Jumat, 11 Agustus 2023

Menjaga Kemabruran Haji


Suatu hari saya dan suami kedatangan dua orang kenalan. Alhamdulillah, mereka adalah orang-orang yang sederhana meskipun sudah bolak balik ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Maklum, mereka memang "petugas" dan "pendamping".

Pengalaman mereka sudah tidak diragukan lagi. Rupanya mereka akan kroscek pada kami. Apa yang kami lakukan di sana, terkait ibadah sosial. Kalau ibadah secara personal malah tidak ditanyakan.

"Pak Bud, pripun? Kebiasaannya di sini juga dilakukan/dipraktikkan di sana, apakah mengalami kendala?"

"Alhamdulillah, kemampuan memijat tetap saya praktikkan. Siapa pun yang membutuhkan, saya bantu."

"Istrinya protes atau tidak?"

"Nggak, Pak. Sebab, sejak dari rumah kami memang bersepakat untuk membantu orang sesuai dengan kemampuan kami masing-masing." Jawab saya dengan lugu.

"Nah, kemarin itu sudah menjadi isu nasional kejadian di Muzdalifah. Bagaimana dengan njenengan berdua?"

"Di Muzdalifah, saya dan istri sepakat untuk berpisah "

"Maksudnya?"

"Karena kondisi saat itu tidak memungkinkan kami ke mana-mana harus berdua. Kami sepakat, saya mendampingi lansia dan istri juga mendampingi lansia. Kami tidak mungkin akan berempat. Lebih baik berpisah dan mencari "jalan keluar" dari Muzdalifah berdua berdua. Dengan seperti ini, alhamdulillah istri dan lansia yang didampingi lebih duluan mendapatkan bus yang membawa ke Mina. Sekitar jam 11-an. Sedangkan saya dengan bapak lansia sekitar jam setengah satu baru mendapatkan bus. Tetap bersyukur karena sampai Mina masih cukup waktu."

"Syukurlah, panjenengan masih sempat memikirkan orang lain. Muzdalifah adalah ujian bagi semua orang, sifat orang kelihatan saat di Muzdalifah."

Ujian? Ya, Muzdalifah adalah tempat ujian sesungguhnya. Saat itu bekal air habis. Kalaupun masih ada tentu jumlahnya terbatas. Air kran diminum juga tak masalah. Panas matahari benar-benar terik. Tidak ada pohon dan tenda di tengah tanah lapang yang luas. Hanya ada tenda tenda kecil tempat untuk antre menunggu bus.

Di Muzdalifah banyak orang sudah tidak peduli dengan yang lain. Namun, bagi saya dan suami, Muzdalifah adalah ladang amal. Kami hanya mendampingi, ikut mengantre menunggu bus agar lansia-lansia segera bisa ke Mina. Suhu udara sekitar 45 dersel, bukanlah suhu yang sejuk dengan angin sepoi sepoi. Suasana panas, hati panas, pikiran kemrungsung, panik, dan lain-lain.

"Pak Bud, haji mabrur itu bukan sebatas di tanah suci khatam baca Qur'an berkali-kali, tiap hari tahajud dan salat di Masjidil Haram, umroh sunnah tak terhitung, dapat mencium hajar aswad, menyentuh pintu Ka'bah, Multazam, maqam Ibrahim, salat di Hijr Ismail. Mabrur itu seberapa banyak kita bermanfaat bagi orang lain, tetap istiqamah melakukan salat berjemaah atau melakukan amalan secara rutin, khususnya setelah kita kembali ke tanah air."

Benar juga, bila mabrur hanya sebatas ini dan itu, kasihan orang lanjut usia, dissabilitas, dan orang yang mendampingi lansia yang terbatas bisa ke Masjidil Haram.

Menjaga kemabruran, ya di tanah air inilah apa yang bisa kita perbuat.

00000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar