Selasa, 23 Desember 2014

Ayam Bakar Dilengkapi Sambal Ala Masakan Padang


Gambar 1. Mbak Sarmi, Ibu Suka Bisnis "Ayam Bakar"
Baru tiga bulan, mbak Sarmi berjualan ayam bakar. Sebelumnya mbak Sarmi dan suami berjualan Soto Lamongan. Sayang usaha tersebut umurnya pendek. Sebenarnya lokasinya strategis. Hanya saja kebetulan di sekitar tempat berjualannya sedang ada pembangunan. Pembangunan yang memakan waktu lama. Dengan alasan polusi udara sangat mengganggu, maka usaha ini berhenti. 
Usaha berikutnya adalah berjualan dawet. Usaha ini juga tidak lama, karena tidak laku. Setelah memutar otak, mbak Sarmi dan suaminya mencoba peruntungan dengan berjualan ayam bakar.
Tempat usaha yang dipilih adalah Jl. Raya Solo-Tawangmangu. Tepatnya di depan Makam Pahlawan Kota Karanganyar, sebelah timur jembatan Siwaluh. Mbak sarmi hanya menggunakan gerobak lalu diberi deklit/terpal tipis. Ada meja dan kursi yang disediakan untuk pelanggan yang sedang menunggu pesanannya dimasak.
Gambar 2. Gerobak Tanpa Nama
Beberapa kali anak saya membeli ayam bakar mbak Sarmi. Sayang, gerobak untuk berjualan tersebut dipasang MMT tapi tidak ada namanya. Hanya ada tulisan ayam bakar, nomor hp dan foto ayam satu porsi ayam bakar beserta nasinya.
Gambar 3. Suami Membakar Ayam
Kebetulan anak saya yang baik hati ini juga memikirkan saya. Saya diberi satu porsi. Setelah saya rasakan, ada perbedaan antara ayam bakar yang ini dengan yang lain. Perbedaan itu terletak pada sambalnya.
Menikmati ayam bakar dengan sensasi tersendiri. Sambalnya khas sambal masakan padang, Lombok ijo. Bagi yang belum terbiasa dengan sambal masakan padang mungkin tidak cocok. Akan tetapi lidah saya ternyata tidak menolak.
Tapi kok ayam bakar dengan sambal ala masakan Padang? Ternyata mbak Sarmi dan suaminya adalah lulusan karyawan rumah makan Masakan Padang “Rama”. Mbak Sarmi sebagai tukang masak dan suaminya melayani pembeli. Lebih dari 10 tahun suami mbak Sarmi bekerja di Rumah makan tersebut. Mbak sarmi sendiri kurang dari 10 tahun.
Mereka jadi terbiasa dengan hal-hal yang berbau Masakan Padang. Tidak salah mereka memilih sambal Masakan Padang untuk menu ayam bakarnya. Akan tetapi bila kebetulan lomboknya berwarna merah, maka cirri khas Masakan Padangnya hilang. Yang ada sambal tomat pedas manis seperti sambal pada umumnya.
Satu porsi ayam bakar dan nasi dijual mulai dari enam ribu lima ratus rupiah sampai sebelas ribu rupiah. Pada awalnya mbak Sarmi hanya menyediakan 1 kg daging ayam. Sekarang setelah penjualannya mulai ramai, sehari mbak Sarmi bisa mengabiskan daging ayam sebanyak 7-8 kg.
Mbak Sarmi mulai berjualan jam sepuluh pagi sampai jam sampai malam. Akan tetapi biasanya sebelum jam Sembilan malam dagangan sudah habis. Suatu hari saya datang untuk membeli ayam bakar. Waktu itu sekitar jam lima sore. Ternyata mbak Sarmi dan suami sudah bersiap untuk pulang karena dagangannya sudah habis.
Saya sempat mengobrol dengan mbak Sarmi dan suaminya. Katanya lebih senang mandiri berwirausaha daripada ikut orang lain. Semoga sukses selalu dan pertahankan ciri khas ayam bakarnya yaitu dengan sambal ala Masakan Padang.
Karanganyar, 23 Desember 2014

Senin, 22 Desember 2014

Ingin Selalu Bersama Mama


Aku ingin selalu bersama keluarga. Tidak hanya di akhir pekan saja. Aku ingin setiap hari bisa menikmati waktu bersama ayah, mama dan adikku.
Ayah dan mama bekerja sebagai guru. Ayah sangat sibuk. Setiap hari, sepulang mengajar ayah selalu keluar untuk melakukan kegiatan olah raga. Kalau mama tidak begitu sibuk. Mama selalu menyempatkan untuk berkumpul bersama anak-anak.
Kadang aku berpikir, jaman sekarang orang tua sibuk mencari nafkah itu biasa. Tapi mama berbeda. Sesibuk apapun pekerjaan mama bila waktunya harus bertemu dengan aku dan adikku bisa jadi pekerjaannya ditinggal.
Mama memang luar biasa. Apa saja bisa mama lakukan sendiri. Barulah kalau mama tidak sanggup melakukan suatu pekerjaan, mama akan minta bantuan ayah.
Pagi hari, mama sudah menyiapkan segalanya untuk kami sekeluarga. Aku tinggal menikmati teh hangat tanpa harus memasak airnya. Aku akan menikmati sarapan tanpa harus menanak nasi. Berangkat ke sekolah, aku dan adik diantar ayah. Kebetulan aku sekolah di mana ayah mengajar.
Sebelum pergi untuk mengajar, mama selalu membereskan semuanya terlebih dahulu. Aku pulang sekolah tidak sama waktunya dengan ayah. Aku selalu mampir dulu ke rumah temanku, Mutia. Rumah Mutia dekat dengan sekolah. Tidak hanya aku yang sering menumpang menunggu jemputan orang tua. Teman-temanku yang lain juga menumpang untuk beristirahat. Daripada pulang lalu balik lagi untuk mengikuti les pelajaran tambahan.
Kalau sudah waktunya ayah atau mama pulang dari mengajar, aku mengirim pesan pada beliau untuk menjemput. Yang sering menjemput aku adalah mama. Sepertinya mama tidak mau kehilangan momen ini. Mama selalu bercerita itu. Mama tidak akan membiarkanku bersusah payah untuk sampai di rumah.
Bila saatnya les, mama akan mengantar. Lalu bergantian dengan ayah menjemputku di tempat les. Setelah di rumah, pasti mama mendekatiku sekedar mendengarkan aku bercerita tentang apa saja yang terjadi selama sehari ini.
Mungkin aku terlalu dekat dengan mama. Kalau aku berbagi cerita dengan teman-teman, biasanya mereka bilang aku dekat dengan mama. Dan aku bangga itu!
Bila suatu saat ayah mendapat tugas ke luar kota beberapa hari, aku tak perlu risau. Karena biasanya ayah hanya mengantar aku sekolah. Urusan yang lain tetap mama yang melakukan. Suatu hari mama akan mengikuti pelatihan. Beberapa hari mama harus menginap karena jadwal pelatihan selesai sampai sepuluh malam. Pelatihan diadakan di Tawangmangu. Untuk pulang ke rumah, jelas itu tidak mungkin.
Jelas aku kalang kabut. Aku tidak yakin alias meragukan ayah. Apa-apa aku lakukan sendiri. Cuci baju, seterika, membeli makan, aku kerjakan sendiri. Belum lagi aku harus menyediakan keperluan dan seragam adik kecilku.
Hanya empat hari ditinggal mama, tapi serasa lama sekali. Dan ini yang paling membuatku lebih menyadari : betapa sayang dan perhatiannya mama pada keluarga. Mama mengikuti pelatihan hari Senin-Kamis. Hari Selasa mama mengirim pesan pada ayah, seragam adikku yang dikenakan adalah hijau. Hari Rabu mama tidak mengirim pesan tentang jadwal seragam adikku. Aku sendiri juga tidak hapal (tidak pernah memperhatikan), ayah juga tidak hapal.  Adikku mengenakan seragam biru kotak-kotak.
Ketika ayah menjemput adikku, Bu Lastri (Bu Guru sekaligus yang mengelola tempat penitipan anak) bercerita kalau tadi pagi seragamnya keliru. Seharusnya putih-putih, bukan biru kotak-kotak. Karena adikku menangis, mungkin malu seragamnya salah, maka Bu Lastri memberikan seragam baru lagi yang putih-putih. Padahal memakai biru juga tak apa-apa.
Ayah tidak bercerita pada mama soal seragam yang keliru. Hari Kamis mama mengirim pesan, hari ini adik memakai seragam olah raga. Sukses!

Hari ini mama selesai mengikuti pelatihan dan pulang ke rumah. Mama membawakan kami jeruk baby yang super manis. Sore hari, mama mau menyeterika seragam. Anehnya, kata mama kok seragam olah raga adik ada di almari. Padahal tadi dipakai untuk olah raga. Ternyata ayah salah mengambilkan. Seragam olah raganya memang sama. Tapi tulisan di punggung berbeda. Dan adik bukan mengenakan seragam TK-nya melainkan seragam olah raga dari penitipan anak. Ternyata mama lebih teliti daripada ayah.

Jumat, 05 Desember 2014

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Upacara Peringatan Hari Guru dan HUT PGRI










Ibu/Bapak Guru juga bisa Menjadi Petugas Upacara lo
Karanganyar, 5 Desember 2014

Rabu, 03 Desember 2014

Kurikulum 2013 Jalan Terus!


Bapak Kepala Sekolah mengajak bincang-bincang kecil dengan sebagian guru-guru dengan santai. Pertama kali yang mendapat pertanyaan adalah Painem Mursalin.

“Bu, menurut penjenengan, K13 ini tetap jalan atau bagaimana?”
“Jujur mawon Pak. Saya kembali ke KTSP. K13 itu bagus, bagus untuk siapa? Ada pendidikan karakternya masuk di dalamnya. (RPP-ne sadampyak. Gawe RPP 1 materi saja, anak dan suami sudah disuruh beli makan sendiri, cuci pakaian sendiri dan seterika sendiri. La kalau buat beberapa materi, beberapa RPP pada kukut semua nanti). 

Apa jaman dulu gak ada pendidikan karakter? Malah jaman dulu orang berbudi pekerti bagus. Sekarang ini guru dengan sekuat tenaga memberikan teladan berkarakter yang baik (we kuwi gajine sithik, la wong mulang neng swasta). Lantas kok anak menjadi tidak berkarakter? Jangan hanya menyalahkan guru dan sekolah. 

Orang tuanya sudah berkarakterkah? Lingkungannya adalah lingkungan yang baikkah? Tontonannya adalah yang sesuai dengan yang kita inginkankah?

Ini Pak, kalau baca status orang-orang, tapi ada benarnya : guru digaji sedikit untuk memperbaiki karakter anak. Artis digaji banyak untuk merusak karakter anak. (Miris banget)”

Jaman dulu, dulu sekali po yo pakai K13. Mantan presiden RI yang jenius itu dulu tidak memakai K13. Menteri yang mencanangkan K13 juga tidak pakai K13. Mereka pandai dan berkarakter. Dokter-dokter jaman dulu itu juga pandai, padahal bukunya pakai buku turun temurun.

K13 itu cocok untuk murid-murid pandai yang punya rasa ingin tahunya besar. Kalau untuk murid-murid yang sekolah saja sepertinya enggan (mau sekolah saja, guru BP harus mencari anak-anak didiknya di pasar, di terminal, di tempat hiburan, di Tawangmangu atau di kebun teh, terus piye, jal?) itu belum pas.

Kesimpulannya kalau di sekolah kita bagaimana? Seorang Bapak yang sudah senior berpendapat. Kalau K13 dipaksakan, muridnya pada stress. Gurunya tidak jadi mulang, membuat administrasi sadampyak, belum lagi penilaiannya yang rumit. (sambil menggeh-menggeh). 

Pakai KTSP tapi juga pakai 5M (mengamati, menanya, mengasosiasi, mengkonfirmasi dan mengomunikasikan).

Maaf, judulnya tidak sesuai dengan isinya.


Karanganyar, 3 Desember 2014