Sabtu, 17 Juni 2023

Setiap Jemaah Haji Memiliki Ujian Sendiri-sendiri

 


Setiap jemaah haji pasti diuji. Ujiannya satu orang dengan yang lain berbeda. Ada yang diuji dengan kesehatannya, pasangannya, dengan orang tuanya, dengan temannya, dan lain-lain.

Saya diuji dengan kesehatan atau badan saya. Selama di tanah suci, tensi tinggi padahal ketika di tanah air selalu normal dan baik-baik saja. Evaluasi: mungkin beberapa terakhir sebelum berangkat saya kecapaian, kurang tidur, banyak tamu yang datang, capai membersihkan rumah, dan lain-lain.

Solusi: tidak memaksakan fisik untuk mengeluarkan tenaga lebih besar. Saya membatasi salat di Masjidil Haram. Sebab, aktivitas menuju Masjidil Haram berjalan dengan cepat. Tidak ada orang yang berjalan santai seperti melakukan rockpot. Berjalan cepat dengan tetap memperhatikan orang-orang tinggi besar di sekitar. 

Saya diuji dengan terpisah dari suami di Masjidil Haram. Solusi: tetap bergandengan tangan kecuali sedang salat.

Saya diuji dengan "ketidaknyamanan dengan seseorang". Solusi: tidak jidal. Tetap rendah hati dan tidak sombong, tidak merasa punya power, mengalah saja. Apapun bentuk gesekan, cukup mengalah dan beristigfar. 

Saya berada di kamar yang isinya 4 orang. Tiga orang selain saya adalah  Ibu S (68 tahun) dan anaknya (46 tahun) serta kakak (73 tahun). Di kamar lain ada anak laki-laki dari ibu (68 tahun) dan suami dari anak (46 tahun). Jadi, teman sekamar saya ini berlima dalam satu keluarga besar. Teman sekamar tersebut, yakni Ibu S, pinginnya ke Masjidil Haram terus. 

Suatu pagi, anak perempuan dan suaminya berangkat ke Masjidil Haram. Anak laki-laki dan ibunya juga ke Masjidil Haram, sedang kakak yang usianya 73 tahun tinggal di hotel. Saya ke Masjidil Haram, suami tidak karena piket untuk mengambil konsumsi dan ikut senam kloter 59.

Singkat cerita setelah tiba di terminal, saya turun lalu ikut menggandeng tangan kanan  Ibu S. Tangan kiri Ibu S digandeng anak laki-lakinya. Ternyata kami thawaf di lantai dasar. Alhamdulillah, kami bisa dekat dengan Hijr Ismail tapi kemudian menjauh agar saat azan subuh bisa salat di belakang. Thawaf, salat Subuh dan Shuruq telah kami tunaikan dengan lancar.

Sampai di hotel, ternyata pasangan suami istri anak dari Ibu S juga tiba. Setelah sarapan, teman saya bercerita bagaimana dia dan suami bisa berdoa di Hijr Ismail, memegang Multazam, dan berdoa sesuai hajatnya. Saya mendengarkan. Saya hanya bilang, "alhamdulillah saya, ibu S dan adik njenengan bisa dekat dengan Hijr Ismail tapi terus menjauh."

"Buk, pokoknya besok suatu saat aku ajak sampai di depan Ka'bah."

Saya merasa menyesal lalu beristigfar, karena  membocorkan telah sampat di putaran dekat dengan Ka'bah. Seharusnya saya diam. Namun, Ibu S bilang, "terima kasih ya, Bu. Sudah menggandeng saya selama thawaf, menemani ketika salat Subuh."

"Sama-sama."

Teman saya bertanya, "tadi tongkatnya nggak dibawa?"

Saya balik bertanya, "ketika  thawaf di lantai dasar, njenengan lihat orang thawaf pakai tongkat atau tidak?"

"Lihat seorang bapak-bapak memakai thawaf."

"Hanya seorang atau banyak orang?"

"Seorang."

"Saya tadi lihat seorang perempuan memakai kruk. Kruk mengenai kaki saya, juga seorang. Menurut njenengan, kalau Ibu S pakai tongkat kira-kira repot atau tidak dengan kondisi penuh berdesakan?"

"Kayaknya tidak bisa."

Saya tak perlu berdebat. Begitulah, nggak mungkin kita bawa tongkat. Toh tanpa tongkat, Ibu S juga bisa menyelesaikan thawaf. 

Setelah selesai membicarakan pengalaman thawaf tadi, saya menyingkir. Beristigfar. Tak terasa air mata saya menetes. Siapa saya? Apa hubungan saya dengan Ibu S? Tentang tongkat, bukan kewajiban saya untuk membawakannya. Saya beristigfar dan, "Ya Allah, mudahkan urusan saya."



Pagi tadi, saya ke Masjidil Haram bersama suami. Ibu S dan anak laki-lakinya juga ke Masjidil Haram. Saya dan suami bergandengan menuju lantai 4, beratapkan langit. Saya dan suami tidak melakukan thawaf. Menunggu Subuh dengan salat tahajud, berdoa, dan berzikir. Selesai salat Subuh kami langsung pulang, tidak menunggu Shuruq.

Singkat cerita kami tiba di hotel. Ibu S juga sudah berada di hotel. Saya bertanya pada ibu S, "Ibu tadi juga thawaf di lantai 1?"

"Tidak. Penuh banget. Sampai masjid langsung cari tempat salat seperti kita kemarin, Bu."

"O, njih."

Sudahlah, simpulkan sendiri. 

Jadi, ujian pasti akan datang pada kita dan bentuknya macam-macam. Kuncinya istigfar.

00000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar