Sabtu, 31 Oktober 2015

Semangkuk Mie Ayam Buat Ibu Membawa Keberkahan

Gambar 1. Me, mom, nok Faiq
Sumber: dok.pri
Tahun 1997, saya mulai mengajar di MA Ali Maksum, Krapyak Kulon, Yogyakarta. Dengan jam mengajar yang tak begitu banyak praktis honor yang saya peroleh tidak banyak. Akan tetapi dengan honor yang sedikit tersebut, Alhamdulillah, keberkahannya dapat dinikmati. Saya hanya mengajar 8 jam per minggu ditambah piket satu hari. Total honor yang saya dapatkan adalah Rp. 42.000,00.
Jarak antara tempat mengajar dengan rumah tidak terlalu jauh. Dengan berjalan kaki saja tidak akan kelelahan. Saya sering diantar Bapak bila berangkat mengajar. Bapak juga menjemput saya di dekat sekolah. Saya sering menolak bila Bapak menjemput.  Kasihan Bapak, ada pekerjaan yang dilakukan di rumah. Dengan santai saya selalu jalan kaki.
Saya masih ingat ketika  menerima honor pertama, hanya satu yang saya cari yaitu pedagang mie ayam. Saya ingin memberikan yang terbaik dari honor saya untuk Ibu. Karena sebelumnya saya bertanya pada beliau,
”Bu, besok saya terima honor. Ibu pingin dibelikan apa?”
“Belikan mie ayam.”
Hanya mie ayam! Tidak lebih! Mie ayam yang harganya lima ratus rupiah! Tapi di balik mie ayam seharga lima ratus rupiah itu tersimpan hikmah. Beberapa saat kemudian saya mendapatkan job memberi les kimia di beberapa tempat. Saya tak perlu mencari murid, mereka datang dari tempat les. Bagi saya ini adalah anugerah luar biasa.
Terima kasih MA Ali Maksum, rezeki yang saya dapatkan dari sini benar-benar barokah. Tidak hanya di sini, saya yang baru beberapa bulan mengajar (belum ada satu tahun) sudah dipercaya untuk menulis ijazah (80 lembar). Ibu dan Bapak senantiasa memberi dukungan pada saya. Ketika menulis ijazah ini Ibu dan Bapak bergantian menemani malam saya dengan melakukan sesuatu. Atau pagi-pagi saya dibangunkan agar tak melewatkan kesempatan sholat subuh di masjid. Terima kasih Ibu dan Bapak.
Dari menulis ijazah ini saya mendapatkan honor yang lumayan besar. Tak lupa saya menawarkan pada Ibu dan Bapak. Tapi mereka bilang honornya ditabung saja. Bagaimana tidak terharu, Ibu dan Bapak tidak mau mengganggu keuangan saya.
Benar juga kata orang tua, harta milik orang tua adalah untuk anak-anaknya tapi harta milik anaknya bukan untuk orang tuanya. Tapi sebagai muslim saya memiliki pemahaman yang berbeda. Harta anak-anak adalah sepenuhnya untuk orang tuanya (kalau pada akhirnya orang tua hanya mendapatkan sepersekian persen, itu lain lagi ceritanya).
Keberkahan rezeki tidak dilihat dari sedikit atau banyaknya harta yang kita miliki. Asal kita bisa mendistribusikan tepat sasaran, Insya Allah keberkahan itu akan kita rasakan. Jangan pernah mengatakan kewajiban orang tua memenuhi kebutuhan anaknya, tapi anak tidak punya kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua.
Sekarang saya mendapatkan hikmah yang luar biasa dari sekedar membelikan semangkuk mie ayam. Setelah menikah, tak hanya semangkuk mie ayam buat Ibu ditambah dengan segelas dawet atau cincau Dongkelan buat Ibu. (Bersambung)
Karanganyar, 31 Oktober 2015

Jumat, 23 Oktober 2015

Menjadi Kaya Dengan Menulis

RESENSI
Judul Buku                  : Menjadi Kaya Dengan Menulis
Penulis                         : Noer Ima Kaltsum, S.Pd.
Penerbit                       : CV. Smartmomways, Klaten
Cetakan                       : September 2014
Tebal                           : 75 hal + v
ISBN                           : 978-602-713-618-2
Kebiasaan menulis bagi setiap orang akan memberikan pengaruh positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tulisan yang sarat dengan pesan juga akan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Setiap orang sebenarnya bisa menuliskan sesuatu sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Tulisan itu sendiri bisa mendatangkan rezeki dan membuat kaya bagi penulis. Kaya di sini tidak semata-mata dimaknai dengan materi. Kekayaan tersebut bisa berupa uang, saudara atau ilmu yang disebarluaskan.
Buku ini mengajak pembaca untuk berani menulis. Menulis dari hal-hal yang kecil, sesuai hobi dan kesukaannya. Menulis dengan mengalir dan gaya bahasanya sendiri jauh lebih gampang daripada mengikuti aturan kepenulisan yang berlaku. Teori-teori kepenulisan bisa dipelajari dan diterapkan sambil menulis.
Proses menulis dimulai dari mencari ide, menuangkan gagasan, menyelesaikan tulisan lalu memublikasikan. Menulis sedikit demi sedikit dan konsisten. Setelah tulisan jadi dan selesai, tulisan tersebut perlu dipublikasikan agar bermanfaat bagi orang lain. Ketekunan, pantang menyerah, berani menerima kegagalan dan berusaha bangkit dari kegagalan adalah kunci menuju keberhasilan.
Agar kemampuan menulis semakin terasah maka perlu menjalin komunikasi, berbagi pengalaman dan terus belajar. Bergabung dengan komunitas sesama penulis, kemampuan menulis akan semakin tajam. Kelebihan-kelebihan dari penulis lain bisa diadopsi.
Buku ini berkisah tentang penulis dari awal mulai menulis, mengirimkan hasil tulisan ke media cetak. Kisah tentang keberhasilan menembus media dan triknya, serta mendapatkan honor. Kisah yang penuh dengan liku-liku dalam menerbitkan sebuah buku dan banyak pesan yang bermanfaat bagi pembaca. Beberapa contoh hasil karya disertakan dalam buku ini.
Apapun profesinya seseorang tetap bisa menulis. Tak ada kata terlambat untuk memulai menulis. Menulis bukan hanya dimonopoli oleh orang-orang yang telah sukses menulis. Siapapun bisa menulis. Sejatinya seorang penulis tidak dibatasi oleh usia. Dari menulis ternyata bisa menghasilkan uang. Tentu saja buku Menjadi Kaya Dengan Menulis dapat menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk mau menulis. (Selesai)
Karanganyar, 8 Maret 2015

Sabtu, 17 Oktober 2015

Semakin Dikenal Orang Berkat SOLOPOS

Semakin Dikenal Orang Berkat SOLOPOS
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Gambar 1. Bersama IIDN Solo Setelah Mengisi Talkshow
Sumber : dok.IIDN Solo
Saya mengenal koran SOLOPOS sejak tahun 1999. Pertama kali membaca SOLOPOS ketika saya berada di sekolah tempat mengajar. Biasanya saat waktu luang saya menyempatkan diri untuk membaca koran. Berita, hiburan, artikel bahkan iklan-iklannya juga saya baca. Bila hari Minggu, saya membeli sendiri SOLOPOS edisi hari Minggu dengan cara membeli eceran.
Banyak manfaat yang saya peroleh dari membaca koran ini. Lama-lama saya ingin sekali mengirimkan naskah ke SOLOPOS. Tahun 2011 adalah tahun di mana saya mulai menulis lagi dan pertama kali saya mengirim naskah di SOLOPOS. Alhamdulillah, cerita anak dengan judul Slamet (kemudian judulnya diubah menjadi Namaku Slamet), dimuat di SOLOPOS edisi Minggu.
Betapa bahagianya hati saya. Selain merasa bahagia karena tulisan saya dibaca orang lain, juga berbahagia karena mendapat honor. Terima kasih SOLOPOS, akhirnya tulisanku pecah telur. Ternyata rezeki saya tidak hanya itu, beberapa cerita anak dan cerpen juga dimuat di SOLOPOS.
Selain di SOLOPOS tulisan saya ada yang dimuat di majalah. Bagi saya SOLOPOS merupakan tempat belajar menulis saya. Dengan dimuatnya beberapa cerita anak/cerpen membuat saya termotivasi untuk membuat cerita yang lebih bagus. Saya tidak puas hanya menulis dengan kualitas tulisan biasa saja, maka saya memelajari cara menulis yang baik.
Pengalaman menulis di SOLOPOS lainnya adalah dimuatnya cerita lucu di Ah Tenane dengan tokoh utama Jon Koplo. Ada 3 buah cerita lucu yang sudah dimuat di Ah Tenane. Sekali lagi, keuntungan saya membaca dan menulis di SOLOPOS adalah bertambahnya wawasan dan ilmu serta mendapatkan keuntungan materi berupa honor. Saya bersyukur honor dari SOLOPOS membawa keberkahan karena bisa dinikmati teman guru dan murid-murid.
Dengan membaca tulisan/berita dari SOLOPOS saya bisa mendapatkan ide. Biasanya berita-berita atau tulisan yang saya baca dari SOLOPOS, saya jadikan bahan referensi tulisan saya yang akan saya tayangkan di blog pribadi dan blog keroyokan kompasiana dengan alamat www.kahfinoer.blogspot.com dan www.kompasiana.com/noerimakaltsum.
Tahun 2013, saya bergabung di dalam komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis Solo. Di komunitas inilah saya menceritakan pengalaman saya menulis di SOLOPOS. Cerita saya ini tentu saja merupakan peluang bagi teman-teman untuk mengirimkan naskah ke SOLOPOS. Bahkan setelah tulisan saya dimuat di Ah Tenane, teman-teman IIDN Solo ikut bersemangat untuk mengisi tulisan di Ah Tenane. Berkat virus yang saya tularkan dan motivasi untuk anggota yang saya sampaikan, alhamdulillah lebih dari 75% anggota IIDN Solo tulisannya pernah tembus di Ah Tenane SOLOPOS.
Saya paling rajin membaca Ah Tenane tiap pagi. Sering saya memberi tahu teman IIDN Solo yang tulisannya dimuat di Ah Tenane SOLOPOS. Biasanya mereka mengatakan menunggu mbak Ima memberi kabar tulisannya dimuat di Ah Tenane.
00000
Dunia tulis-menulis mulai saya tekuni tahun 1989. Ketika itu saya duduk di bangku SMA. Karena cerita anak yang saya tulis pernah dimuat di majalah lokal Yogyakarta, maka saya berusaha untuk mengembangkan kemampuan saya. beberapa dongeng sempat dimuat di koran lokal, Kedaulatan Rakyat. Sayang, setelah kuliah saya berhenti sementara menulis.
Setelah vakum beberapa tahun lalu saya mulai menulis lagi, saya berniat berbagi ilmu untuk siapa saja. Alhamdulillah, wadah yang saya ikuti Ibu-ibu Doyan Nulis Solo semakin membuat saya lebih berarti. Tiap anggota IIDN mempunyai kewajiban untuk menularkan ilmu yang dimiliki. Pada bulan Juni dan Agustus tahun ini (2015) IIDN Solo diberi kesempatan untuk mengisi talkshow yang diadakan di eks Goro Assalam. Talkshow tersebut bertujuan untuk  meramaikan Pameran Buku Murah.
Beberapa anggota IIDN Solo menjadi narasumber, termasuk saya. Pada bulan Juni, tema yang kami usung adalah Manajemen Waktu Ala IIDN Solo. Meskipun peserta talkshow tidak banyak, tapi talkshow tetap berjalan seru. Apalagi pada sesi tanya jawab, kami sebagai narasumber bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Kadang peserta talkshow memberikan suatu pertanyaan di luar tema. Tak apalah, yang penting semua bisa berjalan fleksibel.
Pertanyaan yang sering disampaikan (baik pada KOPDAR IIDN anggota baru, maupun di group facebook) adalah ke mana tulisan yang sudah kita buat bisa kita kirimkan. Kami anggota IIDN Solo sudah tidak asing dengan koran SOLOPOS, maka kami menyarankan untuk mengirimkan ke media cetak lokal lebih dahulu, misalnya SOLOPOS.
Talkshow yang kedua pada bulan Agustus, mengusung tema Nulis Jadi Duit. Oleh karena kami sudah punya pengalaman menjadi narasumber, maka pembawaan kami sudah semakin matang. Peserta talkshow kali ini tidak sama dengan yang dulu, tapi pertanyaan ke mana tulisan harus kita kirimkan tetap ada. Sekali lagi, secara tidak langsung kami memromosikan SOLOPOS. Kami juga menyebutkan beberapa rubrik yang bisa diisi oleh pembaca. Dengan demikian penanya akan memiliki gambaran, tulisan yang manakah yang bisa dikirimkan dan dimuat di SOLOPOS. Tentu saja kami memberikan sedikit bocoran bahwa nulis di SOLOPOS juga dapat duit loh (maksudnya dapat honor).
 Awal bulan Oktober 2015, kami IIDN SOLO diwawancarai oleh wartawan Hadila. Tentu saja yang kita sampaikan sekitar dunia penulisan. Semoga dengan tampil di Majalah Hadila IIDN Solo, khususnya saya semakin dikenal orang.
Alhamdulillah, di komunitas menulis yang saya ikuti bila ada anggota baru teman-teman mengatakan kalau tulisan saya di SOLOPOS sudah tak diragukan lagi. Sebenarnya saya malu dibilang seperti itu. Tulisan saya belum seberapa dibandingkan yang lain. Tapi apa yang dikatakan teman saya merupakan doa, semoga saya tetap bisa eksis menulis. Akan lebih senang lagi kalau tulisan saya tembus SOLOPOS lagi dan mendapat honor (#edisi mengharap dengan sangat, hehe).
00000
SOLOPOS edisi Minggu biasanya tulisan yang saya baca tentang keluarga. Kalau selain hari Minggu biasanya saya membaca tulisan secara acak dan berita aktual. Dengan demikian saya tidak ketinggalan berita. Membaca berita bersama teman-teman sering berlanjut menjadi diskusi. SOLOPOS memang menambah wawasan kami. Delapan belas tahun usia SOLOPOS, semoga SOLOPOS semakin berbobot.
00000
Noer Ima Kaltsum, S.Pd: Guru Kimia SMK Tunas Muda Kab. Karanganyar, bergabung di Ibu-ibu Doyan Nulis Solo.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Writing Contest Soloensis:
Soloensis

Selasa, 13 Oktober 2015

Pesona Indahmu, Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur

Gambar 1. Lelah, tetap ceria
Sumber: dok.pri
Hari Sabtu-Senin, 10-12 Oktober 2015 saya akan mengadakan perjalanan bersama keluarga dan teman-teman suami. Meskipun sudah tidak mengajar lagi di SMP N 2 Jumantono, Karanganyar, dalam banyak kegiatan di luar sekolah suami masih diajak ikut serta. Di antaranya berwisata ke Gunung Bromo dilanjutkan ke Malang. Peserta yang mengikuti wisata kali ini sebanyak 13 orang. Rombongan dibagi menjadi 2, 2 mobil mengangkut rombongan ini.
Gambar 2. Keluarga Kecil
Sumber: dok.pri
Jadwal berangkat Sabtu malam pukul delapan. Akan tetapi pemberangkatan diundur karena ada suatu hal. Pukul 9 kami meluncur lewat Matesih-Tawangmangu-Magetan dan seterusnya.
Dari Karanganyar sampai Pasuruan kami tak mengalami kendala yang berarti. Selama perjalanan mata saya tidak dapat terpejam karena saya mengawasi si kecil yang tidur di jok belakang berhadapan dengan jok saya. Anak TK tersebut tidur dengan pulas. Akan tetapi setiap terjaga dia langsung duduk, mungkin dia bingung sedang berada di mana.
Ada cerita menarik ketika berhenti di SPBU Kertosono untuk mengisi bahan bakar sekalian nge-tap bagi yang mau buang air kecil. Toilet antriannya panjang, airnya habis pula. Semula kami mau mengurungkan niat untuk buang air, tapi setelah ada orang yang laporan pada karyawan akhirnya tendon air diisi lagi. Plong, sukses menghadapi rintangan. (kata kunci : air sangat penting. Tak ada air = cotho)
Saat azan subuh, kami sudah berada di Probolinggo (Ahad, 11 Oktober 2015). Waktunya shalat berjamaah. Perut saya mulai kosong, minta diisi. Suami membeli the hangat buat kami. Di sekitar masjid banyak penjaja makanan. Saya tertarik membeli lumpia dan molen. Dua anak saya menyantap molen (saya ikut mencicipi rasanya enak). Saya makan lumpia, rasanya masam/basi. Berarti lumpa basi yang dipanaskan (mbak penjaja, mbok jualan ki makanan yang baik-baik saja). Beruntung perut saya tidak mengadakan reaksi apa-apa.
00000
Setelah shalat subuh perjalanan kami lanjutkan. Saya mulai merasakan udara dingin terasa segar (persis di Tawangmangu) ketika melewati jalan menanjak. Pagi menyapa. Di pinggir jalan saya lihat aktifitas jual beli dan pedagang melambaikan tangan menawarkan dagangannya. Kami terus berlalu. Saya menikmati pagi yang semakin terang. Saya benar-benar merasakan suasana Tawangmangu pada pagi hari. Ya, menuju Gunung Bromo ini kondisinya seperti Tawangmangu.
Semakin tinggi keberadaan kami, udara semakin dingin. Ada pemandangan yang berbeda antara di sini dengan di Tawangmangu. Di Tawangmangu, pada musim kemarau air untuk pertanian masih tersedia. Banyak petani yang tetap menanam sayuran di musim kemarau. Kalau di Bromo dan sekitarnya begitu kering dan meranggas, gersang. Sebenarnya saya melihat tanaman loncang alias daun bawang di tanah pertanian yang luas. Hanya saja karena kekurangan air, tanaman-tanaman loncang tersebut mulai kering.
Gambar 3. Tanaman Loncang kering
Sumber: dok.pri
Belum sampai obyek yang kami tuju ternyata matahari sudah kelihatan dan mulai meninggi. Nok Faiq sempat mengambil beberapa gambar. Kami gagal melihat sunset. Tak apalah, mungkin saya akan mendapatkan pengalaman yang lebih menarik lainnya.
Sebelum sampai tempat parkir, kami dicegat beberapa orang. Mereka menawarkan jeep yang bisa disewa atau melayani jasa antar jemput ke Bromo dan Pura.
Gambar 4. Jeep Antar Jemput
Sumber: dok.pri
Untuk bisa dijadikan perhatian dan dijadikan bahan pertimbangan:
1.    Menggunakan jasa/armada jeep satu armada ongkosnya Rp. 250.000,00 PP. Dari tempat parkir ke Bromo, balik lagi. Satu armada untuk 6 orang penumpang dan 1 orang sopir. Karena kami berjumlah 13 orang ( 1 anak kecil), kami memerlukan 2 armada. Untuk armada kami mengeluarkan ongkos Rp. 500.000,00.
2.    Masuk obyek (tapi tidak ada tiketnya) perorang membayar Rp. 32.500,00. Setelah disepakati, kami membayar Rp. 250.000,00/13 orang.
Gambar 5. Nego dengan Paguyuban Jeep
Sumber: dok.pri
Di sekitar Gunung Bromo dan Pura, luar biasa indahnya. Udara dingin, kabut turun, dan tanah berpasir. Bila kita menghembuskan nafas, akan kelihatan sekali mengeluarkan uap. Dari tempat parkir (di sisi Gunung Bromo), kami harus berjalan menuju gunung dan bisa melihat kawah. Kalau kita tidak mau lelah berjalan, ada kuda yang siap mengantarkan kita sampai di dekat gunung sebelum naik tangga. Untuk sekali perjalanan ongkos naik kuda Rp. 50.000,00. Jadi PP Rp. 100.000,00.
Gambar 6. Motret dari Atas
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
Faiz merengek-rengek ingin naik kuda. Saya dan suami tugasnya mengalihkan perhatian supaya Faiz tidak minta naik kuda. Saya bilang uang buat naik kuda, kalau digunakan untuk membeli payung dapat 2 buah. Naik kuda dengan payung, kok jauh banget ya? Beberapa hari yang lalu Faiz minta payung. Alasannya kalau pas hujan, dia tidak kehujanan di sekolah. Saat itu saya belikan. Akhirnya Faiz mau diajak jalan kaki.
Gambar 7. Kuda siap mengantar
Sumber: dok.pri
Wisatawan yang datang dengan bersepeda motor juga banyak. Padahal untuk mencapai tempat ini mereka mengalami rintangan yang cukup berat. Ban sepeda terseok-seok melewati pasir. Baik motor matic, bebek, trail dan lain-lain mengalami kesulitan. Untuk jeep saja juga mengalami kesulitan, tapi bisa cepat menyesuaikan diri begitu ban terjebak dalam pasir.
Gambar 8. Pemuda Touring
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
00000
Saya tidak ikut naik ke atas untuk melihat kawah dari dekat. Faiz tidak mungkin saya ajak naik tangga dan medannya berat untuk anak seusia dia. 
Gambar 9. Tangga menuju kawah
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
Saya hanya menunggu berita dari suami dan Nok Faiq. Beberapa saat kemudian, suami mengirim pesan singkat : Alhamdulillah, sampai bibir kawah, Subhanallah.
Gambar 10. Bibir kawah, mengeluarkan asap bau belerang
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
Gambar 11. Bersama Wisatawan mancanegara
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
Faiz mulai rewel karena lelah. Matahari kian meninggi, kabut mulai hilang. Udara tetap dingin, tapi sinar matahari mampu “menggosongkan” muka kami. Debu mulai bertebaran. Kuda dan manusia berjalan menebarkan pasir-pasir halus. Masker tetap kami pakai untuk melindungi hidung dan mulut. Beberapa pedagang menawarkan kaos tangan, tutup kepala, masker, souvenir (bunga edelweiss kering), syal dan lain-lain.
Gambar 12. Bunga Edelweis
Sumber: dok.Faiqah Nur Fajri
Pukul 08.30 kami berkumpul di dekat tiang bendera menanti jeep mobil jemputan. Perjalanan menuju tempat parkir, di mana mobil kami diparkir, diikuti iring-iringan sepeda motor anak-anak muda mengadakan touring.
Lega rasanya, akhirnya kami sampai di tempat parkir. Perut mulai keroncongan. Kepala nyut-nyut karena kelaparan. Ternyata kondisi saya juga dialami teman-teman yang lain. Pukul 09.00 kami meninggalkan Bromo dalam keadaan lapar dan lelah (semoga 2 anak saya tetap sehat dengan ngemil camilan seadanya).
Pukul 10.00 kami tiba di rumah makan. Bila yang lain mandi dahulu, saya dan keluarga makan dulu (terpaksa saya minum obat sakit kepala). Alhamdulillah agak mendingan. Perjalanan kami lanjutkan menuju Ponpes Salafiyah di Turen, Malang. (BERSAMBUNG)
Karanganyar, 13 Oktober 2015
Ada catatan penting :
Ketika ke Bromo yang perlu dipersiapkan adalah: jaket tebal beserta tutup kepala, kaos tangan, syal, sepatu tertutup, payung, minuman secukupnya. Bagi yang alergi dingin, bersiap-siap mengatasi penyakitnya. Bila membawa anak kecil, pastikan anak bisa mandiri.
Agar kita bisa melihat sunset, bila berangkat dari Solo dan sekitarnya diusahakan berangkat pukul tiga sore (perjalanan bisa santai, istirahat cukup).

Kamis, 08 Oktober 2015

IIDN Solo, 1 Jam Bersama Majalah Hadila

Gambar 1 : IIDN dan IIDMejeng
Sumber: dok.Yuni Astuti
Beberapa hari yang lalu ketua IIDN Solo, mbak Siti Nurhasanah memberitahukan kepada anggota bahwa Majalah Hadila akan bersilaturahmi ke IIDN Solo. Setelah melalui perundingan dan beberapa pertimbangan, disepakati wawancara dilaksanakan di rumah Ibu Astuti yang biasa dipanggil Uti, pada hari Kamis, 8 Oktober 2015 setelah Shalat Ashar.

Oleh karena tidak semua anggota IIDN Solo bisa hadir, maka bagi yang waktunya longgar diminta untuk bisa datang ke rumah Uti Astuti. Alhamdulillah, saya sendiri berusaha untuk bisa hadir. Walaupun demikian, ada sedikit kendala sebelum berangkat menuju rumah Uti Astuti.
Saya berencana berangkat pukul 2 siang karena saya selesai mengajar pukul setengah dua.  Dalam perjalanan pulang dari sekolah, saya harus menjemput Nok Faiq di tempat penitipan anak. Saya harus menunggu Nok Faiq karena dia diajak makan siang bersama temannya.

Sampai rumah pukul dua lebih sedikit.Ternyata suami sudah bersiap-siap. Sebelum berangkat saya membuka nasi bungkus yang saya beli di warung. Baru beberapa suap nasi melewati kerongkongan, datanglah adik ipar saya, adik suami. Dia dari takziah dan bermaksud mampir saja. Nasi bungkus saya tinggal begitu saja. Saya membuatkan minuman dan menemui adik ipar. Mungkin sudah suratan takdir saya, suami bilang,”Mi, buatkan mie telur buat adikku.” Saya mengiyakan saja. Padahal saya diburu waktu. Waktu terus berjalan. Ketika adik saya makan, azan ashar berkumandang. Setelah mandi dan menunaikan ibadah shalat, mau tidak mau, tega tidak tega, saya bilang pada adik ipar,”Om, maaf. Saya mau ke Solo ada kepentingan wawancara dengan Majalah Hadila (sok penting). Sungguh, bukannya saya mengusir tapi saya sudah ditunggu teman-teman (halah, yang nunggu ya siapa kok ge-er banget nih orang).”

Akhirnya perjalanan dengan mengejar waktu dimulai. Alhamdulillah, saya tiba di rumah Uti Astuti dengan selamat. Ternyata di rumah Uti sudah datang mbak Eki, reporter Majalah Hadila. Beberapa anggota IIDN Solo yang hadir adalah saya, Noer Ima Kaltsum, Bunda Yuni Buy, Astutiana M, Zakiah Wulandari, Arinta Adiningtyas, Siti Nurhasanah, dan Fafa Fatturochma.
Dengan penuh keakraban dan santai, wawancara pun dimulai, meskipun pertanyaannya umum tapi yang punya kewajiban menjawab biasanya hatinya tersentuh secara spontan untuk menjawab. Bahkan, karena sudah terbiasa mendapat pertanyaan dari luar anggota IIDN Solo (ceileeee, sttt soalnya sudah pernah tampil Talkshow di Goro Assalam dua kali), kami menjawab pertanyaan dengan cara saling melengkapi. Kami kelihatan banget kompaknya. Mbak Eki menanyakan:
1.      awal mulanya dibentuk IIDN Solo, kapan lahirnya dan bagaimana kepengurusannya, berapa anggotanya,
Ini tokoh utamanya yang menjawab adalah mbak Ketua, Nurhas yang lainnya menyemangat: IIDN Solo adalah komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis yang berada di daerah. Pusatnya di Bandung. IIDN didirikan oleh mbak Indari Mastuti. Group di FB ini kemudian memiliki niat untuk bertemu dengan anggotanya di wilayah eks Karisidenan Surakarta.  Niat bertemu alias kopi darat atau yang keren disebut Kopdar terwujud pada tanggal 25 Desember 2013. Dipilih tanggal itu karena hari libur dan sebagian bisa hadir. Resmilah IIDN Solo lahir pada saat Kopdar I.
Dengan pertemuan pertama itu berhasil dibentuk kepengurusan. Pembina : Candra Nila Murti Dewojati, Ketua: Siti Nurhasanah, Sekretaris : Zakiah Wulandari, Bendahara: Arinta Adiningtyas. Anggota IIDN Solo mencapai ratusan orang, akan tetapi yang aktif sekitar 20 orang, dan tiap pertemuan rata-rata dihadiri 15 anggota. Pada Kopdar II kami bertemu langsung dengan mbak Indari Mastuti. Kami bersilaturahmi ke Pustaka Arofah (Penerbit dan Toko Buku) dan Penerbit Tiga Serangkai
2.      bagaimana cara berbagi ilmu, bagaimana cara memotivasi anggota, bagaimana cara menularkan ilmu menulis, adakah pencapaian target membaca buku dan membuat karya,
Kalau yang ini, semua anggota aktif menjawab. Mbak Eki sampai tertawa bahkan kelihatan sekali ikut bahagia soalnya IIDN-nya agak berbunga-bunga (maklum mau ada penampakan di Majalah Hadila. Sebagai bocoran : dalam waktu dekat penampakan itu akan nyata terlihat).
Setiap anggota membagikan ilmu yang dimiliki sesuai bidangnya masing-masing. Tiap Kopdar materi dan nara sumbernya sudah ditentukan. Tiap nara sumber memiliki ilmu yang harus disampaikan kepada anggotanya. Tiap anggota menekuni bidangnya masing-masing, tapi perlu mempelajari bidang yang lain.
Biasanya bila ada anggota IIDN Solo yang tulisannya berhasil tembus media, bukunya berhasil terbit, atau memenangkan kompetisi (lomba menulis), mereka akan menyebarkan virus keberhasilannya dengan membuat postingan di group. Jadilah para anggota ingin mengikuti jejak anggota yang lebih dulu berhasil. Contoh : ketika ada yang menulis cerita lucu Jon Koplo di Solopos, maka teman yang lain akan ikut mencobanya. Alhamdulillah, sepertinya anggota aktif IIDN Solo sudah berhasil menembus Jon Koplo-nya Solopos. Demikian juga dengan cerpen, artikel, opini yang sudah dimuat di media, akan disebarkan di group agar anggota yang lain memiliki kesempatan berhasil yang sama.
Karena kesibukan masing-masing anggota tidak sama maka kami tidak memberikan target minimal membaca buku dalam sehari. Untuk membuat karya juga demikian, target kami berbeda-beda.
3.      bidang apa saja yang ditekuni penulis, , apakah ada syarat khusus untuk menjadi anggota IIDN Solo, apakah calon anggota yang belum menikah alias belum ibu-ibu bisa bergabung di IIDN Solo.
Mbak Candra : Buku religi, mbak Nurul : buku non fiksi, mbak Hana: fiksi, mbak Nurhas, Arinta, Noer Ima: Cerita anak, mbak Fafa dan Uti Astuti: pendidikan, mbak Ety: Blogger. Anggota lain yang belum saya sebut boleh mengangkat jari protes hehe. Akan tetapi kami juga mempelajari bidang yang lain. Sebagai contoh saya, saya suka menulis bermacam-macam, target saya tulisan yang saya posting di www.kompasiana.com banyak pembacanya. Syukur-syukur masuk artikel pilihan atau HL
Tak ada syarat khusus menjadi anggota IIDN Solo, yang belum menikah pun bisa bergabung, yang penting perempuan meski belum memiliki satu karya pun, keanggotaan umum tidak sebatas muslimah, kalau ada yang non muslin kami juga terbuka. Di sini ada anggota yang statusnya belum menikah, yaitu mbak Hana, Rozie dan Zukhruf.
4.      apakah calon anggota yang mau bergabung harus sudah memiliki karya, sudahkah IIDN Solo memiliki karya (buku) bersama,
calon anggota yang belum memiliki karya boleh bergabung, justeru dengan bergabung di komunitas ini diharapkan ada perubahan lebih maju. Jadi bisa menulis, jadi memiliki karya dan lebih berhasil lagi. Untuk sementara IIDN Solo belum memiliki karya bersama. Dulu memang pernah berusaha mengumpulkan karya anggota untuk dijadikan satu buku, akan tetapi belum pas untuk diterbitkan. Suatu saat kami memiliki karya bersama, Insya Allah. (Diingatkan mbak Eki jadi bernafsu untuk membuat buku bersama, semangat-semangat)
5.      pesan apakah yang akan disampaikan pada masyarakat agar bisa menulis dan termotivasi untuk menulis?
Kalau mau menulis, menulislah. Menulislah sampai selesai, diendapkan beberapa hari, dibaca lagi lalu diedit. Kalau memiliki tulisan, mintalah tolong kepada orang lain untuk membaca. Orang lain akan obyektif menilai tulisan kita. Selanjutnya kirim tulisan kita ke media atau penerbit. Jangan takut gagal dan jangan menyerah! 10 karya terbaik  kita kirim ke redaksi semoga salah satunya berhasil. Kalau belum berhasil simpan saja, jangan dibuang atau didelete. Biarkan tulisan itu terkumpul banyak, suatu saat kita edit lagi, kita revisi lagi, semoga berhasil.
Gambar 2. IIDN Solo bersama Mbak Eki Reporter Majalah Hadila
Sumber: dok.Fafa Fatturochma
Bincang-bincang ini tak terasa lebih dari satu jam. Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan terus berharap agar IIDN Solo dikenal masyarakat luas. Siapa tahu kita diundang lagi oleh pengundang dadakan. Silaturahmi itu perlu karena silaturahmi mendatangkan rezeki. Kalau tidak percaya ada kudapan bakpia, pudding, pastel, mie rebus yang rasanya maknyus dan teh hangat.

Tak sia-sia usaha saya untuk bergabung dengan sahabat IIDN Solo hari ini, meski agak kemalaman dikit. Di penitipan si thole sudah menunggu. Hari sudah gelap, azan maghrib berkumandang ketika saya berada di Solo. Alhamdulillah, Nok Faiq dan Thole Faiz baik-baik saja.

Karanganyar, 8 Oktober 2015

Selasa, 06 Oktober 2015

Belatung

Malam ini adalah malam takbiran, malam yang ditunggu banyak orang. Seperti biasanya, di masjid-masjid, mushola dan langgar, orang-orang melakukan takbir bersama sampai pagi hari. Apalagi sekarang di sekolah-sekolah yang berbasis agama, juga mengadakan takbir keliling dengan jalan kaki membawa obor. Siswa-siswa dengan semangat mengelilingi kampung. Mereka berseragam abu-abu putih.
Adanya kegiatan takbiran semacam ini, bagiku merupakan berkah tersendiri. Aku bisa mengumpulkan barang-barang bekas yang digunakan untuk makan dan minum mereka. Tempat minuman plastik dan kardus tempat kudapan dan nasi.
Aku tak perlu berkeliling mengumpulkan barang bekas, dari tempat pembuangan sampah satu ke tempat pembuangan sampah yang lain. Aku tak perlu mengorek-orek, memilah-milah sampah seperti saat memulung di tempat pembuangan sampah. Di samping barang rongsokannya masih bagus, hasilnya juga lumayan.
Besok paginya, atau beberapa hari ke depan selama hari tasrikh, masih ada orang/pengurus/panitia kurban yang akan menyembelih hewan kurban. Biasanya sampah plastik dan kertasnya bisa aku ambil. Aku harus sabar mengumpulkan barang bekas ini. Mau apalagi? Aku tidak boleh mengeluh karena ini mata pencaharianku. Pemulung.
Aku masih beruntung, bisa mengambil dan memilah sampah di tempat pembuangan sampah di kompleks perumahan. Di tempat-tempat atau kampung tertentu, ada larangan pemulung masuk kawasan tersebut.
00000
Hari ini hasil pengumpulan plastik dan kardus lumayan banyak. Beberapa orang perumahan yang aku temui memberikan makanan kecil dan nasi bungkus. Bagiku, ini adalah rejeki dari Yang Maha Kaya, yang harus aku syukuri. Biasanya nasi bungkus dengan lauk daging sapi atau kambing berupa gulai, tongseng, semur, atau empal.
Sudah beberapa hari aku tidak mencari sampah/barang-barang yang bisa aku jual di tempat pembuangan sampah. Seperti hari-hari sebelumnya, setiap aku menuju tempat pembuangan sampah di perumahan, aku biasa berhenti di depan rumah yang ramah lingkungan. Sebenarnya rumah yang ramah lingkungan ini berada di dekat sawah. Halamannya yang luas ditanami pohon-pohon tahunan yang menghasilkan buah.
Meskipun pohonnya banyak, sampah daunnya banyak, tetapi rumah itu asri dan teduh. Di halaman tersebut terdapat tempat penampungan sampah khusus plastik dan kertas. Sampah daun atau bahan organik ditempatkan di dalam tong besar. Sampah daun/bahan organik tersebut digunakan untuk membuat kompos.
Setiap aku mencari rongsokan di tempat penampungan sampah rumah itu, aku mendapatkan sampah yang masih bersih. Sebab plastik dan kertas tersebut tidak bercampur dengan sisa-sisa makanan atau minuman.
Setelah selesai, aku menuju tempat pembuangan sampah di perumahan. Dari jauh aku sudah mencium bau yang sangat menyengat. Sebagai seorang pemulung, hal semacam itu sudah biasa. Bagi sebagian orang, kehidupan seorang pemulung identik dengan kumuh, dan bau tak sedap.
Tempat pembuangan sampah di perumahan berupa rumah kecil tanpa sekat. Ukuran 2m x 2m, satu meter dari tanah dindingnya berkeramik. Lantainya juga keramik (bekas). Tempat pembuangan sampah di perumahan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan rumahku.
Tiba di depan pintu TPS, bau tak sedap sangat menusuk hidung. Lalat ada di mana-mana. Dari sampah-sampah itu kulihat keluar belatung-belatung. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa. Lihat belatung di TPS, itu lumrah dan biasa.
Lalat, semut, belatung dan serangga lainnya ikut berpesta pora menikmati sampah-sampah. Tapi pagi ini jumlah mereka luar biasa. Ternyata dari bungkus-bungkus makanan, baik dari plastik, kertas maupun daun keluar belatung dalam jumlah banyak.
Ada sesuatu yang tidak beres dengan orang-orang perumahan. Mengapa orang-orang perumahan tidak belajar ramah lingkungan pada si pemilik rumah dekat sawah? Seharusnya sisa-sisa makanan itu tak perlu berada dalam bungkusan. Biarkan sisa-sisa makan diuraikan mikroorganisme. Dikumpulkan dalam suatu wadah, lalu di buang di tempat penampungan khusus. Dengan demikian bila terjadi pembusukan dan keluar belatung kejadiannya tidak seperti ini.
Dalam hitungan detik, belatung itu memenuhi ruangan TPS. Jumlahnya bertambah lebih cepat. Belatung-belatung tersebut sebagian keluar dari TPS. Mereka berbaris, menuju tempat yang lebih luas.
Sepedaku tak luput dari serangan belatung. Belatung-belatung itu sebagian menempel di sepedaku, lalu bersembunyi di antara tumpulan botol plastik, gelas plastik dan kertas/kardus. Tiba-tiba perutku mual, rasanya mau muntah. Belum lagi, kepala serasa kesemutan.
Kuambil kardus, kukibaskan pada sepeda. Aku berharap belatung itu jatuh dan tidak menempel di sepeda dan bronjong (keranjang). Aku berteriak girang. Berhasil. Buru-buru aku meninggalkan TPS. Aku naik di atas sepeda. Kukayuh sepedaku dengan sekuat tenaga.
Aku menoleh ke belakang. Ternyata belatung-belatung itu mengikutiku.
“Pak Tua. Pak Tua…”suara seorang ibu. Aku tak menghiraukannya.
Aku ingin selamat dari kejaran belatung. Sampai di rumah, di gubug reyot, aku berhenti. Dari jauh, kulihat belatung-belatung itu berjalan bukan lagi ke arahku. Belatung-belatung itu berjalan ke arah rumah-rumah tetanggaku yang kaya.
Aku sedikit bernafas lega. Kusandarkan sepedaku pada sebatang pohon. Aku masuk rumah. Pemandangan di TPS berpindah di rumahku. Dalam rumah, di kamar, di ruang tamu, di dapur dan di kamar mandi, semua diserbu belatung.
Ingin rasanya aku menjerit. Ini mimpi atau nyatakah? Anak dan isteriku tidak ada di rumah. Kebetulan mereka bertiga berada di rumah mertua.
Kulihat di dalam kamar, ada sepotong daging yang sudah busuk di dalam wadah plastik yang terbuka. Dari sepotong daging tersebut keluar belatung. Di ruang tamu, di dapur dan kamar mandi juga sama kondisinya. Belatung-belatung itu keluar dari sepotong daging yang busuk, yang berada dalam wadah plastik terbuka.
00000
Isteriku memijit-mijit badanku. Apa yang telah terjadi, aku tak tahu. Ternyata beberapa saat yang lalu aku tak sadarkan diri. Isteriku pulang di saat yang tepat. Aku berada di ruang tamu yang bersih.
“Bapak capek ya? Kelelahan lalu tidur di bawah pohon.”
Aku mengingat-ingat kejadian tadi.
“Sul, kamu sudah membersihkan ruangan-ruangan itu bukan?”
“Memang ada apa, Pak? Kok dibersihkan segala. Rumah kita ya seperti ini adanya.”
“Maksudku kamu sudah membersihkan belatung-belatung itu, bukan?”
“Belatung apaan to Pak.”
Aku diam, tak melanjutkan pembicaraan. Sudahlah, lupakan masalah belatung tadi. Dua anakku bermain di rumah tetangga. Isteriku masuk kamar. Kudengar isteriku menjerit histeris.
“Belatung…….!”
Aku bangkit dan beranjak menuju kamar. Benar kata isteriku, belatung-belatung itu memenuhi kamar tidur. Belatung, itu muncul dari daging atau apa saja yang busuk. Mungkinkah belatung itu keluar dari daging yang sudah aku goreng sampai kering (abon)? Padahal daging itu sudah diawetkan.
Atau mungkin belatung itu keluar dari daging yang tidak baik, asal muasalnya tidak baik, misalnya mencuri? Ya, waktu mencari barang rongsokan di masjid, aku sempat mengambil daging yang bukan hakku. Jumlahnya lumayan banyak, dan tidak ketahuan orang. Tapi aku lupa, bahwa Tuhan Maha Tahu dan Maha Melihat. (SELESAI)
Karanganyar, 10 Oktober 2014

Senin, 05 Oktober 2015

Tertinggal Hampir 48 Jam, Laptop Tak Hilang

Hari Sabtu, 3 Oktober 2015 pulang mengajar saya istirahat beberapa menit. Saya mendengar suara kendaraan Alfa suami yang cukup khas. Kata anak saya suara motor ayah tronthong-tronthong. Saya membuka pintu dapur.
Suami langsung bilang,”Mi, entahlah laptopku nasibnya gimana?”
“Memang laptopnya di mana?”
“Tadi di sekolah aku tinggal. Aku buru-buru rapat MGMP di SMP lain, laptop tak sempat aku bawa. Ketika selesai MGMP, aku kembali ke sekolah, tapi di ruang guru laptopku gak ada. Guru-guru menghadiri resepsi pernikahan di gedung.”
Saya berharap ada guru yang merawat laptop suami. Hingga malam hari saya berharap ada pesan lewat sms atau berita lewat telepon dari teman suami. Sampai tengah malam tak ada berita sama sekali. Hari Minggu, juga tak ada berita tentang laptop. Suami pasrah saja, semoga masih bisa ditemukan atau diikhlaskan saja.
Hari ini, hari Senin, 5 Oktober 2015. Saya ingin segera mendapatkan berita tentang laptop dari suami. Siang hari suami mengirim pesan lewat sms.
= Mi, bisa ikut layat ke Karangpandan, Bapak Mertua Pak Sriyanto?”
+ Ya. Insya Allah. Gimana laptopnya, yang ngopeni (merawat) sapa?”
= Alhamdulillah, laptop diopeni Gusti Allah.
Nyes! Jawaban suami cukup melegakan saya. Saya dan suami benar-benar bersyukur. Ini peristiwa yang kedua kali. Pertama, Pebruari yang lalu  saya kehilangan laptop. Ternyata laptop saya diamankan di kantor polisi selama 4 bulan, dan laptop sudah kembali. Yang kedua laptop suami.
Suami bertanya kepada teman-temannya, mereka tidak tahu dan tidak melihat laptop suami. Salah satu dari mereka menyarankan kepada suami untuk mencari di aula. Suami baru ingat, hari Sabtu itu dia mengajar di aula dan membuka laptop. Setelah mematikan laptop, suami lupa untuk membawa laptop. Suami keluar dari aula, padahal anak-anak masih ada.
Tulisan ini sebagai sarana untuk introspeksi. Harta benda, berapapun mahalnya, bagaimana cara mendapatkannya, kalau belum rezeki kita maka Allah akan mencarikan jalan untuk lenyap. Akan tetapi kalau masih rezeki kita, maka Allah akan mencarikan jalan kepada kita untuk menemukannya. Alhamdulillah.
Karanganyar, 5 Oktober 2015

Sabtu, 03 Oktober 2015

Baktiku Pada Suami

Gambar 1. Faiq di PG Tasikmadu, Kab. Karanganyar
(Sumber : dok. Faiqah Nur Fajri)
Ketika mau menikah dengan suami tahun 1999, aku mengajar di SMU Negeri I Blora di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kebetulan aku ikut kakakku yang pertama, yaitu Mas Inung. Sedangkan suami waktu itu sudah diangkat menjadi PNS, mengajar olah raga  di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Setelah menikah, kami tidak serta merta tinggal serumah. Aku harus menyelesaikan tugas mengajarku hingga kenaikan kelas. Jadilah, meski sudah menikah kami pacaran jarak jauh.
Awal-awal pernikahan suami sudah mempunyai niat untuk membantu saudaranya (sepupu) meringankan beban dengan membayari SPP. Bagiku tidak masalah, semoga kelak menjadi ladang amal buat kami sekeluarga. Kebiasaan membantu saudara atau siapa saja berlanjut hingga sekarang. Bahkan yang kami bantu bukan famili.
Dua bulan setelah menikah, aku merasakan lemas, tidak bergairah, nafsu makan berkurang drastis. Biasanya dulu kalau tidak nafsu makan aku sering makan salak. Tapi kali ini tidak selera makan salak, umbi-umbian, nasi, dan semua makanan. Aku tidak merasakan mual atau muntah. Penasaran dengan keadaanku, aku berinisiatif ke Puskesmas untuk memastikan “ada apa denganku?”. Alhamdulillah, aku positif hamil.
Perhatian suami, mertua, dan ipar-iparku bertambah. Karena aku mengandung calon cucu pertama, maka ibu mertua memberikan perhatian yang berlebihan. Aku tidak minta ini-itu, karena aku tidak bernafsu untuk makan. Akan tetapi justeru ibu mertua yang menawariku macam-macam makanan.
Satu lagi yang membuatku tambah tidak bernafsu makan yaitu bau lingkungan rumah mertua yang tidak sedap. Kebetulan di rumah mertua ada sapi, ayam, dan burung dara sebagai hewan ternak. Bau tidak sedap itu berasal dari kotoran hewan dan pakan sapi  dari ampas singkong dan ampas tahu.  
Suatu hari aku pulang ke rumah orang tua kandung ke Yogyakarta. Kebetulan Ibu masak nasi kuning. Satu piring nasi kuning beserta lauknya ludes aku lahap. Setelah  kembali ke Karanganyar, aku tidak bernafsu makan lagi. Aku berpikir, kalau tidak memaksakan diri untuk makan kasihan bayi dalam kandunganku. Pasti dia akan kekurangan gizi. Dipaksa-paksakan, akhirnya doyan makan juga.
Ujianku  tidak hanya nafsu makan berkurang, setelah kembali ke Blora untuk mengajar aku mengalami pendarahan. Itu berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Aku berdoa semoga Allah berkenan memercayaiku untuk merawat dan membesarkan bayiku hingga lahir kelak dengan selamat. Aku memang sangat kuatir sebab berada di Blora tanpa suami. Yang ada kakak laki-lakiku dan isterinya. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.  Aku dan kandunganku sehat.
Tiba saatnya kenaikan kelas, berarti aku pindah dari SMU I Blora dan mengikuti suami tinggal di Karanganyar. Lega rasanya bisa berkumpul dengan suami. Tak ada lagi rasa sepi dan sendiri. Karena setiap aku membutuhkan sesuatu tidak lagi mencari sendiri seperti saat berpisah dengan suami.
Ketika usia kandunganku 5 bulan, aku mengalami pendarahan lagi. Bidan yang memeriksaku berpesan untuk hati-hati dan aku diberi obat penguat (penguat rahim, barangkali). Setelah seminggu akhirnya berhenti juga pendarahanku. Aku sempat kuatir. Ada apa dengan kandunganku? Aku lebih hati-hati menjaga kesehatanku.
Aktifitasku tidak berkurang. Mengajar di sekolah SMK membuat hidupku lebih berarti. Mengamalkan ilmu yang aku miliki sebagai amal jariyah. Insya Allah pahalanya mengalir terus. Sayangnya, hobi menulis buku harian berhenti total. Padahal kalau aku mau rutin menulis seperti kebiasaanku sejak kelas 2 SMP sampai lulus kuliah, pasti tulisanku beraneka macam.
Selama hamil aku tidak meninggalkan kebiasaan membaca Quran. Akan tetapi kebiasaanku ini tidak diikuti suami. Sebenarnya lebih baik kalau setelah menikah ibadah kami lebih meningkat. Setelah berjamaah pahalanya lebih banyak, bukan? Aku tidak memaksakan diri. Aku tidak mau menggurui suamiku sendiri. Biarlah apa yang aku lakukan menjadi teladan saja.
Tahun 2000 adalah tahun kali pertama aku merayakan Idul Fitri bersama suami. Usia kandunganku saat itu 9 bulan, dan tinggal menunggu/menghitung hari saat melahirkan. Menunggu pagi, siang atau sore hari. Saudara-saudaraku waktu itu heboh, bahkan memarahiku.
Kandungan sudah tua masih saja nekad untuk pulang kampung, naik bis lagi. Ada yang bilang bagaimana kalau tiba-tiba kamu merasa mulas sewaktu di kendaraan atau perjalanan. Waktu itu aku hanya menjawab, kamu belum tahu rasanya bagaimana jauh dari keluarga sendiri? Berlebaran tidak dengan Ibu, Bapak dan saudara-saudara? Saudara-saudaraku sebenarnya tahu kalau aku paling dekat dengan Ibu. Maka aku heran ketika aku mudik, mereka tidak dimaklumi.
Seminggu setelah lebaran aku merasakan mulas. Beberapa masukan dari orang-orang yang sempat kuingat, yaitu kalau mengeluarkan air padahal tidak merasa kencing atau mengeluarkan bercak darah  itu pertanda akan melahirkan. Sekitar jam 2 malam aku mengalami keluar air tapi tidak kencing. Ternyata air yang keluar tidak sedikit, melainkan banyak (bukan air ketuban, orang Jawa mengatakan kembar banyu). Setelah itu keluar bercak darah.
Kebetulan tetangga kami bidan dan membuka klinik bersalin. Aku tidak perlu jauh-jauh untuk mendapatkan pertolongan. Sampai di klinik rasa mulas semakin sering dan aku tidak tahan. Mungkin mau melahirkan. Anehnya Ibu mertuaku juga ikutan stres, mual-mual.
Detik-detik akan melahirkan suami dan Ibu mertua juga berada di kamar bersalin. Aku tahu bagaimana mereka memberikan semangat, dukungan dan motivasi. Perasaan luar biasa setelah berjuang dan bayiku lahir secara normal dan sehat. Bayi perempuan dengan berat badan 3,75 kg. Bayi yang besar mengingat badanku saja kurus. Bisa menjadi gemuk karena selama hamil, setelah mau makan apa saja dimakan. Berat badan selama hamil naik 18 kg dari semula 39 kg menjadi 57 kg.
Aku dan suami sangat bersyukur karena anakku lahir sempurna. Kekuatiranku selama hamil tidak terbukti (maklum 2 kali pendarahan, kuatir kalau nanti terjadi apa-apa). Sewaktu masih dalam kandungan, suami mengidam-idamkan memiliki anak pertama laki-laki. Bahkan karena di dalam perut “gerakan anakku sangat aktif”, suami yakin anakku laki-laki.

Nama yang disiapkan juga nama laki-laki, Faiq (artinya istimewa). Begitu lahir perempuan maka akulah yang tetap mempertahankan nama itu untuk anakku. Faiqah Nur Fajri dengan panggilan kesayangan Faiq.
Karanganyar, 23 Pebruari 2014 - 3 Oktober 2015