Selasa, 07 Juni 2016

[Vonis Kanker Payudara] Tetap Semangat Jalani Semuanya

Bu Ucok Berjilbab Ungu
dok.pri
Kali ini saya akan menceritakan pengalaman tetangga yang diberi ujian sakit kanker payudara. Tetangga saya bernama Ibu Ucok. Hari Minggu, 5 Juni 2016 kemarin beliau mengucapkan terima kasih kepada warga Perum Manggeh Anyar yang telah memberi dukungan baik secara moril maupun materiil.

Hari itu pertemuan rutin PKK di perumahan tempat saya tinggal. Tapi maaf, sebenarnya saya tidak tinggal di perumahan. Saya tinggal di tengah sawah, berhubung secara administrasi saya bergabung di perumahan jadi saya ikut kegiatan PKK di perumahan juga.

Sudah dua kali saya tidak ikut PKK, jadi kali ini saya menyodorkan diri membantu bertugas. Lah, ternyata memang saya petugasnya. Lo, kok saya lagi sih petugasnya. Kan saya baru empat bulan yang lalu bertugas. Ya sudah tidak apa-apa, niatnya juga membantu kelancaran acara. Hehe.

Ketika acara berlangsung, saya menyempatkan diri mengambil gambarnya Bu RT yang sedang memberi sambutan dan Bu Ucok yang ada di sampingnya. Kebetulan mereka berada di depan saya. Mumpung ada kesempatan, saya tak menyia-nyiakan begitu saja. Apalagi saya sudah mendapatkan sekelumit cerita dari Bu Ucok ketika saya menjenguk di rumahnya beberapa hari yang lalu. (Begitulah penulis, sekelumit cerita harus dibagikan)

Inilah kisahnya, penuturan Bu Ucok saya tulis dengan kata ganti saya.
Saya merasa sehat-sehat saja. Ketika saya meraba payudara (kiri) saya, sepertinya ada benjolan. Saya merasakan itu. Ada perbedaan antara payudara kiri dan kanan. Akan tetapi bila ditekan tidak terasa sakit. Demikian juga ketika anak saya menekan juga tidak terasa sakit.

Saya bilang pada suami, dan suami mendukung untuk segera periksa. Ketika periksa (dan diambil jaringannya/biopsy), hasil pemeriksaan ternyata ada kanker di payudara saya, stadium awal. Konon katanya benjolan itu ukurannya kecil, hanya sebesar biji asam. Kata dokter benjolan tersebut harus segera diambil. Sebenarnya saya sudah siap. Saya berharap dengan benjolan yang ukurannya kecil ini diambil, semua akan menjadi lebih baik. Setelah berkonsultasi keluarga besar, saya dan suami semakin mantap untuk melakukan operasi.

Waktu itu saya berpikiran bahwa yang diambil hanya benjolannya saja. Tetapi sungguh di luar dugaan saya, ternyata payudaranya juga diangkat. Saya begitu shock. Saya belum bisa menerima itu. Lalu saya berkonsultasi ke dokter yang ada di Yogyakarta. Saran dokter di Yogyakarta sama, yaitu harus diangkat. Kerabat dekat saya yang juga dokter menyarankan untuk diambil.

Setelah browsing internet, saya mantap untuk diambil benjolannjya sekaligus operasi pengangkatan payudara. Suami, anak-anak, dan keluarga besar memberikan dukungan moril pada saya.

Sebelum saya menjalani operasi, saya sempat merenung. Saya yang sehat wal afiat, tidak merasakan sakit sedikitpun tiba-tiba divonis kanker. Saya harus kehilangan sesuatu yang dianggap tolok ukur sempurnanya wanita. Teman dan tetangga juga kaget karena sebelumnya saya tidak pernah mengeluh sakit.

Akhirnya operasi berjalan dengan lancar. Setelah operasi, saya juga harus menjalani kemoterapi. Pada saat kemoterapi, barulah saya merasa tidak sendiri. Yang berada di ruangan kemoterapi ini semua perempuan dengan kondisi yang sama, mengidap kanker. Sebagian dari mereka adalah mengidap kanker payudara dan menjalani pengangkatan. Bahkan saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu pasien (kebetulan menunggu giliran menjalani kemoterapi).


Perempuan itu akhirnya ditinggalkan suaminya begitu saja setelah menjalani operasi pengangkatan payudara. Anak-anaknya dibawa suaminya, diboyong ke rumah mertuanya. Tinggallah dia sendiri. Menjalani semuanya dengan sendiri dan sepi. Tak ada lagi celoteh anak-anak yang pernah mengisi hari-harinya seperti ketika dia sehat. Menurutnya, dia bagaikan habis manis sepah dibuang. Tapi dia tetap semangat menjalani semuanya. Manusia itu sekadar menjalankan apa yang sudah digariskan Tuhan.

Saya melihat wanita itu tegar. Sudah setahun menjalani semua itu, dan kini dia bisa sehat. Tanpa orang-orang yang dicintainya. Hanya keluarga dari pihaknya yang masih ada.
Saya harus semangat seperti perempuan itu. Saya beruntung punya suami, anak-anak yang menyayangi saya, keluarga besar saya. Ya, setelah kemo saya merasakan efek sampingnya. Badan lemas, mual, nafsu makan menurun dan jari-jari sedikit kaku.

Saya berharap masih ada jalan buat mencari kesembuhan. Bagi saya ini adalah ujian untuk saya supaya saya lebih dekat pada Allah. Semoga hanya saya yang mengalaminya, anak-anak dan keluarga saya, tetangga atau siapa saja jangan sakit seperti saya.

[Kemoterapi masih dilakukan beberapa kali ke depan. Sekarang Bu Ucok sudah bisa menikmati makanan sehari-harinya meski dalam porsi kecil dan masih terasa mual. Sebelum mengakhiri ceritanya, beliau sempat mau menunjukkan hasil operasinya, tapi saya menolak. Tidak usah Bu, saya tidak sampai hati, Di sudut mata saya ada air yang mau menetes. Saya genggam tangannya. Saya tak mampu berkata apa-apa.
Dulu kami sering berbagi cerita. Tentang anak-anak, tentang tanaman sayuran, tentang banyak hal, mengaji dan tadarus Quran. Seiring dengan kesibukan masing-masing, saya hanya sempat bertegur sapa bila lewat depan rumahnya. Semoga lekas sembuh, Bu Ucok]

Renungan Ramadhan malam ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar