Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 September 2024

Yu Simah (Cerpen)


Yu Simah pernah menghamburkan uang yang diterima dari suaminya ke hadapan suami. 


"Aku kelara-lara dibilang wong wedok angger nyekel duwit terus gage-gage le blanja."

"Seumur-umur, aku tidak pernah melakukan itu padahal aku bekerja. Dulu sebelum gaji masuk ke rekening, amplop gaji dari sekolah 100% diberikan padaku. Setelah dibagi-bagi sesuai porsi-porsinya, uang dari suami habis. Gajiku ikut terpakai untuk kebutuhan keluarga. Belum pernah sekali pun aku melemparkan uang di hadapan suami."


Yu Simah membela diri. Sayangnya Yu Simah tidak introspeksi. Sebagai tetangga yang telah kuanggap saudara, Yu Simah kalau curhat selalu tak mau mendengarkan masukan.


Pagi itu aku mengantar lauk dan sayur untuk makan siang. Wajah Yu Simah kusut.


"Ada apa?"

"Aku puas. Kemarin datang ke kantor suami. Aku ketemu pimpinannya."

"Kenapa?"

"Aku bilang pada pimpinannya bahwa suamiku dekat dengan temannya. Sering kirim pesan, saling membalas, dan kirim video-video nggak jelas."

"Terus?"

"Pimpinannya berjanji akan menyelesaikan semua itu."


Aku benar-benar tidak menyangka Yu Simah senekad itu.


Beberapa hari kemudian ketika aku sedang bersih-bersih halaman depan rumah, Yu Simah mampir.


"Yu, suamiku sekarang nggak mau ngomong. Kalau aku mendekat, dia langsung menjauh. Judheg aku."

"Kalau tidur masih seranjang, 'kan?"

"Sudah lama aku tidak tidur seranjang. Aku tidur di kamar, suami tidur di ruang tamu."

"Terus?"

"Dia tidak makan di rumah. Pagi berangkat tidak sarapan dulu. Malam hari juga tidak mau makan. Aku tawari suami cuma bilang sudah kenyang."


Sudah kubilang, jangan menyelesaikan masalah suami di sekolah. Begini akibatnya. Niatnya memberi efek jera, tapi salah langkah.


00000

Rabu, 04 September 2024

WARISAN


Saya tertawa kalau mendengar sekelompok orang yang asyik membicarakan warisan. Maklum, saya berasal dari keluarga tipis dan minimalis. Jadi, nggak usah ngarep warisan. Orang tua nggak punya utang saja syukur alhamdulillah.

Kalau bicara soal warisan, kita membayangkan adanya harta berupa tanah atau benda yang bisa dibagi. Sebelum harta dibagi, tentu harus diselesaikan dulu utang-utangnya. Setelah semua utang dilunasi, harta dibagi menurut perincian, wasiat dan warisan. 

Yang mendapatkan wasiat bukan ahli waris. Wasiat juga dibatasi ya. Beda lagi hibah. Hibah diberikan saat pemilik harta masih hidup.

Warisan dibagi menurut hukum Islam. 
 

Saya tidak ngarep warisan dari orang tua. Bisa beli tanah dan rumah sendiri ya alhamdulillah. Seandainya orang tua punya harta yang diwariskan, tentu saja jangan sampai menimbulkan konflik antara kakak adik.


Kalau orang tua punya harta yang akan diwariskan hanya sedikit, biasanya salah satu anak rela mengganti dengan uang untuk saudara lainnya. Orang Jawa menyebut norokki. Artinya harta tersebut dibeli salah satu penerima warisan. Uang yang ada sesuai kesepakatan dibagi.  Atau harta tersebut dijual ke orang luar. Uang hasil penjualan dibagi.


Warisan itu ibaratnya rezeki nomplok. Jangan sampai ada rebutan warisan, warisan membawa petaka, gara-gara warisan putus hubungan persaudaraan. 


00000

Jumat, 10 Maret 2023

Nonton Konser



Aku meninggalkan rumah untuk memberi les privat tetangga. Di rumah F2 tidur nyenyak. Suami sejak dari salat Jumat belum pulang.


Pulang dari memberi les, kulihat F2 masih tidur. Tak lama kemudian bangun lalu mencari ayahnya.


"Dari Jumatan tadi mama belum bertemu. Coba mama WA dulu."


Suami menjawab, "nonton konser, sayang!"


Hah, konser apaan? Di mana? Tumben!


Sekitar 10 menit kemudian, suami sampai rumah. F2 menyambut.


"Halah, nonton konser di lapangan tenis."


Ternyata "konser" di sini bermakna konotasi. Bukan konser musik, melainkan tenis lapangan. Rasanya pingin tak hehhhhh. Di sini serius, ditanggapi mbelgedhes.


00000

Rabu, 06 Oktober 2021

JANGAN ADA DUA PEREMPUAN YANG TERSAKITI



Laki-laki itu tiba-tiba muncul. Kehadirannya banyak dinantikan teman-temannya. Namun ada yang lebih menantikan kabarnya sejak lama setelah lebih dari 25 tahun berpisah. Laki-laki itu menyapaku lewat media sosial. Aku tak menanggapi dengan antusias.

"Kamu adalah lelaki di masa lalunya, bukan?" tanyaku setengah menuduh.

"Enggak juga. Kita cuma berteman biasa."

"Teman ada pletik-pletik? Bukankah kamu pergi meninggalkannya? Pergi tanpa pamit dan tak pernah berkabar."

"Aku punya alasan untuk pergi."

"Sebetulnya kalau kamu bilang sejak awal, tidak akan begini jadinya."

"Dengarkan aku dulu. Aku meninggalkannya karena orang tuaku tak merestui kami."

Aku diam. Aku perempuan, mantannya perempuan, dan istrinya juga perempuan. Aku tahu bagaimana hatinya saat perempuan disakiti. GHOSTING. Kamu pergi tak berkabar seperti hilang ditelan bumi. Saat itu belum ada media sosial. Fasilitas telepon juga hanya orang kaya yang punya. Tapi kamu masih bisa menyuratinya. Laki-laki pengecut!

"Aku harus bagaimana? Dia tiap hari meneleponku."

"Nggak usah diangkat atau katakan kalau kamu sibuk."

"Tapi dia kangen suaraku," kata lelaki itu ngeyel.

Preketek. Byuh. 

"Dia punya suami dan anak. Kamu juga punya kehidupan dengan istri dan anakmu. Tegaslah padanya. Kisah kalian telah berakhir. Kalau kamu menanggapi "rindu rindu dan melankolisnya" itu artinya kamu membuka cerita lama. Kalian memiliki peluang untuk selingkuh meski tidak secara fisik. Menurutku lebih baik blokir nomornya dan jangan pernah menghubunginya lagi."

"Tapi kita teman dan ada dalam satu grup."

"Maaf. Aku tidak setuju dengan apa yang kamu lakukan. Dulu kamu menyakiti hatinya. Sekarang kamu selingkuh, itu artinya menyakiti hati istrimu."

Setelah telepon ditutup, nomor laki-laki itu aku blokir. Maaf, sahabat. Kita memang bersahabat waktu merah putih, tapi aku tak suka dengan perbuatanmu. Sebagai perempuan aku melihat pertemuan yang kelak akan dilaksanakan akan membuat luka dua perempuan. Kamu khianati istrimu setelah bertemu mantan.

00000

Minggu, 04 Juli 2021

Dua Perempuan

 


Lia bergegas menuju rumah sakit setelah mendapat kabar bahwasanya Andri mengalami kecelakaan. Dengan perasaan tenang, perempuan itu meninggalkan tempat parkir. Tempat yang dituju adalah Instalasi Gawat Darurat. Orang yang pertama kali ditemuinya adalah adik ipar yang bekerja di dinas kesehatan. Lia menyapa dengan salam.

"Bagaimana kabar Mas Andri?"
"Dia baik-baik saja, Mbak. Hanya ada sedikit lecet di lengannya, tapi kondisinya baik."

Lia bertemu suaminya yang masih diberi pertolongan oleh tenaga medis. Di sana ada perempuan yang belum pernah ditemuinya. Perempuan itu tersenyum.

"Saya istrinya Mas Andri. Anda siapa?"
"Saya Ista teman Pak Andri."

Ista adalah nama perempuan yang pernah disebut-sebut Andri.

"Kok Anda bisa di sini?"

Perempuan itu diam. Mulutnya terkunci. Lia meninggalkan tempat itu. Hancur! Lia tak menyangka menjadi perempuan nomor dua yang tahu keadaan suaminya.    (Bersambung)

Cerita ini adalah fiktif belaka.

Sabtu, 03 Juli 2021

Gara-gara Inbox



Dua puluh lima tahun adalah waktu yang panjang dan lama.  Lia telah melupakan semuanya. Tak ada lagi cerita tentang mantan. Kubur! Bahagia dengan keluarganya sekarang adalah suatu anugerah. 

Untuk itulah, Lia kaget bukan main kala Andri bercerita tentang hal baru. Bukan tentang mantan, melainkan perempuan yang sedang punya masalah dengan suaminya.

"Jangan mau menjadi tempat dan teman curhat lawan jenis yang memiliki masalah dengan pasangannya. Kamu bukan orang ketiga, tapi kamu bisa menjadi sumber fitnah karena secara intens berinteraksi meski secara online. Hentikan!"
"Dia hanya curhat. Aku juga tidak ikut campur masalah keluarganya."
"Perempuan kalau hanya mengganggap sebagai teman, kenapa kamu dipercaya tahu permasalahannya. Lagian, kok dia bisa curhat padamu. Awalnya bagaimana?"
"Ya, saling menyapa lewat inbox dan pesan whatsapp. Dia teman satu sekolah."

Lia lemas. Nggak pernah menyangka sama sekali bila suaminya berkomunikasi dengan perempuan yang bermasalah. (Bersambung)

00000

Cerita ini fiktif belaka. 


Senin, 23 November 2020

Kesempatan Kedua

 


KESEMPATAN KEDUA

Kesempatan kedua itu akhirnya hilang begitu saja. Lia sudah tidak berharap bisa bersama Andi. Andi telah memilih perempuan lain yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Mungkin ini adalah jalan hidupnya. Lia harus mengikhlaskan orang-orang yang dicintainya pergi. Ardian pergi untuk selama-lamanya pada H-7 sebelum pernikahan mereka. Lalu Andi pergi darinya dan memutuskan menikah dengan perempuan yang lain.

Lia ragu-ragu untuk menghubungi Andi. Dia tidak ingin mengganggu kehidupan Andi. Akhirnya Lia memutuskan menelepon Andi. Dia cuma ingin bertemu, mungkin untuk terakhir kalinya. Setelah ini dia tidak akan mengganggu lagi.

“Ndi, aku Lia. Kamu ada waktu atau tidak hari ini?”

“Bisa. Di mana?”

“Tempat biasa. Warung bebek goreng. Jam berapa?”

“Sekarang juga bisa. Kamu tunggu. Aku jemput kamu saja.”

“Nggak usah. Aku langsung ke warung.”

“Ada yang kamu sembunyikan, Lia?”

“Nggak kok.”

“Ya, sudah. Aku jemput kamu!”

Tak lama kemudian Andi sudah sampai di teras rumah.

“Sudah siap?”

Lia mengangguk. Andi menggandeng tangannya. Mereka berpandangan. Ada gemuruh di dada Lia. Seharusnya Andi tak melakukan itu. Ketika turun dari kendaraan dan mereka berjalan pun, Andi menggandeng tangannya.

Sambil menunggu pesanan datang, keduanya menikmati kudapan yang ada di meja. Lia memasukkan smartphone-nya.

“Bagaimana acara keluargamu tempo hari?”

“Batal. Calon istriku ada keperluan mendadak dan tidak bisa datang. Jadi, acara ditangguhkan. Sekarang aku mau menunjukkan foto calon istriku. Aku sih berharap, sebagai sahabat, semoga kamu mendukung!”

“Nggak usah ditunjukkan, aku juga mendukung, kok.”

Rasanya perih banget ketika Andi memaksanya untuk melihat foto yang ditunjukkannya. Andi menunjukkan foto perempuan yang kelak akan dinikahinya. Lia tidak percaya, mukanya berkerut. Andi tersenyum..

“Lia, dulu aku kehilangan kesempatan untuk mendekatimu karena Mas Dian lebih dahulu mengungkapkan perasaannya padamu. Setelah Mas Dian tidak ada, aku berharap ada kesempatan kedua. Nyatanya kamu benar-benar menutup diri. Sebenarnya acara keluarga saat seratus hari meninggalnya Mas Dian, aku mau memperkenalkan kamu di hadapan keluarga. Ya, ternyata kamu kembali ke Surabaya dan sengaja mematikan smartphone.”

“Maafkan aku.”

“Jadi, kamu membuka kesempatan kedua untukku atau tidak?”

“Benarkah, tidak ada perempuan lain di hatimu?”

“Percayalah, Lia. Besok kita pulang minta restu orang tua dan mengurus administrasi.”

Lia menitikkan air mata bahagia.

“Nggak usah cengeng. Gitu aja nangis.”

00000

Baca sebelumnya: http://www.noerimakaltsum.com/2020/11/biarkan-aku-pergi-fiksi.html

Kamis, 12 November 2020

BIARKAN AKU PERGI [FIKSI]

 


FIKSI

 

BIARKAN AKU PERGI

 

Warung makan lesehan bebek goreng dan rica mentok ini warung favorit Lia. Tiga bulan sebelumnya Lia sering menghabiskan waktu makan siang bersama Andi di warung ini. Sayangnya, setelah kematian Ardian, kakak Andi, hingga tiga bulan kemudian mereka tidak pernah bertemu lagi.

Andi tak lagi bisa menghubungi Lia. Semua nomor kontaknya sengaja diblokir Lia. Lia juga tidak pernah menghubungi Andi. Mungkinkah Lia berkabung dalam waktu lama?

Hari ini mereka bertemu di warung makan lesehan ini. Lia menikmati bebek gorengnya. Kedatangan Andi tentu mengejutkannya.

"Kebetulan kita bertemu di sini. Ibu berharap pada peringatan 100 hari wafatnya Mas Dian, kamu bisa datang. Dalam waktu dekat, aku mau menikah. Jadi, sekalian nanti sekadar pemberitahuan pada family tentang rencana pernikahanku."

"Selamat, ya. Akhirnya kamu menemukan pendamping."

"Kamu bisa datang, kan?"

"Nanti aku usahakan."

Seharusnya Lia pulang hari ini. Tapi entahlah. Ponselnya sengaja dimatikan. Siapa pun tak bisa menghubunginya.

"Mas, semoga Allah mengampunimu, menerima amal kebaikanmu. Allah berikan tempat terbaik untukmu."

"Aku ikut senang, Andi telah menemukan pendamping hidupnya dan sebentar lagi menikah."

Lia membuka botol berisi air yang dibawanya dari rumah. Air dalam botol diguyurkan di atas makam Ardian.

“Mas, bulan depan aku akan mengunjungimu lagi. Aku pulang dulu, ya.”

Lia berdiri lalu membalikkan badan. Dilihatnya beberapa orang melewati tanah kosong menuju makam Ardian. Ada Andi, orang tua Andi, dan beberapa orang lainnya. Mereka tersenyum saling menyapa. Lia sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat.

"Lia, nanti mampir ke rumah Ibu, ya," kata ibu.

Lia hanya tersenyum, tak memberikan jawaban. Sampai di rumah, Lia membersihkan diri kemudian cepat-cepat pamit pada ayah dan ibu. Mereka berpelukan.

"Hati-hati di jalan, sayang. Kalau ada apa-apa, kamu hubungi ayah dan ibu, ya."

"Terima kasih, ayah, ibu."

Lia melepaskan pelukannya. Matanya penuh dengan air. Akhirnya matanya basah juga. Sebentar kemudian datanglah ojek online yang akan mengantarkannya ke stasiun. Selama dalam perjalanan, ponselnya dimatikan.

 

00000

 

Lia pantas mendapatkan semua itu. Perempuan mandiri, tegas, lembut, dan baik hati. Minggu depan dia akan melepas masa lajangnya dan menikah dengan orang yang tepat. Andi tersenyum.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?”

“Tidak ada apa-apa. Oh, ya, kamu ingin kado apa dariku?”

“Terserah kamu saja. Nggak usah yang mahal-mahal. Yang penting kamu harus datang di acara pernikahanku.”

“Tentu saja aku datang.”

“Secepatnya kamu menyusul, ya,” Lia terkekeh.

Lia mengucapkan kalimat itu karena Andi masih sendirian. Lia berharap Andi segera  mendapatkan pasangan hidup. Andi tersenyum dan mengusap kepala Lia. Lia pamit dan meninggalkan Andi ketika waktu mendekati kereta akan tiba di stasiun ini.

“Hati-hati. Kalau ada apa-apa hubungi aku, ya.”

00000

Dua jam kemudian Andi juga harus meninggalkan kota Surabaya. Andi mendapatkan kabar duka dari keluarga besarnya. Beberapa teman Andi menemani dan mengantar Andi. Tidak mungkin Andi pulang sendirian dengan naik angkutan umum atau travel. Kepulangan Andi sangat ditunggu. Pemakaman jenazah kakaknya menunggu kedatangan Andi.

Sebelum meninggalkan kota Surabaya, Andi menyempatkan diri salat ghaib. Perjalanan dari Surabaya sampai Karanganyar cukup lama. Pukul lima sore rombongan Andi sampai di rumah duka. Keluarga menyambutnya dengan tangis. Andi buru-buru masuk dan mendoakan almarhum kakaknya.

Beberapa orang siap mengangkat keranda. Teman-teman Andi menyingkir dan memilih beristirahat di salah satu tempat yang telah disediakan keluarga. Andi mencari sosok perempuan lembut dan keibuan yang tadi pagi diantarnya ke stasiun. Tiba-tiba adik perempuannya mendekati dan berbisik, “Mas, tolong dampingi Mbak Lia ke makam. Mbak Lia ingin memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.”

Andi mengangguk. Sebentar kemudian tangan Lia berada dalam genggamannya. “Yang sabar, ya, Lia.”

Mereka saling berpandangan. Genggaman tangan Andi lebih erat. Lia memang perempuan tegar, tabah, lagi sabar. Lia tetap kuat menghadapi kenyataan bahwa calon suaminya, yakni kakak kandung Andi pagi tadi meninggal karena kecelakaan.

Prosesi pemakaman telah selesai. Para pelayat telah meninggalkan makam. Di depan gundukan tanah, Lia dan Andi melantunkan doa. Mata Lia mulai membasah. Hari mulai gelap. Andi berdiri. Tangannya diulurkan ke arah Lia. Lia menyambutnya dan berdiri. Keduanya berjalan meninggalkan makam Ardian.

00000

Setelah cukup istirahat, malam itu juga teman-teman Andi harus kembali ke Surabaya. Lia berada di sebuah kamar. Kamar pengantin yang telah dipersiapkan oleh keluarga Ardian. Di dalamnya terdapat barang-barang seserahan. Barang-barang tersebut sebagian Lia dan almarhum beli bersama-sama. Namun, Lia tak menemukan kotak perhiasan. Mungkin Ardian telah menyimpannya dan akan dikeluarkan saat acara pernikahan itu tiba.

Lia tak menyadari sedari tadi Andi berada di depan pintu kamar. Andi mengetuk pintu sebagai tanda hormat.

“Ah, kau. Aku membutuhkan tempat untuk bersandar.”

Andi seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ada degup tak beraturan di dadanya.

Aku akan menjagamu sampai kau tak sendiri lagi. Aku tahu, ada luka dan air mata meskipun tak ada yang menyakiti. Maut telah memisahkan kalian.

Pagi itu Andi telah berada di depan makam Ardian.

“Mas, aku berjanji akan menjaga Lia sampai dia tak sendiri lagi.”

Andi mengambil ponsel dari dalam saku celananya. LIA.

“Ada apa, Lia?”

“Kamu sudah balik ke Surabaya atau masih di sini?”

“Aku berada di makam Mas Ardian.”

“Baiklah, tunggu aku di situ.”

Sebentar kemudian Lia datang. Lia memakai baju putih.

“Ndi, ayahmu meneleponku. Katanya ada yang akan beliau bicarakan. Kira-kira kamu tahu nggak yang akan disampaikan ayahmu?”

“Entahlah. Ayah dan ibu tak memberi tahu. Datanglah ke rumah agar kau tahu jawabannya.”

“Bersama kamu?”

“Kalau kamu datang sendiri, kenapa?”

“Bersama kamu biar lebih tenang dan nyaman.”

Sebelum bangkit, Andi berbisik. “Mas, aku pulang. Aku akan mengawal bidadarimu ke rumah kita, mau menghadap ayah dan ibu.”

Jarak antara makam dan rumah Andi tidak terlalu jauh. Mereka berjalan kaki.

“Apa yang kamu bisikkan tadi?”

“Nggak ada.”

“Bohong. Kudengar ada kata bidadari.”

“Lupakan. Kita sudah sampai rumah.”

“Sejak dulu kamu selalu begitu.”

Lia dan Andi menemui ayah dan ibu Andi. Andi meninggalkan mereka menuju taman belakang rumah. Andi tahu bagaimana perasaan Lia kehilangan calon suami menjelang hari pernikahannya. Berat! Tentu tidak mudah bagi Lia untuk melupakan kenangan manis bersama Ardian.

Beberapa waktu yang lalu, Ardian sempat minta pendapat Andi ketika akan memutuskan menikah dengan Lia.

“Lia orangnya baik, supel, mandiri, tanggung jawab, dan smart. Mas Dian nggak salah memilihnya sebagai calon istri.”

“Tahu Lia seperti itu, kok kamu diam saja dan dulu tak berusaha mendekatinya?”

“Aku tidak seberani dan senekat kamu, Mas. Tapi nggak apa-apa, kok. Aku akan tulus ikhlas menjaga Lia selama di perantauan.”

“Terima kasih, Ndi.”

00000

Butuh waktu yang cukup untuk mempertimbangkan hal-hal serius. Tidak mungkin mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. Cinta kadang tidak bisa datang dengan tiba-tiba.

Setelah tiga hari berada di rumah dan berkabung, Andi harus segera kembali ke Surabaya. Untuk memastikan Lia dalam keadaan baik, Andi berkunjung ke rumah Lia sebelum berangkat.

Orang tua Lia menyambut Andi dengan ramah.

“Dari pagi Lia belum keluar kamar. Mungkin Nak Andi bisa membujuknya untuk keluar,” kata Ibu.

Ibu mengantar Andi di depan kamar Lia.

“Nak Andi, Ibu tinggal, ya.”

“Ya, Bu.”.

Andi mengetuk pintu kamar.

“Lia, aku Andi. Aku mau kembali ke Surabaya. Kau baik-baik saja, kan?”

Lia membuka pintu. “Jangan kembali ke Surabaya dulu, Ndi. Temani aku barang sehari.”

“Kamu kenapa? Kau baik-baik saja, kan?”

“Aku ingin kau menjagaku hingga maut memisahkan kita.”

“Lia, kau jangan memaksakan diri. Cinta tidak bisa dipaksakan, Lia. Kau bebas memilih, tapi bukan berarti harus memilih aku, adiknya Mas Ardian.”

“Baiklah, kembalilah kau ke Surabaya hari ini dan jangan pernah lagi menginjakkan rumah ini.”

Andi secepat kilat meraih tangan Lia sebelum Lia menutup pintu kamarnya.

“Kamu kenapa, Lia? Kamu menangis. Aku tahu, betapa besarnya cintamu pada Mas Dian. Kau pasti sangat kehilangan Mas Dian. Tenangkan pikiranmu dulu. Jangan cepat-cepat  mengambil keputusan.”

“Pergilah, Ndi. Jangan kembali!”

 Andi lelah, Lia telah memblokir semua kontaknya.

00000

Sebenarnya Andi akan memberikan kejutan pada Lia setelah 100 hari meninggalnya Ardian. Tapi sayang, Lia tak pernah tahu perasaan lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya selama 3 tahun di SMA. Sebab Andi tak pernah mengatakan sesuatu padanya. Lia mengira Andi menikah dengan gadis lain.   

Rabu, 05 Desember 2018

KETEMU MANTAN DI KANTOR PENGADILAN AGAMA

Aku berusaha menguatkan temanku. Kuat, kamu harus kuat. Jangan ada air mata dalam drama ini. Kamu berani mengambil keputusan, berarti kamu sudah menyiapkan mental.

Aku duduk di ruang tunggu. Kulihat muka-muka kusut dan murung memenuhi ruang tunggu. Mungkin keberadaan mereka di sini dengan tujuan yang sama, yaitu mengurus perceraian.

Kantor Pengadilan Agama adalah tempat menakutkan bagiku. Masalah keluarga yang tak lagi bisa diselesaikan dengan kepala dingin, akan berakhir di sini. Seperti halnya Diva, teman dekatku. 

Kubuka buku yang aku bawa dari rumah. Untuk mengisi waktu luang, kusempatkan membaca beberapa lembar halaman. Paling tidak, aku tidak menganggur.

Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang tak asing di telingaku. Laki-laki yang pernah meninggalkan luka di hatiku. Ada apa dengan laki-laki itu? Mengapa dia berada di sini? Aku yakin, dia memiliki urusan sendiri. Tidak mungkin dia sedang mencariku karena suatu kepentingan.  

Laki-laki itu memandangku. "Maharani, ada apa kamu di sini?"
"Tidak apa-apa. Kamu sendiri, kenapa berada di sini?"
"Mau sidang. Hari ini adalah pembacaan keputusan."
"Oh!"

Oh, ternyata usia pernikahanmu yang baru seumur jagung, harus berakhir di Pengadilan Agama. Semoga hari ini kamu mendapatkan keputusan yang terbaik. Ternyata menikah bukan sekadar adanya ijab qobul, melainkan banyak yang harus dipertimbangkan.

Terima kasih, dulu kamu telah memberikan luka. Beruntung aku, hubungan kita berakhir di saat pendekatan. Andai telah terjadi pernikahan, pasti aku lebih terluka.

Jumat, 21 September 2018

MENYITA HP PELANGGARAN HAM

Hari kedua setelah diberhentikan mengajar, Maharani dikirimi pesan lewat WA maupun SMS beberapa temannya. Isinya: Maharani jangan mengirim pesan lewat WA. Kalau bisa semua chat dalam grup dihapus dan sebagai admin Grup Kwek-Kwek membubarkan grupnya. 

Maharani tidak habis pikir, ada apa dengan Vijay sampai-sampai HP semua warga perguruan disita? Bukankah sekarang Maharani sudah tidak  berada di perguruan? Apa hubungan Maharani tidak lagi bekerja dengan penyitaan HP semua warga perguruan?

Ternyata Vijay ingin tahu pembicaraan antara Maharani dengan warga perguruan. Vijay penasaran! Kalau sampai membaca chat pribadi berarti itu pelanggaran Hak Azazi Manusia, itu bisa dilaporkan pada yang berwajib.

Maharani itu siapa? Mengapa Vijay melakukan tindakan penyitaan HP? Apakah Vijay ketakutan atau ingin tahu dengan apa yang disampaikan Maharani pada teman-temannya. Jangan salah duga, Vijay. Pesan yang disampaikan pada Maharani semua biasa saja. Tidak ada nada marah, kecewa, ancaman dan sebagainya. 

Penyitaan Hp tersebut hingga malam hari. Setelah Isya' HP semua warga perguruan dikembalikan. Dengan perasaan yang biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, warga perguruan pulang.

Satu yang mereka ingat, sebelum menyita HP, Vijay marah-marah. Nah, tindakan cerdas salah satu warga perguruan adalah merekam semua yang diucapkan Vijay dalam keadaan marah selama lebih satu jam.

Maharani di rumah selonjoran sambil menulis, tersenyum. "Aku yang di sini tenang-tenang saja. Kamu di sana kok masih pusing memikirkan aku, Vijay? Mungkin namaku telah terlanjur terukir di relung hatimu, Jay. Maafkan aku, kamu tak bisa melupakan aku." 

AKU BISA MAKAN TANPA KERJA DI KANTOR ITU

Namanya juga orang kecewa dan kesal maka wajarlah kalau Pak Kapoor marah-marah. Mencaci dan mengumpat tanpa bisa dikendalikan. Meskipun Maharani sudah menahannya dengan kalimat yang menenteramkan tapi Pak Kapoor masih terbawa emosi.

+ Vijay bilang, aku mau makan apa kalau tidak bekerja di kantor itu. Akan aku buktikan kalau rezeki yang menjamin Allah. Dia dan kantor tidak memberi rezeki kepadaku. Tidak bekerja di kantor itu bukan berarti aku lantas tak bisa makan.

Maharani tetap memberikan masukan. Boleh saja Pak Kapoor marah-marah, tapi tetap tahan omongannya. Jangan sombong dan banyak omong, yang penting buktikan. Lakukan yang terbaik. Lebih baik bertindak nyata daripada banyak omong.

Maharani jadi ingat ketika suatu hari dia dipanggil Vijay. Di situ ada Pak Kapoor juga. Vijay bilang,"Anda mau makan apa kalau tidak kerja di sini?"

Maharani tersenyum. Rezeki yang menjamin Allah. Kalau dia tidak bekerja di kantor itu, masih ada penghasilan dari menulis. Masih ada suami yang setiap hari memberi makan untuk keluarganya. Maharani tidak perlu banyak omong dan menyombongkan diri. Benar, ketika Maharani diberhentikan dari pekerjaannya, Alhamdulillah sampai hari ini masih tetap bisa makan. Allah telah menjamin rezekinya.

Burung saja sudah dijamin rezekinya. Pagi hari dalam keadaan lapar, burung meninggalkan sarang dan sore hari pulang dalam keadaan kenyang. Siapa yang menjamin rezeki burung?

Manusia bisa berpikir, manusia bisa bergerak dan manusia bisa berupaya. Selama ada kesempatan, manusia bisa menjemput rezekinya.

Kamis, 20 September 2018

MENANAM FITNAH MENUAI FITNAH

Dengan santainya, malam itu Maharani mengirim pesan lewat WA pada Pak Kapoor.

= Selamat malam, Pak Kapoor. Apakah benar, Anda mengundurkan diri dari kantor?"
+ Betul, Bu Maharani. Saya tidak terima difitnah. Saya difitnah lagi oleh Vijay. Katanya saya selingkuh dengan istrinya. Daripada saya bekerja tidak nyaman, lebih baik saya resign. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
= ya. Fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Saya adalah salah satu korbannya. Saya telah difitnah dan saya tidak keluar melainkan dikeluarkan dari kantor.

Mungkin Pak Kapoor memahami kata-kata Maharani. Maharani difitnah Vijay dan Pak Kapoor adalah salah seorang di antara 3 orang yang menandatangani surat yang berisi fitnah tersebut.

Mungkinkah Pak Kapoor telah lupa dengan apa yang telah dia lakukan terhadap Maharani? Entah itu dengan alasan dipaksa, ditekan atau di bawah ancaman, secara tidak langsung Pak Kapoor membenarkan apa yang ditulis oleh Vijay adalah benar. Ada 7 fitnah yang sengaja ditulis oleh Vijay. Maharani tidak melakukan semua itu. 

Maharani telah memaafkan 5 orang yang menandatangani kertas-kertas itu. Dia telah memaafkan mereka tapi biarlah Allah Hakim Yang Seadil-adilnya memberikan balasan. Apakah ini yang dinamakan hukum karma? Bukan, ini bukan hukum karma. Ini adalah hukum alam, sapa nandur bakal ngundhuh. (SELESAI)

RESIGN KARENA DITUDUH SELINGKUH

“Mulai hari ini saya resign.”
Pak Kapoor beranjak dari tempat duduknya. Dia membuka pintu lalu keluar ruangan. Dia menutup pintu dengan cara membantingnya. Dher! Dia mengemasi barang-barangnya dengan perasaan dongkol. Dengan mengendarai sepeda motor, Pak Kapoor meninggalkan perguruan.
Tak dihiraukannya sapaan teman-teman yang berada di ruang tamu kantor. Kepergian Pak Kapoor tidak bisa dicegah. Orang-orang yang berada di ruang tamu saling berpandangan. “Pak Kapoor nesu tenan.”
Beberapa saat kemudian Pak Kapoor mengirim pesan lewat WA grup .
“Mulai hari ini, aku keluar. Aku dituduh selingkuh dengan istrinya. Sungguh menyakitkan!”
Reema mengernyitkan keningnya. Mosok Kapoor dituduh selingkuh sama Laksni, istri Vijay? Yang benar saja? Walah, Vijay terlalu pede, dia menilai istrinya paling cantik sedunia. (SELESAI)

Rabu, 30 Mei 2018

NIKAH SIRI


Pulang dari mengajar, aku kaget mendapatkan istriku membukakan pintu untukku dengan wajah cantik. Wajah cantik yang tidak seperti biasanya. Istriku tidak suka berdandan. Bahkan saat mengajar atau acara resmi pun hanya berdandan tipis-tipis. Hanya bedak dan lipstrik yang menghiasi wajahnya.

Aku tidak perlu bertanya. Mungkin dia hanya ingin tampil beda saja. Atau mungkin dia memberi kejutan padaku. Ah, biarlah. Aku tidak perlu berkomentar atau sekadar berbasa-basi.

Ketika anak gadisku pulang sekolah dan mendapati Maminya berdandan, dia terkejut. Secara spontan berseru,”Mami mau ke mana? Kok dandan pakai pensil alis segala. Pangling lo aku!”

Istriku tersenyum, tidak membalas seruan dan kekagetan anakku. Keesokan harinya, ketika berangkat mengajar, istriku tampil biasa saja, tidak reka-reka. Benar kan, Cuma pingin belajar berdandan. Atau diam-diam istriku mempersiapkan lomba rias wajah?

Lebih dari seminggu, setiap pulang sekolah, di rumah istriku selalu berdandan cantik. Lama-kelamaan aku terbiasa dan tidak kaget lagi.

Tiba-tiba pagi ini istriku berdandan cantik sebelum pergi mengajar. Nggak salah, nih? Ah, biarlah. Mungkin dia ingin tampil beda, atau mungkin akan ada acara setelah mengajar.

Ternyata setiap hari istriku berdandan cantik sebelum pergi mengajar. Wah, berarti ada kemajuan. Sebenarnya, tanpa memakai kosmetik berlebihan, istriku kelihatan cantik, sederhana dan bersahaja.

00000

Hari ini, aku mendapatkan undangan syukuran. Teman SMA-ku menikah lagi. Aku mengajak istriku. Sesampai di rumah temanku, aku bergabung dengan teman-teman SMA. Istriku bisa bergabung dengan mereka karena memang sudah mengenal teman-temanku secara akrab.

Tiba-tiba datanglah rombongan calon mempelai laki-laki. Istriku bengong. Aku menyenggol lengannya.
“Nggak usah bengong begitu,”aku mengingatkan.
“Itu kan Pak Dedi, teman kantorku.”
“Aku tahu sudah lama,”jawabku singkat.
“Dia kan masih beristri.”
“Ceritanya nanti saja kalau sudah pulang.”
Setelah acara selesai, kedua mempelai berdiri di dekat pintu gerbang untuk menyalami tamu-tamu yang akan pulang. Pak Dedi kaget begitu bersalaman denganku dan istriku. Pak Dedi kelihatan sekali kikuk.

00000
Pulang dari mengajar, istriku bercerita. Pak Dedi meminta padanya untuk tidak bilang pada siapa-siapa kalau dia menikah lagi secara siri. Biarlah, dalam waktu dekat ini semua masih bisa dirahasiakan.

Aku jadi ingat, dulu istriku sering bercerita. Pak Dedi ini seorang laki-laki tapi banyak omong, banyak menilai orang lain dan tidak bisa menjaga perasaan orang lain. Pak Dedi bilang kalau istriku wajahnya pucat karena tidak berdandan. Aku sih nggak masalah. Karena aku terbiasa dengan kesederhanaan istri.

Aku bahagia, bahkan sangat bahagia berumah tangga dengan istriku. Aku yang jadi suaminya saja bahagia, mengapa orang lain terlalu sibuk berkomentar?

Kalau Pak Dedi menikah lagi dengan temanku yang berstatus janda, berarti dia tidak bahagia dengan istri pertamanya? Sampai-sampai menikahnya saja disembunyikan. Berarti istri pertamanya tidak tahu kalau Pak Dedi menikah lagi? Ah, masa bodoh!

Sabtu, 10 Maret 2018

BUKAN SECANGKIR KOPI SUSU TERAKHIR


Umar dan Hakim mengenakan jaket. Keduanya hendak ke bengkel. Fitri membuka plastik berisi kacang rebus.

“Kopi susu tanpa gula,”kata Fitri sebelum Marwan menyiapkan kopi susu panas.
“Tumben tanpa gula. Sepertinya lagi mengurangi karbo ya.”
“Pingin saja.”

Sebentar kemudian kopi susu sudah berada di atas meja.

“Fitri, jangan lupa hari Minggu hadir pada acara pernikahan Santi.”

Sebenarnya Fitri tidak mau membahas hal satu ini, takut nanti menyinggung Marwan. Ternyata Marwan sendiri yang memulainya.

“Insya Allah aku datang pada acara istimewa sahabat karibku.”
“Fit, sebenarnya beberapa hari ini aku mau menanyakan sesuatu padamu tapi kok rasanya berat. Seperti ada beban. Setiap bertemu kamu, rasanya serba salah.”

“Kenapa? Kamu itu seperti berhadapan dengan orang yang baru kamu kenal saja. Bicaralah, aku akan mendengarkan.”
“Fit, 19 tahun kita berteman dan akrab. Demikian juga dengan Hakim dan Umar. Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kita sering melakukan banyak hal bersama-sama.
Memang, untuk masalah pribadi, kita masih membatasi untuk bercerita. Mungkin kali ini saat yang baik aku mengatakannya padamu.”

Fitri mulai menyimak dengan serius. Kali ini tanpa Hakim dan Umar, jelas suasananya jadi berbeda. Fitri berharap semoga bisa mendengarkan tanpa memotong cerita Marwan. Apapun yang dikatakan Marwan, semoga tidak ada hal yang membuat kecewa.

“Belasan tahun yang silam, istriku pernah mengatakan bahwa dia ikhlas seandainya aku mencari pendamping yang lain. Saat itu, aku tidak menanggapi omongannya.

Mungkin karena aku menganggap bahwa kata-kata  istriku diucapkan ketika dia sedang sakit. Aku berkonsentrasi dalam penyembuhan sakitnya. Aku tidak pernah mempunyai pikiran untuk menikah lagi.

Beberapa bulan terakhir, aku bertemu dengan orang istimewa, yang benar-benar membuatku menyukai orang tersebut. Ketika aku bertanya pada istriku apakah keikhlasannya andai aku menikah lagi, masih berlaku untuk saat ini. Jawabnya adalah ya, masih berlaku.

Aku seperti mendapatkan lampu hijau. Tidak perlu waktu yang lama, aku bisa menyelami orang tersebut. Kamu tahu, siapa yang aku maksud.”

“Siapa?”
“Santi. Tak perlu aku jelaskan mengapa Santi keluar dari kantor. Kamu pasti tahu jalan ceritanya. Aku mau membantu Santi keluar dari masalah. Semoga niat baikku diridhai-Nya.”

“Jadi? Wan, kamu akhirnya sama….” Fitri mengambil beberapa butir kacang lalu ditimpukkan ke arah Marwan.
“Apa-apaan, kamu Fit.”
“Semoga samawa. Salam buat istrimu, mbak Riana. Benar-benar hatinya mulia.”

Keduanya tersenyum. Fitri menyeruput kopi susu buatan Marwan.
“Kopi susu ini bukan cangkir yang terakhir, kan?”goda Fitri.
“Masih ada cangkir yang lain untuk hari esok.” (TAMAT)

00000

Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian dan waktu. Itu hanya kebetulan saja.

MENJADI BUKAN YANG PERTAMA




“Aku sadar, mungkin banyak orang yang tidak percaya dengan yang aku lakukan. Tapi semua telah terjadi. Aku memutuskan untuk segera menikah ada alasan tertentu. Mungkin kamu juga akan mengatakan tidak masuk akal.

Benar, kata orang cinta telah membutakan seseorang. Dengan berbagai pertimbangan, tentu saja pendapat dari orang tuaku, aku memutuskan segera mengakhiri kesendirianku.

Aku berharap, dengan menikah dan berumah tangga, hatiku benar-benar tenang dan perjalananku kutempuh tidak sendirian.

Berat rasanya untuk mengatakan padamu, orang yang telah aku anggap sebagai sahabat sejak tiga tahun yang lalu. Fit, nantinya aku bukanlah perempuan yang pertama bagi calon suamiku.”

Fitri kaget! Artinya? Ah, mana mungkin Santi? Pasti Santi sedang bercanda!

“Ada perempuan lain yang sudah mendampingi calon suamiku. Tapi percayalah, aku bukan pelakor. Mereka yang datang secara baik-baik. Perempuan itu memintaku untuk menjadi pendamping suaminya.

Orang tuaku menyerahkan semuanya padaku. Dan aku semakin yakin, aku bisa bersamanya.”

Fitri membayangkan Marwan yang kecewa melihat kenyataan ini. Pasti wajahnya kusut. Kemudian secangkir kopi susu berubah menjadi secangkir kopi pahit lagi getir. Wan, tabahkan hatimu ya.

Setelah ini, tidak ada lagi empat cangkir kopi susu seduhan Marwan untuk dinikmati berempat. Tak ada lagi bincang-bincang ringan ditemani ubi rebus dan kacang rebus. Meja itu akan kosong di saat istirahat sore. Fitri menarik nafas panjang. (BERSAMBUNG)

00000