Rabu, 29 Juni 2016

Serunya Berbagi Ilmu

Kemuning, Sumber Inspirasi
dok.pri
Serunya Berbagi Ilmu
Saya masih perlu belajar, karena belajar tak mengenal waktu. Belajar berjalan seumur hidup, tak ada batasan waktunya. Demikian juga belajar menulis. Belajar menulis bisa dilakukan secara otodidak, namun akan menjadi lebih baik kalau belajar langsung dengan ahlinya.
Dalam menulis, saya belajar dari membaca buku, membaca majalah, Koran, blog dan lain-lain. Bila ada kesempatan bertemu dengan ahlinya menulis, saya akan berusaha untuk mengikuti pertemuan tersebut. Apapun akan saya lakukan, saya rela mengorbankan waktu dan tenaga khusus untuk menimba ilmu.
Selama ini sudah ada beberapa orang yang saya temui, yang ahli menulis di bidangnya. Mereka adalah penulis yang bergabung di IIDN Solo. Alhamdulillah, penulis yang bergabung di IIDN Solo merupakan dermawan yang membagikan ilmunya sesuai bidangnya masing-masing. Saya mendapatkan ilmu dari sahabat penulis secara gratis, tidak membayar sedikit pun.
Meskipun saya mendapatkan ilmu dari banyak orang tentang menulis secara gratis, bukan berarti saya tidak serius menulis. Saya sangat serius menjadi penulis. Buktinya untuk mengasah kemampuan saya menulis, saya mengikuti lomba. Dengan mengikuti lomba menulis, kualitas tulisan saya semakin teruji. Kalah menang dalam lomba itu biasa. Saya selalu mengakui kehebatan penulis lain yang memenangkan lomba.
Oleh karena saya sering mendapatkan ilmu menulis secara gratis, maka saya juga harus membagikan ilmu yang sudah saya peroleh dengan suka cita. Saya bersyukur bilamana apa yang sudah saya bagikan lewat tulisan dapat bermanfaat untuk orang lain.
Menulis di blog ternyata membuat saya banyak belajar. Pertama belajar memasang foto. Kalau ukuran fotonya terlalu besar, saya harus bisa menyesuaikan/mengubah foto. Ada ilmu baru yaitu mengubah ukuran foto. Saya memerlukan waktu cukup lama mengubah ukuran foto ini. Sekarang, saya bisa dengan mudah memosting tulisan dengan foto manis.
Yang kedua memasang link hidup. Membuat link hidup itu gampang, tapi perlu belajar juga. Setelah mencoba berulang kali, barulah saya mantap dan yakin kalau bisa membuat link hidup.
Yang ketiga memasang banner. Kalau yang ini masih saya pelajari. Memang saya sudah berhasil memasang banner, tapi masih perlu belajar.
Pengalaman belajar memasang foto dan membuat link hidup ini ternyata sangat bermanfaat bagi teman-teman saya yang menanyakan cara memasang foto dan link hidup. Meskipun tanya jawab antara saya dan teman saya di fb tidak melalui tatap muka, nyatanya intruksi yang saya sampaikan bisa dipahami. Suatu kebahagiaan buat saya karena saya bisa menyebarkan manfaat meskipun jumlahnya belum seberapa.
Jangan beranggapan dengan membagikan ilmu maka ilmu kita akan berkurang. Justeru karena banyak berbagi ilmu inilah ilmu kita semakin bertambah. Dan yang penting berbagi ilmu itu seru banget. Buktikan sendiri saja kalau tidak percaya.

Penulis Tugasnya Menulis dan Menabung Tulisan

Penulis Tugasnya Menulis dan Menabung Tulisan
Saya berkomitmen untuk menulis setiap hari. Tulisan saya memang gado-gado, saya tidak fokus menulis satu tema saja. Entah itu saya publikasikan atau tidak, yang penting menulis. Dengan menulis dan menyimpan tulisan, maka kemampuan untuk menulis berkualitas semakin terasah. Apalagi ketika tiba-tiba ada lomba menulis, bahagianya saya kalau  memiliki stok tulisan yang temanya sama.
Dua tahun yang lalu saya mulai menulis kisah masa kecil saya. Masa kecil yang beraneka ragam ceritanya. Saya kumpulkan tulisan sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, meskipun belum begitu banyak tetapi bagi saya cukup membantu untuk menarik benang yang lain (hehe).
Bahagia tak terperi karena baru saja ada lomba menulis tentang pengalaman masa kecil yang ada kaitannya dengan lebaran. Atau kisah tentang tradisi lebaran. Saya dengan mudah comot tulisan sana-sini, karena ada pembatasan jumlah kata. Hanya poin-poinnya yang saya tuliskan. Sebenarnya, cerita lebaran di masa kecil banyak banget. Karena julah kata dibatasi, maka banyak kalimat dari tulisan yang sudah jadi saya pangkas.
Memang penulis itu harus siap dan sigap  dengan segala macam kondisi. Kalau kondisi masih memungkinkan, saya bisa menulis lebih baik lagi. Hanya saja karena DL-nya mepet dan saya juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya, maka tulisan yang sudah jadi tinggal diposting saja. Tak perlu edit sana-sini. Kebanyakan mengedit malah seperti menulis artikel baru lagi.
Sekarang lagi suka menulis. Mumpung waktunya longgar, liburan tak mengajar. Semoga setiap tulisan yang saya simpan/posting suatu saat bisa bermanfaat.

Bukber, Gaya Hidup dan Pemborosan

Nasi Bandeng Seribu Rupiah
dok.pri
Bukber, Gaya Hidup dan Pemborosan
Sekarang sedang ngetren acara bukber. Dari anak-anak hingga orang dewasa, dari semua kalangan tidak asing dengan bukber tersebut. Bukber atau berbuka puasa bersama ini memiliki nilai positif, tetapi juga ada kekurangannya. Kebaikannya adalah sarana mempererat tali ukhuwah, mempererat tali silaturahmi, berempati dan berbagi dengan sesama. Sisi keurangannya juga ada misalnya ajang pamer, tidak bersegera (menunda-nunda) shalat fardhu, berlebih-lebihan.
Sudah tiga kali saya mengikuti acara bukber di sekolah (untuk Ramadan tahun ini setiap hari Kamis) diawali berdoa bersama yang merupakan rangkaian dari pelaksanaan penerimaan peserta didik baru. Saya tidak mempermasalahkan acara doa bersama ini. Ternyata teman-teman saya juga sependapat dengan saya. Acara berdoa bersama dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama ini penggunaan/pengaturan waktunya tidak pas.
Setelah azan maghrib berkumandang, kami berbuka puasa langsung dilanjutkan dengan evaluasi dan pembahasan tentang penerimaan peserta didik baru. Ini yang keliru. Seharusnya kami berbuka dengan minum secukupnya dan makan satu kudapan saja lalu shalat maghrib berjamaah dahulu. Setelah shalat barulah mengadakan evaluasi. Teman-teman banyak yang bersungut-sungut, kami inginnya bersegera sementara yang memiliki hajat malah terkesan mengulur waktu dan bertele-tele.
Bukber di sekolah ini tidak makan besar, hanya kudapan saja. Setelah bukber selesai, saya tidak ikut shalat berjamaah di sekolah. Saya izin langsung pulang. Sebagai seorang perempuan, saya sudah meninggalkan keluarga untuk acara ini, meninggalkan suami dan anak-anak di rumah. Belum lagi jalur yang saya lewati dari sekolah sampai rumah sedikit rawan. Bisa dibayangkan, seorang perempuan pada malam hari, naik sepeda motor sendiri di jalan yang sepi. Rasanya ngeri saja. Saya hanya berdoa semoga saya selamat sampai di rumah.
Karena acara doa bersama dan bukber ini pula, acara mudik saya jadi ikutan tertunda. Menghadiri acara doa bersama dan bukber hukumnya adalah wajib. Dahulu saya pernah usul, doa bersama dilakukan pada siang hari setelah jam kantor saja. Supaya saya bisa dengan nyaman keluar rumah. Tapi usul saya tidak disetujui. Sebenarnya ada alasan mengapa saya tidak setuju doa bersama pada sore hari, sebab kalau sudah berada di rumah si kecil rewel bila saya tinggal. Nggak tega saya bila melihat si kecil menangis meraung-raung.
Sebenarnya saya tak begitu suka dengan acara bukber di luar rumah. Bukber di luar rumah akan banyak membuang waktu dan tenaga. Kalau soal uang mungkin tak begitu saya permasalahkan. Tahun yang lalu pernah diadakan bukber sambil membahas program sekolah. Bukber diadakan di rumah makan lesehan. Kebetulan rumah makan tersebut termasuk salah satu rumah makan favorit untuk bukber.
Antrinya lama padahal sudah berpesan jauh hari. Rumah makan padat berisi pelanggan. Acara pembahasan program sekolah bertele-tele, ngaya wara. Dan, menu buka puasa yang dihidangkan saya nilai terlalu berlebihan. Saya masih ingat betul. Katakanlah, yang datang di acara bukber 20 orang. Mulai dari minuman ada teh panas, es teh, jeruk hangat dan es jeruk jumlahnya lebih dari dua kali jumlah peserta bukber. Hidangan pembuka berupa kolak, jumlahnya lebih dari jumlah peserta bukber. Demikian juga es buahnya.
Untuk makan beratnya, nasi, lalapan dan sambel dengan beraneka macam lauk. Lele bakar, kakap bakar, bebek goreng, ayam goreng, yang jumlahnya sangat berlebihan. Sampai-sampai setiap orang bisa mencicipi keempat lauk tersebut. Setelah selesai acara ternyata makanan yang tersisa jumlahnya melebihi jumlah perserta. Benar-benar berlebihan. Apakah ini yang dinamakan menghambur-hamburkan uang?
Lantas bagaimana shalat maghribnya? Shalat maghribnya mepet waktu, tempatnya terbatas dan rasanya tidak nyaman dan khusyu. Bagaimana mungkin bisa khusyu kalau peserta bukber di rumah makan tersebut sangat “meramaikan” suasana dengan bicara kenceng-kenceng.
Saya tidak pernah memanfaatkan kondisi semacam ini dengan semangat aji mumpung. Bagi saya secukupnya saja. Ketika saya diminta membawa makanan yang masih ada, saya menolak. Saya hanya membawa es jeruk dan sambal (untuk melegakan saja). Pikiran saya, saya harus segera sampai rumah lalu menjalankan shalat maghrib. Kalau pulangnya terlalu malam, saya takuttttt. Itu saja teman-teman bertanya,”Piye wani ora mulihe?” “Dipeksa wani, sing penting ndang tekan omah.”

Sangat kontras keadaannya dibandingkan dengan ketika saya diajak suami berbuka puasa di Matesih hari Jumat yang lalu. Minumnya teh panas gelas kecil, si Thole susu panas, makan nasi bungkus, nasi sambal bandeng dan nasi oseng, lauknya bakwan, tempe dan tahu. Bertiga menghabiskan enam belas ribu lima ratus rupiah saja. Oh ya, nasi bandeng dan nasi oseng harganya seribu rupiah. Nasinya hanya dua sendok saja. Hemat bukan? Berpuasa memang untuk menahan segala-galanya. Bisa saja saya dan suami membeli makanan yang lebih dari itu. Pertanyaannya, buat apa?

Selasa, 28 Juni 2016

Sensasi Mudik Mendekati Lebaran

Mudik=ngumpul
dok.pri
Sensasi Mudik Mendekati Lebaran
Keluarga Yogyakarta dalam waktu dekat ini akan mengadakan bukber dengan tetangga sekitar rumah. Sudah diambil kesepakatan bahwa bukber diadakan hari Sabtu, 2 Juli 2016. Itu artinya saya harus segera pulang. Saya harus merampungkan pekerjaan.

Oleh karena suami belum selesai pekerjaannya, maka nanti saya hanya diantar ke Yogya, selanjutnya suami kembali ke rumah. Sebelum meninggalkan rumah, ada yang perlu saya lakukan untuk menyelamatkan barang-barang saya.
1.     Supaya barang-barang aman dari amukan hujan yang tiba-tiba datang, saya harus menutupi tempat tidur, rak buku, dan lain-lain.
2.     Lubang sela-sela pintu harus saya tutup rapat, agar binatang melata tidak masuk. Biasanya kalau ada lubang yang terbuka, kadal masuk rumah. Nah, bau kotorannya ini yang bikin geram. Ular sawah juga suka nyelonong masuk rumah tanpa permisi. Moga-moga hal ini tidak terjadi lagi.
3.     Menitipkan/mengamankan barang-barang berharga ke pegadaian.
4.     Mengamankan keran air, tabung gas, dan stopkontak.
5.     Yang terakhir mengamankan ayam-ayamnya Thole. Ini yang membuat saya selalu menunda mudik. Ah, kenapa mudik saya selalu dikalahkan oleh ayam? Kan bisa saja si ayam dikasih uang saku, toh dekat warung soto dan warung makan. [lupakanlah, semoga ayamnya sehat selama saya tinggal mudik]

Mudik mengendarai sepeda motor melewati desa-desa. Udara sejuk, perjalanan dinikmati dengan santai. Sampai di Yogyakarta, sorenya membeli dawet dan cincau di Dongkelan.

Lo, rasanya saya sudah menjalani acara mudik tersebut. Mudik memang memiliki sensasi tersendiri. Apalagi waktu mudik mendekati lebaran. Wah, jadi pingin segera angkut-angkut barang.

Karanganyar, 28 Juni 2016

Senin, 27 Juni 2016

Antara Menulis, Tenis dan Badminton

Adem, Sejuk, Ngangenin
dok.pri
Antara Menulis, Tenis dan Badminton
Kalau dulu mau menulis saja harus menunggu Ayah pergi atau tidur. Sekarang tak perlu lagi. Sepertinya dia sudah tahu ritme hidup saya. Saya tak perlu minta izin begini: mohon maaf ayahku sayang, aku mau menulis. Mohon jangan diganggu.
Ayah juga menyadari kok, dia tak pernah minta izin saya dan bilang: Mi, aku mau namplek. Tolong jangan telpon-telpon wae. Hape posisi disilent. Percuma kalau mami nelpon, nggak bakalan aku angkat.
Sepertinya kami memang sudah klop. Saya tak bisa memaksakan diri mengikuti dunia olahraganya. Dia juga tak mau mengikuti dunia menulis saya. Kami memiliki dunia yang berbeda. Tapi kita tetap sepakat untuk menghargai dunia kami masing-masing.
Kalau saya menulis, cukup membuka laptop lalu menulis begitu saja. Sambungkan internet, kirim ke media melalui email atau posting tulisan di blog. Kalau menulis di blog lalu dibagikan ke medsos. Wussss, selesai. Saya tetap di rumah, mungkin posisi duduk saya saja yang bergeser. Baju saya tetap bersih.
Berbeda dengan Ayah, pergi membawa raket (kalau siang tenis, kalau malam badminton). Pulang dari namplek membawa kaos bermandikan keringat dan kaos kaki basah dengan bau khas (sedapnya, hehe).
Bila malam hari, jam berapapun saya menulis, kalau belum posting minimal satu tulisan, saya merasa memiliki hutang. Padahal saya tak punya target (harus) menulis. Tak ada paksaan, tak ada yang memaksa. Saya tahu diri, saya harus menulis agar hidup saya bermakna dan bermanfaat.
          Karanganyar, 27 Juni 2016

Tulisan ini sebagai jembatan mau menulis rencana jalan-jalan bersama teman-teman ke Tawangmangu menikmati kuliner yang murah meriah.

Minggu, 26 Juni 2016

Menjenguk Tetangga Sakit Kanker Payudara

Kebun Teh, Kemuning, Ngargoyoso, Kab. Karanganyar
Dok.pri
Menjenguk Tetangga Sakit Kanker Payudara
Hari ini saya menjenguk tetangga kampung yang sedang sakit. Empat bulan yang lalu tetangga saya tadi tergolek di tempat tidur tak bisa mengerjakan apa-apa. Kabarnya sakitnya luar biasa, bahkan untuk memiringkan badan saja tak mampu, harus dibantu orang lain.
Sebelum sakit, tetangga saya adalah perempuan pekerja keras. Pekerjaan apa saja dilakukan asalkan halal. Setahu saya beliau adalah buruh tani. Tiap musim tanam, beliau ikut menanam padi, lalu menyiangi rumput. Berangkat kerja setelah subuh, pulangnya matahari sudah akan tenggelam. Dalam bekerja, beliau memiliki team khusus. Team ini terdiri dari beberapa perempuan tangguh.
Saya sering mengamati beliau kalau sedang menanam padi di samping rumah saya. Sambil bekerja beliau ngobrol dan bersenda gurau dengan sesama teman menanam padi. Pada suatu musim tanam, saya tak mendapatkan beliau ada dalam satu rombongan buruh tani. Suatu ketika saya bertanya pada tetangga kampung, ternyata beliau sedang sakit.
Awalnya beliau mengatakan sakit badannya. Saya tidak berani bertanya lebih jauh. Tadi pagi, adalah kedatangan saya yang keempat. Kondisi beliau masih sama, bahkan sekarang malah kedua kakinya harus diikat dengan kain jarik agar tidak bergerak bebas tanpa control (menurut beliau dan saudaranya kedua kakinya bisa bergerak sendiri tanpa digerakkan. Setelah itu kakinya sulit untuk dikembalikan seperti pada posisi semula bila tak dibantu orang lain.
Saya tak bisa membayangkan, betapa berat penderitaan wanita perkasa ini. Kini semua aktivitasnya dikerjakan di atas tempat tidur. Beruntung, kalau ditinggal suami dan anaknya bekerja, beliau ditunggui oleh saudaranya yang rumahnya berada di samping rumahnya.
Sudah segala macam pengobatan ditempuh. Dulu ketika keluhannya pada tulang, beliau sudah dibawa ke ortopedi. Pengobatannya juga sudah sampai Yogyakarta. Dan akhir-akhir ini pengobatan dan pemeriksaan dilakukan di RS Muwardi, Jebres, Surakarta.
Menurut cerita beliau dan saudaranya, di RS Muwardi dilakukan pemeriksaan scan (beliau bercerita badannya dimasukkan dalam terowongan). Kata dokter yang memeriksa, sakit yang diderita tetangga saya karena ada benjolan di payudara sebelah kanan.
[Memang ketika saya datang, beliau pertama kali menunjukkan pada saya payudara yang ada benjolannya dan ditekan-tekan. Menurut beliau sudah 5 tahun ini benjolan itu ada dan tidak terasa sakit sama sekali]
Kata dokter penyakit beliau bisa sembuh kalau benjolan itu diambil (artinya benjolan itu kanker atau tumor). Sayangnya, beliau tak tahu kalau itu kanker dan mungkin tak diberi tahu.
Setelah cukup lama saya menjenguk tetangga kampung, akhirnya saya pulang. Saya ceritakan keadaan tetangga kampung pada suami. Seperti biasa, suami tak menanggapi, tapi memperhatikan cerita saya.
Sore harinya, suami bercerita kalau dia bertemu salah satu saudara tetangga kampung yang sakit tadi, sebut saja Mas A. kata Mas A, sebenarnya saudaranya menderita kanker payudara stadium 4. Astaghfirulloh. Ibu, semoga cepat sembuh ya.

Manusia hanya bisa menjalani semua yang sudah menjadi bagian hidupnya. Jalan cerita sudah disiapkan Yang Maha Pandai, dan kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Maka mulai sekarang perbanyaklah bekal untuk pulang kampung.

Saya hampir mewek, teringat Ibu mertua saya yang dulu mengidap tumor limfa stadium lanjut. Saya dan suami merahasiakan sampai beliau meninggal.

Menjelang Lebaran Dapat Rezeki Nomplok (#2)

Siap Panen, Semakin Merunduk
dok.pri
Menjelang Lebaran Dapat Rezeki Nomplok (#2)
Anak perempuan sudah diantar ke rumah Ibu (Yogyakarta). Saya sudah mulai beres-beres rumah, beres-beres yang ada kaitannya dengan dunia menulis, si kecil bukannya beres-beres melainkan menyebarluaskan mainannya sampai di mana-mana. Tidak apa-apa, yang penting tidak bermain di luar.
Saya mengambil dompet besar, biasanya berisi nota atau kuitansi pembayaran. Saya membuka dompet pelan-pelan, takutnya ada kertas atau uang kertas yang nyangkut di retsleting. Alhamdulillah, persediaan uang saya masih aman. Untuk belanja sampai akhir bulan masih ada. Kalau tidak cukup, masih ada uang recehan milik Dhenok yang disimpan di wadah plastik. Bisa dipinjam dulu, nanti bilang ke Dhenok belakangan.
Di sekolah ada rezeki datang tanpa permisi. Lumayan, dapat SHU koperasi dan saham koperasi yang sudah dikembalikan (saya keluar dari keanggotaan koperasi). Begitu terima uang, pikiran saya bukan buru-buru ingin ke swalayan atau ke mall. Saya langsung membayangkan berada di Pegadaian untuk investasi lagi. Soalnya kalau dipegang dalam bentuk uang tidak bakal bertahan satu minggu.
Ada lagi rezeki nomplok lainnya yaitu uang transport masuk kantor. Jumlahnya lumayan untuk membeli gula pasir yang kabarnya harganya selangit. Alhamdulillah, masih bisa minum manis, tak perlu terlalu manis. Uang transport tadi juga bisa untuk membeli bensin beberapa ember.
Uang transport kalau saya bawa pulang memang bisa untuk membeli bensin atau gula. Tetapi saya sengaja tidak membawa pulang uang transport. Uang transport sengaja saya simpan di dalam laci meja dengan anak kunci nomor sekian. Uang transport tersebut menyimpan cerita unik dan kenangan yang indah, maka saya tak akan menggunakannya untuk belanja. Bukan saya sok kaya tak butuh uang, bukan itu maksud saya.
Menjelang lebaran ini, saya juga sudah mendapatkan kabar berita dari alam. Walah, apa ya? Alam telah menghembuskan kabar baik. Padi di belakang rumah sudah mulai merunduk, sebentar lagi menguning lalu panen. Nah, ini adalah rezeki yang saya tunggu-tunggu dari pertanian. Semoga panen pada MT II baik sebab air untuk sawah masih cukup. Ini bagian rezeki dari hujan di bulan Juni. Hasil panen MT I kemarin gabah dan berasnya masih ada, untuk membayar zakat masih cukup.

Bersyukur dan sabar, itulah yang selalu saya ungkapkan setelah mendapatkan nikmat. Apalagi saya, suami dan anak-anak masih diperkenankan menggunakan nikmat kesehatan untuk beribadah pada Ramadan kali ini.

Sabtu, 25 Juni 2016

Lebaran Dengan Baju Baru Berfoto Keluarga Bawa Endhog Abang

Tahun 1397 H, Foto jadul
dok.Nur Rachman Kahfi Soeb
Lebaran Dengan Baju Baru Berfoto Keluarga Bawa Endhog Abang
Baju Baru Untuk Lebaran
Ketika saya masih kecil, orang tua saya mengusahakan untuk anak-anaknya memakai baju lebaran baru. Biasanya bajunya sama, kain dan warnanya sama, dan modelnya sama. Kalau membeli baju model dan coraknya sama, warnanya bisa sedikit berbeda. Akan tetapi ketika saya SMP, Bapak menjahit baju dan celana panjang untuk saya dan kakak saya dengan corak sama tetapi warnanya berbeda. Demikian juga kedua adik saya dibuatkan baju yang coraknya sama.
Orang tua menginginkan kami untuk selalu kompak, memakai baju yang mirip-mirip. Tapi orang tua tidak pernah memaksakan kepada kami untuk selalu memakai pakaian yang sama. Kompak tidak selalu sama, bukan?
Kalau sekarang baju boleh baru tetapi tak perlu sama yang penting corak atau warnanya hampir sama. Bahasa kerennya sekarang adalah dresscode.
Endhog Abang (Telur Merah)
Endhog abang adalah telur berwarna merah. Telur yang digunakan adalah telur bebek, yang diberi warna merah (direbus dengan pewarna alami). Setelah itu telur ditusuk dengan sujen potongan bambu seukuran lidi salah satu ujungnya dibuat lancip. Pada bagian atas dan bawah telur, diberi hiasan kertas rumbai-rumbai. Endhog abang biasanya dijual pada saat Sekaten, Idhul Fitri, dan Idhul Adha. Endhog abang wajib dibeli saat lebaran (hehe, tradisi saja).
Penjual endhog abang biasanya menjual mainan yang lain, misalnya payung dari kertas, kipas dari kertas. Mainan yang sederhana, mainan tradisional. Endhog abang, dan mainan-mainan itu ditancapkan pada pelepah pisang.
Mbak Lichah Beli Endhog Abang 1416 H
dok.Nur Tsalichah
Endhog abang walaupun kulitnya diberi warna merah tapi isinya tetap bisa dimakan. Telur bebek gizinya banyak, jadi saya suka sekali makan endhog abang. Walaupun endhog abang harganya mahal, tapi anak-anak suka. Orang tua juga tidak ada yang menolak kalau anak-anaknya minta dibelikan endhog abang.
Kebiasaan orang tua membelikan endhog abang terus berlanjut sampai sekarang. Supaya tidak rebutan, maka beli endhog abang sejumlah 6 butir sama dengan jumlah anaknya (saya 6 bersaudara). Endhog abang adalah makan yang membawa kesan. Orang asli Yogyakarta pasti mengenal endhog abang.
Dresscode, Wajah tanpa ekspresi, tidak naik becak
dok.Nur Rachman Kahfi Soeb
Foto Keluarga
Sejak kecil Bapak dan Ibu membiasakan foto sekeluarga. Terutama pada saat lebaran.  Foto keluarga diambil gambarnya di studio foto. Gambar diambil oleh fotografer profesional. Hasil gambarnya berkualitas bagus.
Demi foto keluarga, kami harus rela bersilaturahmi ke rumah saudara berjalan kaki, tidak naik becak. Uang yang ada digunakan untuk membayar foto di studio. Saya tidak mempermasalahkan itu, biasanya yang bersungut-sungut adalah mbak Lichah. Dengan berjalan kaki menjadi lelah. Dua kakak saya inginnya bepergian naik becak daripada foto bersama. Waktu itu hanya memiliki 2 buah sepeda.
Foto-foto yang ada dikumpulkan dan dipasang dalam album. Kalau membuka  album foto waktu saya masih kecil kadang-kadang tersenyum. Foto yang lucu, karena kami tidak diarahkan untuk tersenyum. Lagi-lagi, mbak Lichah kelihatan cemberut. Saya dan mbak Lichah hanya selisih satu tahun.
Lely, Mbak Lichah, Ima dan Endhog Abang
dok.pri
Salam Tempel
Sejak dahulu salam tempel atau angpao atau uang fitrah sudah ada. Kami mendapatkannya dari orang tua dan saudara dekat saja. Jumlahnya juga tidak seberapa tetapi kami sangat senang. Bapak berpesan kepada kami untuk tidak mengharapkan uang dari orang lain.

Tulisan ini diikutsertakan dalam GA yang diselenggarakan oleh www.andariyuan.com


Jangan Habiskan Uang Untuk Berlebaran

Mudik Ayo Mudik
dok.pri
Jangan Habiskan Uang Untuk Berlebaran
Lebaran hampir tiba. Kebutuhan pokok harganya kian melambung. Kalau sudah melambung, kadang tidak mau terjun bebas. Harga-harga melayang-layang di atas, bertahan pada posisinya.

Baju baru, makanan untuk menjamu tamu, makan besar khas lebaran, salam tempel, dan lain-lain cukup menguras dompet. Belum lagi bagi yang putra-putrinya masuk ke jenjang yang lebih tinggi (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi). Pengeluaran yang satu ini cukup besar juga.

Oleh sebab itu atur pengeluaran untuk lebaran sedemikian rupa. Kita mendadak jadi ahli keuangan. Uang sedikit dijereng-jereng (dibagi-bagi) biar semua kebutuhan terpenuhi. Sekiranya tak terlalu penting, pengeluaran bisa dipangkas. Lebarannya hanya sehari, tapi persiapannya membutuhkan waktu berhari-hari.  Pertanyaannya apakah harus selalu begitu? Tidak juga.

Dahulu, saya pernah menanam mentimun dan harus dipanen setiap hari. Saya menanam mentimun di atas lahan lebih kurang 500 m2. Sebelum dan sesudah lebaran panen terus. Malah setelah shalat Id, saya tidak mengunjungi tetangga dan saudara untuk bersilaturahmi. Saya harus memanen mentimun. Kalau hari ini tidak dipanen, mentimun ukurannya bertambah besar bila telat dipanen. Artinya itu malah tidak laku karena pasar membutuhkan mentimun yang masih muda.

Oleh karena saya dan suami sibuk di sawah, maka saya melupakan persiapan ini-itu untuk lebaran. Semua berjalan seperti hari-hari biasa. Tak ada baju baru. Tak ada makanan khas untuk lebaran. Tidak juga mudik. (orang tua memaklumi keadaan saya).
Saat itu Faiq masih kecil. Saya hanya menyiapkan baju dan makanan kesukaan Faiq saja. Untuk makan besar, kami memotong ayam piaraan sendiri. Pokoknya simpel saja. Kok bisa begitu ya? Bisa saja, karena keadaan membuat saya menyesuaikan semuanya. 

Keadaan saya yang seperti itu ternyata ngirit waktu, ngirit tenaga, ngirit semuanya. Bertemu saudara akhirnya saya agendakan saat pertemuan trah. Nah, di sini bisa bertemu siapa saja tanpa kita mengetuk dari pintu ke pintu.

Tahun ini, agenda keluarga kecil saya mudik ke Yogya. Tahun 2009, saya tidak mudik ke Yogyakarta karena Ibu mertua sakit keras dan meninggal setelah lebaran. Tahun 2010, saya tidak mudik karena memiliki Baby usia 2 bulan.

Tahun 2011 dan seterusnya, saya mudiknya ke Yogya kalau lebaran. Mudik irit ala saya. Pengeluaran ditekan sedemikian rupa sehingga usai mudik dompet masih terisi. Masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi setelah lebaran. Kalau Anda menerima Tunjangan Hari Raya, sebaiknya jangan dihabiskan. Kalau sampai habis bulan Syawal, THR masih juga tersisa banyak sebaiknya sedekahkan saja.

Selamat mempersiapkan kebutuhan lebaran dengan bijak. Semoga bermanfaat.

Jumat, 24 Juni 2016

Lebaran Tanpa Parcel

Parcel Lebaran
dok.pri
Lebaran Tanpa Parcel
Saya sudah terbiasa menjalani puasa Ramadan dengan cerita kadang tak pernah disangka-sangka. Misalnya, ketika bepergian karena suatu urusan kebetulan waktunya mendekati waktu buka puasa. Saat berbuka puasa masih di perjalanan.
Saya sering tidak sependapat dengan suami. Suami maunya berbuka puasa di warung makan yang kami lewati. Kalau saya biasanya menyediakan minuman dari rumah lalu saya masukkan dalam botol. Sewaktu-waktu azan maghrib berkumandang, kami langsung berbuka dengan minum teh panas lebih dahulu. Nah, makannya nanti setelah mendapatkan tempat yang cocok.
Suatu hari (beberapa kali malah) kami ada urusan dengan seorang kawan. Kebetulan suami tidak menghubungi terlebih dahulu. Sampai di rumah kawan, orangnya tidak ada. Menunggu cukup lama untuk bertemu kawan tadi. Setelah selesai urusan, kami pulang.
Di jalan saya sudah bilang pada suami untuk mampir ke warung makan dahulu untuk membeli minuman. Suami bilang nanti saja di tempat yang dia maksud. Azan maghrib berkumandang. Kami belum berbuka puasa. Saya bukan tak tahan haus dan lapar. Hanya saja kalau sudah waktunya berbuka kok tidak berbuka rasanya gimana gitu.
Beberapa warung yang dimaksud suami yang kami lewati tutup. Sementara si kecil ingin segera sampai rumah tidak mau mampir-mampir karena mengantuk. Akhirnya sampai rumah saya membuat minuman untuk sekadar berbuka puasa menghilangkan dahaga.
Ya Allah, mau makan saja pilih-pilih tempatnya. Yang dipilih tempatnya ternyata tutup semua karena menjelang lebaran, pedagangnya sudah mudik alias pulang kampung.  
Si kecil saya bawa masuk kamar lalu tidur. Alhamdulillah, akhirnya makan seadanya saja. Karena sejak awal rencananya mau berbuka puasa di luar rumah, saya tidak memasak sayur.
Oleh sebab itu kalau ada teman yang memosting foto makanan menu buka puasa lengkap yang mengundang selera, kadang saya membatin ingin rasanya nyuwil sedikit lalu saya cicipi biar saya tahu rasanya.
00000
Dalam minggu-minggu ini sampai menjelang lebaran, akan banyak teman-teman yang upload foto parcel lebaran di medsos. Bahkan sekarang saya juga sering melihat foto-foto tersebut.
Bagi mereka yang mendapatkan bingkisan atau parcel lebaran pasti akan bergembira. Saya sendiri, kalau mendapatkan parcel lebaran juga akan bergembira. Tapi cukup sesaat saja, tidak berlebihan, dan tidak berkelanjutan.
Lo, saya dapat bingkisan lebaran ta? Ah, itu hanya seandainya saja. Selama saya mengajar tidak ada yang namanya bingkisan lebaran atau parcel lebaran. Tapi saya bersyukur, karena di sekolah tidak ada budaya bingkisan lebaran maka kami tidak ngarep-arep alias tidak mengharapkan sekali.
Bagi saya, lebaran tanpa bingkisan atau parcel lebaran, itu hal biasa. Menjadi luar biasa kalau tiba-tiba ada bingkisan lebaran dengan wadah cantik memakai rotan. Bisa wowww, takjub.
Atau mungkin ada THR pengganti bingkisan lebaran? Ada THR, tetapi bukan Tunjangan Hari Raya sebesar satu kali gaji. THR di sini adalah Tabungan Hari Raya. Tabungan, nabung-nabung sendiri, uang-uangnya sendiri. Hehe
Saya dan teman-teman sudah bahagia kok lebaran tanpa parcel. Yang penting, kalau minggu-minggu terakhir masuk sekolah sebelum libur lebaran datang ke sekolah di kantor sudah ada tas kresek warna hitam, di dalamnya ada beberapa makanan yang bisa digunakan untuk menjamu tamu yang datang saat lebaran. Nominalnya tak seberapa tapi nilai keberkahannya besar, karena pemberinya ikhlas dan penerimanya juga ikhlas. Alhamdulillah. Jadi siap-siap dengan kejutan tas kresek warna hitam di kantor.
Yang sudah mau mudik silakan, selamat jalan. Hati-hati selama di perjalanan. Bila lelah, istirahat terlebih dahulu. Kalau mengantuk jangan memaksa mengendarai sepeda motor atau mobil. Tak usah buru-buru, yang penting selamat sampai tujuan.  
Karanganyar, 24 Juni 2016

Sumber:

Kompak Tidak Selalu Seragam Atau Sama

Kompak Membawa Ndhog Abang
dok.pri
[ foto di atas diambil saat lebaran tahun 2014. Kami bertiga tidak pernah menyangka kalau ternyata lebaran tahun itu bajunya hampir sama, padahal kami tidak pernah janjian ]
Kompak Tidak Selalu Seragam Atau Sama
Ketika saya masih kecil, orang tua saya mengusahakan untuk anak-anaknya memakai baju lebaran baru. Biasanya bajunya sama, kain dan warnanya sama, dan modelnya sama. Akan tetapi ketika saya SMP, Bapak membuatkan baju untuk saya dan kakak saya dengan corak sama tetapi warnanya berbeda. Demikian juga kedua adik saya dibuatkan baju yang coraknya sama.

Orang tua menginginkan kami untuk selalu kompak, memakai baju yang mirip-mirip. Tapi orang tua tidak pernah memaksakan kepada kami untuk selalu memakai pakaian yang sama. Kompak tidak selalu sama, bukan?

Untuk kegiatan sehari-hari juga demikian, kompak tidak selalu mengerjakan tugas yang sama. Kompak adalah menyelesaikan pekerjaan rumah bersama-sama sehingga pekerjaan rumah beres.

Bila bepergian, orang tua juga tidak mewajibkan kepada kami mengikuti acara yang sama. Apalagi setalah kami remaja, mereka bisa memaklumi itu. Namanya juga remaja, kadang memisahkan diri dari acara keluarga besar. Berarti nggak kompak dong? Tergantung kepentingannya.

Saya tersenyum kalau ada yang mengatakan kompak itu sama dalam segala hal. Baju sama alias seragam itu harus. Mengikuti acara piknik, acara silaturahmi atau ke mana saja harus bareng tidak boleh ada yang tertinggal, itu wajib. Rasanya aneh bukan? 

Kalau sebuah kantor menetapkan baju seragam, itu bagus. Akan tetapi kalau acara tidak formal alias santai, biasanya mengenakan pakaian bebas rapi kok diwajibkan memakai seragam ini baru aneh.

Acara piknik itu acara santai, tidak formal dan tidak begitu penting mestinya kalau berhalangan dan tidak bisa ikut, jangan dijadikan masalah. Kadang kita tidak tahu kepentingan orang lain. mungkin orang lain tidak ikut acara piknik karena memiliki acara yang lebih penting.

Mari kita evaluasi diri, sudahkah kita kompak di masa yang lalu? Atau baru sekarang mengikuti tren?  Lantas begitu bosan, kekompakan tersebut dihilangkan?

Kalau mengikuti patokan kompak adalah baju seragam yang sama, bisa-bisa lebaran tahun ini bakalan ada baju baru satu almari. Baju A seragam untuk keluarga, baju B seragam untuk PKK, baju C seragam untuk kantor, baju D seragam reuni SD (ada seragam reuni SMP, SMA, teman kuliah). Masih ada seragam untuk arisan trah pihak Bapak, arisan trah pihak Ibu.  

Kalau bisa yang kompak itu tujuannya saja. Perkara bajunya tidak seragam, tapi kalau masih senada atau satu warna juga tak masalah. Sekarang lagi tren memakai pakaian senada (dresscode), lebih fleksibel dan irit.  Biar baju baru sekali pakai tidak memenuhi almari dan tidak terjadi pemborosan.


Jaga kekompakan tujuan hidup keluarga kita, eratkan gandeng tangan kita. Jangan biarkan kita bercerai berai, itulah kekompakan.

Kamis, 23 Juni 2016

BPJS Kesehatan Sangat Membantu


Kali ini saya tidak menceritakan pengalaman saya mengikuti BPJS Kesehatan. Saya akan membagikan pengalaman dua teman saya yang kebetulan ditawari ikut BPJS Kesehatan.
Teman A
Tahun 2014, suami teman A divonis tumor otak dan harus menjalani operasi. Untuk periksa dan operasi, jelas akan memerlukan biaya yang besar. Teman A disarankan iparnya untuk mengikuti BPJS Kesehatan. Awalnya teman A menolak, alasannya dia berharap suaminya bisa sembuh setelah menjalani operasi, pengobatan dan terapi. Setelah dipaksa-paksa saudaranya, akhirnya teman A mau mengikuti BPJS Kesehatan. Dia mengambil kelas 3, sehingga iuran yang harus dibayarkan setiap bulan tidak terlalu banyak.

Setelah menjalani operasi, suami teman A tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Mata tidak dapat untuk melihat, memorinya sudah tidak baik lagi. Mengingat nama isteri dan dua anaknya saja lupa. Tidak mengenal suara isteri dan anaknya yang cenderung orang dekatnya selama ini.

Setelah menjalani operasi, suami teman A sempat mengalami kritis dan masuk RS di Surakarta. Keluarga teman A minta agar suami teman A bisa dirawat di kelas yang lebih tinggi (utama) bukan di kelas 3. Setelah berangsur membaik, suami teman A dibawa pulang dan biaya yang harus ditanggung teman A mendapatkan klaim yang cukup besar dari biaya yang seharusnya dibayarkan. Sehingga teman A hanya membayar sebagian saja.

Oleh karena penyakitnya semakin parah maka suami teman A jiwanya tak tertolong lagi (Oktober 2015). Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Sekitar bulan Pebruari-Maret 2016, anak sulung teman A memeriksakan giginya yang sedikit bermasalah. Ternyata pemeriksaan dan perawatannya tidak hanya sekali datang ke rumah sakit. Dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan hasil yang optimal. Maklum, anak teman A ini akan masuk ke perguruan tinggi dengan syarat fisik sehat. Beruntung teman A sudah ikut BPJS Kesehatan sehingga selama periksa, dia tidak mengeluarkan biaya sama sekali.

Teman A bersyukur, ternyata BPJS Kesehatan sangat membantu. Untung dia ikut BPJS Kesehatan.

Teman B
Teman saya yang kedua, teman B satu tahun yang lalu lengan kanannya mengalami patah tulang. Ketika di rumah sakit ditanya apakah ada BPJS Kesehatannya atau tidak, dia menjawab tidak. Petugas rumah sakit menyarankan setelah menjalani operasi ini untuk segera ikut BPJS Kesehatan.

Teman B, merasa mau mendaftar BPJS Kesehatan, mengurus dan membayar iurannya terlalu repot sehingga dia tidak mengikuti saran petugas kesehatan. Saya sendiri menyarankan untuk ikut BPJS Kesehatan. Kalau iurannya dirasa terlalu berat, saya sarankan untuk ikut yang ringan saja (kelas 3). Saya tidak bisa memaksa, saya sekadar menyarankan saja.

Teman B tidak mengikuti saran saya. Akhirnya setelah operasi, teman B menjalani kontrol 2 kali dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bandingkan kalau dia ikut BPJS, tentu saja  biaya yang dikeluarkan jauh lebih ringan bahkan bisa saja gratis karena semua biaya sudah terkaver dari BPJS asal kelasnya sesuai.

Sudah satu tahun  tangan kanan teman B dipasang platina. Dia ingin bisa segera melepas platina. Saya tetap menyarankan untuk ikut BPJS Kesehatan sebelum deal menentukan kapan mau operasi. Melepaskan platina, biayanya tetap besar. Entahlah, sampai sekarang teman B belum juga mendaftar ke BPJS Kesehatan. Padahal kalau teman B mau, manfaatnya banyak lo.

Kita berdoa semoga dijauhkan dan penyakit dan musibah. Mungkin tulisan ini hanya sebagai bacaan ringan saja. Semoga bermanfaat.

Rabu, 22 Juni 2016

Ketika Menemani Si Kecil Menjalani Operasi

Setelah Jatuh
dok. Faiqah Nur Fajri
Sudah beberapa kali saya mengingatkan suami untuk momong Faiz dengan baik. Ke mana saja anaknya pergi harus selalu suami menyertai. Kata suami,”Anak laki-laki, gakpapa.” Apalagi kalau sudah naik sepeda, saya selalu minta pada suami agar berada di dekatnya.
Yang kedua adalah saya sudah minta pada suami agar depan garasi yang berbatasan dengan sawah tetangga untuk dipagar atau ditembok. Rupanya kata-kata saya tak dihiraukan.
Nasi telah menjadi bubur, semua telah terjadi dan tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Memang penyesalan datangnya di akhir, akan tetapi tidak perlu menyesal berkepanjangan. Harus ada langkah yang ditempuh dengan segera dan tidak bisa ditunda-tunda. Semua itu adalah musibah yang menimpa Si Kecil, Faiz (5,5 tahun waktu itu).
Mata saya berkaca-kaca, saya bergantian dengan suami memangku Faiz dan memegang tangannya. Lengan atas kiri Faiz patah, persis di atas siku.
00000
Operasi Pemasangan Platina
Setelah menjalani pemeriksaan, foto rongent, diambil sampel darah, Faiz dipindahkan ke bangsal. Faiz diminta untuk berpuasa mulai jam satu malam. Pagi harinya jam 6, Faiz berganti pakaian khusus untuk operasi. Akan tetapi Faiz harus menunggu hasil lab. Jam delapan, diberitahukan bahwa trombosit besar, angka infeksinya tinggi (saya tidak tahu bahasa kedokterannya). Operasi dibatalkan.
Faiz boleh membatalkan puasanya.Malam harinya Faiz rewel. Mungkin bagian lengannya mulai nyeri dan sakit. Suami memijit kaki dan badan Faiz agar tenang. Seorang perawat datang dan memberikan obat anti nyeri. Mulai jam satu malam Faiz berpuasa.  
Pagi harinya Faiz siap menuju ruang operasi. Faiz lebih dekat dengan Ayahnya, maka suami menemani Faiz sebelum Faiz dibius.
Alhamdulillah, saya bersyukur. Suami saya yang biasanya tidak mau tahu, kaku, keras, kali ini benar-benar bisa saya ajak kerja sama untuk menjaga Faiz dari masuk ruang operasi hingga anaknya sadar betul.
00000
Operasi Pengambilan Platina
Operasi pengambilan platina dilaksanakan hari Rabu, 9 Maret 2016 pagi hari. Mulai jam 1 dini hari, Faiz harus berpuasa. Saya mengkondisikan Faiz dalam keadaan kenyang malam itu.
Awalnya Faiz diambil sampel darah untuk kemudian diperiksa. Sementara suami berdiskusi dengan tenaga medis lainnya. Setelah masuk ruang operasi, saya bisikkan pada Faiz. Bismillahirrohmannirrohim. Mama tunggu di luar, assalamualaikum. Beberapa saat kemudian saya mendengar teriakan anak kecil (Faiz). Sebentar kemudian suami keluar dari ruangan. Berarti Faiz sudah dibius.
Sekitar jam 10 Faiz keluar dari ruang operasi dalam keadaan belum sadar. Saya dan suami beserta 2 orang petugas menuju zal. Faiz dipindahkan ke tempat tidur, seorang perawat cantik berpesan jangan lupa sebentar-sebentar dibangunkan.
Sesekali suami menepuk-nepuk pipi Faiz pelan sambil mengucap salam. Di dekat Faiz, suami juga melantunkan zikir. Alhamdulillah, matanya sudah terbuka. Kembali kami mengucap salam. Yang pertama kali disebut adalah ayah. Lalu mama, dan yang terakhir kakak. Setelah itu Faiz tidur lagi.
Faiz sehat, setelah maghrib Faiz diizinkan pulang. Sampai di rumah Faiz langsung tidur di samping Ayahnya.
[Faiz lebih dekat dengan Ayahnya, sehingga selama dia sakit, operasi, menjalani terapi selalu dengan suami. Suami orangnya kaku, tidak romantis. Pelit memuji. Semua yang saya lakukan dianggap biasa. Ternyata tindakan-tindakannya menunjukkan kalau dia menghargai usaha saya.]