Sabtu, 29 Juli 2017

Wahai Bapak Ibu Guru Kelas I, Ajarilah Anak-anak Membaca

Membaca Alam


Wahai Bapak Ibu Guru Kelas I, Ajarilah Anak-anak kelas I membaca dan menulis! Karena membaca dan menulis baru boleh diajarkan pada kelas I SD, bukan di TK. Bahkan di TK, anak-anak tidak boleh diajari calistung (baca, tulis, hitung). Jadi, kewajiban Bapak Ibu guru kelas I di sekolah adalah mengajar baca tulis. Itu saja yang kata, kalimat dan angka sederhana, belum yang rumit atau kompleks.

Tulisan sederhana ini sengaja saya buat, karena saya membaca banyak status teman-teman FB yang menyayangkan “tragedy anak kelas I dikeluarkan karena belum bisa membaca”. Rasa penasaran itu akhirnya terobati dengan membuka sebuah link. Akhirnya, saya jadi pingin nulis tentang tulisan ini.

Anak saya yang kedua, sekarang duduk di kelas I SD. Alhamdulillah, dia sudah bisa membaca dan menulis. Apakah ketika di TK sudah diajari membaca dan menulis? O, tidak. Semua berjalan alami, seperti air mengalir. Wah, hebat ya? Enggak juga. Lo, mengapa nggak mau dikatakan hebat? Karena ada alasan yang harus saya tuliskan.

Tahun lalu, anak saya sudah SD di sekolah swasta. Karena saya memiliki keyakinan di sekolah tersebut mengutamakan pendidikan agama, maka saya tidak khawatir. Waktu itu saya berpikir, yang penting bisa hafalan surat pendek, bisa membaca doa-doa, bisa menghafal hadits, perilakunya baik, bisa berwudhu, shalat dan lain-lain. Di rumah, saya ajari membaca dan menulis. Memang si kecil bisa membaca dengan terbata-bata, menulis juga belum begitu bisa. Jangan dibayangkan menulis satu kalimat. Menulis kata-kata saja kebalik-balik. Hasilnya, rapor nilainya sebagian besar merah.

Pada semester I karena nilai rapor yang tidak menggembirakan, saya usul pada wali kelasnya supaya anak saya diberi pelajaran tambahan (sekadar 15 menit saat akan istirahat tidur siang). Oleh karena sekolah fullday 5 hari sekolah, anak saya kalau sudah sampai rumah kelihatan capek, maka tidak mau belajar. Saya juga tidak mungkin membebani les membaca dan menulis sepulang sekolah. Sayangnya, wali kelas belum sependapat dengan saya. (Sebenarnya, ceritanya sangat panjang, tapi saya pangkas saja).

Kalau di rumah, anak saya mau membaca dan mengerjakan soal dengan bimbingan saya. Menjawab pertanyaan juga bisa, kalau saya tuntun. Anak saya memang sukar untuk focus, tapi dengan kesabaran saya ternyata dia bisa konsentrasi juga.

Hanya saja, saya heran, mengapa buku tulis anak saya tidak banyak tulisan? (saya sempat bertanya pada wali kelasnya, dan jawabannya tidak memuaskan saya). Akhirnya, sebelum penerimaan rapor, saya sudah diberi tahu terlebih dahulu dari sekolah. Sungguh, saya tidak menduga sama sekali kalau anak saya harus tinggal kelas.  Karena keadaan tidak bisa diubah (misalnya naik bersyarat), kalau sama-sama masih di kelas satu, maka pilihan saya, saya mendaftarkan anak saya kelas satu di sekolah lainnya.

Awalnya saya khawatir, anak saya tidak bisa konsentrasi. Ternyata saya salah! Setiap pulang sekolah, anak saya bilang ada PR. Saya pikir PR yang berat. Ternyata tidak. PR yang dimaksud hanya mengulang menulis. Contoh: nama lengkap : ……., nama panggilan: …… Hari berikutnya, saya lihat bukunya. Anak saya menulis tentang peralatan mandi. PR :  keramas memakai …., mandi memakai…., gosok gigi memakai …. Menulis angka dan membuat gambar benda sebanyak angka yang ditentukan. Karena merasa bisa, anak saya kelihatan menikmati proses pembelajaran. Anak saya juga bercerita kalau diajari menulis dan membaca. Dan seterusnya, materi pelajaran dan PR gampang. .

Ternyata, di sekolah sebelumnya, anak dianggap bisa membaca dan menulis. Jadi tidak ada pelajaran membaca dan menulis. Tapi setelah “hal terjadi pada anak saya”, sekolah lama sekarang ada pelajaran baca tulis.

Kembali ke tugas Bapak Ibu guru kelas I SD. Pelajaran dasar (Sepertinya) di kelas satu adalah pengenalan huruf dan angka. Pengenalan huruf dan angka yang diulang-ulang, rasanya memudahkan anak untuk menangkapnya dan menuliskannya. Bukankah zaman dulu, pelajaran Bahasa Indonesia “ini budi” yang fenomenal, kata-kata dan hurufnya hanya diulang-ulang? Dan, anak-anak yang dulu belajar “ini budi” juga pandai-pandai. Ada yang berprofesi sebagai dokter, psikolog, insinyur dan lain-lain.

Setiap hari, saya menyempatkan diri/meluangkan waktu untuk mendampingi di kecil belajar menulis, membaca dan berhitung. Saya membuka-buka buku pelajarannya. Kebetulan sekarang memakai kurikulum 13. Untuk saat ini materi pelajarannya adalah Tema I. Tema I (Diriku) pada beberapa halaman depan berisi perkenalan. Tokohnya Siti, Lani, Dayu, Edo, Udin, Beni dan lain-lain. Si kecil sampai hafal tokoh-tokohnya. Menurut saya, materinya juga tidak berat. Kalimat-kalimat yang ada, beberapa kata ditulis berulang-ulang sehingga anak hafal tulisan tersebut. Lama-kelamaan anak bisa membaca kata baru dan menuliskannya. Kalau materi pelajaran itu ringan, tentu saja anak akan senang karena merasa bisa mengikuti pelajaran.

00000

Beberapa orang tua yang memiliki anak kelas I SD, memiliki pendapat simple (saya setuju banget). Anak kelas I dan II, yang tidak terlalu lancar membaca dan menulis, bukan berarti bodoh. Kemampuan anak berbeda-beda. Mungkin pada hal tertentu, si anak mempunyai kemampuan yang luar biasa. Bisa jadi, anak lemah pada pelajaran saat kelas I dan II tetapi di tingkat yang lebih tinggi ternyata si anak lebih berprestasi dibanding anak-anak yang sejak awal masuk kelas I, baca tulisnya sudah lancar.

Bapak Ibu guru di kelas I, mengajar siswa di sekolah. Selebihnya, kalau di rumah, tentu kewajiban orang tua untuk mendampingi putra-putrinya dalam belajar. Kalau ini semua bisa berjalan dengan selaras, pasti semua bisa dikomunikasikan dengan baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan.

Harapan saya, jangan sampai ada sekolah yang menolak calon siswa baru kelas I SD yang belum bisa membaca dan menulis. Karena perlu digarisbawahi “Di TK tidak boleh ada CALISTUNG”, jadi memang calistung belajarnya di SD.    

Wahai Bapak Ibu Guru Kelas I, Ajarilah Anak-anak kelas I membaca dan menulis!


Karanganyar yang dingin, 29 Juli 2017

Kamis, 27 Juli 2017

Hujan deras dan jas hujan

Seperti hari biasa, jas hujan berada di centhelan motor. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bresssss
Di saat itu, seorang siswa izin pulang mendahului karena sakit.
"Kuat naik motor sendiri, Mas?"
"Kuat, Bu."

Anak itu melihat luar ruangan. Air hujan sepertinya tidak mungkin dia terjang.

"Kalau nggak bawa jas hujan, ambil saja jas hujan milik bu Ima di motor. Pakailah dan besok dikembalikan. Motor bu Ima sing ana helm warna ijo. Ngerti ta Mas?"
"Nggih bu."
Setelah itu, bu guru syanteek ini mengajar. Selesai mengajar, hujan reda. Pikir bu guru, anak itu ndak mungkin nekad pulang karena badannya adem panas.
Tiba2 pak guru TKR bilang pada guru kimia.

"Bu, Riski tadi pulang tapi gak jadi pinjam jas hujan karena hujan mulai reda."
"Nggih sampun pak."

Tiap hari bawa jas gujan ki untuk persiapan kalau hujan. Jangan sedia jas hujan kala hujan, tapi pakailah jas hujan ketika hujan turun dan kita melewati jalan saat hujan

Senin, 24 Juli 2017

Saatnya Mempengaruhi Siswa Baru Untuk Menulis



Hari ini adalah hari pertama kali saya mengajar secara efektif. Kebetulan jam kedua sampai jam keempat saya mengajar di kelas X. kesempatan mengisi waktu secara penuh tidak saya sia-siakan.

Biasanya awal pertemuan, setelah perkenalan saya akan mengajak siswa, memprovokasi untuk menulis. Mumpung masih muda, mumpung masih bisa dipengaruhi, maka saya pengaruhi dengan hal yang positif.

Biasanya siswa memiliki akun FB. Boleh-boleh saja memiliki akun lalu menulis status di FB, tapi usahakan untuk menulis status yang bermanfaat. Untuk siswa semua jurusan, sebaiknya memiliki blog. Tujuannya adalah selain belajar ilmu pengetahuan, pelajaran sekolah, dengan menulis blog, siswa dapat menyampaikan ilmu yang sudah didapat secara luas.

Untuk jurusan TKR, bisa saja memosting tulisan atau gambar tentang dunia otomotif. Bagi yang jurusan pemesinan silakan menulis tentang las, gerinda, membubut, frais, dan lain-lain. Nah, untuk yang jurusan multimedia, bisa memosting tulisan atau gambar tentang kegiatan sehari-hari yang sudah direkam. Semua tulisan yang sudah diposting, pasti bermanfaat bagi pembacanya.

Oleh karena saya memotivasi dan mempengaruhi siswa untuk menulis, maka saya juga memberi contoh. Pengalaman menulis saya sudah saya ceritakan. Dengan demikian, saya bukan hanya menyuruh siswa untuk menulis, melainkan saya memberi contoh lebih dahulu.

Kegiatan menulis bagi siswa sangat penting. Kelak di kelas XI, setelah mengikuti atau menjalani program Pendidikan Sistem Ganda atau Praktek Kerja Lapangan, siswa dapat menyusun laporan dengan mudah.

Jadi. Menulis itu pelu untuk siswa dan guru. Setiap guru harus menulis administrasi sekolah. Administrasi ini dilengkapi dengan bahan/materi pelajaran. Kadang-kadang materi pelajaran harus kita tulis dengan cara mencari sumber selain buku pelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk meemperjelas materi yang akan disampaikan.

Dari sekian siswa, biasanya ada yang tertarik untuk menulis. Mereka tertarik untuk menuliskan pengalamannya di blog. Akan tetapi karena kurang pengetahuannya, jadi mereka ragu untuk memulai menulis.

Wahai siswa baru, menulislah mulai sekarang. Percayalah, manfaat menulis akan kamu rasakan kelak di kemudian hari. Jangan lupa tetap semangat belajar dan berkarya. Percayalah, anak SMK bisa!


Karanganyar, 24 Juli 2017

Minggu, 23 Juli 2017

Yuk Nabung, Stop Utang

Nabung dan gadai

Sejak kecil, saya suka menabung uang recehan. Saya masih ingat, ketika kelas 5 SD, saya menabung dengan cara memasukkan uang receh ke dalam tabungan yang terbuat dari tanah liat (celengan). Celengan ini ukurannya tidak terlalu besar. Pada masa itu memang sebagian anak seusia saya, kalau menabung ya uangnya dimasukkan ke dalam celengan.

Setelah serasa cukup banyak uang yang saya kumpulkan (celengan tidak pernah saya bawa, ambil, jadi celengan tetap berada di tempat), saya berniat untuk memecah celengan. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Celengan saya ringan bahkan tidak ada suara khas uang receh dalam tabungan. Padahal lubang untuk memasukkan uang juga tidak berubah menjadi lebih besar. Apakah thuyul telah mengambil uang saya? Olala…. Tentu saja thuyul tidak mau mengambil uang receh dengan nominal 5, 10, 25, atau 50 rupiah. Akhirnya, celengan saya balik. Bagian bawah bukan lagi tanah liat utuh, melainkan sudah ditempeli kertas tebal.

Tidak usah terlalu lama saya menemukan siapa pelaku pengambilan uang celengan tersebut. Pokoknya ada yang ngaku. Hayo, kalau ada yang berani mengaku silakan ngacung.

Waktu SMP dan SMA, saya juga sering menabung. Meskipun uang saku terbatas, saya tetap menabung. Saya suka menyimpan uang. Tujuan saya menabung adalah untuk membeli barang kesukaan saya.

Kalau sampai sekarang, di saat saya tidak imut lagi, masih suka menabung, itu karena menabung adalah gaya hidup saya. Kini saya mulai merasakan manfaat menabung. Bukan hanya uang dan emas, gabah saja juga saya tabung. Saya memang bukan tipe pemboros. Apa yang saya beli dan saya miliki, semua itu memang saya butuhkan. Saya tidak memaksakan diri membeli barang yang tidak saya butuhkan. Saya juga tidak mau membeli barang hanya untuk memenuhi gaya hidup. Kebetulan saya dan suami juga memiliki kesamaan, tidak suka belanja. Jadi kami memang sudah klop.

Saya termasuk orang yang suka membeli barang dengan bayar tunai. Kalau belum punya uang, ya tunda dulu pembeliannya. Seandainya ada kebutuhan mendesak, tapi kami belum memiliki dana yang cukup, biasanya suami meminjam uang ke koperasi (kondisi kepepet).

Tips menabung ala saya: mengumpulkan semua uang receh, menabung di awal terima gaji, menabung dalam bentuk emas (tidak mudah tergiur untuk menjual), menabung secara konsisten dan gunakan uang tabungan seperlunya.

00000

Ketika saya mau menikah, saya bertanya pada calon suami (berapa uang yang akan diberikan untuk saya dan barang-barang apa saja  yang akan dibawa saat pasok tukon) tentang sesuatu yang akan dibawa saat pasok tukon. Suami mengatakan pada saya sejumlah uang dan barang yang rencananya akan diberikan pada saya. Bukan bermaksud matre, saya bilang seandainya uangnya ditambah bisa atau tidak? Katanya, itulah uang yang dia kumpulkan selama mendapatkan gaji CPNS. Saya kompori lagi, mbok hutang koperasi gitu. Jawabannya sungguh tegas! Katanya, dia bisa hutang koperasi, tapi nanti tiap bulan sisa gaji yang diberikan pada saya setelah menikah jumlahnya lebih sedikit. Ini baru permulaan, ternyata dia tidak mau berhutang.

Yang kedua, setelah 2 tahun ikut mertua, tiba-tiba mertua menyarankan kepada suami untuk membangun rumah. Saya belum memiliki tabungan sama sekali. Tabungan saya hanya sebatas kayu, bata, dan besi. Saya usul, tidak usah membangun rumah kalau dana yang harus dipersiapkan besar. Menyewa rumah mungil perumahan tipe 21 saja. Atau membeli perumahan tipe 21 lewat KPR.

Ternyata rencana saya dan suami diketahui mertua. Bapak mertua bilang kalau kami tinggal di perumahan tipe 21, mereka tidak akan menjenguk/berkunjung ke rumah kami. Menurut saya saat itu, itu adalah suatu ancaman. Pokoknya kami harus membangun rumah sendiri.

Karena kami tidak memiliki dana sama sekali, maka kami minta bantuan Bank. Sungguh berat kehidupan kami setelah menempati rumah sendiri yang tutup jendela dan pintu belum sempurna. Ada kejadian yang sampai sekarang tidak akan saya lupakan. Suatu hari, saya benar-benar tidak memiliki uang yang cukup. Susu yang biasa diminum Faiq habis. Faiq minta dibuatkan susu. Saya menitikkan air mata sambil berkata,”Nok, hari ini minum teh dulu ya. Besok Mama belikan susunya.” Faiq mengangguk. Saya merasa sangat bersalah.

00000

Bagi saya, hutang pada bank untuk membangun rumah, adalah pengalaman yang terberat saat itu. Lambat laun, ekonomi semakin mapan. Kami bisa menutup pinjaman dari bank. Selanjutnya, saya menabung untuk menyempurnakan rumah kami. Alhamdulillah, bisa mengaci tembok, memasang keramik lantai, membuat dapur dan lain-lain.

Tahun 2008, kami harus berurusan dengan bank lagi. Kali ini benar-benar kami membutuhkan bantuan bank. Saya dan suami harus membiayai pengobatan Ibu mertua (Bapak mertua meninggal tahun 2006). Ibu divonis mengidap tumor limfa (ganas). Tentu saja biaya yang harus kami keluarkan banyak dan kami tidak memiliki sejumlah uang untuk pengobatan Ibu.

Usaha kami untuk pengobatan dan demi kesembuhan Ibu tidak kurang-kurang. Manusia berusaha, tapi Allah yang menentukan. Tahun 2009 Ibu meninggal dunia. Setelah Ibu meninggal dunia, saya dan suami ingin sesegera mungkin melunasi hutang bank. Tidak lama kemudian, setelah Allah menurunkan rezeki lewat suami, kami bisa melunasi pinjaman dari bank.

Kembali kami menabung lagi dan menabung. Suatu hari, suami mengutarakan niat untuk membeli kendaraan roda empat. Tujuannya agar kami berempat kalau mudik atau bepergian bersama tidak repot. Saya bilang tidak. “Kita belum membutuhkan kendaraan. Kalau mudik, Ayah dan kakak bisa naik sepeda motor. Mami dan thole naik bus. Kakak kan lebih suka naik motor.”

Suatu malam saya coret-coret menghitung bila hutang pada koperasi. Misalnya, kami meminjam uang 70 juta. Kami mecicil selama 5 tahun atau 60 bulan. Tiap bulan kami harus setor 2.217.000 rupiah. Jasa koperasi tiap bulan 1.050.000 rupiah.

Bagi saya mobil belum kami butuhkan dan tidak penting. Uang  1.050.000 rupiah ini, bagi saya sangat besar. Menurut saya, uang itu bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Hidup tidak terasa sempit. Kalau tidak punya hutang, mau makan rasanya enak, dan tidur juga nyenyak. Mungkin suami kecewa dengan pendapat saya dan sudah menjadi kesepakatan (terpaksa sepakat).

Beberapa bulan kemudian, suami dapat rezeki nomplok (warisan yang di luar perhitungan sama sekali), kami dapat tunjangan sertifikasi. Menabung! Itulah kesepakatan kami, dan Alhamdulillah bisa kami tabung dalam bentuk sebidang tanah. Saya sangat bersyukur, dengan tak memiliki hutang, hidup kami terasa nyaman. Kalaupun ada sedikit pinjaman koperasi, kami masih merasa ringan untuk mencicil.

Prinsip kami yaitu tiap bulan harus bisa menabung dan sebisa mungkin menghindari hutang. Saya tidak anti berhutang, saya juga tidak menghalangi bagi mereka, atau siapa saja berhutang. Toh yang akan melunasi juga yang berhutang sendiri. Hutang itu sangat memberatkan. Kata orang-orang yang tahu bidang ekonomi “berhutang itu, kita kerja, yang untung yang memberi hutang. Kita tidak menikmati jerih payah kita.” Bener juga ya.

Yang sudah telanjur berhutang, mari cepat-cepat menyelesaikan. Agar kehidupan kita tenang, nyaman, damai, tidak emosi, murah senyum, dan waktu kita tidak habis untuk membayar bunga atau jasa.

Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa, kalau ada yang memiliki kejadian atau mengalami hal serupa, itu hanya kebetulan saja. Tulisan ini sarana untuk koreksi diri saya sendiri.

Karanganyar, 23 Juli 2017 

Kamis, 20 Juli 2017

Menabung Setengah Gram Emas Secara Rutin Solusi Masalah Keuangan

 
Nabung emas di pegadaian
Hari Ahad, 16 Juli 2017 IIDN Solo mengadakan Kopdar dengan agenda khusus membicarakan atau berbagi, diskusi tentang menejemen keuangan keluarga. Kopdar kali ini bertempat di rumah mbak Candra. Nah, untuk nara sumber dipilih mbak Nurul Chomaria. Kebetulan mbak Nurul pernah menerbitkan buku yang ada kaitannya dengan menejemen keuangan keluarga muslim. Jadi, pas banget rasanya.

Banyak ilmu dan pengalaman yang dibagikan dalam kopdar kali ini. Akan tetapi, saya akan mengambil salah satu di antara materi yang disampaikan, yaitu menabung. Setiap keluarga sebaiknya menyisihkan sebagian hartanya untuk ditabung. Menabung, bukan lagi karena terpaksa. Sebenarnya kita membutuhkan tabungan. Dana tabungan ini  bisa kita gunakan pada keadaan darurat.

Dari beberapa penjelasan mbak Nurul tentang menabung, saya tertarik untuk menulis menabung emas. Lebih spesifik lagi yang akan saya sampaikan adalah tabungan berupa emas dan cara menabung emas. Mengapa saya tertarik untuk menulis lagi tentang tabungan emas? Ternyata memang banyak orang yang tertarik untuk menabung emas, tetapi belum tahu apa yang harus dilakukan. Sebabnya adalah sebagian orang membayangkan menabung emas harus mengeluarkan dana yang besar. Karena ada sesi Tanya jawab dan berbagi pengalaman mentang menabung emas, maka tulisan ini merupakan rangkuman diskusi selama kopdar berlangsung.

Ada pertanyaan, bagaiamana cara menabung emas dengan dana terbatas? Ada solusi bagi mereka yang akan menabung emas tapi dananya terbatas, caranya menabunglah di pegadaian. Menabung emas di pegadaian, tidak perlu dengan dana yang banyak. Dengan minimal enam ribuan, kita sudah bisa menabung emas. Atau, dengan uang lima puluh ribu perbulan secara konsisten, kita bisa memiliki emas. Tentu saja uang lima puluh ribu per bulan tidak memberatkan kita untuk menabung. Hanya saja, kalau menabung emas di pegadaian, kita tidak serta merta langsung membawa pulang emas fisik. Seandainya kita menginginkan emas fisik, kita bisa mencetak terlebih dahulu (kita harus membayar ongkos cetak)

Kalau kita tidak mau repot menabung emas di pegadaian, tetapi dana kita terbatas, tetap saja bisa kita lakukan. Caranya kita kumpulkan sejumlah tertentu uang (menabung uang di rumah saja, soalnya kalau di bank ada biaya administrasi). Kalau uang sudah terkumpul (kita sudah tahu harga emas di pasaran), kita bisa membeli emas dengan berat seperempat gram, setengah gram, satu gram dan seterusnya. Hanya saja, kalau kita membeli emas di toko emas berupa perhiasan, akan dikenakan biaya pembuatan.

Saya sendiri memiliki tabungan emas di pegadaian (tidak secara fisik) dengan kadar 24 karat dan emas fisik (perhiasan) beberapa gram saja. Saya tertarik menabung emas karena menabung emas dalam jangka panjang justeru menguntungkan. Pengalaman orang tua yang menabung emas beberapa waktu yang lalu saya jadikan contoh.

Kembali pada pembahasan Mbak Nurul tentang menabung. Mbak Nurul memberi contoh seorang siswa yang mengumpulkan uang saku lalu dibelikan emas setengah gram. Setiap uang saku sudah terkumpul dan bisa dibelikan emas setengah gram, maka segera dibelikan emas. Dalam kurun waktu tertentu, tak terasa emas yang terkumpul jumlahnya banyak dan harganya terus meningkat. Hasilnya, tabungannya sangat berarti di saat ada kebutuhan mendesak.

Kadang-kadang kita memiliki suatu keinginan. Tapi keinginan tersebut tidak pernah terwujud karena ketidaktahuan kita atau terbatasnya pengetahuan kita. Kita memerlukan ilmu dari orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan komunikasi, kita bisa memecahkan masalah, bisa mewujudkan mimpi, keinginan dan cita-cita kita.

Pada saat sekarang, menabung merupakan kebutuhan kita. Menabunglah mulai sekarang juga, jangan tunda-tunda lagi. Silakan pilih sendiri, mau menabung uang, barang, property, tanah,  perhiasan atau emas. Memang, sebaiknya kita memiliki tabungan emas meskipun membelinya hanya setengah gram- setengah gram.

Ternyata, topik tabungan ini sangat menarik perhatian anggota IIDN Solo. Buktinya mereka sangat antusias menyimak penjelasan Mbak Nurul dan ada Tanya jawab yang sangat seru. Bagi saya ilmu bisa dicari di mana saja dan ilmu baru menejemen keuangan keluarga ini sangat bermanfaat bagi saya. Terima kasih saya ucapkan pada mbak Nurul yang sudah meluangkan waktu mengisi acara kopdar IIDN Solo. Semoga yang panjenegan (mbak Nurul) sampaikan menjadi amal jariyah dan Insya Allah bermanfaat. 

Akhirnya, tulisan ini harus segera saya akhiri dahulu. Kalau membicarakan tabungan emas, rasanya tak ada habisnya.


Karanganyar, 20 Juli 2017

Senin, 17 Juli 2017

Nilai Mapel Pendidikan Agama Bukan Sekadar Angka-angka



Beberapa tahun yang silam, teman saya Guru Agama Islam bercerita. Selama beliau menjadi Guru dan mengajar, bila seorang siswa tidak “sangat keterlaluan” maka pantang baginya memberikan nilai enam ke bawah. Paling tidak beliau akan memberi nilai tujuh.

Teman saya percaya, seandainya siswanya tidak bisa mengerjakan soal ulangan harian, tes semester atau tes kenaikan kelas, tapi siswa tersebut bisa membaca surat Al Fatihah, surat-surat pendek, bisa shalat, dan benar bacaannya serta mengerjakan puasa. Nilai ulangan atau tes yang jeblok atau jatuh bisa ditolong dengan remidi dan amalan lainnya. Maka, tidak ada yang aneh kalau nilainya minimal tujuh.

Teman saya tidak pelit memberi nilai dalam bentuk angka. Harapannya, setiap Guru Agama Islam, juga akan melakukan hal yang sama dengan beliau. Tapi apa yang terjadi? Nilai Agama Islam pada rapor putrinya hanya enam. Teman saya tidak marah, hanya kaget saja. Mosok, Bapaknya Guru Agama Islam, anaknya rajin shalat, puasa, menangkap pelajaran juga tidak bodoh-bodoh amat, kok nilai Agama hanya enam.

Menurut saya, benar apa yang dikatakan teman saya. Mapel Agama Islam, cara menilainya bukan dari gabungan angka-angka saja. Seharusnya ada faktor X yang membuat nilai itu angkanya “enak dan manis dipandang mata”, paling tidak tujuh.

Contoh lagi, seorang anak berbudi pekerti baik, tapi karena belum fasih baca tulis, nilai akhlak di rapor hanya 55. Anak setiap zuhur dan asar di sekolah mengikuti shalat berjamaah, mengikuti doa bersama, bisa membaca dengan benar bacaan dalam shalat, bisa melakukan wudhu sebelum shalat, nilai fikihnya 50. Apakah amal dan perbuatan baik anak tadi, tidak diikutkan dalam penilaian? Apakah nilai ini hanya didapat dari ulangan harian, tes semester atau kenaikan kelas saja? Apakah tidak ada unsur lain yang bisa untuk mengangkat nilai anak tersebut menjadi lebih tinggi?

Benar juga kata kenalan Guru yang sudah senior, biji ora kulakan we kok pelit-pelit dikasih ke siswa. Bukan berarti mengabaikan proses penilaian, tapi mari kita cermati lagi. Sudah pantaskah kita memberi nilai hanya sekadar angka tanpa mempertimbangkan akhlak, amal perbuatan, kebiasaan anak-anak didik?

Saya kira memberi nilai pada rapor untuk pelajaran Agama, akan berbeda dengan memberi nilai untuk pelajaran matematika.

Pantas saja teman saya (Guru Agama Islam) kaget, mendapatkan nilai 6 pada rapor anaknya, puluhan tahun yang silam.


Karanganyar, 17 Juli 2017

Minggu, 16 Juli 2017

Ayo Menabung!

Buku Rekening

Menabung itu awalnya dipaksakan, tapi seiring berjalannya waktu tentu saja pemikiran kita akan berubah. Kini tidak lagi menabung karena terpaksa atau dipaksa, melainkan menabung adalah kebutuhan kita. Dengan menabung rutin berarti kita bisa memecahkan masalah keuangan ketika genting.

Apakah yang bisa kita tabung? Kita bisa menabung dalam bentuk uang, tanah, perhiasan atau emas.

Di manakah tempat untuk menabung (menyimpan uang dan perhiasan)? Pada umumnya, kita menabung uang di rumah atau bank. Kalau untuk menabung perhiasan, selain di rumah, tempat untuk menabung perhiasan adalah pegadaian. Ternyata, sekarang ada juga bank yang melayani untuk menabung emas.
 
Nabung uang receh


Kalau bisa, segala macam transaksi kita bebas dari riba. Oleh sebab itu, sebelum menabung di suatu tempat baik dalam rupiah (uang) maupun emas, kita harus tahu ada riba atau tidak dalam transaksi tersebut. Sebagai muslim, kita harus menjauhi riba.

Bagaimanapun, menabung memang kita perlukan dan harus kita lakukan. Kalau kita belum memiliki tabungan sama sekali, mari kita awali saat ini dengan menabung uang recehan. Insya Allah, tabungan kita bermanfaat.

Selamat menabung.

Kamis, 13 Juli 2017

Pedagang Tahu Bulat di Bus AKAP


Perjalanan pulang dari Yogyakarta sampai Solo memakan waktu lama karena macet. Sampai Solo kemalaman. Sebelum memasuki Solo, naiklah seorang laki-laki pedagang tahu bulat. Laki-laki itu menawarkan dagangannya dengan ramah. Salut aku, zaman sekarang ada anak muda menawarkan dagangan dengan ramah. "Kalau tidak dibeli, silakan dikembalikan."

Setelah membeli dua bungkus tahu bulat @2000 rp, aku minta izin memotretnya.
"Pakai kamera saya saja mbak. Punya mbak blitznya tidak hidup."
Akhirnya Faiq memotret mas pedagang tahu bulat. Melalui blutut, gambar dikirim. "Makasih ya mas. Semoga laris."

Matur nuwun. Ada senyum mengembang karena malam ini tahu bulatnya laku banyak. Ternyata rasa tahu bulatnya enak.

Karanganyar, 13 Juli 2017

Rabu, 12 Juli 2017

Jumat, 07 Juli 2017

Berbagi Peran Dengan Pasangan di Rumah


Berbagi peran dengan pasangan di rumah, sebenarnya mudah dilakukan. Hal ini bisa terjadi bila masing-masing memiliki kesadaran untuk mengambil tugas bukan karena terpaksa. Contoh, saya biasa melakukan pekerjaan tumah tangga seperti mencuci, memasak, menyetrika pakaian, membersihkan rumah, merapikan rumah dengan tidak merasa terbebani. Saya bekerja di luar rumah, dari pukul 06.30 – 14.00 WIB. Oleh karena semua sudah berjalan lama, maka saya melakukan dengan hati senang.

Suami memiliki tugas sendiri. Tugas di rumah adalah membersihkan halaman, sekitar rumah, dan kebun belakang rumah. Saya dan suami sama-sama mengajar dan memiliki jadwal yang sama di sekolah. Tanpa diminta, suami juga mau mencuci pakaian, membersihkan dalam rumah dan menyetrika. Untuk urusan konsumsi, suami juga tidak canggung untuk membelikan lauk pauk buat keluarga saat dibutuhkan.

Untuk urusan anak-anak yang berkaitan dengan pelajaran memang saya lebih banyak mengambil peran. Saya lebih sabar menghadapi atau mendampingi anak-anak belajar. Saya juga lebih sabar menunggu anak-anak ketika mereka melakukan aktifitas di rumah selain belajar. Saya paling suka mendampingi si kecil Faiz, bermain, terutama bermain di luar rumah. Saya harus berada di luar rumah ketika Faiz bermain di luar. Rumah kami berada di dekat sawah. Kiri, kanan, depan dan belakang rumah adalah sawah. Memang di depan rumah saya ada jalan permanen, jalan yang menghubungkan jalan raya dengan perumahan dan kampung. Kalau si dhenok Faiq, sukanya curhat atau cerita. Biasanya Faiq juga ikut berada di luar kalau adiknya di luar.

Faiq dan Faiz, dua anak saya juga dekat dengan Ayahnya. Faiz suka ikut Ayahnya berada di lapangan untuk badminton atau tenis. Sedangkan Faiq suka pergi dengan Ayahnya untuk keperluan membeli buku dan barang kesukaannya di Solo.

Dahulu, ketika Faiq belum memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), saya dan suami berbagi tugas untuk antar jemput Faiq sekolah maupun les. Demikian juga dengan Faiz, kami bergantian mengantar dan menjemput Faiz.

Saya tipe Ibu rumahan. Saya juga membiasakan diri untuk segera berkumpul dengan anak-anak dan suami. Kalau suami memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, maka saya akan mengantar-jemput Faiq-Faiz. Saya selalu ingin anak-anak merasa aman dan nyaman bersama saya di rumah. Kalau saya memiliki kepentingan dan tidak bisa menjemput Faiq-Faiz maka saya akan minta bantuan suami untuk mengurus Faiq-Faiz. Jangan sampai karena kedua orang tua sibuk, Faiq-Faiz jadi tidak terurus.

Bila suatu saat saya ada keperluan dengan teman-teman, tetapi tidak terlalu penting, bila saatnya menjemput anak-anak, saya pasti izin pulang duluan. Teman-teman juga tahu, kerepotan saya seandainya suami sedang dinas di luar kota..

Sekarang Faiq sudah memiliki SIM, ke sekolah dan mengikuti les, Faiq mengendarai sepeda motor sendiri. Saya selalu berpesan untuk selalu hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa. Tugas saya mengantar dan menjemput Faiq, sudah tidak ada. Tinggal antar jemput Faiz.

00000

Sejak sebelum menikah sampai sekarang, saya tidak suka keluar rumah kalau tidak untuk hal penting. Saya tidak suka jalan-jalan, berbelanja, atau melakukan aktifitas yang mengeluarkan banyak uang. Bagi saya, bekerja, mengurus anak, menulis, menyalurkan hobi dan melakukan perjalanan, sudah cukup menyita waktu. Saya tidak akan melakukan kegiatan “me time” tetapi mengorbankan anak-anak.

Bagi saya, anak-anak adalah segalanya. Saya dan suami akan berbagi tugas. Kami sadar, semua pekerjaan tidak bisa diselesaikan oleh satu orang saja. Kalau sekali tempo, kami harus melakukan semuanya, itu karena pasangan ada tugas keluar kota atau tugas sampai menginap.

Anak-anak biasa, kalau masuk rumah, salah satu di antara Ayah dan Mami, tidak ada di rumah, mereka pasti bertanya,” Ayah mana? Mami mana?”

Kalau kami lengkap, saya, suami, Faiq-Faiz, berada di rumah, ternyata banyak hal bisa kami lakukan bersama. Kami kompak dalam hal berbagi peran.


Karanganyar, 7 Juli 2017

Rabu, 05 Juli 2017

Reuni Dan Kaos Seragam Reuni

Seragam keluarga bukan seragam reuni

Sebenarnya tidak ada aturan yang mengharuskan reuni dilakukan saat-saat momen lebaran. Reuni, mau diadakan kapan saja boleh dan sah-sah saja. Seandainya reuni diadakan bukan saat (nuansa) lebaran, ya silakan. Pokoknya waktu reuni itu tidak mengikat. Yang penting saat reuni ada peserta yang datang. Reuni, tidak perlu harus mendatangkan sekian orang. Bertiga, berempat atau berlima, reuni tetap bisa jalan (kalau satu orang, bukan reuni dong hahaha).

Untuk mengumpulkan banyak orang pada saat tertentu bukan perkara mudah. Antara satu orang dengan lainnya memiliki kepentingan dan acara berbeda. Kalau saat reuni ada teman yang tidak bisa datang, tentu saja kita harus maklum. Kita tidak bisa memaksa orang lain agar sama dalam hal waktu luang. Berpikiran positif saja terhadap teman-teman yang tidak bisa menghadiri reuni.

Reuni digunakan untuk sarana silaturahmi. Reuni jangan digunakan untuk pamer. Pokoknya sembarang pamer tak perlu dilakukan saat reuni. Jabatan, kekayaan, prestasi, anak, pasangan dan lain-lain tak perlu dipamerkan. Reuni bukan ajang pamer, reuni juga bukan ajang berkeluh kesah. Reuni bukan untuk mengungkit sesuatu yang menyakitkan atau reuni bukan untuk menyemaikan kembali cinta yang telah lalu. (Karena yang saya sebut yang terakhir, kadang terjadi pada dua insan yang pernah jadian. Jadian apa sih? Silakan diterjemahkan sendiri).

Kalau pada saat reuni ternyata ada teman yang bisa membantu atau kita bantu dalam hal mendapatkan pekerjaan, ya baguslah kalau begitu. Inilah sisi positif dari reuni. Senang rasanya bila melihat teman-teman kita sukses dan bisa menyukseskan teman yang lain.

Reuni bisa dilaksanakan di mana saja. Masalah tempat bisanya dipilih posisi di tengah-tengah. Maksudnya, tempatnya bisa terjangkau dari berbagai penjuru. Biasanya teman-teman kan rumahnya tidak berdekatan. Reuni bisa dilaksanakan di rumah, menyewa rumah makan, menyewa gedung, atau di tempat wisata tertentu. Semua tergantung kesepakatan.

Untuk mengenal peserta reuni (kalau pesertanya banyak), biasanya ada seragam reuni. Kadang-kadang, saat reuni peserta juga mengajak pasangannya. Misalnya 20 sampai 30 tahun tidak pernah bertemu, mungkin kita pangling pada teman. Kalau pasangan (bukan dari sekolah yang sama) memakai seragam, nanti bakalan keliru dan omongannya mungkin tidak nyambung dong.

Yang paling praktis seragamnya adalah kaos dengan tulisan tertentu dan ada tahun reuni. Dengan demikian, terkesan ada kekompakan meskipun sudah lama berpisah. Kalau mau mengikuti, ada reuni bersama teman SD, SMP maupun SMA. Bila pada tahun yang sama, reuni pada ketiga jenjang kita ikuti, dan saat reuni memakai seragam, berapa seragam reuni yang kita miliki? Kalau reuni dilakukan tiap tahun, berapa seragam yang kita miliki? Dan jangan lupa seragam itu hanya dipakai bareng dengan banyak orang pada saat reuni. Selebihnya kita pakai sebagai pakaian harian. Atau kita pakai saat bertemu teman tertentu dan sudah janjian memakai kostum tertentu, misalnya.

Saya bukan anti seragam. Saya juga tidak tiap tahun menghadiri acara reuni. Yang saya ingat, sejak lulus SD tahun 1984 saya baru mengikuti sekali reuni SD. SMP lulus tahun 1987, sampai sekarang saya belum pernah mengikuti reuni (Padahal hanya di Yogyakarta, tiap tahun diadakan pertemuan rutin). SMA lulus tahun 1990, baru tiga kali saya mengikuti reuni. Bahkan dengan teman kuliah (lulus tahun 1993) saya belum pernah bertemu dengan teman-teman D3 Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Negeri Yogyakarta. Bagi saya bertemu teman lama itu penting tetapi tidak paling penting. Kalau memang waktunya memungkinkan, saya juga berusaha untuk mengikuti reuni.

Kembali pada seragam untuk reuni. Bila tiap reuni kita harus membeli seragam, berapa banyak akan kita miliki seragam reuni? Belum lagi kalau ternyata seragam yang digunakan reuni SD, SMP atau SMA warnanya sama. Rasanya kok menumpuk-numpuk pakaian. Apakah tidak lebih baik kalau pakaian yang dikenakan saat reuni memakai dresscode saja. Bisa saja warna pakaiannya sama atau senada, entah itu polos, bercorak dan lain-lain. Lebih hemat dan tidak mubazir. Wahhhh, nggak kompak dong? Ya, silakan saja kalau mau memakai seragam. Saya cenderung suka memakai pakaian yang warnanya senada. Dengan memakai dresscode, bisa saja kita tak perlu membeli baju/kaos lagi karena kita sudah punya pakaian yang dimaksud dan tinggal memakai.

Seandainya seragam reuni diberikan secara gratis karena ada sponsor, saya mau-mau saja. Ya, barangkali suatu saat pada pelaksanaan reuni ada sponsor yang akan memberikan seragam secara gratis. Wah, ngarep banget!


Karanganyar, 5 Juli 2017 

Lebaran dan Pantai Goa Cemara Kabupaten Bantul, DIY

Noer's Dynasty

Bagi saudara-saudara saya yang tinggal di DIY dan keluarga kakak saya yang tinggal di Kabupaten Blora, Jateng, berlibur ke pantai selatan itu hal biasa. Mereka bisa pergi ke pantai sewaktu-waktu. Berbeda dengan saya, suami dan anak-anak. Harap maklum, saya tidak memiliki kendaraan roda empat yang bisa membawa kami sekeluarga berlibur ke pantai. Paling tidak, salah satu dari kami (saya atau Faiq) harus tinggal di rumah Ibu. Biasanya yang bisa pergi dengan sekali angkut ayah, saya dan si kecil. Atau, Faiq, ayah dan si kecil.

Kali ini, anak, menantu  dan cucu Ibu bisa kompak berlibur ke pantai Goa Cemara. Pantai Goa Cemara, Kabupaten Bantul, DIY terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis. Alhamdulillah, senang rasanya bisa bepergian bersama keluarga besar dengan kostum yang sama. Adik saya memunyai ide membuat seragam kaos yang digunakan untuk lebaran. Dua kakak saya yang lain dengan pasangannya tidak ikut ke pantai karena ada suatu keperluan.
Menyendiri memandang laut lepas

Awalnya, kakak saya kedua, mbak Anna mengutarakan ingin bepergian bersama tetapi di tempat wisata yang tidak ramai, dan bebas macet. Maka pantai Goa Cemara pilihannya. Sebelum berangkat, kami membawa bekal makanan ringan, minuman dan buah-buahan. Langkah ini kami tempuh agar pengeluaran tidak begitu banyak. Maklum saja, suasana lebaran, makanan dan minuman yang dijual di tempat wisata, tidak ada yang murah. Untuk makan berat, kakak saya memesan di lesehan sekitar pantai, yang harganya masih terjangkau dan tidak “ngepruk”/terlalu mahal.

Biaya retribusinya juga murah, yakni empat ribu rupiah per orang. Kebetulan saya dan suami naik sepeda motor, parkir sepeda motor tiga ribu rupiah. Masih terjangkau dan tidak mahal.

Sampai di pantai memang pengunjungnya sudah banyak, tapi tidak berjubel. Kami menggelar dua tikar lalu memandang ke pantai dengan nyaman. Meskipun ramai, tapi keberadaan pengunjung tidak menghalangi kami melihat pantai dari kejauhan.
Dilarang mandi di laut


Saya harus mengawasi Faiz, si kecil yang sangat aktif dan tidak mau diam. Bagaimanapun, Faiz adalah tanggung jawab saya sebagai Ibunya. Memang di banyak tempat ada peringatan untuk menjauh dari pantai. Artinya, kami tidak boleh bermain air. Gelombang besar kadang datang tanpa bisa kita duga sebelumnya. Untuk mengantisipasi agar Faiz tidak mendekati air, saya ajak dia bermain pasir.  Faiz membuat cetakan bangunan pasir dengan wadah po* mie. Setelah itu Faiz dan keponakan saya, Icha yang kecil mungil mencari daun cemara lalu ditusukkan di atas bangunan pasir. Mereka berlari ke sana kemari dengan riang. Saya, kakak, adik dan suami tetap memperhatikan Faiz dan Icha. Kami tidak boleh lengah.

Ketika merasa sudah cukup kami menikmati udara sejuk, menikmati makanan ringan dan menikmati suasana yang nyaman, kami harus membereskan bawaan. Tidak lupa, sampah-sampah yang kami hasilkan, kami buang di tempatnya. Senang rasanya berada di tempat yang menyediakan tempat sampah di mana-mana. Dengan tempat sampah yang tersedia ini, jelas membuat tempat wisata menjadi bersih. Saya amati, sebagian besar pengunjung juga membuang sampah pada tempatnya. Memang menjaga kebersihan adalah gaya hidup kita. Apalagi sebagai seorang muslim, tentu mengutamakan kebersihan.

Kami menuju warung makan lesehan. Nasi hangat, oseng kangkung, cumi asam manis, ikan bakar, lalapan, sambal kecap sudah tersedia. Waktunya makan! Seperti biasa, kakak saya selalu minta wadah plastik atau kertas minyak untuk membungkus makanan yang tidak habis.

Pantai Goa Cemara tidak terlalu jauh dari rumah saya. Waktu yang kami tempuh hanya satu jam. Alhamdulillah, ketika berangkat dan pulang, kami terhindar dari macet. Sampai di rumah Ibu, azan asar berkumandang.

Bagi saya, orang asli Yogyakarta, melakukan perjalanan wisata ke pantai selatan amat menyenangkan meskipun saya takut air.  Meskipun saya asli Yogya, tapi pantai yang saya kunjungi baru sebagian kecil saja, Pantai Baron, Pantai Indrayanti, Pantai Depok, Pantai Parangtritis, Pantai Samas, Pantai Kwaru, Pantai Baru, dan Pantai Goa Cemara. Bukan berarti saya kurang piknik, alasan saya adalah saya takut air. Semoga di masa yang akan datang, masih ada waktu untuk saya menjelajahi pantai-pantai yang ada di Bantul dan Gunungkidul.

Bagi saya, lebaran kali ini adalah pertama kali piknik bersama keluarga besar.


Karanganyar, 4 Juli 2017
Sumber: www.kompasiana.com/noerimakaltsum

Minggu, 02 Juli 2017

Lebaran Dan Ibu


Hari Jumat, 23 Juni 2017 malam, Faiq yang sudah duluan mudik di rumah Ibu dan Bapak tiba-tiba mengirimkan foto sepiring ketupat, opor dan sambal goreng. Masih hari Jumat, kok sudah ada opor ayam dan sambal goreng, makan-makan acara apa itu? Kata anak saya,”Nggak tahu, Ma. Pokoknya simbah putri masak itu.”  Saya tak perlu bertanya lebih jauh lagi. Toh hari Sabtu saya mau mudik, tanyanya besok saja kalau sudah sampai rumah Ibu dan Bapak.

Malam takbiran, biasanya opor ayam dan sambal goreng masih fresh ngejreng, tapi kali ini tidak. Opor ayam dan sambal goreng sudah mengalami penghangatan dua kali. Bahkan untuk ketupat juga sudah basi karena tidak disimpan di dalam kulkas.

Ternyata oh ternyata, begini kisahnya:

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya, Ibu sekarang daya ingatnya berkurang. Bahkan Ibu juga tidak bisa mengingat-ingat hari dan tanggal. Pagi-pagi, Ibu berbelanja di pasar diantar Bapak. (Yang saya herankan, Bapak kok ya tidak mengingatkan Ibu. Padahal Bapak tahu kalau lebaran masih 2 hari lagi) Ibu berbelanja bermacam-macam bumbu, telur, daging ayam, krecek dan lain-lain. Ketika Ibu sudah mengumpulkan belanjaan jadi satu, Ibu belanja bumbu lagi (lupa padahal barang tersebut sudah dibeli beberapa menit sebelumnya). Jadilah, bumbu dapur berlimpah dalam plastik bawaan.

Begitu mulai meracik bumbu, barulah Ibu diberi tahu kalau lebaran masih dua hari lagi, bukan besok. Karena sudah terlanjur dibeli, ya sudah akhirnya dimasak. Jadilah, santap opor dan sambal goreng sebelum lebaran. Namanya juga pelupa, ya……diterima saja. Saat lebaran, opor dan sambal goreng sudah melalui proses penghangatan berulang-ulang.

Nah ini ada kejadian tak terduga. Ibu menawari adik saya dan keluarga kecilnya untuk makan siang. Adik saya langsung bilang ke Ibu sayurnya tidak usah dipanaskan. Entah mengapa beberapa saat kemudian aroma gosong tercium. Mungkin, Ibu ingin memberikan yang terbaik untuk anak cucunya. Maksud Ibu dengan sayur dipanaskan nanti akan menggunggah selera saat menyantap nasi dan sayurnya. Tapi Ibu lupa, benar-benar lupa (dan kami tetap memakluminya), setelah menghidupkan kompor beliau kemudian merebahkan badannya. Perasaan Ibu rebahannya hanya sebentar, tapi cukup menggosongkan sambal goreng. Tidak ada yang marah, semua menerima apa adanya. Ya, mau bagaimana lagi? 

Bapak dengan sabar bilang,”Ibu sudah diingatkan jangan menghidupkan kompor. Biarlah yang memanasi sayur Bapak saja.”
Ibu hanya tersenyum.

00000

Hari Selasa, kakak saya yang tinggal di Blora datang. Ibu siap-siap memasak sambal goreng lagi padahal anak-anak Ibu yang lain bersiap ke pantai. Itu artinya kami tidak makan siang di rumah. Ketika Ibu dilarang memasak lagi, beliau bilang,”yang mau pergi, pergi saja. Aku mau masak, kalau aku tidak masak nanti tidak ada lauk.” Semua diam. Ya sudah, pasti Ibu masaknya juga banyak.

Lebaran dan Ibu,
Mungkin karena kebiasaan Ibu sejak dahulu selalu menyiapkan makanan istimewa saat lebaran  untuk anak-anaknya. Ibu terbiasa melakukan semua sendiri. Kami, anak-anaknya hanya membantu seperlunya saja. Tapi sekarang kondisinya berbeda dengan dahulu.

Bagi kami, Ibu adalah orang yang harus dimuliakan. Ibu tak perlu bersusah payah lagi menyiapkan makanan saat lebaran. Kami merasa bisa mengurus diri kami. Kami bisa saling membantu satu sama lain untuk menyiapkan makanan dan semuanya. Sebenarnya kami tak ingin merepotkan Ibu. Kami cukup tahu diri. Tapi menurut saya, Ibu hanya menjalankan kebiasaan yang telah berjalan puluhan tahun. Ibu ingin anaknya bisa makan bareng dengan penuh suka cita.

Tentang Lebaran dan Ibu, sebenarnya banyak yang akan saya ceritakan. Waktu saya tiba di rumah Ibu yang lalu, saya bertanya (ngetes Ibu),”Hayo, saya siapa?” Jawab Ibu,”Kamu, ya Ima.” Saya kejar lagi dengan pertanyaan berikutnya,”Ima anak nomor berapa?” Ibu tersenyum,”Pira ya.” Saya membantu menyebutkan urutan nama anak-anak. Sambil tersenyum beliau bilang,”Kamu nomor empat.” Tidak berhenti sampai di situ, saya bertanya lagi,”Anak nomor lima siapa hayoooo.” Jawab Ibu,”Ovi.” Saya meluruskan,”Nomor lima Lely, nomor enam Ovi.” Ibu tersenyum.

Sehat selalu ya Buk, maaf kemarin uang bulanannya lupa belum saya serahkan.

Karanganyar, 2 Juli 2017

Sabtu, 01 Juli 2017

Lebaran Momentum Silaturahmi di Masjid


Hari Ahad, 25 Juni 2017 kami menuju lapangan Minggiriran untuk menunaikan shalat Id. Meskipun berhalangan untuk shalat, Faiq tetap turut serta ke lapangan. Sengaja kami datang lebih pagi. Alhamdulillah, kami berada di shaf pertama untuk perempuan.

Kami melantunkan takbir sembari menunggu jamaah shalat Id yang datang. Udara begitu sejuk, tidak panas. Pukul tujuh lebih, shalat Id dimulai. Pada rakaat kedua, saya mendengar Imam membaca ayat-ayat akhir dari surat Al Ghasyiyah dengan suara bergetar, tercekat, sepertinya menangis. Demikian dalam makna dari surat tersebut.

Usai shalat Id, kami mendengarkan khutbah sampai selesai. Zaman sekarang, kesadaran umat muslim sudah demikian tinggi. Ketika saya masih kecil, bila shalat telah selesai, para jamaah banyak yang meninggalkan lapangan untuk pulang. Hampir separo jamaah yang tidak mendengarkan khutbah sampai selesai. Sekarang pengetahuan jamaah sudah bertambah baik. apalagi sebelum shalat, panitia memberitahukan kepada jamaah untuk tidak meninggalkan khutbah. Khutbah diikuti sampai selesai. Toh, khutbah juga tidak terlalu lama.

Sampai di rumah, saya kemudian memesan mie ayam di warung tetangga. Mengawali bulan Syawal dengan mengkonsumsi mie ayam, bukan opor ayam, lontong dan ketupat. (ada cerita lain mengapa hari nan fitri ini tidak diawali dengan makan opor ayam dan ketupat).

Baru saja akan menyantap mie ayam, para tetangga datang ke rumah untuk bermaaf-maafan dengan Ibid an Bapak serta kami, anak-anaknya. Dari tahun ke tahun, semakin banyak yang bersilaturahmi ke rumah Bapak. Tentu saja, yang dulu remaja, kini sudah berkeluarga dan memiliki anak.

Pukul Sembilan, saya, Ibu dan Bapak menuju Masjid Al Ikhwan. Masjid Al Ikhwan adalah tempat saya menimba ilmu agama dan berbagi ilmu. Di tempat inilah, dahulu saya belajar banyak hal, belajar banyak karakter orang.

Di masjid berkumpul jamaah yang akan bersilaturahmi, merayakan Idulfitri dan saling bermaaf-maafan. Ibu masuk masjid kemudian panitia menempatkan Ibu di dekat Ibu-ibu yang sudah sepuh. (di dalam masjid khusus perempuan, sedangkan laki-laki berada di luar). Saya harus mengawasi Ibu. Maklum, Ibu sudah banyak lupa. Jadi, agar Ibu tidak bingung, saya harus menuntun Ibu.

Saya memperhatikan orang-orang yang berada di dalam masjid. Anak-anak, remaja, dewasa, dan tua, menjadi satu dalam suasana suka cita. Beberapa dari Ibu-ibu sepuh, saya masih mengenalnya. Beberapa orang yang dulu masih imut sekarang sudah dewasa, atau yang seusia dengan saya, saya juga mengenalnya. Sekitar 20 tahun lamanya kami tak bersua. Ternyata, wajah saya tidak berubah. Mereka sangat mengenal saya di usia yang tak muda lagi.

Ibu berusia 71 tahun, badannya masih sehat tapi daya ingatnya sudah berkurang. Ibu cenderung menjadi pelupa. Bagi yang tidak sabar menghadapi orang tua yang pelupa, pasti bawaannya akan marah. Sebenarnya alasan apakah yang membuat orang mudah marah menghadapi orang tua yang pelupa? Sederhana saja, biasanya apa yang diutarakan orang tua tidak sejalan dengan jalan pikiran kita.

Ketika silaturahmi di masjid, saya melihat Ibu-ibu yang usianya sebaya dengan Ibu juga bermacam-macam kondisinya. Ada yang sakit-sakitan, ada yang hidupnya tergantung dengan obat, ada yang hidupnya tergantung dari transfuse darah dan lain-lain. Dengan melihat dan mendengar cerita beberapa orang yang saya temui, saya tetap bersyukur. Meskipun sekarang menjadi pelupa, tapi Ibu tetap sehat dan diberi umur panjang. Shalat dan puasa juga tidak ditinggalkan Ibu. Bahagianya saya mendapatkan Ibu dengan kondisi seperti ini. Tetap sehat ya Bu…..

Akhirnya saya, Ibu dan Bapak meninggalkan masjid dan pulang. Ibu dan Bapak mampir ke rumah tetangga non muslim. Tetangga non muslim juga kedatangan tamu-tamu muslim. Ada apakah ini? Biasa, tetangga non muslim juga terbuka menerima tamu muslim atau bertamu ke rumah tetangga muslim di saat lebaran. Tidak bermaksud apa-apa, hanya bermaaf-maafan saja.

Selanjutnya, Ibu dan Bapak menuju rumah Mbah Wazilah Wido Suroto (mbah putri). Pada hari-hari biasa, Bapak sering mengisi pengajian yang diselenggarakan di rumah mbah Wido. Mbah Wido usianya lebih dari 80 tahun dan masih sehat.

Semoga tahun lebaran ini lebih bermakna dari tahun sebelumnya. Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin. Taqoballah minna wa minkum.


Karanganyar, 1 Juli 2017