tetap memberi uang untuk ibu dan mertua. Di saat kami belum mampu, maka kami memberi uang untuk orang tua semampu kami. Bila ada rezeki berlebih, kami tidak akan menggenggam erat rupiah-rupiah itu.
Saya ingin berbagi kebahagiaan. Saya selalu yakin orang tua tidak akan pernah ingin merepotkan anak-anaknya. Mereka tidak akan mengganggu kebahagiaan anak-anaknya. Tidak ada salahnya kalau saya memberi sebelum mereka pinta.
Ketika mertua masih ada, tanpa diminta suami setelah saya menerima gaji saya akan membelikan sesuatu kesukaan ibu mertua. Kebetulan saya menerima gaji setiap tanggal 15 dan suami menerima gaji pada awal bulan.
Apa kesukaan ibu mertua saya? Hanya rempeyek kacang ukuran jumbo. Kalau saya datang membawa rempeyek dan mengulurkan sedikit rupiah, ibu mertua mengucapkan terima kasih. Biasanya menolak uang pemberian saya. Tapi selalu saya paksa.
Demikian juga dengan ibu saya. Ibu teramat senang dengan sedikit yang saya berikan. Padahal nanti kalau saya mau pulang ibu repot membawakan ini-itu untuk saya.
Ketika ibu mertua divonis mengidap tumor limfa, saya meminta pada suami untuk membiayai pengobatan ibu meskipun kami tak memiliki uang. Dengan mengambil kredit, saya dan suami berniat untuk memberikan yang terbaik buat ibu mertua.
Ketika kondisi ibu mertua kian menurun, ibu mertua ingin menjual sebagian tanahnya. Saya bertanya untuk apa? Jawab ibu mertua untuk melunasi hutang. Memang ibu hutang pada siapa? Kata ibu mertua hutang pada suami saya. Saya katakan saya ikhlas apa yang saya keluarkan untuk beliau. Seandainya semua harta kekayaan suami diberikan untuk ibu, itu belum cukup untuk membalas jasa orang tua.
Waktu itu ibu menangis. Beliau sangat berterima kasih pada saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya menantu. Saya harus berbakti pada suami. Tetapi bakti suami itu kepada ibunya.
Setelah kedua mertua saya meninggal, saya tetap berusaha untuk berbagi kebahagiaan kepada kedua orang tua saya. Saya tidak akan pernah memberi setelah diminta. Saya akan berusaha memberi mereka sebelum diminta.
Karanganyar, 25 April 2015

Jumat, 24 April 2015

Tiga Cara Mengambil Hati Mertua ( Bag 1 )


Gambar 1. Bersama Keluarga

Sejak saya belum menikah sampai sekarang, cerita tentang hubungan antara menantu dengan mertua tidak pernah ada habisnya. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah menantu perempuan dan ibu mertua.
Ada teman yang menceritakan hubungannya dengan ibu mertua baik-baik saja. Akan tetapi ada juga yang menceritakan hubungannya dengan ibu mertua kurang harmonis. Saya tidak bisa memberi penilaian terhadap hubungan teman saya dengan ibu mertua yang kurang harmonis. Saya dan orang lain memiliki cara pandang, berpikir dan bertindak serta karakter yang berbeda.
Kebetulan hubungan saya dengan ibu mertua terjalin dengan baik, bahkan seperti ibu dan anak kandung. Hubungan saya dengan ibu mertua terjalin dalam waktu singkat hanya 10 tahun saja. Ibu mertua meninggal dunia pada tahun 2009.
Hubungan suami dengan orang tua saya juga baik karena saya dan suami memiliki seni mengambil hati ibu dan bapak. Dahulu bapak saya pernah berpesan kepada anak-anaknya yang akan menikah. Pesan bapak adalah bila kami sudah menikah maka kami harus memisahkan diri dari keluarga. Artinya bila sudah berkeluarga harus memiliki bendera sendiri. Bendera di sini artinya rumah. Memiliki rumah sendiri bisa memiliki arti benar-benar rumah milik sendiri atau mengontrak rumah.

Gambar 2.  Bersama Orangtua

Bapak tidak ingin keluarga baru anak-anaknya banyak dicampuri urusan rumah tangganya oleh orang tua/mertua. Bagaimanapun juga keluarga baru itu memiliki pemimpin sendiri. Pemimpin tetaplah pemimpin meskipun masih muda. Seorang pemimpin memiliki hak dan kewajiban memimpin keluarga barunya.
Bapak tidak ingin melihat hubungan antara anak-anak dengan mertuanya tidak harmonis. Dengan terpisah dari orang tua diharapkan dapat mengurangi gesekan-gesekan dengan orang tua/mertua.
Saya sangat bersyukur selama 2 tahun tinggal di rumah mertua (tahun ketiga pernikahan kami, kami sudah menempati rumah sendiri)  tidak ada gesekan-gesekan/masalah yang berarti. Ada 3 cara ampuh dalam mengambil hati mertua, yaitu:
1.      Menjadi pendengar yang baik ketika mertua berbicara/bercerita.
2.      Mampu menangkap keinginan mertua.
3.      Memberi tanpa diminta oleh mertua.
Karanganyar, 24 April 2015

Minggu, 19 April 2015

Kopdar Bulan April 2015 IIDN-SOLO Bersama Mbak Anna Farida


Gambar 1. Senyum Ceria dalam Kebersamaan
Hari Rabu, 15 April 2015 adalah hari yang teramat istimewa bagi saya. Saya  bisa datang pada acara KOPDAR IIDN Solo, di Warung Makan Sego Wiwit Jl. Adi Sucipto, Surakarta. Padahal sebelumnya saya izin, tidak bisa datang karena tidak ada yang mengantar. Di luar dugaan, suami saya pulang lebih awal.
 Sejatinya suami mengantar anak-anak (atlet) bulu tangkis yang mengikuti POPDA tingkat provinsi. Seharusnya suami pulang dari Semarang hari Rabu, ternyata Selasa malam sudah berada di rumah. Mengapa demikian? Karena atlet yang dilatih kalah. Dua anak saya Faiq (kelas 9) dan Faiz (TK Kecil) teramat girang, tidak terlalu lama ditinggal sang ayah.
Hari Rabu, sepulang dari mengawas UN saya diantar ke WM Sego Wiwit. Di sana sudah ada beberapa ibu-ibu cantik yang menyambut. Alhamdulillah, saya bersyukur bisa bertemu dengan ibu-ibu hebat. KOPDAR kali ini IIDN Solo kedatangan tamu dari Bandung. Beliau adalah Ibu/Mbak Anna Farida.

Gambar 2. Mbak Anna Farida, pakar EYD
Mbak Anna Farida ini asli SOLORAYA yang bahasanya “medhok”. Mbak Anna sekarang tinggal di Bandung. Beliau mengawali karier di dunia penulisan sebagai penerjemah sesuai bidang keahliannya yaitu Bahasa Inggris. Beliau bergabung di IIDN (pusat) yang didirikan Mbak Indari Mastuti. Beliau merupakan salah satu guru dari Sekolah Perempuan. Mbak Anna memberi materi EYD.
Pembawaan beliau yang ramah, sederhama dan humoris membuat suasana KOPDAR menjadi hidup. Seperti biasanya KOPDAR ini heboh karena ada anak-anak. Ya, tentu saja ibu-ibu tidak bisa meninggalkan putra-putrinya begitu saja. Anak-anak pasti diajak dengan segala karakternya. Jadilah ada TK Dadakan. Kali ini jagoan saya tidak saya ajak karena sekolah dan berada di Taman Pendidikan Anak sampai sore.
Ada yang mengesankan dari hal-hal yang disampaikan Mbak Anna, yaitu kita bisa dikatakan ibu sejati/ibu yang sebenar-benarnya kalau kesibukan kita mengurus anak mampu membuat sayur gosong/hangus (wah saya banget, benar juga). Beliau juga menyampaikan dengan senyuman hangat bahwa kita dikatakan sebagai fesbuk-er sejati kalau kegiatan kita berfb-an mampu menngosongkan/menghanguskan masakan kita (saya manthuk-manthuk setuju).
Pengalaman menulis Mbak Anna ini patut saya tiru. Tentu saja ilmu yang kita dapat harus kita terapkan. Semoga kelak berguna untuk dunia akhirat.
Selain Mbak Anna, Mbak Ety juga memberi beberapa informasi tentang “ngeblog” hingga akhirnya bertemu Dewi Lestari yang menulis buku Supernova. Cerita Mbak Ety tentang makan siang, pertemuan dan bincang-bincang singkat dengan Dee membuat ibu-ibu iri banget. Perlu diketahui, Mbak Ety adalah blogger yang namanya harum dengan sering memenangkan lomba ngeblog. Selain bikin iri juga bikin kemecer.
Ada anggota baru IIDN-Solo, yaitu Ibu Tri Hardianingtyas dan Mbak Vitri Sundari. Ternyata Ibu Tri dan Mbak Vitri memiliki pengalaman menulis dengan bergabung di Sekolah Perempuan dan gurunya adalah Mbak Anna Farida. Ibu Tri Hardianingtyas adalah pustakawan (senior) di UNS Surakarta. Mbak Vitri Sundari adalah pemilik Tsabita Cake (benar tidak ini?).
Akan tetapi IIDN Solo merasa kehilangan anggota yang pindah ke Bogor, beliau adalah Mbak Avi. Sedih juga dengan perpisahan ini tapi insya Allah silaturahmi tidak akan putus sampai di sini.


Gambar 3. Mbak Avie Azahra
Setelah diskusi selesai waktunya makan siang dan shalat. Di sini keakraban kami sangat jelas terlihat. Bincang-bincang santai, ngobrol apa saja. Tentu saja tentang tulisan, entah itu buku, artikel, atau apa saja yang bisa ditulis dan bisa memotivasi anggota IIDN Solo.
Oh ya, di bawah ini daftar nama anggota yang datang pada acara KOPDAR bulan April 2015, yaitu Ibu/Mbak:
1.      Candra Nila Murti D
2.      Siti Nurhasanah
3.      Arinta Adiningtyas
4.      Zakiah Wulandari
5.      Noer Ima Kaltsum
6.      Sarah Mantovani
7.      Nurul Chomaria
8.      Yang Nofiar D
9.      Misb Hasanah
10.  Ety Handayani
11.  Vitri Sundari
12.  Astuti M
13.  Tri Hardianingtyas
14.  Wahyu “Bundana Nibraz”
15.  Zukhruf El Habibah
16.  Fafa Faturohma
17.  Avie Azahra
18.  Anna Farida (tamu undangan)



Gambar 4. Bertemu dengan Penulis-penulis Senior


Gambar 5. Ibu-ibu Muda yang Berkarya
Bertemu dengan sahabat-sahabat penulis, sepertinya waktu cepat sekali berlalu. Semoga pertemuan kali ini memberi manfaat luar biasa untuk penulis-penulis yang luar biasa pula. Maaf, untuk kali ini Mbak Candra tidak banyak mengeluarkan suara. Entahlah, ada apa dengan dia. Tapi senyumnya yang semanis kurma tetap merekah.


Gambar 6. Mbak Candra, Senior IIDN Solo

Karanganyar, 15 April 2015

Minggu, 12 April 2015

Biarpun Wajahku Tak Secantik Anggun C Sasmi


Wajah saya tidak cantik, biasa-biasa saja alias pas-pasan. Bila kantong tidak tebal, menggunakan bedak dan lipstik murah pas banget untuk muka dan bibir saya. Kerudung instan yang langsung siap pakai juga pas bila saya pakai untuk bentuk muka saya yang oval. Bila memakai kerudung yang harus disemat dengan peniti pas banget untuk menyamankan pemakaian.

Saya sangat bersyukur  dengan wajah yang pas-pasan yang diberikan oleh Allah. Hikmahnya agar saya tidak takabur. Saya juga sangat berterima kasih pada Bapak tercinta yang telah memberi nama saya Kaltsum, yang artinya cantik. Bapak tidak salah memberi nama saya.

Sewaktu masih anak-anak, saya termasuk anak yang sering sakit. Tubuh saya kurus, malah bisa dikatakan kerempeng. Tapi saya memiliki kelebihan yaitu tinggi badan saya tidak termasuk pendek. Warna kulit saya sawo matang. Dengan mata sipit, saya juga menjadi mudah dikenal.

Pada suatu hari, waktu itu saya masih duduk di bangku SMP, tetangga saya bercerita kalau saya pernah digunjing oleh seseorang. Orang yang menggunjing saya usianya sebaya dengan saya. Sebut saja namanya Janet. Rumah Janet berada di depan rumah saya. Kebetulan orang tua Janet menyewa tanah lalu membangun rumah sendiri.

Kata tetangga saya : Janet mengatakan bahwa di antara 5 anak perempuan Bapak saya, yang wajahnya jelek adalah saya. Saya tersenyum tidak marah kala itu. Tetangga saya tentunya juga tersenyum.

Biarpun wajah saya jelek, tidak secantik Anggun C Sasmi, tapi hati saya baik. Anggun C Sasmi waktu itu banyak dikenal orang sebagai artis dengan suara emas. Rambut panjang dan giginya yang gingsul menjadi ciri khas Anggun C Sasmi. Antara saya dan Anggun ada persamaan yaitu sama-sama berambut panjang! Hanya itu saja. Selebihnya tidak.

Di dalam keluarga saya, saya dikenal anak yang suka bekerja keras membantu orang tua. Waktu itu Ibu berjualan di pasar. Setiap hari libur saya harus membantu di pasar. Kalau pulang sekolah, saya juga menyempatkan diri mampir ke pasar untuk membantu Ibu meski hanya sebentar. Bila malam hari, saya juga membantu kulakan dagangan. Mengeluh? Oh, tidak. Senang sekali.

Saya sekolah di SMP MUH 3 Yogyakarta. Waktu itu saya libur hari Jumat. Hari Minggu masuk seperti biasa. Semua sekolah Muhammadiyah liburnya hari Jumat. Pernah suatu pagi, saya kelas 3 SMP, saya tertidur pada jam antara 1-3. Saya dibangunkan oleh teman sebangku saya. Alhamdulillah, tidak sampai ketahuan guru. Saya benar-benar lelah, dan harus melek hingga malam karena menunggu dagangan datang waktu kulakan.

Kalau Janet menilai saya hanya fisiknya saja, itu keliru besar. Karena biarpun wajah saya jelek tapi hati saya mulia. Dan dia juga tidak tahu, saya taat beribadah. Itu yang diajarkan orang tua. Semua yang kita miliki harus kita syukuri dengan taat beribadah.

Mengapa saya dan tetangga saya tersenyum dengan kata-kata Janet, yang katanya wajah saya jelek? Kata orang Jawa “wong kuwi ora isa ndelok githok-e dhewe” atau orang itu tidak bisa melihat tengkuknya sendiri. Mengapa demikian? Saya tidak mengatakan kalau Janet itu jelek. Sungguh, saya tidak menilai seseorang hanya berdasarkan fisiknya saja. Janet itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: gigi tonggos/mrongos, kulit hitam, perawakannya pendek, gemuk dan suaranya agak cempreng.

Saya tidak secantik Anggun C Sasmi, tapi saya tidak balik menyerang Janet. Biarlah, toh wajah saya juga ajeg tidak berubah. Kalau saya cantik, kecantikan saya tidak berkurang. Kalau wajah saya dinilai jelek, wajah saya juga tidak semakin jelek. Allah lebih tahu dengan keadaan saya sekarang. Bersyukur dengan wajah pas-pasan lebih nyaman daripada menjadi kerdil karena tidak cantik.

Janet, apa kabar? Sekarang kau berada di mana? Maaf ini kisahku, jadi aku harus menulisnya!

Karanganyar, 12 April 2015 

Rabu, 08 April 2015

Mengapa AA Gym Bisa Menikah Lagi dengan Mantan Isteri?

Oleh : Kahfi Noer
Pagi ini aku diajak sarapan oleh teman-teman di warung sederhana. Beginilah sukanya menjadi teman sebagai pendengar yang baik. Ke mana saja diajak, tentu dengan harapan aku mau mendengarkan curhat siapa saja. Aku memang suka menjadi pendengar tanpa memotong cerita lebih dahulu. Karena aku membutuhkan referensi, butuh cerita orang lain sebagai bahan menulis. Bagaimanapun aku butuh bahan tulisan. Enaknya bahan tulisan itu tidak harus aku baca lebih dahulu. Cukup dengan mendengarkan.
Kali ini Halim bercerita lagi tentang anaknya yang besar kelas VIII, namanya Faiq. Anak laki-laki dengan kaca mata minus sudah tebal itu tinggal di pondok pesantren di luar kota. Hari ini Faiq dan temannya akan berkunjung ke ponpes wilayah Solo. Halim senang bukan main. Setelah bercerai dengan isterinya, talak 3 tanpa sidang tanpa hakim alias lisan saja, anak-anak dibawa isterinya semua.
“Anak saya mau datang ke sini, Bu.”
“Tinggal di sini atau hanya berkunjung?”
“Dia mau dolan ke ponpes sama temannya. Beberapa hari akan tinggal di rumah kakeknya.”
“Oh gitu ya.”
“Bu, coba saja kalau isteri saya masih bisa kembali lagi. Saya mau memperbaiki diri,”kata PakHalim.
“Nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur, Pak.”
“Bu, Aa Gym itu kok bisa menikah lagi dengan mantan isterinya. Padahal mereka bercerai resmi di Pengadilan Agama. Saya belum diproses di Pengadilan Agama kok tidak bisa kembali lagi ke isteri saya?”
“Pak, jenengan tahu kan kalau talak 3 itu beda dengan talak satu. Jenengan juga lebih tahu soal agama daripada saya. Kalau Aa Gym itu talak 1 Pak. Sedangkan jenengan talak 3. Dan isteri jenengan punya keyakinan meskipun belum sidang di Pengadilan Agama, tapi jenengan sudah mengucap talak lebih dari tiga kali dalam waktu tidak sama atau berselang. Pak, ucapan talak atau cerai itu tidak boleh main-main. Kalau jenengan punya itikad yang baik, monggo diproses secara legal. Biar mantan isteri statusnya jelas. Mungkin dia ingin menikah lagi.”
Halim tidak menanggapiku. Ya sudah berarti pembicaraan ini sudah selesai. Dan aku terus berdiskusi dengan hati nuraniku. Orang yang belajar agama, tahu tentang agama dan ilmunya banyak, memberi ceramah pengajian, memberi solusi bagi orang yang kena masalah tapi tidak bisa menerapkan ilmunya itu untuk dirinya sendiri. Untuk kehidupannya dan keluarganya, ilmu itu tinggallah tulisan yang hanya disebarluaskan. Bukan diambil hikmahnya.
Halim tahu secara teori tentang perceraian, tapi tidak bisa menerapkan ilmunya itu untuk dirinya sendiri. Mengapa dia bisa mengucap talak sampai lebih dari 3 kali tapi dia mengatakan tidak menyadari hal itu. Dan tidak tahu kalau ucapannya itu berakibat dia tidak bisa kembali pada mantan isterinya sebelum mantan isterinya menikah dengan orang lain.
Alhamdulillah, sarapan pagi ini terasa nikmat. Nasi gudang dengan tahu dan tempe bacem. Teh nasgitel tidak lupa aku cicipi meskipun akhirnya aku tuang ke dalam botol plastik yang selalu aku bawa ke mana-mana.(SELESAI)
Karanganyar, 8 April 2015 

Sabtu, 04 April 2015

Aku Meragukan Pernikahannya

Oleh: Kahfi Noer
Dengan alasan isterinya “dingin”, Halim berniat menikah lagi. Katanya isterinya mengizinkan dan ridha kalau dia menikah lagi. Tentu saja aku meragukan pengakuan Halim. Rasanya itu hanya omong kosong Halim saja. Menurutku, isteri mana yang menerima dan ridha begitu saja suaminya menikah lagi. Oh, aku tidak boleh mengatakan itu. Mungkin saja isteri Halim benar-benar ikhlas!

Setelah beberapa bulan berlalu, saat jalan sehat pada Jumat minggu kedua Halim bercerita kalau dia tidak bisa rujuk dan menikah lagi dengan isteri pertamanya. Kalau dia mau kembali dengan isteri pertamanya, maka mantan isteri harus menikah lagi dengan orang lain. Tentu saja itu semua membuatku terperangah! Tidak percaya saja. Halim dan isterinya benar-benar tahu tentang agama. Kok talak tiga begitu cepat terjadi?

Ternyata bila Halim marah terhadap isterinya dia mengatakan cerai. Menurut pengakuan isterinya sudah 4 kali Halim mengatakan cerai tidak dalam satu waktu. Talak tiga tanpa sidang dan tanpa hakim. Keyakinan isterinya, hubungan mereka sudah tidak halal lagi.

Setelah menjatuhkan talak dan menikah lagi dengan wanita lain, Halim mengontrak rumah. Halim meninggalkan mantan isteri dan anak-anaknya di rumahnya. Rumah Halim bersebelahan dengan rumah orang tuanya. Sebenarnya Halim masih mencintai isterinya. Tapi pertengkaran kecil membuatnya emosi dan tidak bisa mengontrol diri. Tentu saja itu berkaitan dengan poligami-nya.

Merasa anaknya sudah ditalak tiga, mantan mertua Halim menyuruh anaknya meninggalkan rumah Halim dan membawa 4 anaknya. Praktis ketika mantan isteri membawa anak-anaknya pulang ke kampung halaman, Halim sama sekali tidak tahu. Orang tua Halim juga tak memberi tahu Halim. Bahkan orang tua Halim mengizinkan menantunya itu menjual sepeda motor Halim tanpa sepengetahuan Halim.

00000

Ada yang tidak beres dengan pernikahan kedua Halim ini. Menurut kabar yang beredar, isteri siri Halim masih berstatus isteri orang. Walah, berarti pernikahan Halim pernikahan macam apa ini?
Sejak awal aku sudah meragukan berita pernikahan itu. Pernikahan itu benar-benar ada atau tidak? Jangan-jangan statusnya Cuma “jalan bareng” atau “suka sama suka”.

Pengakuan Halim padaku berbeda dengan bila di hadapan temanku. Temanku yang satu ini memang berani nanya-nanya yang bersifat pribadi. Mbak Amik mengatakan bahwa Halim dan isteri sirinya tidak tinggal serumah. Mereka mengontrak rumah sendiri-sendiri. (Keluarga macam apa ini?)

Pantas saja kalau berada di kantor Halim sibuk membalas sms atau berbincang lewat telepon dengan isterinya. Kalau memang suami isteri tentu saja tidak sering menelepon atau ber-sms pada jam kantor. Pertanyaanku, apakah di rumah tidak pernah mengobrol? Atau waktunya untuk mengobrol masih kurang?

00000

Suatu hari Halim membeli kendaraan roda 4. Katanya sebagai wujud rasa syukur, Tuhan telah memberi banyak nikmat. Bagiku apalah arti sebuah mobil bila tak bisa dinikmati oleh anak-anaknya dan keluarga besarnya.

Aku ingat benar, Halim memiliki niat untuk menikah lagi setelah mendapatkan tunjangan profesi. Baginya laki-laki boleh-boleh saja berbagi kebahagiaan di kala hartanya berlebihan. Setelah isterinya ditalak 3 dan anak-anak tinggal bersama mantan isteri, Halim tidak memedulikan anak-anaknya.

Halim bukan membagi kebahagiaan, melainkan menikmati sendiri kebahagiaan dan menelantarkan anak-anak dan ibunya anak-anak. Tega benar! Halim juga egois, tidak mencatatkan perceraiannya. 
Artinya perceraiannya tidak ada hitam di atas putihnya. Kasihan status mantan isterinya.

Sampai saat ini aku masih meragukan pernikahannya yang kedua. Benarkah semua sudah terlaksana?
Pagi ini di kantor Halim tidak memakai baju batik bebas. Halim mengenakan baju teknik. Sebenarnya tiap Sabtu seragam pegawai adalah baju teknik. Tapi banyak pegawai tidak memakai baju teknik melainkan memakai baju batik bebas.

“Lo tumben Pak Halim memakai seragam teknik.Apakah Pak Halim mau menghadap Ketua Yayasan?”tanyaku.
“Enggak, Bu. Seragamnya habis.”
“Lo, kok seragamnya habis. Apakah tidak dicucikan isteriya?”

Aku tersenyum penuh heran. Apakah mungkin baju seragam sampai habis? Berarti benar tak ada penikahan kedua. Tentu saja kalau mereka benar-benar menikah, isterinya akan menyiapkan semuanya untuk suami termasuk baju!

Ternyata benar bila aku meragukan pernikahannya. Halim, Halim, kamu benar-benar tega menceraikan isteri yang sah tanpa alasan dan memilih bersenang-senang dengan perempuan lain. (SELESAI)

Karanganyar, 4 April 2015