Jumat, 31 Juli 2015

Meski Ada Riba, Koperasi sekolah Memberi Solusi Ketika Tak Punya Uang

Beberapa waktu yang lalu saya berbicang-bincang dengan beberapa teman di sekolah. Kebetulan topik yang kami bicarakan tentang pinjam-meminjam uang. Pembicaraan menjadi seru karena antara saya dan teman-teman tidak sepenuhnya sependapat. Meskipun pendapat kami berbeda tapi kami tidak sampai ngotot untuk mempertahankan pendapat. Maklumlah saat itu bulan puasa. Kami saling menghormati pendapat teman.

Sudah banyak orang yang membicarakan tentang bank konvensional, bank syariah, BMT, koperasi dan rentenir. Awalnya kami membicarakan tentang kelebihan yang dipungut dari peminjam koperasi. Kami anggota koperasi jarang menggunakan kata bunga, melainkan jasa. Akan tetapi ada anggota baru yang mengatakan itu hanya istilah saja, pada dasarnya antara bunga dan jasa tidak ada beda.

Baik, saya mengakui tidak bisa lepas dari riba (jasa koperasi). Tapi saya berpendapat saya merasa terbantu dengan koperasi ini.  Bila saya dan suami tidak memiliki dana yang cukup padahal memerlukan uang, maka salah satu jalan untuk mendapatkan uang adalah dengan meminjam koperasi (Kami tidak meminjam uang ke bank, dengan alasan terlalu repot urusannya selain itu uang yang kami terima tidak utuh karena dipotong asuransi dan provisi. Harus menyertakan daftar gaji, jaminan, tanda tangan dan persetujuan suami atau isteri).

Kalau mau meminjam orang lain misalnya saudara, teman atau kerabat, belum tentu dipinjami. Lagi pula meminjam uang di koperasi jasanya ringan, hanya 2% menurun per bulan (saya tidak perlu menjelaskan hitung-hitungannya). Bila angsuran pinjaman kita sampai 10 kali, maka jasa terhitung menjadi 1,1% perbulan. Bagi saya ini sangat ringan.

Teman saya (anggota baru koperasi yang saya sebut tadi)  menyebutkan kalau di salah satu BMT syariah di Kabupaten Sukoharjo, pelaksanaannya benar-benar syariah. Bila meminjam uang untuk usaha maka menggunakan system bagi hasil. Kalau ternyata usahanya merugi, pihak BMT juga mau ikut menanggung kerugian. Sip, saya acungi jempol.

Bila ada nasabah yang memerlukan barang, maka tidak diberi pinjaman uang lalu mengembalikan dengan ditambah kelebihan/bunga. Pihak BMT akan membelikan barang yang dimaksud konsumen/nasabah lalu dijual secara kredit ke nasabah. Harga jualnya adalah harga pembelian pihak BMT ditambah laba yang diambil pihak BMT. Kalau yang ini sebenarnya yang saya cari, benar-benar bebas dari riba. Lalu saya tanyakan bagaimana bila ada nasabah yang meminjam uang bukan untuk usaha, melainkan untuk keperluan misalnya membayar sekolah atau untuk biaya pengobatan, apakah pengembaliannya sama seperti waktu meminjam alias tidak dikenakan bunga? Kata teman saya pengembaliannya tidak memakai tambahan. Saya berseru, wah cocok.

Saya tanyakan, kalau untuk meminjam uang bukan untuk usaha tidak dikenakan bunga mengapa dia tidak meminjam ke BMT? Mengapa dia malah ikut koperasi dan meminjam uang ke koperasi? Padahal sejak dulu dia mengatakan koperasi melakukan praktek riba, hukumnya haram. Teman saya ini juga tahu agama (fiqih) dan dia sering mengisi pengajian. Teman saya bilang karena urusannya merepotkan dan lokasinya jauh, maka dia tidak meminjam uang ke BMT.  

Saya bilang oke dan terima kasih atas ilmunya. Mungkin pemahaman ilmu agama saya masih cethek alias dangkal. Saya juga pernah mengikuti pengajian. Ketika ada peserta menanyakan tentang koperasi, pak ustad menjawab selama ada kelebihan pengembalian dari jumlah pinjaman semula, mau dinamakan bunga atau jasa maka itu tetap riba. Solusinya adalah uang koperasi dipinjamkan kepada anggota dan pengembaliannya tanpa bunga. Pak ustad bilang tanpa bunga/jasa, insya Allah uang koperasi menjadi barokah. Pertanyaannya adalah siapa yang mau mengelola koperasi itu? Untuk mengumpulkan uang koperasi, simpanan pokok, simpanan wajib, pinjaman, angsuran dari banyak orang, siapa yang mau melakukan semua itu tanpa diberi jasa?

Kata Pak ustad carilah pinjaman uang yang tidak memakai bunga/jasa. Memang ada orang yang baik hati dan tidak sombong dengan ikhlas meminjamkan uang. Siapakah mereka? Apakah mudah kita mendapatkan orang yang nyah-nyoh, longgar keuangannya? Jangankan orang lain, saudara sendiri (saudara kandung) saja belum tentu bersedia meminjamkan uang dalam jumlah banyak.

Kadang kita memerlukan uang saat ini, beberapa hari kemudian ada rezeki dan hutangpun bisa terbayar.  Saya, teman-teman anggota koperasi sekolah, suami dan teman-temannya sangat terbantu dengan adanya koperasi. Jasa ringan, prosedur tak berbelit-belit, tanpa jaminan dan mendapatkan sisa hasil usaha (SHU).

Memang doa saya, semoga saya dan keluarga tidak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak meminjam koperasi. Kalau tidak menjadi anggota koperasi, kita tidak bisa meminjam uang ke koperasi. Mungkin suatu saat anjuran Pak ustad bisa diterapkan yaitu meminjam uang koperasi tanpa dikenai jasa. Karena tidak ada kelebihan uang (tidak ada jasa) maka tidak ada sisa hasil usaha dengan demikian pengurus koperasi tidak mendapatkan jasa atas kerja yang dilakukan. Bekerja ikhlas! 

Semoga wacana ini bisa terwujud, tidak hanya di koperasi sekolah saya lebih-lebih koperasi besar yang bidang usahanya berbagai macam (koperasi serba usaha).
Karanganyar, 31 Juli 2015 

Tulisan ini juga tayang di :
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/meski-ada-riba-koperasi-sekolah-memberi-solusi-ketika-tak-punya-uang_55bb82676523bd38119b48f1

Sabtu, 25 Juli 2015

Kartu ATM BNI Menyelamatkanku Saat Mudik

Kartu ATM  BNI Menyelamatkanku Saat Mudik
Tahun 2010 saya mulai berkenalan dengan BNI. Saya seorang guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik. Dengan demikian saya berhak mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah. Kebetulan pada tahun itu, 2010, kami diwajibkan membuka tabungan BNI Taplus. Pencairan tunjangan profesi lewat rekening pada bank yang telah ditunjuk.
Untuk membuka tabungan, setoran awal cukup ringan. Saya juga wajib memiliki kartu ATM. Sebenarnya saya kurang suka memiliki dan menggunakan kartu ATM tersebut. Bagi saya kartu ATM akan menggoda saya untuk melakukan bermacam-macam dengan isi tabungan selama saldonya masih aman.
Tahun 2011, pertama kali saya mendapatkan tunjangan profesi dalam jumlah besar karena uang tunjangan yang kami terima 12 bulan sekaligus. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur akhirnya tunjangan profesi saya keluar dan dapat saya gunakan untuk hal yang bermanfaat yaitu untuk uang muka pendaftaran ibadah haji.
Saya mengambil uang tersebut tidak melalui mesin ATM, akan tetapi langsung ke teller. Waktu itu pengambilan dari teller kurang dari 5 juta rupiah akan dikenai biaya administrasi. Oleh karena uang saya dalam tabungan lebih dari 5 juta rupiah, maka saya mengambil tabungan melalui teller. Akan tetapi saya tetap menggunakan kartu ATM dengan menggesek kartu di depan petugas. Prosesnya cepat tapi antrinya lama.
Saya mulai berpikir, daripada mengantri lama di bank lebih baik mengambil uang lewat mesin ATM. Selanjutnya saya menikmati kemudahan menggunakan kartu ATM untuk setiap penarikan uang.
Pernah suatu saat teman-teman saya sudah mendapatkan tunjangan profesi selama 3 bulan, akan tetapi saya belum mendapatkannya. Setiap saat saya disuruh mengecek rekening lewat mesin ATM. Sampai saya merasa bosan. Saya berpikir, kalau memang rezeki saya, pasti akan cair juga. Apalagi tunjangan profesi ini ibaratnya rezeki nomplok. Tidak bisa kita harapkan setiap saat. Yang bisa saya harapkan adalah honor dari sekolah setiap bulan, yang besarnya tidak seberapa (saya guru swasta, sekolah saya juga merupakan sekolah kecil).
Ketika itu menjelang lebaran, teman-teman saya sudah mendapatkan tunjangan profesi untuk 6 bulan. Saya belum mendapatkan juga. Untuk persiapan lebaran, saya menggunakan dana dari suami. Selama mudik di rumah orang tua saya, saya harus berhemat. Akan tetapi tetap saja pengeluaran selama mudik banyak.
Sebelum pulang kembali ke rumah, saya mau mengambil uang untuk jaga-jaga selama diperjalanan. Alangkah terkejutnya saya ketika mengambil uang dari mesin ATM. Tiba-tiba saldonya menggelembung. Alhamdulillah, tunjangan profesi saya sudah cair, 6 bulan sekaligus..
00000
Waktu terus berlalu. Awalnya saya paling malas menggunakan kartu ATM. Akan tetapi setelah tahu manfaatnya, saya cenderung memilih menggunakan kartu sakti tersebut. Saya tidak perlu membawa uang kontan ke mana-mana.
Pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan yaitu ketika saya tinggal membawa uang 50 ribu rupiah dan sedikit pecahan-pecahan kecil. Sama halnya dengan saya, suami juga tinggal membawa uang 50 ribu rupiah.  Sebenarnya saya merasa aman-aman saja dengan uang sebesar itu pada malam itu. Cerita menjadi lain karena suami kedatangan murid-muridnya. Murid-murid suami esok harinya akan mengikuti pertandingan futsal. Suami memberikan uang satu-satunya yang dia punya untuk murid-muridnya, sekedar untuk membeli minuman. Sedangkan anak saya minta uang untuk mengisi modem sebesar 25 ribu rupiah. Malam ini kami membawa uang tak lebih dari 50 ribu. Padahal kami harus mengisi bensin untuk 2 sepeda motor, membeli lauk untuk sarapan dan memberi uang saku untuk anak saya esok hari.
Saya memutuskan mengambil uang, menarik lewat mesin ATM malam itu. Paling tidak tanggal tua itu harus membawa uang masing-masing 100 ribu rupiah. Saya dan suami terkejut, saling berpandangan. Seharusnya saldo tabungan saya 700 ribu rupiah, tapi di situ terdapat hampir 14 juta rupiah. Malam itu kami cukup mengambil 200 ribu rupiah.
Ketika saya tanyakan pada teman-teman saya, ternyata kami mendapatkan tambahan tunjangan profesi setelah pangkat dan golongan kami disesuaikan/inpassing. Saya sangat bersyukur. Dari kartu sakti ini saya bisa tahu saldo rekening kami tiap saat.
Tiba saatnya saya mudik ke Yogyakarta, di rumah orang tua, saya merasa aman. Saya tidak was-was lagi kehabisan uang karena saya bisa menarik uang di mana dan kapan saja.
Pengalaman yang saya tulis ini murni pengalaman saya pribadi. Awalnya saya menjauhi kartu ATM, tapi setelah tahu banyak manfaatnya saya merasa nyaman menggunakannya. Agar saya tidak tergiur untuk mengambil/menarik uang lewat mesin ATM, maka kartu tersebut saya titipkan suami. Kalau suami teramat tertib, dia tidak akan menarik uang biarpun dompetnya kosong. Dia merasa kartu ATM saya adalah hak saya, dia tidak berhak menarik uang tanpa sepengetahuan saya.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat.
Karanganyar, 25 Juli 2015 

Rabu, 22 Juli 2015

Reuni SMA-ku Bukan Ajang Pamer Kesuksesan


Gambar 1. Abu-abu Putih alias jadul
(Sumber : dokumen Edi Yulianto)

Alhamdulillah, lebaran tahun ini saya bisa mudik ke kampung halaman. Tepatnya di Kecamatan Mantrijeron, Kodya Yogyakarta. Bersilaturahmi, berkumpul bersama orang tua dan saudara merupakan anugerah yang luar biasa. Saya wajib bersyukur, umur saya bisa bermanfaat dan waktu luang bisa saya gunakan untuk hal-hal yang positif.
Kesempatan yang baik ini saya gunakan untuk memenuhi undangan Reuni Angkatan ’90 kelas 3A1 SMA N Tirtonirmolo, Yogyakarta. Reuni ini diadakan di rumah mbak Warti, teman saya yang jenius. Dari kelas 1 sampai kelas 3 dia selalu yang terdepan. Mbak Warti mengikuti suami yang tinggal di Palpabang, Kabupaten Bantul, DIY.
Hampir 25 tahun setelah lulus SMA saya tidak bertemu sahabat-sahabat saya. Terakhir saya bertemu mereka ketika reuni di rumah mas Hari Sakti Pancasunu di Suryowijayan. Setelah itu bila ada reuni saya termasuk ketinggalan berita. Konon kabarnya tahun 2009 juga ada reuni untuk kelas kami, tapi waktu itu saya tidak mudik karena mertua sakit dan masih dalam suasana lebaran mertua saya meninggal.
Tahun 2010, seingat saya di SMA juga ada reuni lintas angkatan. Saya juga tidak bisa mudik karena saya memiliki baby yang berusia 3 bulan. Jadilah reuni tahun 2015 ini teramat berharga buat saya. Meskipun yang datang hanya sebagian kecil saja, alhamdulillah yang berhalangan hadir dalam keadaan sehat wal afiat.
Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Akan tetapi setelah berkumpul kembali, kami merasa suasananya masih seperti di ruangan kelas antara tahun 1989-1990. Masya Allah, saya tak mengenal sahabat-sahabat saya menjadi orang yang sekarang. Saya mengenal mereka seperti berseragam abu-abu putih berusia 17 tahun (merasa masih imut).

Gambar 2. Penampakan 25 tahun dari abu-abu putih
(Sumber : dokumen Adi Cahyadi)

Yang membuat saya terharu, sahabat-sahabat saya berkumpul bukan untuk pamer kesuksesan, bukan untuk pamer pangkat dan jabatan, bukan untuk pamer kekayaan. Kami mengenang cerita masa SMA. Dan kami dengan suka cita bertukar cerita dengan keluarga besar. Anak-anak dan pasangan ikut serta berbaur. Benar-benar seperti keluarga.

Gambar 3. Ima Libil, sahabat-sahabat dan  keluarga
(Sumber : Dokumen Adi Cahyadi)

Suasana reuni penuh keakraban. Berkumpul di rumah teman berbeda sekali dengan berkumpul di rumah makan atau gedung pertemuan. Apalagi rumah mbak Warti dekat dengan tanah pertanian. Banyak pohon tahunan yang tumbuh di sekitar rumah. Udara benar-benar sejuk.
Ada lagi yang membuat saya kerasan dan betah di rumah ini, yaitu di rumah mbak Warti serasa di rumah saya sendiri. Rumah saya juga dikelilingi sawah dan kaya pohon tahunan. Pohon-pohon besar tersebut menyumbang oksigen. Alhamdulillah, sehatku dengan oksigen gratis!
Sahabat-sahabat yang hadir di rumah mbak Warti yaitu:
Mas Harjono Padmono Putro, pak ketua kelas. Mas Harjono ini orangnya super kocak (memang teman sekelasku kocak kabeh), pemain basket handal, pandai memimpin, arif dan bijaksana. Sekarang menjadi dosen dan ternyata punya yayasan yang mengelola SMK jurusan IT. Saya doakan sukses. Mas Harjono ini seorang mualaf.
Mas Edi Yulianto, si jago MIPA. Mas Edi memiliki keahlian di bidang perkayuan (mebel ya). Selain ini memiliki kos-kosan dan dapurnya terus mengepul berkat usahanya di bidang laundry. Sukses ya Mas Edi! Beberapa tahun yang lalu tiba-tiba Mas Edi dan Ahmad Darojat pada hari yang sama tapi waktunya berbeda datang ke rumah saya di Karanganyar. Saya sangat terharu waktu itu, kedatangan tamu istimewa.
Mas Adi Cahyadi, pemain basket dan pembalap (wuih hobinya hebat). Setelah lulus SMA Mas Adi bekerja di kantor pos. Sekarang jabatannya juga sudah berada di atas. Mas Adi juga jago melacak rumah yang sulit dijangkau karena terbiasa mengantar surat (haduh, ini bercanda). Mas Adi termasuk menikah di usia masih muda, tahun 1993 sudah memiliki anak. Sttt isterinya bernama mbak Penta, adik kelas kami dan pemain basket juga. Hehe seiya sekata ya. Selamat dan sukses ya Mas Adi.
Mas Barudi Hidayat, sahabat saya yang pendiam. Dia mengaku orangnya biasa-biasa saja, tidak menonjol dan tidak punya prestasi yang dibanggakan waktu di SMA. Sepertinya Mas Barudi ini tidak mau menyombongkan diri. Katanya, dia tidak bekerja. Tapi kami tidak percaya begitu saja. Dia memang tidak bekerja tapi di galerinya terdapat karyawan yang mendapatkan gaji darinya. Cekcekcek, bersama isterinya menjadi team solid yang kompak!
Mas Agus Nurjanto, sahabat saya paling akrab dari kelas 2. Mas Agus pindah ke SMA Tirtonirmolo dari Kalimantan. Dahulu saya suka mencatatkan pelajaran apa saja di bukunya. Mas Agus dan saya suka bercerita tentang keluarga. Pada suatu hari Mas Agus datang ke rumah saya. Kebetulan bapak saya sedang membuat perabotan dari kayu. Mas Agus tak percaya kalau seorang tukang kayu yang membuat perabotan itu adalah bapak saya. Saya sih pede saja. Tak minder sama sekali!
Mas Kukuh Heru Kuncoro, si hitam manis pede habis! Mas Kukuh ini orangnya supel. Kalau laki-laki yang satu ini memang terkenal di sekolah. Bapaknya Mas Kukuh namanya juga Pak Kukuh, dulu menjabat sebagai kepala sekolah. Mas Kukuh aktif dalam kegiatan OSIS. Seingat saya Mas Kukuh ini kerap mewakili sekolah untuk kegiatan di luar. Mas Kukuh sekarang sukses. Kesuksesan ini menjadikan dia jarang di rumah. Meskipun saya tidak tahu yang sebenarnya (karena tidak ngobrol) tapi saya mengikuti kabarnya lewat facebook. Statusnya yang sering ditulis antara lain perjalanan terbangnya, menginap di hotel, reparasi body alias pijat. Yang tak kalah penting statusnya adalah cek kesehatan. Hehe, jaga pola makan dan istirahat yang cukup ya Mas Kukuh!
Mas Bambang Prasetyo, pak dokter. Mas Bambang ini pindahan dari SMA N 5 Yogyakarta. Saya tak begitu dekat dengan Mas Bambang. Tapi saya tahu dia suka pelajaran MIPA. Dahulu Mas Bambang dekat dengan Lia (maksudnya akrab ya, tak ada unsur lain menurut saya). Sejak dulu Mas Bambang ini memakai kacamata tebal. Dia terlalu serius untuk pelajaran. Waktu ketemu saya tidak pangling, malah saya juga cepat mengenal anaknya yang juga memakai kacamata tebal.
Mas Budi Santoso, Pak dokter yang menikah dengan teman sekelas kami Mbak Rosa Listyandari. Mas Budi ini satu kampung dengan saya. Dulu saya menjadi teman dekat Mas Budi (hanya teman biasa, bukan teman tapi mesra loh). Mas Budi ini senang berkelahi. Tapi dia orangnya konsekuen. Menang atau kalah habis berantem tetap menjunjung tinggi sportifitas. Dengan lawannya dia akan merangkul dan dari berkelahi pulangnya jalan bareng. Aneh, ini orang! Ada peristiwa yang tak bakal saya lupakan tentang kebandelan dan usilnya Mas Budi. Setelah pulang sekolah (pelajaran terakhir praktek kimia), kami melewati jembatan Julantoro. Dari atas jembatan, Mas Budi lempar benda ke air dan menimbulkan ledakan. Ternyata Mas Budi mengambil logam Natrium. Tahu tidak kalau logam Natrium bila bereaksi dengan air akan menimbulkan gas hidrogen disertai ledakan? Jangan ditiru ya perbuatannya.
Mbak Rosa Listyandari, panggilan akrabnya Lilis. Mas Budi dan mbak Lilis ini dekat sejak SMA. Tentu saja dekat dalam artian ada pletik-pletik. Kebetulan satu kelas, hanya ada 9 anak perempuan.dari kesembilan anak ini satu sama lain menjadi teman dekat. Mbak Lilis juga jago MIPA. Ah, ternyata anak-anak kelas 3A1 memang jago MIPA. Saya bertemu Mbak Lilis hanya lewat fb. Dari fb ini barulah saya tahu dia menikah dengan Mas Budi. Mbak Lilis juga penulis buku. Dulu mengakunya hanya membantu meracik obat. Oalah ternyata memiliki usaha di bidang per-obatan. Ya sudah, sukses buat kalian berdua mbak Lilis dan Mas Budi. (Pasangan ini pemecah rekor, reuni terus).
Mbak Warti, si jenius dan selalu nomor satu. Mbak Warti namanya cukup singkat dengan 5 huruf saja. Tiga tahun menjadi teman saya. Mbak Warti menguasai pelajaran apa saja. Dia adalah murid kesayangannya Pak Ramelan, guru Fisika dan Pak Mardi, guru Matematika. Ada pengalaman yang tidak akan saya lupakan bersama mbak Warti dan mbak Siti. Kami bertiga mengikuti Lomba Kimia yang diadakan di Universitas Gadjah Mada. Tanpa persiapan yang berarti. Mewakili sekolah tapi berangkat sendiri. Meskipun bertarung hanya sampai tahap 2, tapi saya bersyukur. Terlalu pede mengikuti lomba yang diikuti dari berbagai daerah (kalau tidak salah DIY-Jateng atau Jawa-Bali). Sekarang mbak Warti menekuni usaha di rumah. Dia lulus dari UGM dengan gelar sarjana (Jurusan Kimia Ilmu Murni).
Yang terakhir adalah saya, Noer Ima Kaltsum dengan panggilan Ima Libil. Libil orangnya sederhana, tidak berprestasi, tidak suka neko-neko dan simpel. Mudah bergaul dengan siapa saja. Dari suka pelajaran MIPA akhirnya jatuh cinta pada Kimia. Pengalaman bersama teman-teman kelas 3A1 yang membuat heboh adalah menyembunyikan buah nangka yang sudah diincar karyawan sekolah yang merawat pohonnya. Meskipun tak memiliki prestasi, Libil tetap percaya diri. Ekstrakurikuler yang diikuti KIR memudahkan dia menulis. Sekarang Libil mengajar Kimia dan menjadi petani sayuran.
Itulah hasil pertemuan, temu kangen, bincang-bincang ringan dan mengenang masa lalu. Kalaupun bercerita dentang pekerjaan itu tidak bermaksud pamer kesuksesan. Terima kasih sahabat. Berjumpa lagi di tahun mendatang di rumahnya Mas Edi Yulianto, Insya Allah.
Karanganyar, 22 Juli 2015
By Ima Libil

Senin, 20 Juli 2015

Malam Takbiran Tema Muktamar Muhammadiyah di Makassar


Gambar 1. Tokoh-tokoh Muhammadiyah


Gambar 2. Muktamar Muhammadiyah ke-47 


Gambar 3. Masjid Apung


Gambar 4. Lomba Takbir Keliling

Foto-foto tersebut diambil saat malam takbiran di Kecamatan Kotagede, Kodya Yogyakarta, Kamis, 16 Juli 2015. Fotografernya adalah dik Nur Aufi Syatta. Terima kasih ya nok, gambarnya bagus-bagus. belum sempat saya upload semua, karena saya harus menyeleksi dan mengurutkan dengan baik. 
Dik Aufi memang menyukai memotret dengan gaya bebasnya. tidak terikat ini-itu yang penting hasilnya bagus. dia bela-belain motret padahal batitanya terkantuk-kantuk. Kasihan dik Firsya.


Gambar 5. Yang Merem malah Ayah, Firsya mentholo


Gambar 6. In Action
Yogyakarta, 20 Juli 2015

Rabu, 15 Juli 2015

Lebaran, Wisata Alam Irit Biaya dan Hasilnya Memuaskan

Wisata Alam Irit Biaya Hasilnya Memuaskan
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Beberapa hari yang lalu saya telah merencanakan berwisata di kabupaten sendiri, tepatnya di daerah pegunungan yang pernah saya lalui. Dahulu saya, suami dan anak saya sering melakukan perjalanan seperti itu.
Tempat yang kami kunjungi adalah pedesaan dengan suasana alami khas. Ada sawah, ladang,  kebun, pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rindang, suara serangga (gareng pung). Ada sungai dengan air jernihnya, terasa sejuk.

Gambar 1. Tawangmangu, Pagi Berkabut

Tempat favorit kami yang lain adalah kebun teh. Di Kabupaten Karanganyar, kebun teh berada di desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso. Sejauh mata memandang, yang ada hamparan hijau daun dari perdu teh. Karena desa Kemuning ini terdapat pada daerah pegunungan, maka perjalanan kami terasa nyaman, tidak panas karena sinar matahari tak terlalu terik, dan udara terasa sejuk.
Berlama-lama berada di kebun teh, saya merasakan kepuasan tersendiri. Prinsipnya saya lebih senang berada pada suasana alami di daerah pedesaan dan pegunungan. Di samping tempat-tempat yang sering saya kunjungi udaranya sejuk, ada satu hal yang membuat saya suka dengan berwisata alam, yaitu perjalanan/kegiatan ini tidak menguras kantong. Lebih tepat lagi kalau saya sebut berwisata dengan biaya irit.
Di Kecamatan Tawangmangu, saya bisa lebih berlama-lama memuaskan diri. Di Tawangmangu sebenarnya banyak sekali obyek wisata yang bisa dikunjungi. Satu di antara obyek wisata di Tawangmangu adalah Grojogan Sewu. Tempat wisata yang satu ini merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara.
Bagi siapa saja yang suka berinteraksi dengan alam, bisa melakukan aktivitas outbond di sekitar obyek wisata Grojogan Sewu. Banyak tempat/area kosong yang bisa digunakan kemah/camping. Satu di antara tempat yang bisa dimanfaatkan untuk camping adalah SEKIPAN CAMP.

Gambar 2. Sekipan Camp, Tawangmangu

Kondisi di daerah pegunungan lazimnya adalah dingin dan sering turun kabut. Bagi mereka yang tidak tahan dingin, sebaiknya mempersiapkan diri tubuhnya dalam kondisi fit. Akan lebih baik lagi bila bisa mengatasi kondisi dingin  sesegera mungkin.
Saya bangga menjadi warga Karanganyar. Banyak obyek wisata yang bisa saya kunjungi tanpa mengeluarkan biaya yang banyak. Untuk menghemat biaya saya membawa makanan kecil dan minuman dari rumah. Karena jarak tempuh kami tidak terlalu jauh, waktu yang kita gunakan untuk perjalanan ini juga tidak terlalu lama.
Tentu saja saya bisa menghemat pengeluaran dengan tidak jajan di daerah wisata. Akan tetapi untuk memenuhi permintaan anak lanang, terpaksa kami jajan. Tidak lupa kami singgah sebentar di hutan karet.
Gambar 3. Hutan Karet Ngargoyoso
Ternyata melakukan perjalanan wisata tidak selalu mengeluarkan biaya besar. Semua bisa diatur untuk menekan pengeluaran. Apalagi berwisata di saat libur lebaran tahun ini yang kebetulan bersamaan dengan tahun ajaran baru. Bagi orang tua yang memiliki putra-putri yang masuk kelas I, VII dan X pasti pengeluarannya lebih banyak untuk membeli seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis lainnya.

Gambar 4. Simbah Buyut Mencari rumput, Tawangmangu

Wisata alam menjadi pilihan. Pilih tempat-tempat yang dekat dengan tempat tinggal. Semoga bermanfaat.

Karanganyar, 15 Juli 2015

Jumat, 10 Juli 2015

MOS (MOPD) Seperti Perploncoan, Seorang Ibu Protes

MOS (MOPD) SEPERTI PERPLONCOAN, SEORANG IBU PROTES
Hari Kamis-Sabtu, 9-11 Juli merupakan awal tahun pelajaran 2015/2016. Bagi siswa baru (sengaja tidak saya gunakan kata peserta didik baru) baik kelas VII SMP dan kelas X SMA/SMK, biasanya mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) atau sekarang disebut MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik).

Kegiatan MOS seharusnya diisi dengan hal-hal positif (pasti sudah ada materi dan petunjuk pelaksanaannya). Jangan sampai MOS digunakan sebagai ajang perploncoan. Sudah tidak jamannya lagi. MOS diisi dengan hal-hal yang positif yang kelak bisa digunakan sebagai bekal menerima pelajaran. Tidak perlu ada perploncoan, apalagi bila peserta berbuat kesalahan/terjadi pelanggaran lalu peserta diberi hukuman fisik. Itu tidak mendidik. Tidak ada hubungan antara kecerdasan intelektual dengan hukuman fisik saat MOS.

Sekarang peserta sedang menjalani ibadah puasa, tentu saja sekuat-kuatnya fisik anak, pada saat ini lemah juga. Udara memang dingin akan tetapi sinar matahari cukup terik.
Bagi Panitia MOS (dalam hal ini OSIS) berikanlah tugas kepada peserta tidak yang aneh-aneh, di mana peserta tidak bisa memenuhinya. Ingat : ini nanti akhirnya kalau peserta melanggar bisa berakibat diberi hukuman psikis (fisiknya juga).

Salah satu contoh yang mengalami MOS tahun ini adalah anak saya sendiri. Alhamdulillah setelah diterima di sekolah favorit, hari Rabu kemarin diberi tugas yang akan dibawa untuk hari Kamis (hari pertama MOS). Dan diberi syarat untuk sampai di sekolah tidak boleh di antar. Sampai di sekolah jam 05.50 WIB.

Bisa dibayangkan sebagian peserta MOS rumahnya jauh dari sekolah. Kendaraan yang bisa mengangkut mereka terbatas.  Konon katanya pengurus OSIS sudah berjaga-jaga di tempat tertentu, jadi bila ada yang diantar sampai jalan raya saja juga ketahuan. Bagi peserta yang melanggar akan diberi peringatan panjang lebar.

Beberapa barang yang harus dibawa sesuai perintah memang tidak menyulitkan semua, tapi ada satu barang yang mencarinya sulit. Tidak semua toko/warung/kios menjualnya. Hari Rabu pulang dari sekolah, anak saya bersama temannya (teman sejati, dari TK, SD, SMP, hingga SMA satu sekolah, dan anak saya sering ke rumah temannya tadi, namanya Zulfa) mencari barang yang dimaksud. Hanya satu yang belum didapat yaitu bolpoin. Kebetulan di toko tinggal satu. Akhirnya bolpoin itu untuk Zulfa.

Untuk perempuan, bolpoin warna biru merek Queen dan untuk laki-laki warna pink. Nah kesulitannya adalah mereknya tertentu itu. Karanganyar bukan kota besar. Toko-toko juga tidak semua menjual bolpoin merek yang dimaksud. Inilah kesulitannya. Dan saya harus rela mengantar anak saya ke mana saja, agar mendapatkan bolpoin itu. Sebenarnya harganya tidak mahal. Hanya seribu lima ratus rupiah. Bukannya saya takut nanti anak saya dihukum bila tak membawa bolpoin tersebut, lebih karena tidak rela anak saya dihukum.

Inilah perjalanan saya dan anak saya setelah shalat ashar. Toko yang saya masuki tidak ada bolpoin yang dimaksud. Toko Sami Seneng- Seribu- Cikini- Lalung-Rengga-Grosir-SFA-4 kios- Indah-Asri-Alfamart-Rahayu-Mitra-Remaja. Hingga akhirnya 10 menit lagi azan maghrib berkumandang kami belum mendapatkan bolpoin. Akhirnya saya bilang ke anak saya,
“Nok, coba kita cari di depan SMP N 2 Karanganyar, sekolahanmu dulu.”

Meluncurlah kami ke TKP sambil menyempatkan membeli the hangat dan tempe goring. Sampai di depan Waris Asih depan SMP N 2 Karanganyar, azan berkumandang. Saya dan Nok Fai berbuka puasa dengan minum the dan makan tempe. Anak saya menuju Waris Asih. Sebentar kemudian dia keluar dengan wajah berbinar. Sambil menunjukkan bolpoin dia berteriak girang,
“Mami, ada banyak.”
“Beli yang banyak, siapa tahu temanmu ada yang belum dapat.”
Lega, plong.

00000

Kamis, 9 Juli 2015. Setelah shalat subuh Fai sudah diantar ayahnya ke tempat pemberhentian bis. Saya menunggu cerita anak saya selanjutnya setelah dia pulang sekolah. Pulang sekolah dia bercerita kalau sampai sekolah jam 06.00. Itu artinya terlambat 10 menit. Dan teman-temannya yang terlambat banyak sekali. Permasalahannya sama, transportasi terbatas. Sebenarnya tidak dihukum, hanya diceramahi oleh pengurus OSIS. Tapi kok saya tetap tidak terima ya. Berangkat setelah shalat subuh. Apa harus berangkat sebelum subuh?

Kata Fai ketika apel pagi ada yang pingsan. Saya Tanya macam-macam akhirnya Fai bilang,
“Aku nggak akan cerita MOS lagi. Soalnya kalau tidak sesuai dengan keinginan mama, mama nanti mau nulis di media. Ma, peserta MOS itu hepi kok dihukum. Kita guyon-guyon. Kakak kelas akhirnya juga beramah-tamah dengan kami.”

Diam-diam saya perhatikan anak saya. Sepertinya dia tidak terbebani. Alhamdulillah kalau kegiatan MOS menyenangkan. Tapi kalau nanti fisik dan psikisnya terganggu saya akan member masukan ke sekolah. Semoga saja kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan.

Hari ini, Jumat, 10 Juli 2015 setelah shalat subuh Fai diantar ayahnya ke tempat pemberhentian bis yang lebih mendekati sekolah. Ya, sudahlah biar mandiri. Semoga sepulang sekolah nanti tidak ada cerita yang tak mengenakkan. Amin.

Karanganyar, 10 Juli 2015
Ini catatan hari ini saya tentang MOS.
Tulisan ini juga tayang di kompasiana : http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/mos-mopd-seperti-perploncoan-seorang-ibu-protes_559f4a2c197b618a048b456c

Rabu, 08 Juli 2015

Ajalmu Tak Menunggu Lunasnya Hutangmu

Ajalmu Tak Menunggu Lunasnya Hutangmu


Ajal akan datang pada setiap yang bernyawa. Manusia, salah satu makhluk yang bernyawa ini akan menemui ajalnya. Semua sudah ada yang mengatur. Ajal datang tidak menunggu taubat kita. Ajal datang tak menunggu kita tua lebih dahulu. Ajal datang tak menunggu kita siap didatanginya. Siap atau tidak siap ajal akan menjemput kita. Kalau ternyata ajal datang kapan saja tanpa dapat kita duga maka mulai sekarang kita harus mempersiapkan diri.
Banyak hal yang perlu kita persiapkan. Karena banyak hal yang harus kita persiapkan, di sini saya akan menuliskan tentang hutang. Apa hubungan antara ajal dan hutang? Bagi orang yang pernah melayat, mungkin pernah mendengar sambutan dari orang yang ditunjuk sebelum jenazah dibawa ke makam. Di antaranya meminta pada ahli waris untuk menyelesaikan hutang-piutang dari almarhum.
Melunasi hutang bagi yang berhutang. Bagi yang memiliki piutang, maka orang yang hutang juga harus menyelesaikannya. Karena hutang piutang ini kalau belum selesai urusannya, tidak otomatis lunas dengan sendirinya. Maka penting bagi kita untuk mengetahui keadaan keluarga kita tentang hutang piutang ini.
Akan menjadi beban bagi si mayit bila hutangnya belum dibayarkan. Oleh sebab itu mari kita belajar meminimalkan hutang. Karena kadang kita berhutang bukan karena desakan/terjepit ekonomi, melainkan menuruti gaya hidup.
Sekarang banyak sekali tawaran kredit/hutang dengan bunga ringan. Tawaran ini sangat menggiurkan. Bila kita berhutang hanya untuk memenuhi gaya hidup, itu artinya kita dengan sengaja masuk dalam perangkap.
Kalau kita berhutang karena memang membutuhkan uang untuk kelangsungan hidup, hal itu tidaklah mengapa. Akan tetapi kita jangan menunda-nunda untuk melunasinya. Bila kita mempunyai niat baik, pasti kita akan berusaha untuk segera menyelesaikan hutang kita. Caranya dengan tertib menyetorkan cicilan/angsuran. Insya Allah niat baik kita akan memberikan manfaat pada diri kita.
Namun kadang kita lupa atau melupakan/pura-pura lupa kalau kita memiliki hutang. Kita dengan boros membelanjakan uang kita tanpa terkendali untuk hal-hal yang tak begitu penting selagi punya uang. Kita lupa pada orang yang telah memberi pinjaman. Apalagi bila yang memberi pinjaman termasuk orang yang baik dan tidak tega melihat kita kesulitan. Kita memanfaatkan situasi ini untuk menghindari kewajiban melunasi hutang.
Dengan dalih belum ada rezeki lalu kita minta waktu. Terus saja begitu hingga si pemberi pinjaman bosan menagih. Banyak alasan yang kita utarakan. Lantas kalau si pemberi hutang menagih lewat telepon/sms kita mengabaikan. Malah kita mengganti no hp kita supaya tidak bisa dihubungi oleh si pemberi hutang.
Hutang tidak akan lunas dengan sendirinya bila kita tidak melunasinya. Bila kita tetap memiliki hutang maka hutang tidak selalu lunas dengan sendirinya bila kita tiba-tiba ajal datang. Bisa saja ahli waris tetap memiliki kewajiban untuk melunasinya.
Maka jangan berhutang bila tidak karena terpaksa. Kalau berhutang segera menyelesaikannya. Jangan menunda-nunda waktu untuk melunasinya. Ingat, ajal akan datang setiap saat. Dan ajal datang tidak menunggu lunasnya hutang kita.
Karanganyar, 8 Juli 2015
Tulisan ini untuk koreksi diri
http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/ajalmu-tak-menunggu-lunasnya-hutangmu_559c52b32d7a619c2183fa4b

Minggu, 05 Juli 2015

Ma, Mengapa Kita Tak Dapat Bingkisan Lebaran?

Ma, Mengapa Kita Tak Dapat Bingkisan Lebaran?
Sore ini putri saya minta izin mau ke Tawangmangu bersama teman SMP-nya. Saya memperbolehkan karena Fai berjanji akan pulang secepatnya. Saya berpesan untuk hati-hati di jalan dan tidak usah ngebut. Pelan-pelan saja naik motornya. Yang penting sampai tujuan dengan selamat dan pulang sebelum maghrib.
Ketika Fai dijemput temannya, saya minta dibawakan seledri. Seledri itu nanti untuk pelengkap soto yang akan dipakai untuk buka puasa di rumah. Fai setuju. Setelah Fai pergi, saya mulai beraktifitas di dapur. Kebetulan Ayah dan si kecil pergi. Hari ini saya harus sabar di dapur, maklum kompor yang biasa dipakai rusak. Dalam keadaan darurat saya menggunakan kompor jatah dari pemerintah. Kompor klasik, dengan nyala yang tidak bisa besar walau sudah maksimal.
Akhirnya selesai juga masaknya. Fai pulang dari Tawangmangu sambil senyum-senyum, sepertinya menahan geli. Saya Cuma membatin. Fai salah mencabut tanaman!
“Mama, aku salah mengambil tanaman. Ternyata yang aku cabut bukan seledri melainkan wortel.”
“Dari jauh mama juga tahu. Daunnya saja beda!”
“Padahal tadi waktu lewat Ngargoyoso ada tanaman seledri lo.”
“Kok kamu tidak mengambil?”
“Habis kasihan temanku kalau berhenti terus.”
“Walah, sudah sampai sana kok ya nggak mau membawakan pesanannya mama to, Nok.”
Setelah terdengar suara azan maghrib, saya dan Fai berbuka puasa. Menunya adalah soto dengan taburan bawang merah goreng dan irisan seledri layu sisa sayuran kemarin. Saya sangat bersyukur Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Sebelumnya saya harus memenuhi suami dan Fai untuk membuat aneka makanan dan kolak/yang segar-segar. Ramadhan tahun ini no kolak. Kami berbuka cukup dengan air teh dan makan seadanya. Saya coba menerapkan Ramadhan tidak dengan hidangan yang justeru berlebihan dibanding selain Ramadhan.
00000
Malam hari tiba-tiba saya dikejutkan pertanyaan putriku.
“Mama, kok kita tidak dapat bingkisan lebaran?”
Wajar Fai menanyakan ini. Tahun lalu suami juga tidak mendapatkan bingkisan lebaran seperti sebelumnya. Akan tetapi tahun lalu Fai tidak menanyakan itu.
“Tahun kemarin ayah juga tidak membawa bingkisan seperti biasanya. Biasanya memang ayah membawa bingkisan yang berisi gula, the, sirup, wafer dan lain-lain. Lo, mama belum cerita ya? Ayah mendapatkan perhiasan gelang, Nok. Tahun lalu dapat cincin.”
Saya menunjukkan perhiasan yang kami miliki. Ya, meskipun tidak dapat bingkisan lebaran, tapi mendapat ganti yang lain. Bagi saya ini malah bermanfaat. Bisa disimpan sebagai tabungan. Suatu saat bila kita membutuhkan uang perhiasan tersebut bisa dijual. Bandingkan dengan bahan makanan/minuman, yang kemudian habis.
“Nok, tak usah risau bila tak mendapatkan bingkisan lebaran. Banyak juga orang yang tidak mendapatkan bingkisan lebaran/THR. Kalau ayah dan mama mendapat THR sebenarnya itu bukan tunjangan hari raya. THR ayah dan mama adalah tabungan hari raya. Uang kita sendiri. Tiap bulan kita menabung. Lihat buruh harian, pemulung, tukang becak dan lain-lain. Mereka tidak dapat THR. Mereka juga tenang dalam menghadapi lebaran. Untuk bingkisan lebaran mungkin mereka mendapatkan dari para dermawan. Tapi mereka tetap khusyu’ menjalankan ibadah.”
Saya mulai berbicara panjang lebar pada Fai yang sekarang sudah masuk di bangku SMA. Menyisihkan uang untuk biaya sekolah lebih utama daripada untuk membeli barang-barang yang tidak begitu penting menyambut lebaran.
Setelah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan ini banyak orang yang menulis status tentang THR di facebook. Mungkin ini yang menyebabkan anak-anak ikut-ikutan menuntut macam-macam kepada orang tuanya. Anak-anak tidak mau tahu orang tuanya dapat THR atau tidak. Trennya status minggu ini lagi THR. Orang tua dan anak-anak jadi latah. Mereka ikut-ikutan memosting status dengan foto segepok uang. Atau gambar orang meneropong dengan komen THR juga.
Ya, semua suka-suka orang. Kita tak bisa melarang orang lain dengan postingannya. Tapi kita sebagai orang tua punya kewajiban mengingatkan kepada anak-anak kita. Tak perlu latah dan berlebihan.
Semoga memberikan manfaat.
Karanganyar, 5 Juli 2015
Ini kisah saya tentang Ramadhan dan menjelang lebaran tahun ini. Tulisan ini juga tayang di :

Jumat, 03 Juli 2015

Pencitraan Isteri Calon Kepala Sekolah

PENCITRAAN ISTERI CALON KEPALA SEKOLAH
Aku orangnya simpel, apa adanya. Tidak suka dengan sesuatu yang direkayasa. Penampilanku biasa saja, sederhana dan tidak suka berlebihan. Cara bergaulku dengan teman-teman kantor akrab apa adanya. Tak pernah punya maksud tertentu dengan keakraban itu. Tidak ada udang di balik rempeyek. Yang ada hanyalah ada uang di balik tas hitam. Wajar saja kalau aku lebih familier dibanding temanku yang lain.
Cara bicaraku ceplas-ceplos. Aku tak suka bicara dibuat-buat. Dengan seperti itu teman-teman jadi tahu, aku adalah orang apa adanya. Aku bukan tipe penjilat. Kalau memang A maka aku katakan A. Kata orang aku terlalu jujur. Jujur ajur. Aku tak peduli.
Aku tak tahu apa kesalahanku pada seorang teman. Kurasa aku tak pernah menyakitinya. Atau mungkin karena ideku yang selalu cemerlang. Temanku teramat gengsi untuk mengakuinya. Ah, barangkali orang mengatakan masa bodoh. Tak usah digubris.
Dahulu aku selalu cuek dengan apa yang dikatakan temanku, Pak Jaka. Tapi kali ini aku harus peduli dengan kata-kata Pak Jaka. Masalahnya Pak Jaka bukan bicara langsung padaku, face to face. Pak Jaka menyampaikan sesuatu tentang aku ke temanku yang lain. Wah, memang dia takut padaku. Padahal aku kan tidak perlu ditakuti. Aku perempuan. Banyak sekali sisi kelemahanku.
Mengapa aku jadi membicarakan Pak Jaka? Ya, karena Pak Jaka calon kepala sekolah pada tahun ajaran yang akan datang. Sekolah tempatku mengajar adalah sekolah swasta. Kepala sekolah ditunjuk berdasarkan musyawarah. Bisa pilihan langsung, mengambil suara terbanyak. Atau bisa jadi kepala sekolah ditunjuk oleh yayasan langsung.Bagiku itu tak berpengaruh apa-apa terhadap masa depanku. Mau kepala sekolah ditunjuk langsung oleh yayasan atau pilihan langsung, rasanya sama saja.
Bukannya aku takut dengan apa yang diucapkan Pak Jaka. Apa yang kelak diputuskan Pak Jaka, bila merugikan aku pasti akan kutuntut.
00000
Kepala sekolah yang lama sudah mengundurkan diri dengan alasan kesehatannya, beliau ingin menjadi guru biasa. Sementara tidak ada yang mau menjadi calon kepala sekolah. Satu-satunya calon yang kuat yang akan ditunjuk oleh yayasan adalah Pak Jaka. Pak Jaka masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik sekolah.
Isteri Pak Jaka juga mengajar di sekolah ini, namanya Bu Tatik. Sekarang Pak Jaka belum menjadi kepala sekolah. Sebutannya yang baru adalah calon kepala sekolah. Maka isterinya juga disebut isteri calon kepala sekolah.
Belum menjadi kepala sekolah, Pak Jaka sudah sok berkuasa. Huft, apalagi nanti kalau sudah duduk di kursi empuk. Apa jadinya? Pak Jaka akan semakin semena-mena terhadapku. Ah, semoga dugaanku tidak benar.
Ya, namanya juga calon kepala sekolah dan isteri calon kepala sekolah, maka adatnya juga berbeda. Kalau dulu Pak Jaka tidak pernah bersalaman pada pagi hari bila bertemu dengan banyak guru. Hanya guru tertentu yang disalami. Sekarang dengan semua guru bersalaman. Ehem, awal yang baik, batinku.
Demikian pula dengan Bu Tatik. Sekarang, setiap pagi Bu Tatik menyalami semua guru dan karyawan sekolah. Dulu, Bu Tatik bila liburan seperti ini jarang hadir pada jadwal piketnya. Sekarang setiap hari hadir. Aku membatin, awal yang baik. Semoga hal itu berlanjut terus. Tidak musiman. Bukan karena menjadi isteri calon kepala sekolah.
Aku kadang muak dengan sikap Bu Tatik yang berlebihan. Maka tak salah bila aku menyebutnya pencitraan isteri calon kepala sekolah. Bah!
Apa yang dilakukan Bu Tatik, menurut teman-teman adalah berlebihan. Dengan sinis mereka bilang pencitraan. Aku hanya menyebut dalam hati, dasar penjilat!
Memangnya kalau sok perhatian pada sekolah, teman-teman akan percaya? Suatu pagi Bu Tatik menyalami teman-teman guru dan menyapa,”Selamat pagi.”
Dasar temanku juga usil, dia menjawab,”Pagi kok diselamati. Mbok assalamualaikum.” Aku tersenyum.
Rasain lu, tidak pernah menyapa sekali menyapa kok ya tidak benar. Bu Tatik tersenyum. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memberi tahu pada Bu Tatik tentang banyak hal, bermacam-macam. Biarlah waktu berlalu. Apakah kebiasaan baru ini terus berlanjut atau akan berhenti sampai di sini?
Kalau terus berlanjut berarti ada peningkatan. Tapi kalau berjalan beberapa hari lalu berhenti, itu namanya pencitraan. Walah, kok aku jadi ikut-ikutan perkataan orang ketika kampanye dulu. Ah, biarlah.
Pagi ini adalah rapat pembagian tugas mengajar. Ternyata jam mengajarku dipangkas. Kemudian jabatanku sebagai Kepala Laboratorium juga hilang. Aku hanya sebagai guru biasa dengan jam mengajar pas 24 jam.
Bagiku ini merupakan anugerah yang luar biasa. Dan aku harus masuk sekolah full, tidak diberi libur kelas sama sekali. Ketika aku bertanya pada wakil kepala sekolah bidang kurikulum, mengapa aku tidak diberi libur kelas barang sehari? Temanku bilang,”Tanya langsung ke Bapak Kepala Sekolah.”
Aku tak mau berdebat. Aku masih bisa bersyukur, Allah masih percaya padaku untuk mengamalkan ilmu. Lantas ke manakah jam mengajarku yang lain? Ternyata ada guru baru, masih familinya Pak Jaka yang mengajar beberapa jam dari jam mengajarku sebelumnya.
Aku bukan orang serakah! Kalau aku hanya diberi jam mengajar 24 jam, maka itulah rezekiku. Benar juga dugaanku, Pak Jaka bersikap semena-mena terhadapku.
Hari pertama masuk sekolah, seperti biasa teman-teman mengadakan acara makan-makan di luar.
“Ikut tidak?”Tanya temanku.
“Tidak. Masih ada yang aku kerjakan.”
“Hari gini kerjaan menumpuk? Capek deh.”
Aku diam. Dalam hati aku tertawa, menertawakan diriku sendiri.
00000
 Hari ini Bu Tatik tidak masuk. Katanya sedang tidak enak badan setelah beberapa hari kehujanan. Akan tetapi setelah sehat dan masuk kerja, sebelum jam 12 Bu Tatik meninggalkan sekolah dengan alasan anaknya sakit. Rupanya pencitraanmu sudah di ambang titik bosan.
Aku adalah orang yang bersikap apa adanya. Aku tak dipengaruhi oleh siapapun. Baik buruknya tingkah lakuku tidak didasari rasa ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Persetan dengan pencitraan.
00000
Karanganyar 3 Juli 2015
Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada persamaan cerita, nama dan tempat kejadian, itu hanya kebetulan saja. Tidak ada unsur menyudutkan siapapun. Kalaupun itu terjadi sungguhan, itu terjadi pada saya hehe
Cerpen ini juga tayang di : http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/pencitraan-isteri-calon-kepala-sekolah_55968f08e3afbd4311c6cf87

Dari Gentong Keluar Emas Perhiasan

CERITA PENDEK
DARI GENTHONG KELUAR EMAS PERHIASAN
Ketika masih kelas 2 SD dulu, sekitar tahun 78-an sebelum berangkat sekolah, aku harus mengisi genthong tempat air. Kebetulan kami masuk sekolah siang hari. Aku dan mbak Ika bekerja sama menimba air. Tali karet untuk menimba kami tarik bergantian, sehingga tidak terlalu berat.
Dua genthong air kami isi penuh. Genthong yang satu, ukuran besar airnya untuk memasak. Kadang-kadang untuk persediaan minum kalau kami kehausan dari bermain. Air genthong atau air langsung diambil dari sumur, bila diminum rasanya segar karena kaya mineral. Saat itu air dari sumber mata air aman diminum tanpa dimasak lebih dahulu.
Genthong yang kedua ukurannya kecil. Genthong ini diletakkan di bibir sumur, lalu diikatkan pada tiang dengan tali. Dua tiang sumur bagian atas dihubungkan dengan kayu. Kayu inilah untuk menempatkan katrol atau kerekan. Genthong kedua digunakan untuk persediaan air wudhu. Kami menyebutnya dengan sebutan padasan.
Bagi masyarakat Yogya saat itu, bila memiliki air dalam genthong merasa lebih nyaman dan ayem. Rata-rata hampir tiap keluarga atau tiap rumah memiliki genthong tempat air. Waktu itu dunia plastik belum merajai seperti sekarang ini. Ember yang digunakan juga dari karet atau dari seng. Kalau bukan ember besar dari seng yang digunakan untuk mencuci pakaian, biasanya orang memiliki pengaron. Pengaron atau tempat air dari tanah liat (gerabah).
Setelah plastik mulai dikenal masyarakat, pengaron dan genthong juga mulai ditinggalkan. Akan tetapi Ibu dan Bapak tetap menggunakan genthong sebagai tempat menyimpan air.
“Orang-orang sudah tak lagi menggunakan genthong, Bu.”kataku
“Biarlah. Memang resiko pecah sangat besar. Tapi selagi tidak kena pukulan atau hantaman, genthong ini tidak akan pecah.”
“Pakai ember plastik saja, Bu.”
“Terlalu sayang bila tidak digunakan.”
Aku diam, tidak menanggapi Ibu lagi. Sewaktu keluarga pindah rumah, genthong tersebut juga dibawa. Genthong besar tetap diisi air, sedangkan genthong kecil tidak digunakan untuk padasan lagi. Genthong kecil ini digunakan Ibu untuk menyimpan beras. Genthong ditutup dengan tutup semacam cowek (cobek) dari tanah liat ukuran besar.
Usia genthong yang dimiliki Ibu dan Bapak hampir sama dengan usiaku, yakni empat puluh tiga tahun. Sekarang dua genthong tersebut merupakan barang kuno dan antik. Genthong kecil sekarang berada di dalam kamar Ibu dan Bapak. Tidak lagi digunakan untuk menyimpan beras. Aku sendiri tidak tahu untuk apa. Bagaimanapun aku harus menghargai Ibu dan Bapak. Aku tak ingin menyakiti mereka dengan meremehkan barang masa lalu.
Genthong besar ditempatkan di depan rumah. Diisi dengan air separo wadah, digunakan untuk memelihara beberapa ekor ikan. Aku dan saudara-saudara membiarkan Ibu dan Bapak dengan kesukaannya/klangenannya. Toh, dengan merawat genthong dan ikan, mereka tidak merepotkan anak-anak.
00000
“Mia, aku mau bicara. Kamu bisa pulang ke rumah Ibu dan Bapak, bukan? Diusahakan ya. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata mbak Nana dari telepon.
“Ya, insya Allah aku pulang.”
Ada apa dengan Ibu dan Bapak? Kok tiba-tiba aku disuruh pulang? Aku pulang sendiri, suami dan anak-anak aku tinggal. Semoga anak-anakku tidak rewel. Aku tidak mereka-reka apa yang sudah terjadi di rumah Ibu. Nanti kalau sudah sampai kampung kelahiran semua juga akan terjawab.
Sampai di rumah Ibu dan Bapak, suasana juga tenang seperti hari-hari biasa. Alhamdulillah Ibu dan Bapak sehat wal afiat. Doaku setiap hari memang tak berlebihan, hanya mohon kepada Allah agar Ibu dan Bapak dititipi kesehatan lahir dan batin. Dengan sehat Ibu dan Bapak tentu akan lebih sujud dan syukur.
Mbak Nana mengatakan bahwa Ibu ingin menunaikan ibadah haji.
“Alhamdulillah, kita bersyukur,”kataku.
“Biaya dari mana, Mia? Tahun ini Bapak baru saja pulang haji.”
“Percayalah, mbak Nana. Ibu tak akan membebani anak-anaknya. Pasti Ibu akan memberi kejutan pada kita.”
Malam harinya, Ibu mengungkapkan kepada kami, anak-anaknya bahwa beliau ingin menunaikan rukun Islam kelima itu. Bagiku semua itu masuk akal saja dan bukan mustahil. Lalu Ibu mengajak aku dan saudara-saudara perempuanku masuk ke dalam kamarnya.
Ibu membuka genthong. Dari dalam genthong, Ibu mengeluarkan tempat perhiasan sederhana. Dalam hati aku berdecak kagum. Ternyata Ibu memiliki tabungan emas. Emas-emas tersebut Ibu beli sedikit demi sedikit.
Dari dalam genthong itu juga, Ibu mengeluarkan surat-surat pembelian perhiasan tersebut. Dari perhitungan kedua kakak perempuanku, emas-emas Ibu tersebut bila dijual cukup untuk biaya naik haji.
Terjawab sudah rasa penasaranku kemarin. Aku memang sudah tahu sejak awal kalau Ibu memiliki perhiasan emas. Tapi di luar dugaanku, tabungan emas Ibu jumlahnya banyak. Dulu Ibu pernah mengatakan bahwa tabungan emas tersebut untuk berjaga-jaga di hari tuanya. Ibu tidak ingin memberatkan anak-anaknya.
00000
Genthong, ya genthong milik Ibu adalah tempat untuk menyimpan uang dan perhiasannya. Aku tahu dan paham sekali siapa Ibu. Seumur-umur, Ibu belum pernah menyimpan uang di bank. Kata Ibu daripada disimpan di bank, lebih baik uang tersebut dibelikan perhiasan. Tapi kalau uangnya cuma sedikit, biasanya disimpan dalam rupiah dan dimasukkan dalam genthong.
Aku ceritakan semua ini pada temanku. Beliau tertawa, tawanya tak mengandung olok-olok atau ejekan. Beliau tertawa karena dia sendiri juga melakukan hal yang sama.
“Bu Mia, aku juga menyimpan uang dan perhiasan dalam genthong. Bahkan genthongnya juga untuk menyimpan beras.”
Setelah diberi tahu cara menyimpan perhiasan dalam genthong yang berisi beras, aku tertawa. Boleh juga idenya. Menyimpan barang berharga di dalam rumah tapi tak khawatir terendus pencuri.
Aku jadi ingat dengan kebiasaan Ibu mertua yang menyimpan uangnya di dalam genthong berisi beras. Genthong yang dibiarkan berada di luar kamar. Tak ada orang yang curiga kalau genthong itu berisi uang. Ibu tak khawatir meninggalkan rumah beserta rupiahnya. (SELESAI)
Karanganyar, 2 Juni 2015
Cerita ini terinspirasi dari beberapa orang yang menggunakan genthong sebagai wadah air, menyimpan beras, rupiah dan perhiasan.
Cerita ini juga tayang di : http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/dari-genthong-keluar-emas-perhiasan_559532efce92737c048b4568