Ada seorang
kerabat yang membutuhkan uang dalam jumlah besar tiap bulannya. Omong punya
omong, ternyata sang kerabat tadi memiliki hutang di bank dengan nominal yang
cukup besar. Gaji tiap bulan sebagai PNS hanya tersisa di bawah lima ratus ribu
rupiah. Kok bisa? Saya ngeyel. Tidak mungkin sisanya Cuma segitu. Setahu saya,
minimal pegawai menerima sisa gajinya sebesar 30% setelah gaji dipotong
cicilan.
Saya
bukan PNS, tapi kata suami dan teman-teman PNS kurang lebih aturannya seperti
yang saya sampaikan tadi. Tidak mungkin bank akan memotong habis gaji PNS yang
hutang. Hutang tersebut harus dicicil
selama 15 tahun, lima belas tahun. Lima belas tahun, bukan waktu yang singkat. Beruntung,
tiap bulan kerabat tadi masih mendapatkan TPP yang jumlahnya lumayan. Dan ada
tunjangan profesi guru yang diterimanya tidak bisa dijagakke (eh bahasanya kok
campuran gini) alias cairnya tidak tiap bulan.
Uang
pinjamannya buat apa? Tidak perlu saya ceritakan. Yang jelas, selain cicilan
bank, dia masih mencicil kredit 2 buah sepeda motor. Saya membatin, gile benar
nih orang. Gimana hidupnya mau tenang kalau tiap hari mikir besok gimana
makannya, beli bensinnya dan lain-lain. Kalau ada orang yang bilang punya
hutang, hidupnya jadi semangat. Preketek! Bagi saya gak punya hutang, hidup
lebih bahagia. Kalau punya hutang, paling tidak harus bayar bunga atau bahasa
lembutnya adalah jasa.
Kalau
tak punya hutang, makan nasi bungkus lauk tempe dan teh hangat di angkringan,
nikmatnya bukan kepalang. Sesekali makan masakan padang, olahan daging kambing,
rica-rica menthok, buat menambah wawasan biar tidak gagap kuliner.
Kembali
pada hutang tadi. Suatu hari yang gerimis, saat menjelang maghrib pula, kerabat
saya bercerita kalau mau ke bank BNI.
Saya
bilang,”hari ini kan Minggu. Banknya tutup kan?”
Dia
bilang,”mau membayar kartu kredit.”
Jederrrr!
Kartu kredit?
“Kamu
punya kartu kredit? Aku nggak punya. Kartu kredit itu manis di depan, belakang
harinya menjerat!”
“Yang
penting mbayarnya lancar.”
Saya
mau bilang,”lancar gundhulmu!” Tapi kok ya nggak tega.
Ya sudah,
hidup-hidup lu sendiri. Lu buat ruwet sendiri hidupmu. Terserah kamu sajalah. Aku
ndak mau ikut campur. Nanti kamu tersinggung, terus nantang la kowe ki sapa kok
wani mengatur uripku. Gawat, bukan?
00000
Kok tulisan
saya jadi begini? Karena pada dasarnya saya suka nulis dengan bahasa saya, bahasa
sehari-hari yang saya dengar di sekitar saya. Bahasanya orang-orang yang
nyeruput kopi di angkringan. Di sini saya sebagai orang biasa, yang selalu
mengamati dan belajar dari orang-orang sekitar saya.
00000
Saya
tidak memiliki kartu kredit dan tidak tergiur untuk membuatnya. Dulu ketika di
sekolah ada penawaran kartu kredit dan banyak teman yang akhirnya luluh pada staf
marketing, saya tetap bilang NO!
Bagi
saya, daripada memiliki kartu kredit lebih baik memiliki kartu debet. Punya kartu debet, biarpun saldo
hanya sedikit, tapi hidup ini tenang karena tidak ditagih hutang.
Tulisan
ini dibuat sebagai sarana terapi setelah “stress” dikejar-kejar pak kurikulum
untuk menyelesaikan administrasi. Tidak pagi, siang, sore atau malam, yang
dipegang hanya aplikasi-aplikasi administrasi untuk persiapan supervisi dan
monitoring oleh Pengawas SMK hari Senin besok pagi. Semoga besok pagi tetap ada
energi! Butuh tongseng kambing setelah selesai monitoring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar