Sabtu, 03 Oktober 2015

Baktiku Pada Suami

Gambar 1. Faiq di PG Tasikmadu, Kab. Karanganyar
(Sumber : dok. Faiqah Nur Fajri)
Ketika mau menikah dengan suami tahun 1999, aku mengajar di SMU Negeri I Blora di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kebetulan aku ikut kakakku yang pertama, yaitu Mas Inung. Sedangkan suami waktu itu sudah diangkat menjadi PNS, mengajar olah raga  di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Setelah menikah, kami tidak serta merta tinggal serumah. Aku harus menyelesaikan tugas mengajarku hingga kenaikan kelas. Jadilah, meski sudah menikah kami pacaran jarak jauh.
Awal-awal pernikahan suami sudah mempunyai niat untuk membantu saudaranya (sepupu) meringankan beban dengan membayari SPP. Bagiku tidak masalah, semoga kelak menjadi ladang amal buat kami sekeluarga. Kebiasaan membantu saudara atau siapa saja berlanjut hingga sekarang. Bahkan yang kami bantu bukan famili.
Dua bulan setelah menikah, aku merasakan lemas, tidak bergairah, nafsu makan berkurang drastis. Biasanya dulu kalau tidak nafsu makan aku sering makan salak. Tapi kali ini tidak selera makan salak, umbi-umbian, nasi, dan semua makanan. Aku tidak merasakan mual atau muntah. Penasaran dengan keadaanku, aku berinisiatif ke Puskesmas untuk memastikan “ada apa denganku?”. Alhamdulillah, aku positif hamil.
Perhatian suami, mertua, dan ipar-iparku bertambah. Karena aku mengandung calon cucu pertama, maka ibu mertua memberikan perhatian yang berlebihan. Aku tidak minta ini-itu, karena aku tidak bernafsu untuk makan. Akan tetapi justeru ibu mertua yang menawariku macam-macam makanan.
Satu lagi yang membuatku tambah tidak bernafsu makan yaitu bau lingkungan rumah mertua yang tidak sedap. Kebetulan di rumah mertua ada sapi, ayam, dan burung dara sebagai hewan ternak. Bau tidak sedap itu berasal dari kotoran hewan dan pakan sapi  dari ampas singkong dan ampas tahu.  
Suatu hari aku pulang ke rumah orang tua kandung ke Yogyakarta. Kebetulan Ibu masak nasi kuning. Satu piring nasi kuning beserta lauknya ludes aku lahap. Setelah  kembali ke Karanganyar, aku tidak bernafsu makan lagi. Aku berpikir, kalau tidak memaksakan diri untuk makan kasihan bayi dalam kandunganku. Pasti dia akan kekurangan gizi. Dipaksa-paksakan, akhirnya doyan makan juga.
Ujianku  tidak hanya nafsu makan berkurang, setelah kembali ke Blora untuk mengajar aku mengalami pendarahan. Itu berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Aku berdoa semoga Allah berkenan memercayaiku untuk merawat dan membesarkan bayiku hingga lahir kelak dengan selamat. Aku memang sangat kuatir sebab berada di Blora tanpa suami. Yang ada kakak laki-lakiku dan isterinya. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.  Aku dan kandunganku sehat.
Tiba saatnya kenaikan kelas, berarti aku pindah dari SMU I Blora dan mengikuti suami tinggal di Karanganyar. Lega rasanya bisa berkumpul dengan suami. Tak ada lagi rasa sepi dan sendiri. Karena setiap aku membutuhkan sesuatu tidak lagi mencari sendiri seperti saat berpisah dengan suami.
Ketika usia kandunganku 5 bulan, aku mengalami pendarahan lagi. Bidan yang memeriksaku berpesan untuk hati-hati dan aku diberi obat penguat (penguat rahim, barangkali). Setelah seminggu akhirnya berhenti juga pendarahanku. Aku sempat kuatir. Ada apa dengan kandunganku? Aku lebih hati-hati menjaga kesehatanku.
Aktifitasku tidak berkurang. Mengajar di sekolah SMK membuat hidupku lebih berarti. Mengamalkan ilmu yang aku miliki sebagai amal jariyah. Insya Allah pahalanya mengalir terus. Sayangnya, hobi menulis buku harian berhenti total. Padahal kalau aku mau rutin menulis seperti kebiasaanku sejak kelas 2 SMP sampai lulus kuliah, pasti tulisanku beraneka macam.
Selama hamil aku tidak meninggalkan kebiasaan membaca Quran. Akan tetapi kebiasaanku ini tidak diikuti suami. Sebenarnya lebih baik kalau setelah menikah ibadah kami lebih meningkat. Setelah berjamaah pahalanya lebih banyak, bukan? Aku tidak memaksakan diri. Aku tidak mau menggurui suamiku sendiri. Biarlah apa yang aku lakukan menjadi teladan saja.
Tahun 2000 adalah tahun kali pertama aku merayakan Idul Fitri bersama suami. Usia kandunganku saat itu 9 bulan, dan tinggal menunggu/menghitung hari saat melahirkan. Menunggu pagi, siang atau sore hari. Saudara-saudaraku waktu itu heboh, bahkan memarahiku.
Kandungan sudah tua masih saja nekad untuk pulang kampung, naik bis lagi. Ada yang bilang bagaimana kalau tiba-tiba kamu merasa mulas sewaktu di kendaraan atau perjalanan. Waktu itu aku hanya menjawab, kamu belum tahu rasanya bagaimana jauh dari keluarga sendiri? Berlebaran tidak dengan Ibu, Bapak dan saudara-saudara? Saudara-saudaraku sebenarnya tahu kalau aku paling dekat dengan Ibu. Maka aku heran ketika aku mudik, mereka tidak dimaklumi.
Seminggu setelah lebaran aku merasakan mulas. Beberapa masukan dari orang-orang yang sempat kuingat, yaitu kalau mengeluarkan air padahal tidak merasa kencing atau mengeluarkan bercak darah  itu pertanda akan melahirkan. Sekitar jam 2 malam aku mengalami keluar air tapi tidak kencing. Ternyata air yang keluar tidak sedikit, melainkan banyak (bukan air ketuban, orang Jawa mengatakan kembar banyu). Setelah itu keluar bercak darah.
Kebetulan tetangga kami bidan dan membuka klinik bersalin. Aku tidak perlu jauh-jauh untuk mendapatkan pertolongan. Sampai di klinik rasa mulas semakin sering dan aku tidak tahan. Mungkin mau melahirkan. Anehnya Ibu mertuaku juga ikutan stres, mual-mual.
Detik-detik akan melahirkan suami dan Ibu mertua juga berada di kamar bersalin. Aku tahu bagaimana mereka memberikan semangat, dukungan dan motivasi. Perasaan luar biasa setelah berjuang dan bayiku lahir secara normal dan sehat. Bayi perempuan dengan berat badan 3,75 kg. Bayi yang besar mengingat badanku saja kurus. Bisa menjadi gemuk karena selama hamil, setelah mau makan apa saja dimakan. Berat badan selama hamil naik 18 kg dari semula 39 kg menjadi 57 kg.
Aku dan suami sangat bersyukur karena anakku lahir sempurna. Kekuatiranku selama hamil tidak terbukti (maklum 2 kali pendarahan, kuatir kalau nanti terjadi apa-apa). Sewaktu masih dalam kandungan, suami mengidam-idamkan memiliki anak pertama laki-laki. Bahkan karena di dalam perut “gerakan anakku sangat aktif”, suami yakin anakku laki-laki.

Nama yang disiapkan juga nama laki-laki, Faiq (artinya istimewa). Begitu lahir perempuan maka akulah yang tetap mempertahankan nama itu untuk anakku. Faiqah Nur Fajri dengan panggilan kesayangan Faiq.
Karanganyar, 23 Pebruari 2014 - 3 Oktober 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar